Part 19.
Makanya, nama suami tuh disimpannya pakai nama yang spesial, jangan cuma 'Pak Iqbal'.
***
Notes:
- siap-siap ngelus dada ya sama kelakuan Luli :D
-----
Hari Selasa tiba. Ba'da subuh Luli sudah bersiap untuk mengantar Iqbal ke bandara. Umi ikut, alasannya menemani Luli agar tak pulang sendiri. Kasihan.
Luli sendiri sebenarnya lebih senang tak ditemani, ia berniat langsung ke rumah ibu sebelum berangkat kuliah nanti. Begitulah, konflik kepentingan --terpendam-- antara menantu perempuan dan ibu mertua mulai terjadi.
"Biar saya aja yang nyetir, Kak. Jadi nggak perlu gantian pas di bandara."
"Nggak lah. Permaisuri nggak boleh nyetir, kecuali terpaksa," sahut Iqbal.
"Ya udah, sini umi aja yang nyetir. Kalian di belakang peluk-pelukan. Kan nanti dua hari gak ketemu. Bakalan kangen." Umi pengertian sekali.
"Dih, apalagi ini. Masa Ibu Suri yang nyetir. Bisa kualat nih. Nggak nggak. Udah, Iiq aja yang nyetir. Ibu-ibu nih kalo udah gini pada kompak basa-basi ya." Umi menoyor kepala anaknya.
Perjalanan ke bandara saat pagi masih gelap tak butuh waktu lama. Sepanjang perjalanan itu pula, Luli harus menahan duduk tak nyaman karena Iqbal minta dipeluk dari belakang. Manja!
Luli melakukannya, meski dengan perasaan yang tak bisa lepas bebas. Antara malu dan tak enak hati pada Umi, tapi juga mau dan menikmati setiap persentuhannya dengan sang suami.
Setiba di bandara mereka tak masuk area parkir, melainkan berhenti di area dropping. Iqbal menurunkan bawaannya dari bagasi, lalu berpamitan dengan umi, dan terakhir dengan Luli.
"Baik-baik ya, Sayang. Sering-sering telpon dan WA aku. Kalo nggak ada perlu jangan pergi-pergi sendiri. Kalo mau apa-apa harus lapor aku dulu. Ya?"
"Iya, iya, Bapak Iqbal Sya'bani."
"Aku sayang kamu banget, Neng. Jaga diri baik-baik ya."
"Iya, Kak. Udah ah nanti telat boarding lho."
"Tapi aku kok berat banget mau ninggalin kamu. Ini aja belum berangkat aku udah rindu." Iqbal mencium bibir Luli, seolah tak ingin lepas lagi. Lupa kalau sedang di public area.
"Udah, Dek. Udah mulai terang ini. Kelihatan orang. Malu!" Umi menepuk pundak si bungsu.
"Eh, iya. Maaf, Mi." Iqbal tak enak hati. Luli apalagi. Ia ingat, betapa dia yang selalu sewot setiap kali kakaknya dan Nara bermesraan di depan orang. Eh, dianya sendiri sekarang melakukan yang sama. Duh.
"Hati-hati ya, Kak. Saya sayang sama Kak Iiq. I love you."
"Udah, Neng. Jangan bikin Iiq berubah pikiran. Dia punya kewajiban lho."
"Iya, Umi. Maaf."
Mereka berpisah. Luli kembali ke rumah Bukit Sari untuk sarapan bersama abah umi, dilanjutkan ngobrol sebentar. Lewat sedikit dari jam tujuh, dia pamit karena ada kuliah pagi.
Mengendarai HRV putih Iqbal, Luli langsung menuju kampus. Ia baru sadar ketika sampai di depan parkiran teknik sipil.
"Astaghfirullah, bego banget sih aku. Kenapa bawa mobilnya Kak Iiq ke sini?!" gumamnya.
Ia menoleh ke kanan kiri. Beruntung, kampus cukup sepi. Hanya petugas parkir yang terlihat mengamati. Luli segera tancap gas ke rumah bapak ibu.
Sampai di sana, "Astaghfirullah, kok aku ke sini sih?! Motorku kan di Madina. Hiiihh!!"
Luli menepuk jidat. Gemas pada kekonyolannya. Kesal, dongkol, malu jadi satu. Mana jam masuk tinggal hitungan menit. Dosennya rada nggak nyantai pula.
Tok tok tok. Seseorang mengetuk jendela mobilnya. Ibu.
"Eh, ibu. Kok di sini?" Makin tak jelas.
"Kebalik, Nduk. Harusnya ibu yang nanya, kamu yang ngapain di sini? Ini di rumah ibu lho."
"Astaghfirullah hal adziim. Aku kenapa sih iniii?! Aaarrgh!!"
"Udah, turun dulu. Ibu bikinin susu anget." Ibu membukakan pintu, sedikit iba melihat anaknya yang tampak tak fokus.
Berdua duduk di sofa ruang keluarga. Ibu menyodorkan susu hangat. Menepuk lembut paha putrinya, sementara Luli meminum susu yang dibuat ibunya dengan sentuhan cinta.
"Kamu kenapa? Kaya nge-blank gitu," tanya ibu setelah Luli terlihat lebih baik dan menyandarkan punggung pada bantal besar.
"Kak Iiq ke Surabaya, Bu."
"Iya. Iqbal sudah pamit juga sama bapak ibu. Lha terus kenapa kalo Iqbal ke Surabaya?"
"Luli tadi bawa mobil Kak Iiq, Bu. Mau langsung dari airport ke sini, tapi umi malah ikut, jadi Luli harus pulang dulu ke Bukit Sari. Di sana diajak sarapan, padahal Luli pengen makan di sini. Habis itu masih diajakin ngobrol segala. Akhirnya Luli beraniin pamit, alesannya ada kuliah pagi. Eh, emang ada kuliah juga sih jam delapan.
"Nah, karena udah nanggung, Luli langsung ke kampus. Pas udah di parkiran baru inget, lah kan aku bawa mobilnya Kak Iiq. Berasa gobl*k banget kan, Bu. Untung gak ada yang lihat. Luli cepet-cepet ke sini, maksudnya mau ganti motor aja.
"Pas udah sampe sini, eh baru inget kalo motor di Madina. Mana udah jam delapan kurang sepuluh. Mana dosennya Pak Irfan pula, kakunya persis anak sulung ibu tuh, telat lima menit ya udah wassalam. Kesel banget kan, Bu. Huhuhu." Luli menangis saking kesalnya.
"Ya Allah Ya Rabbi, Gusti paringana pangapura (berikanlah ampunan), lah cuma gitu kok nangis lho. Ini gimana deh kalo Iqbal tau? Bapak sama ibu yang malu kali, Nduk. Jangan gitu lah.
"Suamimu itu punya tanggung jawab juga ke pekerjaannya, Nduk. Sama kaya bapak. Kadang ya harus pergi seminar, lokakarya, training. Kadang di sini aja, tapi sering juga di luar kota, harus nginap. Kadang harus penelitian, lama di lab atau di kampus atau di lapangan. Belum bimbing mahasiswa, nemenin kalo ada kegiatan. Apalagi Iqbal kan aktif juga di kampus. Masa baru gitu kamu udah nge-blank."
"Ibu nih, bukannya menghibur malah marah-marahin Luli. Huhuhu."
"Nggak ada yang marahin kamu, Nduk. Ya ada waktunya menghibur, ada waktunya harus nasehatin, ada waktunya harus kasih tau dengan tegas. Kamu itu sekarang istri, Nduk. Masiyo (meskipun) Iqbal itu perhatian dan sayangnya ke kamu luar biasa, tapi kamunya sendiri juga tetep harus ngerti, kapan waktunya manja, kapan waktunya mandiri, kapan harus dewasa, dan sebagainya."
"Ya makanya Luli kan kemarin nggak mau nikah cepet-cepet, Bu."
"Malah ngomong gitu! Ini nggak ada hubungannya dengan nikah cepet apa nggak cepet, Nduk. Cuma butuh kamu mau belajar apa enggak. Dan yang namanya belajar ya kadang-kadang memang harus ketemu guru yang galak, kaya ibu sekarang ini. Jadi nggak usah baper.
"Udah ah, sekarang ganti baju rumah, sana. Bantu ibu nyuci piring. Kuliah juga udah nggak boleh masuk kan?" Ibu menghapus air mata anak manjanya. Lalu berdiri, mengusap kepala Luli, dan berlalu menuju dapur.
Luli cemberut, tapi tetap saja menuruti kata ibunya.
------
Mata kuliah Pak Irfan baru saja usai. Luli baru masuk kelas setelah Pak Irfan tak terlihat. Teman-temannya baru satu dua yang meninggalkan ruangan. Jadwal mereka berikutnya adalah praktikum Mekanika Tanah.
Sambil menunggu Yeni yang masih sibuk membereskan alat tulisnya, Luli memilih asyik dengan gawainya. Ia sedikit kaget saat menyadari Andro sudah duduk tepat di bangku sebelahnya.
"Zulfa, tolong tanyain ke Pak Iqbal, tugasnya boleh di-share dari sekarang apa enggak? Biar agak panjang waktunya."
"Ehk. Loh, kok aku sih, Ndro? Kan kamu ketua tingkatnya."
"Tapi kan kamu is---"
"Diem, Ndro! Aku nggak suka!" Luli ketus. Menoleh kanan kiri, memastikan tak ada yang mendengar perkataan Andro tadi.
Andro menarik napas, mencoba menghalau rasa hatinya yang memanas. Meski ia belum memperoleh kepastian, jawaban Luli barusan sudah cukup untuk memberitahu bahwa perasaannya harus segera dihentikan.
"Maaf, Ndro. Aku...." Luli bingung hendak bicara apa. Merasa bersalah sudah membentak orang yang selama ini selalu baik dan perhatian padanya. Pada semua orang juga ding.
"Nggak pa-pa, Zulfa. Aku yang minta maaf. Biar aku yang tanya sendiri ke..., Pak--Iqbal." Andro menatap Luli, yang segera mengalihkan pandang dari mata sang ketua angkatan.
Luli memasukkan ponselnya ke dalam ransel. Bersama Yeni, siap dengan aktivitas selanjutnya.
"Teman-teman, pengumuman sebentar ya," seru Andro di depan kelas.
"Besok dan Kamis, kelasnya Pak Iqbal kosong---"
"Huuu."
"Kok kosong sih?"
"Emang Pak Iqbal ke mana, Ndro?"
Dan beberapa keluhan yang serupa.
Kalau biasanya kelas kosong mahasiswa girang, khusus kelasnya Iqbal berbeda. Kalau perlu malah ditambah durasinya. Aneh memang.
"Pak Iqbal ada seminar di Surabaya. Kamis baru kembali dari sana. Ini sudah nitip tugas, dan barusan aku tanya, apa bisa di-share sekarang biar waktu ngerjakannya agak panjang. Kata beliau boleh. Nanti aku share di grup ya, silakan teman-teman simak di sana saja.
"Oh ya, Pak Iqbal juga bilang kalau kalian nggak harus ke kampus di jamnya beliau dua hari besok, yang penting tugasnya diselesaikan dan dikumpulkan hari Kamis.
"Oke, makasih perhatiannya. Silakan kalo mau lanjutin kegiatan lagi."
Kelas bubar. Satu per satu mereka beralih ke laboratorium Mekanika Tanah. Beberapa mampir dulu di kantin sipil.
Praktikum berlangsung hingga menjelang sore. Seusainya, Luli masih ada satu agenda lagi untuk mengerjakan tugas bersama tiga temannya --yang semua perempuan-- di kost Yeni.
Sebenarnya tugas pribadi, tapi mereka sepakat untuk mengerjakan bersama agar lebih termotivasi. Padahal sih biar bisa sambil ghibah. Halah.
"Aku ke toilet dulu ya." Dua jam berlalu, ini ketiga kalinya Luli izin ke toilet. Untungnya kamar Yeni dilengkapi kamar mandi di dalam.
Yang lain masih berkutat dengan tugas, saat tiba-tiba gawai Luli bergetar. Ketiganya sontak melihat ke tempat di mana mereka sepakat meletakkan ponsel masing-masing. Satu panggilan dengan nama Pak Iqbal terbaca di layar. Mereka saling pandang, dengan berjuta tanya yang kurang lebih sama.
Panggilan berhenti. Dua detik berikutnya, datang lagi. Begitu terus sampai tiga kali. Sedang Luli tak juga keluar dari kamar mandi.
"Zulfa, tadi HP-mu getar terus. Ada panggilan," lapor Yeni begitu Luli kembali ke tengah mereka.
"Oh, iya deh, biar aja. Ntar kalo penting kan telpon lagi." Luli cuek.
"Kayanya penting deh, manggilnya sampe tiga kali," kata temannya yang lain.
"Emm, yang nelpon Pak Iqbal lho." Lengkap. Semua temannya sudah angkat bicara, dan mata ketiganya terlihat menuntut jawaban dari Luli.
"Ehk, emm, anu, p-paling itu, emm, m-mau nyari kakakku. I-iya, nyari kakakku. Mereka kan sahabat dekat."
"Kakakmu yang suaminya Asya itu bukan sih?"
"I-iya, iya bener. Suaminya Nara."
"Kenapa nggak nanya ke Asya?"
"Eh, i-itu, aku ng-nggak tau sih." Luli mendadak mules, keringat dingin perlahan merembes. Detik-detik menjadi begitu menegangkan bagi Luli.
"Aduh gini banget sih nikah sama dosen favorit setiap insan! Kak Iiq juga apaan sih, pake telpon segala. Ngeselin!"
"Eh, udah yuk, kita lanjutin aja kerjakan tugasnya." Luli sok santai. Sayang, ketiga temannya terlanjur curiga.
Salah satu dari mereka kembali bicara, "Apa jangan-jangan kabar Pak Iqbal nikah itu bener, dan Zulfa---"
"Aduh, aku ijin ke toilet lagi ya!!" Luli kabur.
------
Malamnya Luli marah-marah pada Iqbal ketika mereka melakukan video call.
"Kak Iiq tuh nggak usah telpon kalo saya nggak minta!"
"Aku kan kangen, Sayang. Jadi begitu selesai acara aku langsung telpon, udah gak sabar pengen denger suaramu."
"Huh, kalo pas acara aja nggak inget istri! Saya tuh tadi lagi ngerjain tugas sama temen-temen, HP dikumpulin gitu. Pas lagi ditinggal ke toilet, eh Kak Iq telpon. Kan kebaca sama mereka nama Pak Iqbal. Kesel banget saya tuh. Langsung mules tau nggak sih?!"
Bukannya menghibur, Iqbal malah terpingkal-pingkal mendengar keluh sang istri.
"Makanya, nama suami tuh disimpannya pakai nama yang spesial, jangan cuma Pak Iqbal aja. Lagian aku kan udah pesan, kalo mau apa-apa lapor dulu sama aku. Kamu juga nggak lapor. Jadi ya mana aku tau kalo kamu lagi sendiri apa lagi sama teman-temanmu.
"Terus akhirnya kamu ngaku nggak sama mereka?"
"Nggak lah. Ya walaupun mereka jadi ribut melulu."
"Kamu bilang apa?"
"Saya bilang, 'Pak Iqbal yang nikah kenapa kalian yang sibuk sih? Udah kerjain tugas aja lah, kalo nggak aku pulang'. Gitu. Pusing saya." Luli cemberut. Iqbal lagi-lagi tergelak.
"Ya udah, aku minta maaf ya, Sayang. Jangan cemberut gitu ah. Bikin makin kangen."
"Hih, gombal!" Cibir Luli.
"Kamu udah maem belum?"
"Belum. Tadi sampe rumah ibu langsung rebahan dulu, capek lahir batin tau nggak sih, Kak?!"
"Udah mandi?"
"Belum. Kan kalo udah rebahan terus mager."
"Mager kok dipiara. Ini udah malam, Neng. Jangan dibiasain mandi malam-malam."
"Halah, biasa juga kalo ada Kak Iiq malah mandinya nggak lihat waktu. Dasar nggak konsisten!" Iqbal tertawa lagi.
"Ya sudah. Boleh mandi malam, tapi harus pake air anget ya."
"Hemm."
"Udah sana mandi dulu. Aku mau makan. Nanti kalo udah selesai semua, kerjakan tugas yang dari aku tadi ya. Aku bantu dari sini."
"Ya Allah, Kak. Saya kan capek. Tugas masih dikumpulkan Kamis juga."
"Itu tugas nggak banyak kok. Dan nggak sulit. Paling sepuluh menit selesai."
"Itu kalo yang ngerjain dosennya. Kalo yang ngerjain saya mah belum tentu juga sepuluh jam kelar. Menghina banget sih!!"
Tut tut tut.
Luli mengakhiri panggilan. Hatinya mendongkol setengah mati. Merasa Iqbal sedang meledek kemampuannya yang di bawah rata-rata. Padahal sama sekali tak begitu. Sensi!
Disambarnya handuk dan segera mandi. Kesegaran terasa mengaliri dirinya, beriringan dengan rasa lapar yang melanda. Maka sekeluar dari kamar mandi, ia berhenti lagi. Kali ini di meja makan.
Kembali ke kamar, entah berapa pesan serta panggilan tak terjawab memenuhi bilah pemberitahuan ponselnya. Luli cuek saja. Meski sebenarnya ada rindu yang mencubit-cubit hatinya.
"Nduk, kalau sudah selesai semua, buruan telpon atau whatsapp ke Iqbal. Dari tadi nungguin kamu mandi. Masih dilanjut makan segala. Kasihan. Sudah waktunya istirahat juga dia. Capek lho seminar seharian," kata Bapak di depan pintu yang terbuka lebar.
"Kak Iiq telpon Bapak, gitu?"
"Iya. Kangen kamu katanya," goda bapak disusul tawa renyah beliau.
"Dih, dosen favorit ternyata bisa lebay juga ya gara-gara seorang Zulfa Nurulita," batin Luli. Dia tersenyum geli. Merasa heran pada Iqbal, sekaligus malu pada kege-erannya baru saja.
[Selamat malam kak iiq. Selamat tidur. Mimpiin saya ya. I love you]
Hanya sepersekian detik, centang satu berubah dua, lalu berubah warna. Disusul panggilan video.
"Neng, please, jangan tidur dulu. Ngobrol dulu lah. Aku kangen banget." Iqbal memohon dengan wajah memelas.
"Ya kan itu resiko pekerjaan, Kak. Aku aja santai masa iya Kakak lebay. Lagian kakak kan pasti capek. Istirahat yang banyak ya, biar besok fresh ikut seminarnya," jawab Luli setengah mengejek.
"Ya sudahlah, Neng, kalo memang begitu nyamannya buat kamu. Aku tidur aja. I love you."
Sebenarnya Iqbal berharap kerinduannya bisa sedikit terobati dengan ngobrol berdua, tapi ia juga tak mau berdebat dengan istrinya. Ia memilih untuk mengalah. Lagipula ia memang capek dan masih harus menjaga kondisi untuk besok pagi.
Panggilan diakhiri. Iqbal mengirimkan pesan berisi langkah-langkah mengerjakan tugas untuk Luli. Setelah itu menonaktifkan ponselnya. Tinggallah Luli yang merasa berdosa pada sang belahan jiwa. Aish, belahan jiwa!
Hingga jam dinding menunjukkan hampir pukul dua belas, Luli masih gelisah di atas tempat tidurnya. Bukan karena memikirkan tugas, itu sudah rampung sejak satu jam yang lalu. Hanya saja, tiga hari merasakan pelukan suami membuat dia merasa aneh berada di kamar seorang diri.
Tok tok tok. Luli mengetuk pintu kamar bapak ibu, lalu mencoba memutar handle pintu. Tak terkunci. Ia mengintip lebih dulu. Setelah memastikan keadaan 'aman', Luli masuk. Menutup kembali pintu dengan hati-hati, sebelum menyusupkan diri diantara dua orang yang begitu ia cintai.
Ibu kaget, bapak terbangun.
"Astaghfirullah hal adziim, Luliii! Kamu ngapain di sini?!" teriak ibu.
"Allahu Akbar. Kamu ngapain, Nduk?!" pekik bapak.
"Ehk, emm, m-maaf, Pak, Bu. Luli boleh tidur sini ya? Di sana, emm, nggak bisa tidur. Emm, itu, emm, nggak ada yang meluk. Huhuhu."
"Luliiii...."
***
Dasar Luli!!
Makin ke sini makin absurd deh ya?
Yang nulis puyeng, ceritanya ikut puyeng. Haha...
Yasyudahlah, pokoknya gitu. Mohon dimaafkan segala kesalahan dan kekurangan.
Terima kasih untuk semua perhatian dan kasih sayang. Eaaa...
I love you all.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Semarang, 11092020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top