Part 17.1.

Saya bikin kopi juga buat Pak Iqbal. Kopi hitam, nggak pake gula. Pait. Sepait perasaan waktu tau suami punya banyak mantan.

- ecie, ada yang curhat -

***

Tidur sendirian di sofa, di luar kamar pula, membuat Iqbal hanya bisa memejamkan mata tak lebih dari satu jam. Hendak menyusul istrinya, ia tak mau cari masalah di hari pertama berstatus sebagai suami. Luli sudah mau dinikahi secepat ini saja dia sudah merasa sangat bersyukur. Maka ia memilih untuk melakukan rutinitas seperti malam-malam sebelumnya. Mengisi sepertiga malam terakhir dengan qiyamul lail. Membumbungkan syukur, dan melangitkan doa.

"Neng, bangun, Sayang." Ia berjongkok di samping tempat tidur, menepuk lembut pipi istrinya.

"Sayang, bangun. Sebentar lagi subuh lho. Siap-siap yuk." Tangannya berpindah, membelai-belai rambut strawberry Luli.

Rupanya Luli benar-benar kecapaian. Ia tidur bak orang pingsan. Tak juga bangun, meski yang membangunkan sudah hampir didera putus asa.

"Neng, bangun yuk. Aku udah kangen nih sama kamu." Kali ini ia menghujani Luli dengan kecupan demi kecupan.

"Mmmh, apa sih?" Luli membuka mata, lalu terkesiap begitu melihat ada pria di hadapannya.

"Ehk, kok Bapak di sini? Ngapain? Eh, lho, s-saya di mana ini? Pak Iqbal.... Astaghfirullah hal adziim."

Luli malu sekali. Ia lupa bahwa sejak kemarin pagi ia telah resmi menyandang status istri. Iqbal terkikik, mencubit kecil pipi perempuannya.

"Makanya, kalo punya suami ya tidurnya sama suami. Bukan malah suami suruh tidur di sofa sendiri."

"M-maaf, Pak. T-terus, Pak Iqbal bisa tidur nggak?"

"Nggaklah."

"Ya Allah, maaf ya, Pak." Dipegangnya pipi laki-laki di hadapannya.

"Maksudku enggak nggak bisa tidur. Aku udah sempet tidur kok walaupun satu jam. Lumayanlah. Kalo mau lanjutin babak dua masih kuat dong."

"Nyebelin!!" Luli bangkit. Menarik selimut dan menimpakan tepat di muka suaminya. Lalu bergegas menuju ke kamar mandi.

Iqbal terbahak. Tak sedikitpun merasa kesal, tak ada pula penilaian buruk terhadap istrinya. Ia menerima Luli dengan segala apa adanya.

Usai subuh berjamaah di masjid, ia menemukan Luli di dapur. Wajan dan frypan bertengger manis di atas kompor. Satu bungkus mi instan belum sempat dibuang. Dua cangkir berada di atas nampan, dengan kepul asap yang masih tampak di atas keduanya.

"Masak apa, Neng?"

"Oseng mi goreng, sama tempe."

Iqbal menahan senyum mendengar menu makan mereka pagi ini. Menurutnya, mi instan dan tempe kurang klop untuk bersanding mesra di atas meja makan. Tapi ia diam saja, menghargai sang istri yang telah berpayah-payah demi sarapan mereka.

"Apa itu oseng mi goreng?"

"Ind**i goreng, dimasak seperti biasa. Trus kalo udah jadi ditumis gitu pake cabe, bawang-bawangan, sama tomat. Udah cuma gitu. Tapi enak kok."

"Udah jadi?"

"Udah, tinggal makan. Saya bikin kopi juga buat Pak Iqbal. Kopi hitam, nggak pake gula. Pait. Sepait perasaan waktu tau suami punya banyak mantan."

"Nyindirnya boleh juga nih?" Didekapnya sang istri dari belakang. Menggigit-gigit kecil telinga Luli, yang segera menyikut sebab kegelian.

"Kamu sikut aja aku udah bahagia gini, Neng, apalagi kalo kamu peluk."

"Gini?" Luli berbalik, memeluk dan menatap suaminya manja.

Iqbal makin gemas. Di matanya, Luli seakan menggoda dan menantangnya. Hasratnya mendadak menggelegak. Ia mencium bibir Luli dengan lembut. Tak terburu. Berusaha membuatnya merasa nyaman dahulu, sampai ia terlena, dan terbawa suasana. Iqbal seperti sudah menemukan titik lemah istrinya.

Tak sampai di situ saja, jemarinya turut pula bergerilya. Membius Luli, hingga Iqbal menimpakan berat tubuh padanya tanpa dia sadari. Benaknya sempat tersadar, namun ia hanya diam, seakan ada yang memaksanya untuk membiarkan silih bergantinya desir dan gelenyar.

Lembar-kembar yang membalut badan terswbar tak beraturan. Dan di atas sofa besar yang semalam menemani Iqbal tidur sendiri, mereka mengulang sekali lagi kebahagiaan yang seakan tak ingin bertemu tepi.

--------

Setengah tujuh pagi, berdua sudah berdiri di teras rumah bapak ibu.

"Assalamualaikum. Luli pulaaang," teriaknya lantang. Terdengar begitu riang. Sungguh, dia memang merasa begitu bahagia, bagai bertahun-tahun tak menginjakkan kaki di tempat dia dibesarkan dengan penuh cinta.

Iqbal menggeleng. Tersenyum lebar menyaksikan kekanakannya Luli yang selalu menggemaskan baginya.

"Waalaikumussalam. Ya Allah ya Rabbi, udah jadi istri mbok ya dewasa sedikit to, Nduk," ujar ibu. Luli menghadiahkan ciuman sayang pada kedua pipi ibunya.

"Piye, Nak Iqbal? Sing sabar ya ngadepi Luli."
(Gimana, Nak Iqbal? Yang sabar ya menghadapi Luli.)

"Nggih, Bu. Ndak pa-pa, malah senang saya. Manjanya luar biasa," jawab Iqbal sembari mencium tangan ibu mertuanya.

"Bapak di mana, Bu?"

"Jalan-jalan keliling perumahan sama Lila. Biasaa, momong cucu."

"Selamat pagi, Adik Ipar kesayangan," sapa Nara. Bau-bau perselisihan tercium tajam.

Nara mendekat. Dengan usil menyusupkan tangannya ke dalam jilbab Luli. Mengecek si rambut beraroma strawberry. Basah.

"Mas, adikmu keramas. Sebentar lagi minta kamar mandi sendiri nih!" teriak Nara pada Fikar yang berada tak jauh dari mereka. Remnya masih saja blong.

"Lambemu lho!" Satu tepukan diterima bibir Nara. Luli meradang.

"Neng, nggak boleh gitu ah. Gimana juga Asya itu kakak kamu lho," tegur Iqbal.

"Kakak nggak ada akhlak." Luli sewot.

"Neng, tolong bahasanya yang baik." Iqbal kembali mengingatkan dengan lembut.

"Tuuuh, bahasanya yang baik, Lul. Attitudenya kurang ini, Pak. Nilai mektannya wajib dikurangi kayanya."

"Mas Fikar, istrimu lho, mbok ya diajari budi pekerti."

Iqbal tergelak melihat debat sengit antara keduanya. Ia membiarkan saja, beralih menghampiri Fikar. Mereka bersalaman dan mengobrol ringan.

"Ante Luliii." Tiba-tiba terdengar teriakan disusul pelukan hangat untuk Luli, dari ponakan kesayangan yang baru masuk rumah bersama bapak. Digendongnya Lila, lalu mencium tangan bapak.

"Tadi malam Ante ke mana, kok nggak pulang? Lila cali-cali."

"Tante kan sekarang tinggalnya sama Om Iqbal, Sayang," terang Luli.

"Kok gitu? Nggak boleh. Ante kan lumahnya di sini. Kalo nggak ada Ante Luli, nanti kalo Lila di sini mainnya sama siapa? Huhuhu." Lah, malah nangis.

Iqbal mendekat, menepuk lembut pipi Lila, "Iya, Lila sayang. Sekarang Tante Luli tinggalnya sama Om Iqbal. Tapi kalo Lila di rumah kakek nenek, nanti Tante Luli sama Om Iqbal juga tidur di sini. Jangan nangis ya."

"Benelan? Janji ya, Om?"

"Insya Allah," jawab pengantin baru bersamaan.

Lalu dua perempuan beda generasi itu lanjut bermain-main akrab. Pemandangan yang begitu disukai oleh netra Iqbal Sya'bani. Ia menemukan sorot keibuan nan penuh kasih sayang di mata Luli.

Bapak mengajak Iqbal duduk di teras belakang. Menawari untuk sarapan bersama, yang terpaksa ditolak oleh Iqbal. Ia menjelaskan kalau Luli sudah memasak untuk makan pagi mereka berdua. Bapak memaklumi. Merasa lega sekaligus bangga. Gadis ciliknya yang manja mau berusaha menjalankan peran yang kini diembannya.

"Bapak sama ibu nanti datang ke rumah Bukit Sari nggih. Mbah dan pakde bude kalau masih di sini sekalian ikut." Iqbal menyampaikan undangan.

"Waduh, maaf sekali ya, Nak Iqbal. Bapak sama ibu itu nanti mau ngantar mbah pulang. Pakde bude sudah pulang kemarin malam, tapi mbahnya Luli belum, karena minta diantar kami. Sekalian sama Fikar Nara juga, soalnya Nara belum sempat dikenalkan dengan saudara-saudara di kampung. Jadi ini kesempatan untuk menjelaskan kenapa pernikahan kalian masih harus disembunyikan, sekaligus memperkenalkan Nara.

"Saudara itu pada tanya, kenapa mantu dua kali, selain kesannha dadakan, kok ya semuanya seperti diam-diam dan disembunyikan. Jadi kelihatannya memang harus ada klarifikasi ini, daripada mengundang fitnah.

"Karena sebagai seorang muslim yang baik, menjadi tugas kita untuk menjaga saudara kita agar terjauh dari siksa api neraka. Salah satunya ya menyelamatkan saudaranya dari lisan yang tidak membawa pada kebaikan. Kan begitu to, Nak Iqbal?"

"Nggih, Pak. Leres saestu meniko."
(Ya, Pak. Betul sekali itu.)

"Dan kami mohon maaf sekali nggih, Pak, karena acaranya bersamaan begini. Tapi kalau memang harus ikut, kami ikut saja ndak apa-apa, Pak."

"Ndak usah, Nak Iqbal. Wong kalian berdua juga lega, bisa kapan saja ke kampungnya. Malah bapak ibu bisa ada alasan pulang kampung lagi to." Bapak tertawa.

"Nggih, Pak. InsyaAllah kita agendakan segera."

Jam delapan, Luli dan Iqbal berpamitan, sebab acara di Bukit Sari akan dimulai pukul sembilan.

Bapak, ibu, keluarga Fikar, dan juga Bu Nani pun akan berangkat di jam yang sama dengan acara di rumah orang tua Iqbal.

------

"Neng, kenapa dipanggil Luli? Belum terjawab lho," kata Iqbal mengulang pertanyaan semalam. Mereka dalam perjalanan menuju Bukit Sari.

"Itu panggilan dari mbah, Pak. Waktu kecil kan saya lemot banget, bodoh gitu deh---"

"Neng, jangan ngomong begitu. Aku nggak suka. Kamu nggak lemot, nggak bodoh. Kamu itu cuma ditakdirkan untuk menjadi orang yang pantang menyerah. Kamu istimewa, setidaknya di mataku. Jadi, jangan sekali-sekali merendahkan dirimu sendiri, apalagi di hadapanku. Aku nggak suka."

"Ya tapi kan kenyataannya begitu, Pak."

"Cukup. Lanjutkan aja ceritanya tadi. Kenapa dipanggil Luli?"

"Emm, jadi saya tuh dulu sampe hampir umur tujuh belum bisa bilang R, bilangnya selalu L. Nah, mbah tuh kalo ke rumah selalu nanggap saya, suruh bilang Nurulita. Dan saya selalu bilangnya Nululita. Teruuuss aja tuh disuruh ngulang-ngulang sama mbah. Nurulita, Nululita. Nurulita, Nululita. Rulita, Lulita. Rulita, Lulita. Ruli, Rrruli. Saya tetep bisanya Luli, Llluli. Rrruli, Llluli. Pokoknya Luli aja terus sampe mbah kesel, malah saya diketawain. Kata mbah, 'Oalah, Nduk, Lula Luli wae.' gitu ceritanya, Pak.

"Dan sejak itu saya dipanggil Luli. Sampe udah jelas bilang R juga panggilannya udah kadung melekat, sampe sekarang." Luli cemberut. Ia kesal setiap kali mengingat masa kecilnya yang menurut dia sendiri culun abis.

Iqbal mengakak mendengar cerita Luli. Ia mengusap lembut kepala istrinya.

"Kamu memang udah lucu ya dari kecilnya. I love you, Neng."

"Saya juga sayang sama Pak Iqbal," ucap Luli malu-malu. Diletakkannya tangan kanan ke atas paha suaminya. Iqbal menggenggam jemari Luli mesra. Membawa dan menempelkan ke pipinya sendiri, lalu mengecupi.

"Terus, kenapa sampe sekarang manggil akunya masih pakai 'Pak'?"

"Ehk, y-yaaa kalo itu, emm, duh, gimana ya, Pak, udah kebiasaan sih. Lagian Bapak kan dosen saya."

"Itu kalo di kampus, Sayang. Di luar kampus, aku ini suami kamu. Nggak ada status selain itu. Yang bener aja manggil 'Pak'?! Mulai sekarang ganti panggilan."

"Ehk, y-ya tapi mau manggil apa?"

"Mas?"

"Enggak ah, nanti kaya manggil Mas Fikar dong."

"Ya udah, aku aja yang nentuin. Kamu tinggal belajar dan biasain manggil dengan panggilan itu. Deal?"

"Emm, iya deh. Deal. Tapi jangan yang aneh-aneh macam Yank, Beb, Ay, apalah itu. Geli tau, Pak."

"Oke. Mulai sekarang kamu panggil akunya Kak aja ya. Kak Iqbal, atau Kak Iiq. Deal?"

"Deal, Pak."

"Kok Pak lagi sih, Neeeng?!" Iqbal benar-benar kesal.

"Kak, Neng, Kak! Kak Iqbal! Kak Iiq!"

"Iya iya, K-Kak."

"Nah, gitu. Kalo sampe manggil Pak lagi, kamu aku kasih kuis, setiap hari satu mata kuliah. Close book. Unnegotiable!"

"Dih, katanya kalo di luar kampus statusnya full suami. Kenapa jadi suami rasa dosen gini?"

"Nggak pa-pa lah suami rasa dosen, juga. Yang penting kalo lagi 'itu' kamu lupa kalo aku dosenmu," goda Iqbal. Ia terpingkal-pingkal, gantian Luli yang kesal.

-------

Tiba di rumah Bukit Sari, Iqbal memarkirkan mobilnya di luar, sebab parkiran yang sebegitu luas telah penuh. Rumah abah umi sudah siap menggelar syukuran pernikahan mereka. Meski hanya saudara-saudara dekat saja, tapi suasana ramai tetap saja terasa.

Kehadiran mereka disambut hangat oleh sanak kerabat yang sudah berada di area taman menyambung ke kolam renang, teras luar, dan pantry. Satu dua celetukan bernada usil menyapa telinga mempelai berdua.

"Senyumnya lho, kayanya udah hilang perjaka nih!" ujar sepupu Iqbal dari Bandung. Tanpa basa-basi!!

"Iya tuh, sukses kayanya. Tinggal nunggu hasil. Nggak sampe setaun udah nambah nih daftar penerima THR idul fitri." Kakak iparnya tak mau kalah.

Iqbal tertawa, tak sedetikpun melepas jemari Luli dari genggamannya.

"Udahlah, bebas mau ngeledekin apa aja. Terus-terusin. Puas-puasin. Orang bahagia mah mau diledekin model apa juga nggak ngaruh, malah seneng aku tuh," sahut Iqbal, disambut huuu dari para sepupu.

"Ijin ke kamar dulu ya. Siap-siap."

"Beneran lho siap-siap. Jangan lama doang di kamar tapi nggak siap-siap juga!" Abah yang bersuara.

"Dih, abah. Ngerti aja."

Luli mengikuti Iqbal masuk ke kamarnya. Matanya terbelalak melihat satu sisi tembok yang difungsikan sebagai rak buku. Dari ujung ke ujung, dari atas ke bawah, dipenuhi berbagai macam buku.

Bed yang luasnya tak ada dalam ukuran standar, sofa, kursi baca, sampai meja kerja, semua tertata rapi dan estetis di kamar yang luasnya bisa jadi nyaris empat kali luas kamar Luli.

"Kamu kalo nggak percaya aku masih nyimpan buku-buku dari SD sampai kuliah, nanti kutunjukin deh. Tapi sekarang kita ganti baju dulu ya. 'Itu'nya nanti lagi, nggak enak kan ditungguin yang lain."

"Bapak tuh ya, itu mulu yang dipikirin."

"Oke, keluarkan kertas, alat tulis, dan kalkulator. Aku mau kasih kamu kuis karena manggil aku Pak lagi. Huh." Dicubitnya mulut Luli, gemas.

"Iya, maaf, Kak. Kak Iqbal sayang."

"Duh, jangan ngegodain gitu dong, Neng. Aku tuh nggak kuat kalo kamu bilang sayang sama aku."

"Udah, Kak, udah, nanti kalo gini mah bener kata abah. Lama doang di kamar, tapi nggak siap-siap juga."

Perdebatan usai. Lalu sekali lagi Iqbal memberi kejutan. Tak memberitahu apapun sebelumnya, tapi ia telah menyiapkan dress cantik untuk Luli. Dress biru gelap bergaya kasual, tapi tetap berkesan elegan. Serasi dengan kemeja dan jas semi formal yang dikenakan oleh Iqbal.

Ia pula memanggil tetehnya ke kamar, dan meminta tolong untuk membantu memoles wajah Luli hingga sedikit manglingi.
(manglingi: membuat pangling atau terlihat berbeda dari aslinya)

Acara syukuran keluarga dimulai tepat pukul sembilan. Iqbal membuka dengan membaca ayat suci Al Qur'an, ia sendiri yang meminta bagian ini.

Luli lagi-lagi dibuat meneteskan air mata. Ia berniat meminta suaminya melakukan hal yang sama setiap hari, khusus untuk dirinya.

Abah kakung, begitu Iqbal dan kakak-kakaknya memanggil kakek dari umi, menyambung dengan tausiyahnya. Beliau mengawali dengan cerita tentang masa kecil hingga remaja Iqbal, yang setiap kali datang waktu liburan, selalu menghabiskannya di rumah beliau. Belajar ngaji dan merasakan kehidupan sebagai santri.

Lalu abah kakung melanjutkan dengan rangkaian nasehat berharga untuk cucu bungsu dan cucu mantunya. Tentang pernikahan dan kehidupan berumah tangga.

Surah An Nisaa ayat 34 menjadi tema pagi itu.

Kepada Luli selaku mempelai wanita, sebagai istri, perempuan yang kini bersuami, maka abah kakung menyampaikan padanya.

"Fassholihatu qaanitaatun haafidzaatun. Bahwa perempuan, dalam hal ini istri, yang sholihah adalah yang qaanitaat dan haafidzaat.

"Qaanitaat yaitu taat kepada Allah. Sedang haafidzaat, yaitu yang memelihara atau menjaga kehormatan suaminya, lil ghoib ketika suaminya tidak ada.

"Cucuku, Zulfa. Allah dan Rasul-Nya tak hendak memberatkan peranmu sebagai istri. Cukup dua ini, yang jika kamu jadikan pegangan atau pedoman dalam kehidupan berumah tanggamu, insya Allah ketentraman dan keberkahan akan menyertai rumah tangga kalian."

Lalu kepada Iqbal, abah kakung berpesan, bahwa Arrijaalu qowwamuuna 'alannisaa. laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka yaitu kaum laki-laki, dari sebagian yang lain yaitu perempuan.

"Dalam kehidupan pernikahan, maka suami adalah pemimpin bagi istrinya, sebab derajatnya, kedudukannya telah dilebihkan atas istrinya. Karena apa? Karena mereka telah menafkahkan sebagian hartanya bagi istrinya.

"Iiq, sebagai pemimpin bukan berarti kamu boleh merasa lebih, merasa berkuasa, merasa lebih tinggi daripada istrimu. Sebaliknya, menjadi pemimpin justru membuatmu harus lebih paham dan mengerti bagaimana membawa keluargamu, istri dan anakmu. Juga berkewajiban mendidik, dengan kelembutan dan kasih sayang, agar istrimu tetap berada pada shiraatal mustaqiim, jalan yang lurus. Agar istri dapat menjadi qaanitaat, juga haafidzaat. Jika istri melenceng dari jalan tersebut, maka sebagai suami, engkaulah yang paling patut dipertanyakan bagaimana memimpin dan mendidik istrimu." Iqbal terlihat mengangguk-angguk.

"Tentang memberi sebagian nafkah, memang bukan keharusan bagi seorang istri untuk mengetahui atau menerima setiap hasil keringat suaminya, cukup sebagian sesuai kebutuhan. Namun suami yang baik, tentu tetap terbuka mengenai harta dan kepemilikan. Dan tak menutup mata atas hak istrinya untuk memiliki kebahagiaannya.

"Apa itu kebahagiaan bagi kaum hawa? Yaitu makanan dan perhiasan atau katakanlah harta benda.

"Berikanlah haknya itu, di luar kebutuhan rumah dan keluargamu. Kalau bisa banyak ya syukur Alhamdulillah, kalau tidak banyak ya semampumu. Meski Zulfa tak meminta, ia akan bahagia menerima. Percayalah. Kalau nggak percaya, kamu bisa tanya umimu, atau kakak-kakak perempuanmu Hasna dan Acha, atau umi ibu."

Setiap yang disebut oleh abah kakung, mereka tertawa. Celetukan menyetujui dan membenarkan terdengar dari para kaum hawa. Luli ikut tersenyum. Ia bahagia berada di tengah keluarga Iqbal yang begitu karib satu dengan lainnya.

"Doakan aku ya, Neng, agar bisa jadi pemimpin yang terbaik buat kamu, juga buat anak-anak kita kelak. Soal kebahagiaan buat kamu berupa uang jajan, insyaAllah aman," bisik Iqbal di telinga Luli. Tangannya melingkar mesra di pinggang sang istri. Luli mencubit paha Iqbal pelan, gemas perihal bahasan uang jajan.

Pesan abah kakung berikutnya adalah tentang tujuan berumah tangga, yaitu pada surah Al Furqan ayat 76, At Tahrim ayat 6, serta At Thur ayat 21.

Abah kakung meminta Iqbal membacakan ayat-ayat yang beliau sebutkan. Dan lantunan merdu pun mengalun dari sang pengantin baru.

Abah kakung berpesan, pada ketiga ayat tersebut, terdapat tujuan bagi keluarga muslim. Yang pertama yaitu keluarga yang menjadi qurrota a'yun, penyejuk hati. Juga menjadi muttaqiina 'imaama, pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa. Jika yang dipimpinnya saja adalah orang-orang bertaqwa, tentu saja pemimpinnya harus lebih di atasnya.

Kemudian yang kedua, adalah tugas seorang pemimpin keluarga, untuk menjaga, menjauhkan diri dan keluarganya dari api neraka.

Dan yang ketiga, berbicara tentang penghuni surga. Di mana orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka yang mengikuti dalam keimanan, mereka akan dikumpulkan dalam surganya. Inilah tujuan berumah tangga bagi keluarga muslim, menjaga keimanan, agar kelak dikumpulkan bersama keturunannya di jannah-Nya.

Masya Allah. Luli benar-benar terharu. Bahagianya meletup-letup tak terkira. Banyak pelajaran ia dapatkan dari nasehat singkat abah kakung, yang kini adalah kakeknya juga.

Terakhir, beliau menutupnya dengan sebuah pesan untuk Iqbal, "Kalian yang antar abah sama umi ibu ke Pemalang ya."

Tentu saja Iqbal tanpa ragu mengiyakan.

--------

Ba'da zuhur, HRV putih meluncur ke kota kelahiran umi Iqbal. Berempat duduk di dalamnya. Abah kakung di sebelah Iqbal yang memegang kemudi. Umi ibu di belakang bersama cucu mantunya. Seperti uminya Iqbal, umi ibu pun berkali menggenggam jemari Luli dengan sayang.

Banyak nasehat disampaikan oleh abah kakung. Itulah kenapa beliau meminta Iqbal dan Luli yang mengantarnya. Abah seorang kyai kampung, punya pesantren kecil untuk belajar Al Quran dan kitab. Dulu santri membayar semampunya, tapi sekarang semua kebutuhan pesantren telah diambil alih oleh abahnya Iqbal. Tak ada lagi santri yang boleh membayar, asalkan serius dan berazzam dalam belajar.

Abah kakung dan umi ibu kembali bercerita, tentang masa kecil Iqbal. Diantara cucu-cucunya yang tinggal di luar kota, Iqbal lah yang paling dekat dengan mereka. Itu karena setiap liburan sekolah ia memilih untuk menjadi santri kilat di pesantren kakeknya. Menolak diperlakukan istimewa, padahal memiliki kemampuan yang lebih dari lainnya.

Satu hal yang sampai sekarang masih beliau berdua sayangkan. Kecintaan Iqbal pada musik yang belum juga hilang, meski sudah sedikit berkurang.

"Kalau boleh memilih cucu kesayangan, Iiq pasti jadi pilihan paling atas, Nduk Zulfa." Umi ibu berpendapat.

"Iiq itu sampai kuliah sarjana masih selalu pulang kampung dan nyantri saat liburan, Nduk. Baru pas sudah sarjana, terus kuliah S2, dia mulai jarang melakukan itu. Mulai sibuk cari duit. Apalagi pas sudah jadi dosen, liburan malah makin sibuk kelihatannya."

"Insya Allah besok dikembalikan lagi kebiasaannya nggih, Mi, Kung. Biar Kak Iiq sering pulang kampung. Saya ikut. Saya juga suka banget dengar Kak Iiq ngaji. Adem."

"Naaah, kui, Iq, dirungokke karepe bojomu."
(Nah, itu, Iq, didengarkan maunya istrimu.)

"Harus yang banyak syukurmu, Iq. Kalau kebanyakan perempuan sukanya diajak jalan-jalan, Nduk Zulfa malah mintanya diajak ngaji. Kalau kebanyakan istri senang dinyanyi-nyanyikan, istrimu malah suka dengar kamu ngaji. Masya Allah."

"Nggih, Kung, Bu. Insya Allah. Pokoknya nyonya seneng, Iiq juga seneng. Lagian waktu itu kan Iiq memang ingin nabung, biar bisa beli rumah dan beli emas dengan hasil keringat Iiq sendiri, buat mas kawin kalau nikah nanti. Gitu, Kung. Alhamdulillah sudah terlaksana. Insya Allah besok-besok nggak ngoyo lagi, Kung. Secukupnya saja."

"Tenan lho ya (Beneran lho ya). Niat baik itu ya sebisa mungkin diwujudkan. Wong usahamu juga udah pada jalan, istrimu yo nerima kami apa adanya. Kakung sama umi ibu juga jelas punya kepentingan, sopo to sing gak seneng diparani putune amben wayah? (siapa sih yang nggak suka dikunjungi cucunya setiap saat)."

"Siap, Kung. Mangke diagendakan supados sering-sering sowan wonten Pemalang."
(Siap, Kung. Nanti diagendakan supaya sering berkunjung ke Pemalang).

"Yang penting jangan pernah lupa, nek jare kanjeng Sunan Kalijaga, urip iku urup (kalau kata Kanjeng Sunan Kalijaga, hidup itu menyala/menerangi). Hidupmu harus menerangi sekelilingmu, memberi makna, memberi manfaat untuk sekelilingmu.

"Apalagi sekarang sudah berdua, kalau satu urup yang lain juga urup, maka luas jangkauan yang bisa kalian terangi itu seharusnya lebih banyak lagi. Yang bisa merasakan manfaat dari keberadaan kalian itu lebih banyak pihak.

"Di sisi lain, saat salah satu redup, yang lain bisa tetap meng-urupi. Sehingga pengurupan kalian pada yang butuh diurupi itu tidak padam, tidak hilang. Ngono yo (Gitu ya)."

"Nggih, Kung. Terima kasih semua nasehat-nasehatnya. Insya Allah Iiq sama Zulfa nanti sering-sering sowan ke sini. Masih banyak yang harus dipelajari."

Mereka berdua tak lama di rumah abah kakung. Hanya sekira satu jam. Lepas asar mereka pamit pulang. Luli masih punya tugas kuliah yang belum terselesaikan.

-------

Jalur tol membuat perjalanan tak butuh waktu lebih lama. Sebelum jam lima sore, mereka telah keluar dari gerbang tol Tembalang.

"Ngafe dulu yuk, Neng. Ada yang coklatnya enak banget di Ngesrep. Zulfikar yang ngasih tau, ownernya mahasiswanya bapak, dulu anak komunikasi. Tapi memang beneran enak sih. Pernah kutanya, kata dia coklatnya tuh nggak cuma pake yang bubuk, tapi di-mix juga sama coklat batangan yang branded gitu."

"Kenapa nggak diajak kerjasama buat kafe Kak Iiq?"

"Kafe kita, Sayang."

"Hemm."

"Udah pernah kuajak kerjasama, tapi dia belum bersedia. Aku tawarin bagi hasil, belum mau. Aku tawarin semacam royalti, jadi kalau ada yang pilih menu coklatnya dia, dia dapat sekian persen dari harga, atau sekian ribu gitu kalo pake nominal. Tapi belum mau juga.

"Anak-anak bagian kitchen kubelikan satu-satu, kusuruh nyoba buat dirasain terus bikin sendiri yang rasanya begitu, tapi nggak pernah dapat yang pas. Padahal nggak sekali dua kali lho aku beliinnya. Yowis, itung-itung nyenengin mereka.

"Kalo dipikir-pikir, aku ke dia tuh udah kaya plankton ngejar-ngejar resep krabby patty gitu, Neng." Luli terbahak. Lalu mencuri cium pada Iqbal.

"Ehk, k-kamu---"

"Yaelah, Kak. Baru digituin udah gagap. Gimana kalo lebih dari itu?"

"Kita langsung pulang aja ya, Neng?" Iqbal berubah pikiran. Lebih kepada nggak tahan. Eh!

"Enak aja. Enggak mau. Pokoknya nyoklat dulu. Percuma dong pamer-pamer kalo terus dibatalin."

"Ntar nyesel lho!" Mempelai pria masih coba menawar.

"Nggak lah, ngapain juga nyesel?!"

Dan sekarang, berdua telah duduk di salah satu sudut kafe yang dimaksud.

Baru satu dua seruput coklat panas. Baru satu dua kalimat pula yang diumbar Luli untuk mengungkapkan rasa nikmat. Tiba-tiba wajah Iqbal berubah sedikit redup.

Seorang perempuan cantik yang masih ia ingat dengan baik baru saja melewati pintu kafe. Mantannya.

"Astaghfirullah hal adziim. Blaik!!"

***

Masih tentang mantan nih. Semoga kalian nggak bosan yaaa. Haha...

Alhamdulillah, setelah sekian hari, akhirnya bisa menyapa teman-teman lagi. Maafkan kalau lama, dari Selasa sampai Ahad kemarin itu, aku nggak sempet nulis banyak. Kegiatannya mayan padat, sehingga ide juga tersendat. Halah...

Sebenernya cuma nemenin suami aja. Tapi justru kalau dekat-dekat si bapak tuh, pegang hape jadi gak maksimal, karena mesti banyak diajakin mikir.

Nah kan, malah jadi curhat.

Ya sudah, pokoknya gitu. Yang penting Luli Iqbal sudah kembali menyapa yaaa.

Maafkan jika ada salah-salah kata, salah-salah nulis. Juga kalau part ini kurang maksimal alias gak jelas.
*biasanya juga gimana, wkwkwk

Tak lupa kuucapkan terima kasih untuk teman-teman semua.

Sampai jumpa.
❤❤❤

Semarang, 31082020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top