Part 16.3.
Ternyata, cinta lama belum kelar itu memang menyakitkan. Nggak cuma untuk yang bersangkutan, tapi juga yang ada di sekelilingnya.
-------
Notes:
* Ssst, ada adegan 18+
* 3,8K+ words dan banyak dialog. Bosen gak tanggung jawab yess.
* Siapin tisu, biar kalo nangis sampe keluar ingus kagak bikin malu
Enjoy reading.
***
"Pak, please, jangan saru deh!"
"Nggak, nggak. Aku cuma becanda kok. Ayo ikut aku."
"Ke mana?"
"Ke kamar."
"Ih, mau ngapain?"
"Mau nyuci piring, Sayang." Cubitan Luli mampir lagi ke pinggang Iqbal.
"Nggak serius kaaan. Nyebelin. Kita pulang ke rumah bapak ibu aja ya, Pak. Please. Kan belum ijin juga kalo mau tidur sini."
"Apa sih, Sayang? Rumahmu kan sekarang di sini. Bapak ibu udah ngerti lah kita di mana. Nanti aku ijin juga deh."
"Tapi saya kan nggak bawa baj---"
"Hih, bawel ya ternyata." Ditariknya mulut Luli. Gemas. Lalu tanpa persetujuan, sekali lagi Iqbal menggendong Luli menuju ke kamar.
"Pak, jangan maksa deh. Turunin!" teriak Luli, dengan nada manja.
Iqbal makin gemas, menurunkan Luli di atas tempat tidur, lalu menguncinya dengan pelukan dan ciuman, yang ditolak Luli mati-matian.
"Kenapa, Neng? Kamu nggak suka?"
"Ehk, emm, anu, emm, s-saya b-belum s-siap, Pak. Maaf."
"Oke. Aku yang minta maaf. Kita bersih-bersih dan ganti baju dulu ya."
Iqbal beranjak menuju lemari, "Yang ini lemari kamu ya, Neng. Kamu nggak usah kuatir. Aku udah minta tolong Teh Acha untuk ngisi lemari ini dengan keperluan kamu. Baju tidur, baju rumah, semua ready. But sorry, baju rumahannya ikut seleraku ya."
Luli tercengang. Antara terharu atas perhatian Iqbal, dan menebak-nebak seperti apa selera baju rumahan ala suaminya.
"Duh, jangan-jangan suruh pake baju kurang bahan nih. Amit-amit, jangan sampe deh. Jijik banget."
"Kamu nggak suka?"
"Ehk, ng-enggak. S-saya cuma terharu aja. Kok bapak baik banget sama saya." Luli bangkit, berjalan dan berhenti tepat di depan lemari.
"Kamu istriku, Neng. Aku memang nggak bisa memperbaiki apa yang sudah lalu. Tapi untuk saat sekarang dan masa depanku, aku mau berusaha untuk memberikan yang terbaik dan membahagiakan kamu.
"Maafkan aku ya, Cantik." Ditepuknya lembut pipi kanan Luli.
"Tuh, gombal banget kan. Saya tuh nggak cantik, Pak."
"Tapi cuma kamu yang halal buat aku, jadi ya kamu tetep yang paling cantik buat aku.
"Sekarang bukalah lemarimu. Cek sendiri isinya. Semoga kamu suka ya. Sengaja kusiapin, biar nggak usah mindahin baju yang di rumah bapak ibu, kan kita masih akan sering di sana. Insya Allah."
Dengan gemetaran dan penasaran, Luli membuka lemari. Yang pertama menyapa pandangannya adalah sebuket bunga. Lagi-lagi sebuah tag menjulur dari ikatannya. Diambil dan dibacanya. Rasanya ingin menangis saat itu juga.
"Eit, tunggu dulu, Lul. Cek dulu selera bajunya Pak Iqbal!"
Maka Luli pun menarik satu lipatan baju di tumpukan paling atas. Dan betapa leganya dia begitu sehelai t-shirt dress katun tertangkap retinanya. Bayangannya akan baju kurang bahan sepanjang paha, dengan bahu bertali ramping yang mengekspos bagian atas tubuhnya, seketika menghilang. Ia langsung menangis memeluk suaminya.
"Terima kasih ya, Pak. Saya nggak tau lagi mesti ngomong apa. It's really really more than my expectation. Saya sayang sama Pak Iqbal. Sayang banget. Huhuhu." Dilepasnya peluk, lalu menatap mata Iqbal sambil terisak-isak bicara.
Tak menyangka akan respon yang diterima, jantung Iqbal jadi berpacu sekian kali lebih cepat. Luli memeluknya, lalu mengucapkan sesuatu yang ingin didengarnya sesering mungkin. Dan semuanya dilakukan dengan sadar. Bukan karena marah atau kesal.
Iqbal mengeratkan peluknya. Menghirup aroma strawberry dari rambut ikal Luli yang membuatnya makin jatuh hati.
"Kenapa nangis?" tanya Iqbal setelah isak Luli mereda.
"Saya nggak nyangka Bapak semanis dan seromantis ini. Bahkan sampai urusan baju saya pun Bapak pikirkan. Dan nggak seperti yang saya kuatirkan."
"Memangnya apa sih yang kamu kuatirin? Saya suruh pakai baju yang seksi-seksi gitu? Hahaha, kamu ini memang bikin gemes deh." Untuk kesekian kali hidung Luli jadi sasaran kegemasan sang suami.
"Enggak, Neng. Aku juga nggak gitu suka lihat kamu pakai baju kaya begitu. Menurutku, kamu akan lebih seksi dan lucu pakai t-shirt dress gini, trus rambut ikalmu itu diikat seadanya. Aku pasti betah banget di rumah, pengennya peluk-peluk terus."
"Aish, ngomong apa sih suamik nih. Bikin perutku geli berkali-kali. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, sudah kasih seseorang sebaik Pak Iqbal buat saya." Luli memeluk dosennya lagi. Menghirup dalam-dalam aroma segar khas pria, yang seharian ini menemani kemanapun ia pergi.
"Saya sayang sama Pak Iqbal. Sayang banget. Sayang banget banget banget bangeeett!" Kalimat yang disukai Iqbal kembali Luli ulangi.
"Alhamdulillah. Terima kasih ya, Neng. I'm so happy."
Mereka beradu pandang, berlanjut dengan adu cium tiga detik berikutnya. Kali ini tak sampai sesak napas, meski entah hingga berapa lama mereka tak juga saling melepas.
Suasana lambat laun makin panas. Iqbal membawa Luli mendekat ke bed bercover putih bersih. Mereka masih saling melekat, hanya helai demi helai di tubuh Luli yang satu per satu tak lagi melekat. Meski tak pernah belajar dari manapun sebelumnya, insting menuntun Iqbal melakukannya dengan cekat.
Terakhir, ia terpaksa melepas bibir Luli. Hanya sesaat. Dan kembali melekat hangat usai melepas dan melempar polo shirtnya asal saja.
Tak ada penolakan dari Luli, ia lupa diri. Terbawa permainan Iqbal yang melenakan serta memabukkan. Bed berukuran king size itupun menjadi ajang bagi mereka bergulingan. Ditingkahi suara-suara unik yang saling bersahutan.
Dan malam itu, bilik mereka pun menjelma menjadi taman surga.
Iqbal laksana kolibri yang telah memilih bunganya usai terbang tinggi. Menancapkan paruh dan mengisap kuat nektarnya. Mencecap manis dari setiap tetes madunya.
Pun sang bunga, sesekali berayun dan melenting, menahan beban pada tangkainya yang ramping. Ia diam menerima. Membiarkan sang kolibri menikmati setiap sarinya.
Bagai simbiosis mutualisme, yang menjadi bagian dari keberlangsungan generasi, untuk melanjutkan perannya di muka bumi.
Pukul sebelas lewat sudah. Lebih satu jam pula mereka larut dalam indahnya taman surga. Hingga terdengar Luli mengerang, mencengkeram kuat bahu Iqbal yang memejam tegang. Berdua melayang, mengawang. Lalu, taman surga pun melengang. Sunyi. Senyap. Tenang.
Mereka rebah. Terengah. Basah. Dan gerah. Desah pun usai sudah. Namun tak ada lelah. Hanya bahagia yang membuncah. Melimpah. Tumpah ruah.
Berdua lega. Malam yang dinanti setiap mempelai telah terlalui dengan sempurna. Tak merencanakan apapun, tapi karunia yang mereka terima sungguh luar biasa. Iqbal bahagia, Luli pun tak berbeda.
Iqbal membawa Luli tidur berbantal lengannya. Menghidu dalam-dalam wangi strawberry rambut Luli, yang kini menjadi aktivitas paling dia sukai.
"Terima kasih, Sayang. I love you," ucap Iqbal manakala mata mereka saling bertemu. Ditariknya selimut sampai sebatas dada istrinya.
Luli tak menjawab. Hanya menutup mata, mengerucutkan mulutnya, lalu menarik selimut lebih ke atas sampai menutupi wajahnya. Malu.
"Rasanya aneh tau, Pak." Dari dalam selimut terdengar suara.
"Kenapa gitu?"
"Pas udah selesai, trus lihat Bapak tuh jadi geli sendiri. Ya Allah, masa iya aku ginian sama dosenku sendiri. Hih." Luli mengedik.
"Pas lagi proses lupa kalo aku dosenmu?"
Iqbal tergelak. Gemasnya tak lagi terelak. Ia bahagia, sungguh teramat bahagia. Hidupnya lengkap sudah. Tinggal menanti suara-suara bocah meramaikan isi rumah. Halah!
"Neng, maaf ya."
"Untuk apa?" Masih dari dalam selimut.
"Kamu sakit nggak?"
"Emm, sedikit."
"Nggak pa-pa kan kalo nanti kamu hamil?" Iqbal mengelus perut Luli yang rata. Sengaja menyenggol sedikit di bagian dada. Luli mendesis lagi. Satu cubitan ia hadiahkan untuk suaminya, yang disambut dengan tawa.
"Nggak pa-pa. Kan ada bapaknya yang dosen."
"Terus, apa hubungannya?
"Ya biar urusan kuliah ibunya diurus bapaknya nanti." Tawa Iqbal makin menjadi mendengar jawaban sang istri.
"Neng."
"Hemm?" Tetap di dalam selimut.
"Habis ini jadi mau lanjutin cerita, apa mau tidur? Eh, apa malah mau lanjutin babak kedua?"
"Beneran ya, Pak Iqbal tuh memang ngeselin. Saya mau mandi ajalah, biar adem, nggak emosi ngadepin suami yang pikirannya ke situ terus." Luli kesal mendengar pertanyaan yang terakhir. Belum hilang juga cenat cenutnya, ini udah bahas babak kedua aja.
"Aku mandiin boleh?" goda Iqbal.
Lantas menyusul masuk ke dalam selimut. Membenamkan wajahnya ke dada sang istri. Luli tersentak. Kaget sekaligus geli. Didorongnya kuat-kuat dan mendaratkan cubitan bertubi-tubi di badan Iqbal.
"Aduh, aduh. Udah, Neng. Geli. Ampun," pekik Iqbal
"Rasain! Genit sih!"
Berbalut selimut, Luli beranjak ke kamar mandi. Iqbal ikut turun dari bed, memunguti helai demi helai yang bertebaran di lantai. Kemudian menyusul Luli ke kamar mandi.
"Keluar. Bapak kan bisa mandi di kamar mandi luar. Nggak usah genit deh. Malesin." Iqbal tertawa. Memenuhi kemauan sang istri.
-------
Usai membersihkan diri, Luli menyusul sang suami dan menemukannya di dapur. Meski belum sempat room tour, tapi Luli sudah pernah ke sana saat Iqbal sakit malam itu. Dapurnya sangat nyaman dan bersih, membuat Luli betah berlama-lama.
"Makasih ya, Neng. I love you, body and soul," sambut Iqbal tanpa bisa menyembunyikan binar-binar penuh arti di kedua netra.
"Apa deh? Nggak jelas! Lihatinnya nggak usah gitu juga kali." Luli mencibir. Berusaha menyamarkan rasa malu, yang sama kuat dengan rasa terbang melayang saat di atas ranjang.
"Boleh peluk?"
"Nggak mau ah. Saya mau nagih cerita aja."
"Oke. Kamu bikinin aku kopi ya, habis itu kita ngobrol lagi."
Iqbal menunjukkan denah dan isi kitchen set. Juga kulkas yang telah dipenuhi oleh bahan makanan, sayuran, buah-buahan, dan cemilan. Tak ketinggalan jus buah dan susu UHT yang berderet mengisi bagian dalam pada pintu kulkas.
"Masya Allah, lengkap banget. Sayangnya saya nggak bisa masak, Pak. Maaf ya."
"Nggak masalah, kamu nanti bisa belajar. Sekarang ini aku banyakin makanan siap sajinya. Frozen food, mi instan, telur, yang gampang-gampang dulu lah. Yang penting kamu enjoy dulu ngedapur."
"Dapur bagus gini gimana nggak enjoy, Pak."
"Apalagi kalo masaknya sambil aku peluk-peluk dari belakang ya?"
"Tuh kan, ke situ lagi."
"Hehe, namanya juga suami istri, Neng. Pengantin baru pula."
"Halah, dasarnya bapak aja yang genit!" Ngeyel.
"Hahaha. Iya, genit kalo sama kamu aja. Oh iya, Neng, tentang masakan kesukaanku, kamu bisa tanya ke umi ya. Belajar masak sekalian sama umi, beliau pasti seneng banget."
"Iya, Pak. Insya Allah. By the way, ini racikan kopinya terserah saya apa Bapak punya kesukaan dan cara bikin sendiri?"
Luli mulai menyiapkan cangkir dan cawan. Mencari di mana tin berisi kopi, gula, dan semacamnya. Sementara Iqbal dengan terampil membuat roti tawar.
"Terserah kamu. Aku pengen tau dulu kopi bikinan kamu kaya apa."
"Emm, kasih gula nggak, Pak? Berapa sendok?"
"Terserah. Kan aku lagi ngetes kamu, masa kamu malah nanya ke aku sih."
Luli menuang dua sendok kecil gula. Di sampingnya, Iqbal membuat secangkir coklat panas. Sedikit susu ia tuang ke dalamnya. Aroma khas dari olahan buah kakao merebak sepenjuru dapur. Luli menghirupnya dalam-dalam. Ia ingat Zulfikar, si pecinta coklat panas.
"Kalo bau coklat gini jadi ingat Mas Fikar deh." Iqbal tersenyum, mengecup lembut pucuk kepala Luli.
"Sekarang udah ada Mas Iqbal, yang mencintaimu tak kalah dari Zulfikar."
"Ehk, Mas Iqbal ya?! Hihihi, aneh banget rasanya, manggil dosen kok Mas. Geli!"
"Ya udah, kita ke ruang tengah yuk. Kamu yang bawa ini ya, Neng."
Diambilnya dua tangkup roti tawar yang baru keluar dari toaster. Menaruh di atas nampan bersama dua cangkir berisi coklat susu dan kopi. Lantas menyerahkan pada Luli untuk menemani kegiatan mereka berikutnya.
Malam beranjak meninggalkan pertengahannya. Di atas karpet, sejoli itu duduk menyandar pada sebuah sofa besar. Separuh coklat susu telah berpindah ke lambung Luli, sedang kopi hitam Iqbal belum sedikit pun tersentuh.
Iqbal berkali menghela napas. Luli tak tahu kenapa. Sampai suaminya meraih dia ke pelukan, membaui dalam-dalam wangi yang menguar dari rambut ikalnya. Ia tersadar, lelakinya seakan sedang menghimpun ketenangan.
Iqbal menarik napas sekali lagi. Lebih panjang dari sebelumnya. Dua detik kemudian ia mulai bicara.
"Neng, menurut kamu, abah sama umi tu gimana?"
"Kenapa nanya begitu?"
"Karena sekarang beliau berdua udah jadi orang tua kamu juga."
"Emm, abah sama umi tuh baik. Baik banget. Lucu juga, dua-duanya. Couple goals banget lah pokoknya."
"Kamu percaya nggak kalo umi tuh bukan pernikahan pertama dan satu-satunya buat abah."
"Ehk. Uhuk uhuk uhuk." Luli auto keselek. Bayangan akan sesuatu yang tak populis di kalangan kaumnya memenuhi kepala.
"Gak usah ngebayangin yang enggak-enggak, Neng. Ini bukan penyakit keturunan juga kok." Seperti tahu apa yang dipikirkan istrinya.
Iqbal tertawa. Mengacak gemas rambut Luli. Lalu bersiap melanjutkan bicaranya begitu Luli mereda batuk-batuknya.
"Waktu nikah sama umi, abah itu statusnya duda, Neng." Rona keterkejutan kembali tergaris jelas di wajah Luli.
"Jadi dulu waktu baru lulus kuliah, abah nikah dengan teman seangkatannya tapi beda kampus."
"Unpad?"
"Iya. Anak Geologi."
"Terus? Meninggal?"
"Bukan. Abah bercerai sama ibu."
"Ibu?"
"Ya. Kami, anak-anak abah, memanggilnya ibu."
"Abah sama ibu nggak pernah pacaran, Neng. Abah bilang dia suka ibu dari sejak tahun ketiga kuliah. Love at firstsight. Tapi ya udah, cuma disimpan aja dalam hati, nggak ada usaha apapun, bahkan sekadar buat menemuinya. Abah kenal ibu dari temannya. Kata abah, ibu dulunya mahasiswa pintar. Mungkin seperti aku." Iqbal tertawa kecil pada candaannya sendiri.
"Begitu sama-sama lulus, abah beranikan diri melamar ibu. Eh, diterima. Bener-bener cuma modal sama-sama suka doang itu berdua nikah. Saling percaya saling menerima gitulah. Padahal satu sama lain belum saling kenal lebih jauh.
"Keluarga ibu orang biasa, Neng. Keluarga abah bisa dibilang orang berkecukupan, bahkan lebih."
"Bilang aja orang kaya, susah amat deh, Pak," sela Luli asal.
"Haha, iya. Terserah nyonya aja, yang penting nyonya bahagia," ujar Iqbal, disusul satu kecupan di kening Luli.
"Baru beberapa bulan awal, mulai banyak tuntutan dari pihak ibu. Pihak ibu ya, bukan ibunya. Ibu sendiri sih orangnya baik, dia menerima abah apa adanya."
"Itu versinya abah kah, Pak?"
"Soal ibu yang orangnya baik?" Luli mengangguk.
"No. Bukan versi abah. Ibu memang baik, Neng. Kami, anak-anak abah, semua kenal ibu."
"Umi?"
"Apalagi umi, Neng. Udah menganggap ibu itu kakaknya sendiri."
"Tahun kedua pernikahan, makin parah dan mengganggu. Bukan cuma abah, keluarga abah ikut terganggu. Ibu sadar tentang itu. Ibu tau abah punya cita-cita besar, dan kondisi keluarga ibu yang merongrong bisa menghambat mimpi-mimpi abah. Maka, ibu meminta abah untuk melepasnya."
"Abah mau?"
"Terpaksa. Karena ibu yang meminta. Keluarga abah juga menyetujui sih, kalau tak bisa dibilang memaksa. Cuma abah aja yang sebenarnya belum ikhlas."
"Terus?"
"Abah patah hati, Neng. Sama ibu, juga sama keluarga abah sendiri, karena yang membuat abah akhirnya memutuskan untuk berpisah ya desakan keluarga. Terus abah berniat pergi dari Bandung. Qodarullah, ketemu sama kakaknya umi yang juga temen jaman kuliah abah. Mereka sahabatan waktu kuliah. Lihat abah melow gitu, pakde ngajakin abah rehat di kampung halamannya pakde. Iya, di rumah abah kakung, rumah umi."
"Terus kenalan sama umi?"
"Iya. Sama pakde malah suruh nikahin umi aja sekalian."
"Umi mau? Jadi pelarian dong?"
"Hehe, iya. Umi mau. Dan umi sudah tau ceritanya tentang abah sama ibu."
"Kenapa umi mau? Kalo saya mah ogah. Dudanya sih mungkin nggak terlalu mengganggu, tapi kan pelariannya."
"Umi bukan kamu, Neng. Dan kamu bukan umi. Umi mau, karena abah kakung dan umi ibu bilang iya. Ngedukung apa kata pakde. Kata abah kakung, abah itu orang baik, memuliakan perempuan, pekerja keras, dan dia punya mimpi besar untuk masa depannya. Entah deh, abah kakung bisa bilang begitu berdasarkan apa.
"Setelah nikah, abah ngajakin umi tinggal di Semarang. Dan merintis karir mulai dari nol. Tinggal di rumah petak, nyari kerjaan lagi, dan sebagainya. Sampai jadi seperti sekarang ini.
"Kamu tau nggak, umi nikah sama abah itu umur berapa?" Luli menggeleng.
"Belum genap 20 tahun, Neng. Umi baru lulus sekolah setingkat SMA. Ngabdinya ngajar di pondok abah kakung."
"20 taun?!"
"Kenapa kaget? Asya juga nikah umur segitu kan? Dapet duda. Malah bawa anak pula."
"Tapi kan beda cerita, Pak. Mas Fikar nggak ada mantan istri di depan mata. Nikah juga karena Lila, bukan karena pelarian."
"Memang takdirnya harus begitu, Neng."
"Umi kuat ya, Pak."
"Bukan cuma kuat, Neng. Nggak tau deh, hatinya umi tuh terbuat dari apa."
"Kok Bapak ngomong gitu sih?"
"Waktu abah udah mapan, Neng, entah gimana ceritanya abah ketemu lagi sama ibu. Abah jujur sih sama umi, terus umi dan ibu saling kenalan. Dan abah minta ijin sama umi buat ngasih nafkah juga ke ibu."
"Hah?!" Luli kaget. Teramat sangat kaget. Ekspresinya tak bisa berbohong.
"CLBK, Neng. Cinta lama belum kelar." Iqbal tertawa, sumbang.
"Terus? Emm, umi...? " Tak sanggup melanjutkan pertanyaannya.
"Umi mengiyakan. Mengijinkan."
"Umi meng..., ya Allah, Pak."
Air mata Luli meluncur begitu saja. Terbayang wajah kedua mertua yang sudah mengikat hatinya dengan kasih sayang. Ah, Luli memang cengeng.
"Umi bahkan pernah nyuruh abah nikahin ibu lagi, Neng. Tapi abah nggak mau. Abah tau, berhubungan lagi dengan ibu aja pasti udah menyakiti hati umi, apalagi harus berbagi. Abah cuma minta diijinkan berbagi rizki aja."
Dihapusnya air mata dari kedua pipi Luli.
"Kamu pasti pengen tau, kenapa kami, anak-anak abah, semua kenal baik dan hormat sama ibu kan?" Luli mengangguk.
"Ibu nggak pernah dan nggak mau menikah lagi. Sebab itu juga, ibu dijauhi keluarganya karena nggak mau disuruh nikah sama orang berduit, gitu-gitu lah, Neng. Terus ibu hidup sendiri, sampai kemudian ketemu abah lagi, dan abah minta ijin umi untuk menafkahi ibu. Begitu awalnya.
"Ibu itu sakit, Neng. Pejuang kanker. Makanya umi suruh abah nikahin ibu lagi. Tapi abah dan ibu sama-sama nggak mau. Ibu bahkan meminta abah, umi, dan kami untuk pergi dari hidup ibu. Tapi gantian umi yang nggak mau."
Luli melongo.
"Aku yang terakhir tau. Kakak-kakakku udah tau sebelumnya. Ya mungkin dikasih taunya juga pas umur-umuran sama dengan aku waktu itu. Sebelumnya kukira ibu cuma saudara jauh. Baru saat lulus SMA itu aku diceritain yang sebenarnya. Mungkin udah dianggap dewasa, bisa lebih lapang dada menerima sebuah lubang di keluarga kami yang bahagia.
"Tapi kami semua hormat kok sama ibu. Kata umi kami harus sayang sama ibu, karena ibu adalah orang yang masih bertahan mencintai abah, tanpa memaksakan apapun. Selalu mendoakan kebahagiaan abah, yang itu berarti kebahagiaan kami juga.
"Kami dulu sering nengokin ibu, Neng. Kami semua menganggap ibu ya ibu kami. Umi yang minta seperti itu."
Iqbal berhenti, menguatkan hati. Ia mengambil napas panjang, lalu menyeruput kopinya.
"Neng, besok lagi kalo bikinin aku kopi, nggak perlu dikasih gula ya."
"Bapak suka yang pait ya?"
"Bukan sih, tapi karena sekarang udah ada kamu. Kalo dikasih gula, ditambah lihatin kamu pas minumnya, aku bisa diabetes."
"Gombalnya keluar deeehh."
"Hehe, ngegombalin istri tuh berpahala kali, Neng." Rambut Luli diacak lagi. Cerita sedihnya terjeda, hatinya sedikit gembira.
"Emm, t-terus, ceritanya tadi g-gimana?" Hati-hati Luli bertanya. Takut Iqbal tak berkenan.
"Cieee, Nyonya Iqbal Sya'bani kepo nih yeee." Untuk kesekian kali, badan Iqbal kena cubit oleh tangan Luli.
"Ibu meninggal tujuh tahun lalu, Neng. Waktu itu aku umur 21 ke 22. Teh Acha udah nikah dan udah tinggal di Bandung. Dia malah yang paling sering ngurus ibu setahun terakhir sampai ibu meninggal.
"Kamu tau, Neng? Untuk kedua kali dalam hidupnya, abah patah hati. Ternyata cinta lama belum kelar itu memang menyakitkan. Nggak cuma untuk yang bersangkutan, tapi juga yang ada di sekelilingnya.
"Abah banyak diam, Neng. Umi juga. Mungkin saat itu umi juga patah hati. Patah hati karena ternyata ibu masih ada di hati abah. Bukan cuma ada malah, tapi jelas-jelas masih melekat, membekas keras di hati abah yang paling dalam. Entah, mungkin melebihi rasanya pada umi. Aku nggak tau, dan nggak ingin tau. Lebih ke enggak siap untuk tau sih.
"Nggak tau juga deh gimana sakitnya perasaan umi. Kadang aku tanya keadaan umi, umi bilang baik-baik saja. Nyuruh aku nanya ke abah gimana keadaannya, apa yang dibutuhkan, bahkan ada pertanyaan 'apakah umi masih diperlukan?'.
"Entah, mungkin aku yang waktu itu kurang peka, nggak paham kalo umi mungkin sedang melempar kode agar aku ngomong sesuatu sama abah. Atau mungkin aku sendiri patah hati, dalam kapasitasku sebagai anak yang masih tinggal serumah dengan abah umi. Entahlah.
"Sempat yang kaya hidup serumah tapi punya dunia sendiri-sendiri gitu, Neng. Aku bingung tau, Neng. Tinggal aku yang di rumah, kakak-kakakku udah nikah dan keluar semua. Mau curhat, aku bingung harus ngomong gimana, mulai dari mana. Ah, pokoknya galau deh. Waktu itu aku lagi ngerjain skripsi. Untung kelar dengan baik. Karena memang pelarianku akhirnya ya ke TA. Sakit banget rasanya."
Dosen kesayangan teknik sipil itu mendongak, menatap langit-langit. Luli tahu, sejatinya sang suami sedang memerintahkan matanya untuk tak menggenang, apalagi mengalirkan bulir-bulirnya.
Luli beralih duduk di sofa besar. Menarik Iqbal bersandar padanya. Mengalungkan tangan pada leher suaminya, dan menciumi rambutnya.
Iqbal mengecupi tangan Luli dengan mata basah. Bayangan peristiwa tujuh tahun lalu berkelebat di benaknya.
"Maaf ya, Neng."
"Kok minta maaf?"
"Semenjak itu, aku takut, Neng. Aku takut kalo nikah tanpa kenal calon istriku, terutama keluarganya. Aku takut kejadian seperti abah. Aku takut kalau yang kukira semua baik-baik saja, tapi ternyata aku menyakiti hati istriku. Aku takut.
"Aku selalu sedih setiap kali ingat diamnya umi waktu itu. Sakit, Neng. Sakit banget.
"Maka aku minta maaf sama kamu, Neng."
"Tapi maaf untuk apa?"
"Karena sejak itu pula, aku yang tadinya nggak pernah mikir pacaran, jadi merasa harus. Harus lho, Neng. Aku merasa, cuma itu cara agar aku bisa lebih dulu mengenal jauh tentang seseorang yang akan menghabiskan hidupnya bersamaku.
"Sama sekali nggak terlintas di pikiranku, kalau itu justru akan menyakiti dan membuat kamu nggak suka. Iya, ini tentang mantan." Iqbal menoleh ke atas. Mereka berpandangan.
"Maaf ya, Neng. Maaf soal mantanku. Yang, emm, banyak."
Baru hari pertama menjadi istri, dan pertanyaan Luli langsung terjawab.
Apakah Pak Iqbal nggak ada minusnya sama sekali? Apakah benar ada orang yang ideal semua sisi dalam hidupnya?
Tampan, mapan, brillian. Punya keluarga yang akrab dan bahagia. Orang tua yang hingga sama-sama sepuh tapi masih mesra dan pantas dijadikan couple goals. Ternyata semua itu menyembunyikan luka. Yang mungkin baru bertahun kemudian dapat sembuh hingga pulih dan kembali menjadi biasa, bahkan istimewa.
Kali ini Luli yang mengambil peran untuk menguatkan. Ia memeluk sang suami. Membiarkannya menumpahkan kesedihan di dadanya. Dibelainya rambut Iqbal dengan sayang. Diciuminya kepala itu dengan cinta yang mendamaikan.
Hampir lima belas menit, "Kita tidur yuk, Neng. Aku ngantuk."
Lagi, tanpa persetujuan, Iqbal membopong Luli. Membaringkan di bed, lalu ia menyusul berbaring di sebelahnya. Menyelipkan lengannya ke bawah kepala Luli, lalu menciumi rambutnya, lagi, dan lagi.
"Neng, kenapa kamu dipanggil Luli?"
"Nanti saya jawab, tapi Pak Iqbal jawab pertanyaan saya dulu."
"Oke. Apa itu?"
"Mantannya ada berapa sih sebenernya?"
"Uhuk uhuk uhuk." Iqbal terduduk. Keselek.
"Nggak usah keselek juga kaleee. Tinggal bilang berapa juga, apa susahnya!"
Iqbal Sya'bani menghela napas. Kali ini terlihat jauh lebih berat dari saat hendak cerita tentang abah tadi.
"Tapi janji nggak mempermasalahkan ya?"
"Iya deh iya. Udah cepetan sih, Pak. Berapa?!"
"Emm, dua."
"Dua apa? Dua puluh? Dua ratus? Dua ribu?"
"Nggak usah lebay, Neng. Cuma dua, emm, dua belas." Volume suara menghilang di kata terakhir.
"Dua apa?"
"Dua belas, Neng." Mencoba tegas, walupun nada yang keluar tetap saja lemas. Ia cemas.
"Astaghfirullah hal adziim!" pekik Luli.
Ia lantas mengambil satu bantal. Disorongkannya kasar ke pangkuan suaminya.
"Bapak tidur di sofa! Nggak usah ngeyel! Saya males lihat muka Bapak!"
Luli menarik selimut. Menenggelamkan diri di dalamnya. Ia kira setelah mendengar cerita sang suami tentang abah dan umi, ia akan lebih bisa menahan emosi. Nyatanya, saat mendengar angka dua belas disebutkan, tetap aja ia kesal tak terkira.
"Neng, please---"
"Nggak ada please please! Pokoknya keluar, tidur di sofa!!"
***
Rasain kamu, Iq!! Nyonya rumah marah. Muahahaha...
***
Hai hai hai, long time no see. Sorry, updatenya agak lama. Lagi banyak yang harus dikerjakan. Hehe.
Tadinya mau up semalam, tapi ketiduran. Capek perjalanan seharian.
Seperti biasa, kalau ada kesalahan dan kekurangan, mohon dimaafkan. Kalau ada yang sekiranya terlalu vulgar dan kurang sopan, mohon diingatkan, biar aku amankan.
Terima kasih banyak untuk apresiasi kalian ya, teman-teman semua. Terima kasih juga udah merindukan kami bertiga. Luli, Iqbal, dan aku. *cieee, akunya napa ikut-ikut dah! Haha.
Aku terharu lho dicolekin di dm IG, dm WP, di komentar juga, yg intinya "Kangen Luli sama Iqbal."
Ah, pokoknya makan sop beralaskan bantal, i love you all. *pantunnya maksa
Sampai jumpa.
❤❤❤
Tasikmalaya, 27082020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top