Part 16.2.
Kalo soal kekanakannya kamu aku udah dari jauh hari mempersiapkan diri. Soalnya bapak sama Ibu nggak bosan mengingatkan tentang ini. Zulfikar juga. Walaupun aku nggak nyangka akan langsung diuji di hari pertama.
-------
Notes:
* Part ini banyak dialognya, siap-siap mumet. Haha...
* Kalo aku bilang sih ini udah mulai 18+, ada beberapa adegan dan jokes yang nyerempet-nyerempet gitu, karena mulai masuk ke marriage life.
So, ada baiknya cek KTP dulu sebelum lanjut baca :)
Mobil oren diseruduk munding
Happy weekend dan enjoy reading.
***
Luli berlari.
"Dia istriku!" seru Iqbal pada si mantan. Lalu berdiri dan mengejar sang istri.
Tak sampai jauh. Mereka di 'area duduk berdua', saat Iqbal berhasil menangkap tangan Luli. Menariknya, tapi Luli balas menarik tangannya. Iqbal terpaksa menggunakan kekuatan. Ia dekap Luli, dan mengangkatnya menuju pintu crew only.
Jadi tontonan? Pasti! Ini malam minggu, peak time-nya kafe.
Luli yang tadinya berontak, langsung diam begitu merasakan bahwa kakinya tak lagi memijak tanah. Iqbal menggendongnya? Di depan banyak orang? Luli malu setengah mati.
Drama tak gendong ke mana-mana berakhir begitu mereka sampai di ruangan Iqbal. Setelah menutup pintu, mengunci, dan mengantongi anak kuncinya, barulah ia menurunkan Luli.
"Marah---"
"Pak Iqbal tuh jahat! Baru juga nikah udah harus ketemu mantan! Berapa sih mantannya?! Banyak banget! Apa semuanya masih berharap sama Bapak?! Apa semuanya masih pada suka sama Bapak?! Apa semuanya harus cantik-cantik gitu?! Huhuhu," teriak Luli histeris.
"Ya Rabb, insecure lagi dia."
"Saya mau pulang! Saya mau pulang aja! Pulang sekarang! Kesel tauk, lagi bahagia sebentar aja harus dirusak sama mantan! Huhuhu." Masih menangis.
Iqbal tak bereaksi apapun, tetap tenang dan membiarkan Luli meluapkan semua marahnya.
"Teriak aja, Sayang, nggak kedengaran sampai luar kok. Marahlah. Nangislah. Pukul aku. Cakar, cubit, apapun. Nanti kalo sudah lega, giliran aku peluk kamu."
"Nggak mau! Enak aja main peluk! Pokoknya saya mau pulang ke rumah bapak ibu! Sekarang! Saya mau pulang! Pulang!!"
"Eh, ngambeknya gini amat yak?!" batin Iqbal. Heran sekaligus geli.
"Kita nggak akan pulang kalo kamu belum tenang. Dan kita tetep akan pulang ke Madina. Bukan ke rumah yang lain."
"Nggak mau. Hiks. Sa-ya ma-u pulang aja. Hiks." Suara Luli mulai menurun. Ia berbalik memunggungi suami yang detik ini sedang ia benci.
Iqbal mendekat, mendekapnya dari belakang.
"Maafin aku ya, sudah merusak hari bahagia kita."
"Huhuhu...." Luli berbalik badan, lalu menangis lagi. Kali ini di pelukan hangat sang suami.
"Kita pulang, setelah kamu tenang. Ada pintu belakang, kalo kamu nggak mau lewat keramaian pengunjung."
"Tapi saya mau pulang ke rumah bapak. Hiks."
"Enggak, Sayang. Kamu udah punya rumah sendiri. Rumahmu adalah aku. Sedih, marah, kesel, ngambek, apapun itu, pulangmu ya ke aku. Nggak cuma pas seneng aja.
"Kita suami istri lho. Jangan karena orang-orang yang nggak penting, jadi merusak suasana hati kamu sendiri. Kamu juaranya, Neng. Mau mantanku selusin pun, mereka bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Cuma masa lalu."
"Jadi mantannya Pak Iqbal ada selusin?!" Ngegas!
"Eh, gobl*k, keceplosan!"
"Ehk, emm, y-yaaa ibaratnya gitu."
"Berarti banyak banget kan?!"
"Eh yaaa...." Iqbal salah tingkah, apalagi Luli menatapnya tajam, tanpa melepas pelukan.
"Berarti bener kan mantannya selusin? Atau sekodi?"
"Ini bahas mantan atau kulakan batik sih, Neng?"
Luli tak sanggup menahan tawa? Ia membenamkan wajahnya di dada Iqbal. Dicubitinya pinggang dan perut suaminya yang lantas berusaha melepas Luli karena kegelian.
"Pokoknya kalo nggak mau dicubitin saya marah. Nggak mau ngomong tiga hari tiga malam."
"Ya tapi geli, Neng."
"Pak Iqbal mau saya marah apa saya nggak marah?" Luli merajuk.
"Ya tapi nggak gini juga kali, Neng. Aduh aduh ih, geli, Neng."
"Udah, pokoknya terima aja!"
"Berhenti nyubit atau aku cium!" Iqbal balik mengancam, tapi cubitan tak juga mereda.
Lalu,
"Mmmhhh..." Ia memberi Luli satu ciuman.
Luli kaget, tapi tak bisa bergerak, apalagi berontak. Ia terkunci dalam dekapan erat dan ciuman suaminya, yang terus meningkat dari hangat hingga menghebat. Iqbal baru menghentikan aksinya ketika Luli telah sesak napas. Mereka terengah-engah berdua, bagai habis tersengat aliran listrik ribuan kilowatt. Saling menatap, dengan sorot yang tak bisa dijelaskan lewat kata.
Luli membuang muka, malu sekali. Iqbal menangkup pipi istrinya, mau sekali lagi. Eh!
"Pak, kita pulang sekarang ya? Kan saya udah tenang."
"Oke, kita pulang. Ke Madina."
"Tapi ---"
"Nggak ada tapi. Cuma ada iya." Satu kecupan mendarat lagi di bibir Luli. Ia lalu menggigit bibirnya sendiri, tersipu.
"Duduklah dulu. Aku beresin yang mau kubawa pulang." Ia menuju ke mejanya yang selalu rapi. Membuka laci, mencari sesuatu di dalamnya.
"Bawa pulang apa memangnya?"
"Laporan mingguan. Sarung dan sajadah, udah waktunya dicuci. Dan...." Iqbal mengambil sesuatu, kemudian mendekat pada Luli.
"Ini." Berlutut. Membuka sebuah kotak kecil dan menyodorkannya ke hadapan sang istri.
"Maaf, pas habis akad tadi aku nggak pasang cincin buat kamu. Aku lupa, cincinnya ketinggalan di sini."
Luli meleleh. Ia tertawa lagi. Segala kekesalannya mendadak hilang karena kekonyolan suaminya. Cincin kawin lho, ketinggalan di laci. Jadi hilang satu moment romantis di pernikahan kan.
Sebuah cincin emas putih berhias garis warna rosegold di sepanjang lingkarnya. Sebutir berlian tertanam tepat di tengahnya. Di lingkar dalamnya, Luli melihat namanya terukir. Zulfa Nurulita.
"Aku pakein ya? Nggak perlu ada saksi nggak apa-apa kan?" Cincin itu kini menghias jari manis tangan kanan Luli. Sedikit kebesaran, tapi tak terlalu mengganggu.
"Kebesaran sedikit nggak pa-pa ya. Nanti kalo udah hamil, udah punya anak-anak, kamu pasti akan lebih berisi. Nggak kebesaran lagi."
"Kalo malah sempit?"
"Nanti aku belikan lagi."
"Eh, tapi saya nggak mau pakai kalo pas ke kampus ya, Pak. Nanti pada curiga lagi. Saya kan nggak ada bakat berdusta."
"Iya. Sementara boleh. Tapi kalo nanti semua udah pada tau, kamu harus pakai terus ya? Saya nggak mau kamu dilirik cowok lain. Kalo pakai cincin kan udah jelas ada yang punya."
"Ya Allah, romantis banget sih Pak Iqbal nih." Semburat kemerahan kembali terbit di pipi Luli.
"Pak, maafin saya ya kalo masih suka kekanakan gini. Tapi saya sayang banget lho sama Bapak. Terima kasih banyak."
"Alhamdulillah. Kamu sayang sama aku, itu udah segalanya buat aku. Kalo soal kekanakannya kamu, aku udah dari jauh hari mempersiapkan diri. Soalnya bapak sama Ibu nggak bosan mengingatkan tentang ini. Zulfikar juga. Walaupun aku nggak nyangka akan langsung diuji di hari pertama." Disentilnya hidung Luli, disambut cemberut oleh si empunya.
"Mulai detik ini, kalo kamu cemberut aku kasih hukuman cium. Deal!"
"No deal! Enak aja bikin aturan sendiri."
"Kan aturannya menguntungkan kedua belah pihak."
"Kata siapa? Kalo keseringan juga bisa bikin bibir saya bengkak dan sesak napas. Gitu banget nyiumnya."
"Ya ciumnya cium-cium kecil gitu lah, Neng."
"Pokoknya nggak mau. Harus atas persetujuan kedua belah pihak. Titik!"
"Ya Allah, Neng. Mau cium istri aja kok kaya mau jual beli tanah lho."
"Berarti kita perlu pake notaris juga," timpal Luli pada candaan sang suami.
"Hahaha. Iya deh iya. Ya udah, sekarang kita pulang. Kamu mau jalan sendiri apa kugendong seperti tadi?" Cubitan bertubi-tubi kembali dilancarkan Luli. Iqbal bangkit dan berlari. Luli mengejar, tak mau kalah. Dan drama Bollywood pun terjadilah.
-------
Dari parkiran kafe, HRV putih melaju. Area Tembalang menjadi destinasi yang dituju.
"Sayang, kamu tau nggak kalau sekarang ini kamu jadi yang paling penting buat aku?"
"Iya kah? Belum yakin tuh."
"Kenapa begitu?"
"Bapak mantannya banyak sih."
"Kalo buat kamu, masa lalu itu sesuatu yang penting nggak?"
"Ya penting dong, buat pelajaran biar kita makin baik di masa depan."
"Masya Allah. Jawabanmu luar biasa. Aku jadi harus nyiapin jawaban yang lain nih tentang mantan." Luli merengut. Kesal. Tangannya terulur ke paha Iqbal, siap mencubit dengan brutal.
"Jangan nyubit, Neng. Aku lagi nyetir. Bahaya." Iqbal ngeles.
"Iya, aku sepakat kok sama kamu. Masa lalu memang penting buat dijadikan pelajaran agar lebih baik di masa depan. Tapi bukan berarti harus menjadi sesuatu yang dipermasalahkan kan?"
"Ini pasti biar saya nggak mempermasalahkan soal mantan-mantan Pak Iqbal yang panjangnya mengular kan?"
"Ya karena memang bukan masalah, Sayang."
"Buat Pak Iqbal mungkin bukan masalah. Tapi enggak buat saya."
"Oke. Kalo begitu kasih tau aku, masalahnya di sebelah mana?"
"Emm, eh, anu, di, emm, di..., ya pokoknya masalah deh."
"Nggak ada yang perlu disembunyikan, Sayang. Nggak perlu malu juga. Sekarang nggak ada lagi kamu dan aku, yang ada adalah kita. Kalo ada yang jadi masalah buat kamu, itu jadi masalah juga buat aku.
"Come on, let me know."
"Tapi jangan diketawain."
"Oke. Kalo gitu aku ketawanya nyicil sekarang, biar nanti pas kamu ngomong aku nggak ketawa."
"Tuh kaaan, nyebelin!!"
"Iya iya, becanda. Maaf. Sekarang bicaralah, aku siap dengerin."
"Emm, jadi, emm, saya tuh ng-nggak suka kalo ketemu mantan-mantannya Pak Iqbal, soalnya, emm, soalnya...."
"Soalnya apa?"
"Soalnya semuanya cantik-cantik. Semuanya keren-keren, kelihatan smart, percaya diri. Pokoknya saya langsung kebanting kalo ketemu sama mereka semua. Merasa terintimidasi gitu."
"Astaghfirullah. I've guessed!" desis Iqbal, sangat pelan.
Ia sudah menduga bahwa ini ada hubungannya dengan perasaan rendah diri Luli setiap kali berurusan dengan perempuan yang ada hubungan dengannya. Tak hanya mantan, tapi juga fans misalnya.
"Ada lagi?"
"Eng-enggak ada sih, Pak."
"Oke. Clear. Aku sudah boleh bicara ya?"
"Hemm."
"Tentang mantan, kalo kita sama-sama punya mantan, mungkin nggak akan jadi masalah. Tapi di sini, cuma aku yang punya, jadi ---"
"Banyak pula."
"Please. Jangan ikut bicara kalo orang lain sedang bicara."
"Dih, ini sih Mas Fikar banget. Kalo ngomong disela jadi galak kek herder."
"Iya, maaf." Sesal Luli.
"Oke, aku lanjutkan. Waktu ngobrol berdua di depan rumah Asya, kita udah pernah bahas ini. Sekarang aku mau tanya. Sejauh ini, apa menurutmu aku pernah bohong sama kamu? Pernah nggak serius sama kamu? Pernah main-main sama kamu?"
"Emm, ng-nggak pernah sih."
"Jadi kamu percaya dengan semua yang aku jelaskan waktu di depan rumah Asya?"
"Y-ya p-percaya sih."
"Ya begitulah aku, Zulfa. Buatku, mantan itu cuma masa lalu. Sudah nggak ada artinya, meski memang nggak bisa dihapus dari sejarah hidupku.
"Apalagi status kita sekarang sudah berubah. Aku bukan single lagi, yang bisa sewaktu-waktu menjatuhkan pilihan pada perempuan di luaran sana. Waktu single aja aku pilih-pilih, apalagi sekarang udah menjatuhkan pilihan. Pantang bagiku untuk menyakiti, terlebih dengan sesuatu yang berbau ketidaksetiaan. Big no!
"Kamu tau nggak kenapa begitu jatuh cinta sama kamu, aku langsung mantap untuk nikahin kamu?"
"Kenapa memang?"
"Karena kamu yang selama ini aku cari. Kamu punya sesuatu yang nggak pernah aku temukan di mantan-mantanku."
"Oh ya? Apa memangnya?"
"Aku bukan baru pertama kali itu melihatmu. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya aku deg-degan lihat kamu. Dan itu berlanjut setiap kali ketemu kamu. It makes me sure that you're different."
"Cuma begitu? Cuma gara-gara deg-degan lihat saya?"
"Kenyataannya begitu, mau gimana?"
"Kapan itu, Pak?"
"Kamu ingat waktu Asya pingsan, terus dari rumah sakit kita pulang ke kampus berdua?"
"Emm, i-iya, ingat."
"Terus aku ajak kamu solat berjamaah di kedai ramen. Ingat?" Luli mengangguk. Matanya tak lepas dari wajah suaminya.
"Aku sudah selesai wudhu, nungguin kamu yang mau jadi makmumku. Lalu kamu jalan ke arahku, dengan sisa-sisa air wudhu yang menempel di wajah kamu.
"Kamu tau? Jantungku rasanya seperti mau lepas saking deg-degannya lihat kamu waktu itu. Kamu tiba-tiba kelihatan beda. Dan itu mengganggu aku, sampai akhirnya malam itu juga aku sampaikan semuanya ke Zulfikar."
"Ehk, jadi Mas Fikar ---"
"Iya. Dia tau dari sejak awal." Iqbal lalu tertawa.
"Kenapa ketawa, Pak?"
"Kakakmu ternyata bisa kehilangan kecerdasan dan logikanya ketika itu berhubungan dengan rasa sayangnya sama kamu. Curhatanku gamblang. Seseorang yang kusebutkan waktu itu jelas banget mengarah kepada siapa. Tapi dia nggak paham juga kalo yang kumaksud itu kamu, adiknya.
"Sampai aku menyebut nama Zulfa, dia masih tanya, 'Zulfa siapa?'. Hahaha. Aku masih selalu pengen ngakak tiap ingat mukanya Zulfikar waktu itu. Astaga, cengo banget."
"Tapi masa sih, Pak, cuma gara-gara lihat muka saya habis wudhu?"
"Aku nggak memaksa kamu untuk percaya. Yang jelas, sejak waktu itu kamu selalu menggangguku, ngikutin aku ke manapun aku pergi. Aku baper.
"Aku nggak pernah memulai hubungan dengan perasaan, Neng. Tapi tidak dengan kamu, perasaan itu hadir lebih dulu, baru aku datang menemui bapak."
"Berarti yang sebelum-sebelumnya selalu ketemu dengan bapaknya juga?"
"Absolutely right. Aku nggak pernah kepikiran modusin atau mempermainkan anak gadis orang. Maka setiap kali aku berniat untuk mengenalnya lebih jauh, aku selalu datang menemui keluarganya dan menyampaikan maksudku dengan baik-baik. Pun ketika kami selesai. Bubar. Putus."
"Trus kenapa berakhir dengan putus? Bapak nggak serius?"
"Bukan begitu. Ya karena ternyata nggak ada kecocokan. Dia bukan yang aku cari."
"Kecocokannya sepihak dong."
"Bisa dibilang begitu. Sorry, bukan sombong ya. Tapi boleh dibilang memang aku merasa punya hak untuk memilih. Aku punya modal untuk itu. Aku punya keluarga yang baik, aku punya kemampuan diri yang baik, aku selalu berusaha menjadi orang baik, dan aku juga punya kemampuan untuk memberi masa depan yang baik. Paling tidak sampai detik aku mendekati mereka. Karena masa depan nggak pernah ada yang tau.
"Itulah. Aku merasa boleh berkeyakinan bahwa setiap yang kudekati hampir pasti bisa menerimaku, tinggal aku yang bisa menerima dia atau enggak."
"Memang yang Bapak cari yang seperti apa? Kenapa nggak ada yang bertahan lama?"
"Aku mencari yang keluarganya baik-baik saja. Dan satu lagi, aku mencari yang menjaga dan memelihara dirinya. Kehormatannya, kesuciannya, ---"
"Nyari yang menjaga diri tapi lewat pacaran? Huwow." Kalimat dan intonasi Luli terdengar tak enak di telinga. Pedas!
"Iya. Cibirlah. Di bagian itu memang aku salah. Kita udah bahas waktu di Salatiga."
"Emang pacarannya model gimana?"
"Ya cuma keluar berdua, ngobrol, makan. Udah."
"Bener, nggak pake yang lebih-lebih gitu? Ini judulnya pacaran lho, Pak."
"Iya, aku pake judul pacaran karena memang kalo jalan bareng, ada pernyataan kedekatan, dan semacamnya, orang pasti akan berasumsi demikian."
"Saya kok nggak yakin sih."
"Intinya gini, aku pacaran karena pengen tau lebih banyak dulu tentang seseorang tersebut. Aku punya rules untuk diriku sendiri, dan aku punya batas waktu untuk itu. Enam bulan."
"Maksudnya?"
"Dalam enam bulan itu aku harus: satu, tau tentang keluarganya dengan segala apa adanya. Yang kedua, nggak ada sentuhan fisik. Kalo sampai salah satu gagal sebelum enam bulan, berarti selesai.
"Dan hampir semuanya gagal di yang kedua. Mereka agresif. Aku nggak suka. Dan nggak ada toleransi."
"Berarti pernah 'itu' dong." Luli menggoyangkan dua jari sebagai kode petik untuk kata itu.
"Itu apa?"
"Bapak kurang cerdas gimana sih buat ngerti pertanyaan saya? Basa basi deh. Ngeselin." Dasar Luli, makin merasa akrab jadi lupa adab.
"Neng, sini dulu deh, deket ke aku." Ditariknya bahu Luli agar mendekat.
"Mau apa sih?" Sok-sok cemberut.
"Mau cium kamu. Aku kangen." Satu kecupan jatuh di pelipis kanan Luli.
"Hih, gombal!" Tapi ada yang berdesir-desir di sana. Di hati Luli.
"Oke, kita lanjutin. Ini tentang sentuhan. Iya, memang pernah. Tapi nggak pernah yang sampe parah gimana gitu. Dan bukan aku yang mulai. Catat itu! Aku juga nggak pernah mengikuti maunya. Selalu aku cut saat itu juga. Berat memang. Aku kan laki-laki normal."
"Terus Bapak putusin?"
"Iya."
"Mereka menerima?"
"Ya mau nggak mau, suka nggak suka, harus menerima."
"Semua begitu?"
"Nggak semua. Ada juga yang karena keluarganya nggak seperti yang aku harapkan. Bermasalah. Dan berpotensi menjadi masalah dalam rumah tangga nantinya."
"Namanya rumah tangga bukannya pasti ada masalah ya, Pak? Utopis sekali rumah tangga kok berjalan mulus."
"Dalam hal apapun, yang namanya masalah itu bisa diminimalisir, Zulfa. Dan itulah salah satu alasanku."
"Alasan apa?"
"Alasan untuk pacaran. Tapi ternyata aku salah."
"Berarti ada alasan yang lain?"
"Ya. Ada." Iqbal menatap lurus ke depan. Wajahnya sedikit menegang.
"Ini yang kubilang ada hubungannya dengan keluargaku. Dan apa yang menjadi kekhawatiranku justru kejadian."
"Apa itu?"
"Jadi aku sempat udah baper sama salah satu dari mereka. Anaknya baik, nggak agresif, diajak ngobrol juga enak, dia punya kegiatan yang bagus. Intinya aku udah klik. Tapi ternyata keluarganya nggak seperti yang kuharapkan.
"Dia broken home. Bapaknya nggak setia sama ibunya, dan itu membuat keluarganya jatuh. Hancur. Kakaknya narkoba, ibunya depresi, bapaknya bangkrut. Tinggal serumah tapi nggak ada kehangatan. Mirip sinetron banget lah. Itu terjadi ketika dia baru saja memulai S2-nya. Dan dia harus berjuang sendiri setelahnya."
"Kenapa Bapak bukannya jatuh iba malah ninggalin dia?"
"Karena pernikahan nggak bisa dimulai dari rasa iba, Zulfa. In my opinion.
"Tapi setelahnya, aku masih berhubungan dengan dia. Ada satu kegiatan yang dia kenalin ke aku. Dia ngajar anak-anak yang kurang beruntung. Semacam rumah singgah gitu. Aku aktif juga di sana. Dan baru berhenti setelah dekat sama kamu."
"Jadi Bapak masih dekat sama dia?"
"Ya nggak dekat sih. Cuma memang masih kontak. Satu-satunya yang masih berhubungan denganku walaupun kami sudah nggak jalan bareng. Sampai..., ya, sampai kamu datang ke hidupku."
"Sekarang dia di mana?"
"Dia memilih pergi. Dia mengatakan apa adanya padaku, bahwa dia masih cinta sama aku. Dia mendoakan kebaikan untukku, untuk kita. Dan berjanji akan menjauh dari aku, pergi dari hidupku. Bukan atas permintaanku, tapi atas kemauannya sendiri.
"Setelah aku cerita ke dia tentang kamu, tentang kita, ternyata diam-diam dia mencari pekerjaan di tempat yang jauh. Dan sepekan lalu dia pamit. Katanya ke Balikpapan. Setelah itu dia mengganti semua kontaknya, dan menutup semua akun sosial medianya."
"Bapak nyesel menikah dengan saya?"
"Pertanyaan macam apa itu? Nggak ada pertanyaan yang lebih berbobot lagi kah?"
"Kok Bapak gitu sih?!"
"Sorry, Sayang. Aku memang nggak suka dengan pertanyaan seperti ini. Aku nggak suka dengan ke-insecure-an kamu. Kamu tau nggak sih, itu bisa menjatuhkan nama kamu sendiri, terutama di depan mantan-mantanku."
"Kenapa jadi Pak Iqbal ngebelain mantan sih?!" Luli kesal.
"Bukan begitu, Zulfa. Tapi aku tuh pengen, kalaupun kamu cemburu, ya yang agak berkelas gitu. Yang elegan. Jangan kaya tadi, langsung kesel, ngambek, lari di depan muka mantanku. Apa coba dia pikir? Ih, Iqbal nikah sama anak kecil. Gitu kan."
"Terus masalah buat Bapak?"
"Jadi masalah, karena itu menyangkut nama baik kamu. Anggapan orang terhadap kamu. Aku nggak suka orang meremehkan kamu. Tapi itu akan terjadi kalo kami meremehkan diri kamu sendiri. Menganggap rendah diri kamu sendiri. Terutama di depan mantan-mantanku.
"Apa sih, Neng, yang bikin kamu selalu merasa kebanting atau apalah itu? Kenyataannya yang aku pilih kamu. Yang aku cintai kamu. Yang jadi istriku kamu. Harusnya justru kamu bangga, kamu tunjukin ke mereka kalo cantik, keren, smart, atau apalah itu nggak berarti apa-apa, tetap saja kamu juaranya.
"Harusnya kamu nggak minder. Wong mereka masih ngarepin aku, tapi kamu yang memenangkan hatiku. Kamu itu istimewa, Neng. Kamu istimewa dengan penjagaanmu pada diri kamu sendiri. Itu yang aku cari. Yang nggak ada di mantan-mantanku."
"Kecuali yang Bapak ceritain barusan kan? Yang sekarang di Balikpapan."
"Sama aja. Apa juga yang mau kamu insecure-in di depan dia? Kamu punya keluarga yang baik, yang bahagia, yang selalu mendukung kamu. Dia nggak punya itu. Apalagi yang bikin kamu merasa kalah sama dia?
"Aku sayang kamu, Neng. Cuma kamu. Jadi jangan karena dekat denganku, justru bikin kamu jadi nggak pe-de berhadapan dengan orang-orang dari masa laluku. Harusnya malah sebaliknya. Tunjukkan pada mereka kalo kamu juaranya. Kamu yang bisa memenangkan hatiku. Oke?"
Luli diam, membenarkan setiap perkataan suaminya. Mengingat satu per satu kejadian memalukan di depan mantan-mantan Iqbal Sya'bani. Ngambek. Ketus. Menunjukkan kekesalan.
"Duh Luli, kamu malu-maluin banget sih!"
Ia masih larut dalam pikirannya, kala jari jemari kokoh itu menggenggam erat jemarinya.
"Udah, nggak usah dipikirin banget-banget. Yang udah ya udah. Mulai sekarang kamu harus belajar untuk lebih sayang sama dirimu sendiri. Untuk nggak memandang rendah dirimu. Apalagi jika itu berhubungan dengan aku.
"Kamu bisa kok. Bisa banget. Ada aku yang akan selalu mendukung kamu. Nemenin kamu. Berjalan bersamamu.
"Aku sayang banget sama kamu, Neng. I love you." Dibawanya tangan Luli ke wajahnya, mengecupinya dengan cinta yang tumpah ruah memenuhi hatinya.
"Maafin saya ya, Pak."
"Enggak ada yang harus dimaafin."
"Terus tadi kata Bapak ada alasan lain kenapa Bapak memilih untuk pacaran. Yang berhubungan dengan keluarga. Apa?"
"Iya, ada. Nanti kamu jangan kaget ya." Dicubitnya pipi Luli.
"Udah mau sampai. Nanti kita lanjutin di rumah aja ya." Iqbal membuka jendela mobilnya, menyapa ramah pada security The Madina Residence.
"Kasih clue aja deh, Pak. Masih penasaran nih."
"Berisik ah. Itu lho rumahmu udah kelihatan."
"Kenapa bahasanya gitu? Itu kan rumah Pak Iqbal."
"Kan sejak tadi pagi udah beralih jadi rumah kamu."
"Iya, kenapa bukan rumah kita gitu?"
"Iya. Rumah kita. Tapi kamu yang punya."
"Kenapa mas kawinnya harus rumah ini, Pak?"
"Biar aku ingat untuk nggak macem-macem di luaran sana, Sayang. Kan aku di sini cuma numpang sama kamu. Kalo aku macem-macem, bisa-bisa s:uruh tidur di luar sama nyonya rumah. Nggak enak. Dingin. Nggak ada yang dipeluk-peluk."
"Iih, nggak usah genit bisa nggak sih?"
Berdua turun dari mobil. Iqbal. Menyerahkan kunci rumah pada Luli.
"Ini kuncinya, Sayang. Surat-suratnya nyusul ya, besok kita balik nama dulu."
"Ngomong apa sih, Pak? Ngeselin emang!"
"Tapi sayang kan?"
"Bangeeettt." Luli nggak malu-malu lagi. Melingkarkan tangan di siku Iqbal.
Begitu masuk ke rumah dan mengunci pintu, Iqbal menarik Luli, memeluk dan menciumnya tanpa ba-bi-bu. Mengulang yang sama seperti di ruang kerjanya tadi.
"Mmmhhh... Udah, Pak." Luli mendorong Iqbal sambil tersengal. Sesak napas.
"Kita bersih-bersih badan dulu ya. Ganti baju. Habis itu lanjutin ngobrol. Ini agak serius dan menguras emosi."
"Ehk, tapi, Pak...."
"Apalagi, Neng?"
"Saya nggak bawa baju ganti. Kita pulang ke rumah bapak ibu aja ya, Pak?! Please, please, please," rengek Luli agak lebay.
"Enggak ya enggak."
"Trus gimana dong? Masa saya nggak ganti baju?"
"Nggak masalah, Sayang. Kamu nggak butuh baju ganti. Kamu bahkan nggak butuh baju apapun buat dipakai malam ini."
"Maksudnyaaa?!?!"
***
Iiq, guyonanmu gitu amat sih?!
-------
Eh, gimana? Cenat cenut ya baca dialog segitu banyak? Gak jelas pula. Eta terangkanlah. Haha.
Maapkeun yak. Semoga tetap menikmati.
Aku ngerti kok, kalian pasti ngebatin, "ini malam pertamanya kapaaann?!". Jujur aja deeh! Haha...
Btw, kira-kira apa ya alasan Iqbal yang lain sehingga dia memilih untuk pacaran?
Eh, lha kira-kira mereka jadi lanjut ngobrol atau lanjut yang lain nih?
Nanti yaaa di part berikutnya.
Oh ya, jangan bilang kurang panjang ya, ini udah 3,6K words lho. Kalian mau jariku keriting apa gimana sih?! Wkwk.
Satu lagi, kalo misal ada bagian yg menurut teman-teman terlalu vulgar, tolong kasih tau ya, nanti biar kuedit dan kuhilangkan.
Baiklah. Terima kasih semuanyaaa.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Semarang, 22082020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top