Part 16.1.
Thank you for 'in'
and complete 'me'
to be 'mine'
I love you
--------
Notes:
- Aku nggak pinter bahasa Inggris. Kasih tau ya kalo salah. Hehe..
- Ada beberapa adegan yang agak dewasa
- Enjoy reading.
***
Menikah adalah sebuah momentum penting dalam perjalanan hidup seseorang. Pun bagi Luli. Yang hingga umurnya hampir dua puluh satu tahun, tetap berupaya menjaga diri dari relationship yang tidak seharusnya dimiliki. Tentu saja hari ini akan menjadi hari yang mengubah tak hanya statusnya, tapi juga hidupnya.
Dari kamarnya yang sedikit diubah interior agar layak disebut sebagai kamar pengantin, Luli ditemani orang-orang terdekatnya. Ibu, Nara, Riana, juga adiknya ibu yang adalah ibunya Riana. Menghadap Macbook Pro milik Iqbal yang sudah di-setting untuk menyaksikan live report akad nikahnya sendiri.
Ya, Luli masih 'disembunyikan'. Sampai nanti status mereka telah resmi terikat dalam pernikahan, barulah keduanya akan dipertemukan.
Sementara di ruang keluarga. Iqbal duduk berhadap-hadapan dengan ayahanda Luli serta petugas dari KUA. Sebuah meja pendek menjadi pembatas diantara ketiganya. Abah dan umi dengan setia mendampingi di belakang si anak bungsu.
Di hadapan Iqbal, Bapak telah bersiap untuk melepas gadis kecilnya. Kesayangannya. Fikar mendampingi di belakang bapak. Menyediakan diri jika sewaktu-waktu bapak terlarut dalam haru.
Iqbal meraih mikrofon. Mengambil nafas panjang, sebelum kemudian lantunan ayat suci mengalun merdu dari bibirnya. Sesekali matanya terpejam, menghayati kalam yang ia lafazkan dengan hafalan dan kefasihan.
Belum apa-apa, tapi air mata telah tak terbendung dari kedua netra mempelai perempuan. Sungguh, hatinya bergetar-getar. Ia bahkan baru tahu bahwa calon suaminya ternyata benar seorang penghafal Al Quran. Sebab selama ini, yang ia terima selalu lagu-lagu yang bersifat duniawi dan seringnya sebagai ungkapan hati.
Tepat pukul sembilan, lantunan surat 'Ali Imran ayat 35 sampai 39 diselesaikan. Bapak dan Iqbal pun telah saling bersalaman, bergenggaman tangan.
Bapak menghela napas. Panjang. Kaca-kaca tampak pada dua manik di balik kacamata beliau. Bibirnya bergetar. Mendadak kelu. Apa yang hendak diucapkan tak mampu keluar.
Fikar mengusap bahu bapak, dengan mata yang tak kalah sarat oleh bening yang menggelanggang. Disodorkannya sehelai saputangan, supaya bapak menghapus bening dari sudut-sudut mata yang mulai menua. Genggaman tangan sejenak dilepaskan dengan terpaksa.
Rupanya bapak tak kuasa menahan keharuan. Dengan anak sulungnya, mereka berpelukan. Fikar sendiri tak berusaha menyembunyikan. Ada kesedihan, meski lebih banyak kebahagiaan.
Hampir lima menit, hingga bapak kembali tenang dan lebih kuat dari sebelumnya. Lalu kembali menjabat hangat tangan kanan calon menantunya.
Bapak menarik napas lagi. Memulai dengan bacaan basmalah, istighfar tiga kali, kemudian membaca kalimat syahadat.
"Ananda Iqbal Sya'bani bin Sudjana. Saya nikahkan dan saya kawinkan Engkau dengan putri kandung saya, Zulfa Nurulita binti Rofiq Hidayat, dengan mas kawin seperangkat alat salat, logam mulia seberat 50 gram, uang tunai 25 juta rupiah, dan satu unit rumah di Madina Residence, dibayar tunai."
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Zulfa Nurulita binti Bapak Rofiq Hidayat dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Dengan sangat tenang dan khidmat, Iqbal mengucapkan kalimat qabul dalam satu tarikan napas.
"Sah." Penghulu berkata, disambut hamdalah dari seluruh yang hadir di sana.
Maka berubahlah status seorang Zulfa Nurulita dan Iqbal Sya'bani menjadi sepasang suami istri.
Ibu memeluk Luli. Putri kecilnya yang kini telah menyandang status nyonya. Sekuat hati menahan air mata, namun apa daya, perasaan haru terlalu memenuhi hati ibu.
"Selamat ya, Nduk. Jadilah istri yang baik, yang taat dan hormat kepada suami, yang menjaga kehormatannya saat dia ada ataupun pergi."
Luli hanya mengangguk, membalas peluk ibunya dengan cucuran air mata yang tak berhenti mengalir sejak pertama mendengar Iqbal melantunkan ayat suci hingga kini.
Dengan penuh kasih sayang, ibu menghapus air mata Luli. Menepuk lembut dengan tisu hingga bekasnya tak lagi sejelas tadi. Ibu lalu menggandeng gadisnya untuk menemui sang suami.
Sekarang keduanya berada di ruang yang sama. Iqbal menundukkan kepala begitu melihat Luli. Ia yang sedari tadi tampak tenang, mendadak diliputi keharuan. Saat memandang wajah sang istri, entah kenapa matanya seperti tak tahan untuk menumpahkan bulir beningnya.
Bapak dan ibu mengantar Luli hingga ke hadapan menantunya. Luli mengangkat kepala, hendak menatap wajah suaminya sebelum mencium punggung tangannya. Pandangan mereka beradu. Mata Iqbal berkaca-kaca. Ia meraih Luli, merengkuh dalam dekapannya. Dan pecahlah tangis Iqbal saat itu juga.
Setelah mereda, ia membisikkan doa untuk seseorang yang kini telah resmi menyandang status Nyonya Iqbal Sya'bani. Tanpa sedikitpun merenggangkan peluknya.
Bapak, ibu, abah, umi turut terharu. Fikar menolehkan wajah ke arah lain. Ia tak suka jika harus menampakkan ekspresi wajahnya di saat seperti ini.
"Sudah, Iq. Ini banyak yang pengen salaman sama kalian. Peluk-peluknya nanti lagi kalo udah selesai acara. Kan sekarang sudah sah. Sudah halal. Boleh dipuas-puasin. Sak keselmu." Abah menepuk pundak anak bungsunya. Tanpa tedeng aling-aling, tak pula mengecilkan volume suara, hingga tawa kembali meramaikan seantero ruangan.
Iqbal mencium dan memeluk kedua mertuanya. Pun Luli, yang kepadanya umi menghujani dengan ciuman dan air mata bahagia.
"Congrats, Bro." Dua sahabat yang kini menjadi ipar saling berhadapan.
Fikar menjabat erat tangan Iqbal. Mereka berpelukan hangat. Sehangat air yang kembali mengaliri dua pipi Luli. Ia berdiri di belakang sang suami, tak kuasa melihat basah di kedua netra saudara kandung semata wayangnya. Diulurkan tangan, mengusap pipi kakaknya. Fikar menghentikan tangan Luli di pipinya. Menggenggam erat dan menatap adiknya penuh sayang.
Dua sahabat itu saling melepas pelukan.
"Nitip adikku ya, Bro. Kami menemaninya dengan penuh cinta. Kuharap kau melakukan hal yang sama. Dan tolong, jangan sakiti dia. Kalau sampai itu terjadi, kau berhadapan dengan ini." Fikar mengacungkan kepalan tangan ke hadapan Iqbal. Mereka tertawa bersama.
"Luli, baik-baik ya jadi istri. Insya Allah, Iqbal Sya'bani is the best husband in the world lah buat kamu." Ditepuknya pipi Luli pelan, yang malah disambut sang adik dengan memeluknya, dan sekali lagi menumpahkan tangis yang membasahi kemeja batik kakak kesayangan.
"Udah ah, ini bagiannya Nara. Kamu kan udah ada yang dipeluk sendiri. Sana sana," canda Fikar sembari mendorong Luli pada Iqbal.
Lalu sebuah rengkuhan Luli rasakan di pinggang. Ia balas menaruh tangannya di atas tangan suaminya. Tak ketinggalan rona merah yang menyemburat di kedua pipi. Malu malu bahagia.
Sesi foto mereka lalui, sementara yang lain berbincang, sebagian menikmati hidangan. Selama itu pula Iqbal seolah tak sedetikpun rela melepas genggamannya pada sang teman hidup. Pun senyum, tak henti terukir di wajah yang kentara sekali amat semringah.
Menjelang zuhur keluarga Iqbal berpamitan. Mereka masih butuh istirahat dan persiapan, sebab dari pihaknya akan menggelar syukuran keluarga esok paginya.
Pada akhirnya, kedua mempelai punya kesempatan untuk berdua. Di kamar Luli tentu saja. Iqbal terlihat masih tenang, kalem, santai. Sebaliknya dengan Luli, ia belingsatan tak keruan. Grogi. Karena untuk pertama kalinya harus berdua saja dengan seorang laki-laki di tempat yang privasi.
"Alhamdulillah. Akhirnya harinya tiba juga ya. Terima kasih ya, Zulfa. Terima kasih, Sayang."
"Ehk. Sayang ya? Duh, malah pengen ketawa."
"Kamu jangan lepas jilbab dulu ya."
"Eh, t-tapi kenapa, Pak?"
"Biar saya yang melepasnya."
"Tapi saya mau hapus make up."
"Jangan dihapus dulu."
"K-kenapa juga, Pak?"
"Ajarin saya, biar saya yang menghapusnya."
"Baju juga?"
"Ehk, pertanyaan macam apa pula sih, Luli?! Memalukan!"
Iqbal tergelak. Dicubitnya hidung Luli. Gemas.
"Kamu udah gerah ya?"
"Banget, Pak. Nggak biasa pakai baju begini. Ternyata capek juga nemuin tamu, padahal baru keluarga sama beberapa tetangga aja lho. Mana kamar saya kan nggak ada AC-nya gini. Huff."
"Ssstt, jangan banyak ngeluh. Ini hari istimewa. Yang harus kita lakukan cuma banyak bersyukur aja. Sini, saya bantu lepas jilbabnya. Nanti ajarin saya bersihin wajah kamu. Kalo lepasin baju nggak usah diajarin, kayanya saya udah ngerti gimana caranya."
"Dih, apa sih?!" Luli cemberut. Iqbal menarik mulut yang mengerucut. Ia terkekeh gembira.
"Zulfa. Terima kasih ya. Saya sayang kamu. Saya cinta kamu. Saya janji akan selalu berusaha membahagiakan kamu." Mata Luli menggenang lagi.
Iqbal mengusap lembut kedua pipi Luli yang basah. Menangkup dengan kedua tangannya. Kemudian mengecup kening, pipi, mata, hidung, dan mengakhiri dengan satu kecupan singkat di bibir Luli.
"Emmh. Manis," gumam Iqbal setelah yang sekilas tuntas. Sedang Luli sibuk menghalau ribuan kupu yang membuat perutnya untuk kesekian kali dilanda rasa geli. Ini ciuman pertama bagi keduanya. Aish.
Lagi, ditatapnya Luli tepat pada manik hitam matanya. Luli mengalihkan pandang. Malu.
"Eh, emm, Bapak nggak dhuhuran ke masjid?" Mencoba keluar dari kecanggungan.
"Enggak. Untuk pertama kalinya sejak saya menjadi imam buat hidup kamu, saya ingin jadi imam buat solat kamu."
Iqbal membalikkan badan Luli agar memunggunginya. Dengan sabar membantu melepas jilbab putih yang dikenakan, juga pita yang mengikat helai-helai rambut istrinya. Jantungnya berdegup tak beraturan, manakala rambut ikal Luli tergerai, menguarkan aroma yang segera ia hirup dalam-dalam. Dipeluknya Luli dari belakang, tapi Luli justru menyikutnya keras.
"Augh."
"Ehk, maaf, Pak. Maaf. Sakit ya? Saya kaget. Eh itu, grogi. Eh, malu. Aduh apa itulah. Anu."
Iqbal terpingkal-pingkal melihat Luli yang mendadak gagap tak jelas bicara.
"Jadi mau bersihin make up saya?"
"Hemm. Ajari ya."
Berikutnya Iqbal mengikuti instruksi Luli untuk menghapus make up hingga wajahnya kembali pada yang asli. Lalu ....
"Bajunya biar saya sendiri aja, Pak. Bapak hadap sana dulu ya."
"Oh. Kamu nyamannya begitu ya?"
"Ehk, i-iya. M-maaf ya, Pak. Gak pa-pa kan, Pak?"
"Iya deh, nggak pa-pa. Senyamannya kamu saja. Saya keluar dulu aja ya, mau wudhu. Nanti sesudah ganti baju, gantian kamu yang wudhu. Kita solat berjamaah."
"Iya. Emm, maaf ya, Pak."
"Nggak pa-pa, santai aja."
Ditinggalkannya Luli sendiri. Tak mempermasalahkan apapun. Baginya, yang terpenting Luli merasa nyaman bersamanya. That's enough.
Lepas salat zuhur, keduanya merasakan debaran-debaran yang berbeda. Tak bisa didetailkan dengan kata-kata.
"Ternyata adem ya begini? Habis solat ada yang cium tangan, ada yang dicium pipi kanan kiri, wirid ada yang mengikuti, saat berdoa ada yang mengaminkan. Alhamdulillah. Kamu seneng nggak?"
"Banget, Pak!" jawab Luli tangkas. Setelahnya menyesal. Jaim dikit kek!
Iqbal lagi-lagi terbahak.Entah sudah kali keberapa ia melempar tawa dan bahagia.
"Cieee, pengantin baru, gercep abis!"
"Nah kan, Bapak mulai deh nge-bully saya."
"Eh, mulai detik ini, kita ganti panggilan yuk. Gak enak banget dipanggil Bapak. Kaya udah tua banget gitu."
"Kan emang Bapak udah tua. Minimal dibandingkan saya. Hehe." Iqbal mengacak rambut Luli.
"Terserah, tua juga nggak pa-pa deh. Yang pasti saya suka banget sama rambut kamu. Ikalnya lucu."
"Apa hubungannya coba, tua sama rambut keriting? Maksa banget!"
"Hahaha, kamu lucu banget sih. Gemes. Nggak penting apa hubungannya, yang paling penting hubungan kita udah sah di hadapan Allah dan negara. Dan kamu sudah halal buat saya, walaupun nggak dapat stempel dari MUI. Dari KUA udah cukup." Tawa Luli berderai lagi. Ia mencubit pinggang Iqbal dengan jantung yang iramanya melompat-lompat tak keruan.
Iqbal menggeser duduknya ke sebelah Luli. Meraih dan menyandarkan kepala gadis itu pada bahunya.
"Nanti kalo punya anak perempuan, semoga rambutnya ikut kamu ya, biar curly kaya si Lila. Lucu banget. Gemes." Dibelainya rambut ikal Luli yang bagi Iqbal begitu menggemaskan. Cuma rambut lho!
"Bapak udah pengen banget punya anak ya?"
"Ssstt, nggak usah bahas itu dulu."
"Emm, Bapak bener penghapal Al Quran ya? Saya pernah denger kabar-kabar gitu. Trus tadi beneran yakin pas lihat Bapak baca 'Ali Imran tanpa contekan."
"Hemm. Penghapal iya, masih berjuang. Sepertiganya aja belum dapat."
"Saya kira Bapak cuma suka nyanyi aja. Hehe."
"Iya sih. Berusaha mengurangi kecintaan terhadap musik, tapi masih berat. Jadi masih berusaha menyeimbangkan aja dulu."
"Bapak sendiri yang pilih ayat?"
"Iya."
"Kenapa 'Ali Imran ayat 35 sampai 39?"
"Karena ayat itu bicara tentang cita-cita mulia atas keturunan kita. Lalu tentang kepasrahan atas takdir yang diberikan oleh Allah. Dilanjutkan tentang bagaimana Maryam yang benar-benar terpelihara kesuciannya dan dimuliakan oleh Allah.
"Ayat berikutnya berkisah tentang harapan dan kesabaran Nabi Zakariya untuk memperoleh keturunan yang baik. Hingga akhirnya malaikat datang membawa kabar gembira tentang kelahiran Nabi Yahya."
"Bagiku, semuanya sungguh sangat bermakna. Berharap kita bisa selalu berusaha untuk meneladani kisah tersebut dalam hidup kita.
"Kamu tau nggak, sepertiga dari Al Quran berisi tentang kisah-kisah sebagai pelajaran untuk kita. Jadi kalau kamu menghapal dan belajar kisah-kisahnya aja, kamu udah menghapal dan belajar sepertiga isi Al Quran, Zulfa."
"Saya diajarin ya, Pak. Masih kurang banget ilmunya."
"Sama kok, saya pun masih dangkal banget. Insya Allah kita belajar bareng ya. Belajar kelompok. Hehe."
"Terima kasih ya, Pak. Saya sayang sama Pak Iqbal."
"Apa?"
"Dih, pengen banget denger lagi ya?" Iqbal tersenyum. Mencium puncak kepala Luli.
"Zulfa, mulai sekarang nggak ada saya saya lagi ya. Kita panggilnya aku dan kamu. Dan mulai detik ini, aku mau panggil kamu dengan Neng aja. Boleh kan?"
"Kenapa harus Neng? Nanti kaya umi manggil saya dong."
"Karena aku udah terbiasa dengan panggilan abah ke umi. Juga panggilan umi ke menantu-menantu perempuannya. Di telingaku, itu tuh terdengar sayang banget gitu. Sama seperti aku ke kamu. Sayang banget.
"Mau ya, Neng? Neng Zulfa."
"Iya deh, terserah Bapak aja."
"Hih. Tapi kamu jangan panggil Bapak juga kali, Neng. Geli lama-lama. Kaya nikah sama gadis di bawah umur aja."
"Ya terus manggil apa dong?"
"Ya apa kek. Yang, gitu misalnya."
"Yang? Eyang? Eyang kakung?" Luli tergelak.
"Ya udah, Beb aja."
"Bebek?"
"Ay."
"Ayam?"
"Say."
"Sayur? Tukang sayur?"
"Bang."
"Bangjo? Kek lampu lalu lintas."
"Emm, Kang?"
"Haha, kangkung!"
"Ya Rabb, susah bener sih, ngejawab terus. Ya udah, senyamannya kamu ajalah, Neng. Mau panggil Mas, Kak, Bang, Aa, Akang, Sayang. Apa aja."
"Iya. Gitu aja lebih baik."
"Jadi, kamu mau panggil aku apa?"
"Bapak. Pak. Pak Iqbal."
"Yasalaaaaamm."
-------
Sore hampir habis. Pun sanak saudara Luli, sudah kembali ke tempat tinggal masing-masing. Tinggal mbah kakung dan mbah putri, juga pakde bude yang menyertai keduanya. Dan keluarga Zulfikar tentu saja.
Iqbal meminta izin pada bapak ibu untuk mengajak Luli pergi. Ia tak bilang ke mana, hanya mengatakan akan pergi mengurus salah satu pekerjaannya.
Tepat setelah maghrib, pasangan pengantin baru itu pergi. Iqbal masih belum memberitahu Luli akan ke mana, hingga mereka tiba di tempat tujuan.
"Ini kan kafe yang dulu saya pernah diajakin sama Mas Fikar dan Nara."
"Terus ketemu aku. Waktu itu kamu ngambek gara-gara aku kalo di kampus biasa aja sama kamu."
"Bully terooosss."
"Hehe, maaf. Soalnya semua yang berhubungan dengan kamu udah terekam dengan baik di otakku. Juga di hatiku."
"Gombal terooosss." Iqbal mengakak. Dengan gemas mengacak pucuk kepala Luli, lantas menciumnya.
"Bapak mau ngajak nge-date di sini? Asik tempatnya, saya suka. Tapi bawa buku nikah nggak? Soalnya duduknya enakan di belakang yang outdoor."
"Nggak usah bawa buku nikah nggak pa-pa. Kamu boleh duduk di mana aja."
"Kok gitu?"
Tak menjawab. Iqbal hanya menggenggam tangan sang istri dan menggeretnya masuk ke bangunan kafe.
Baru membuka pintu, seorang gadis muda ber-apron khas kafe itu menyambut mereka.
"Selamat datang, Kak Iqbal dan Kak Zulfa. Happy wedding."
Dengan senyum tulus, ia menyodorkan sebuket bunga yang cantik pada Luli. Sebuah tag terikat di pitanya. Luli tersenyum membaca tulisan yang ada di sana.
"Terima kasih, Mbak," ucap Luli.
"Thank you, Jihan." Iqbal memberikan senyum untuk krunya.
"Kerjaannya Pak Iqbal ya ini?" Luli menoleh pada sang suami.
"Bukan lho ya. Yang ngasih si Mbaknya, berarti kerjaannya si Mbak itu dong."
"Tapi Pak Iqbal yang nyuruh kan?"
"Tanya Mbaknya aja deh."
"Ih, nyebelin." Satu cubitan mendarat di pinggang Iqbal. Dibalas satu kecupan di kepala Luli.
Entah sudah berapa belas kali serangan kupu-kupu terbang dirasakan Luli hari ini. Ia tak tahu lagi harus apa selain menikmati semuanya.
Iqbal kembali menggandeng Luli. Bukan menuju salah satu meja yang ada di kafe, melainkan masuk ke ruangan bertuliskan crew only. Berdua memasuki sebuah ruangan 3x2,7m², ruang kerja bergaya Scandinavian yang simpel tapi terkesan hangat.
"Welcome to our room, Neng Zulfa sayang."
"Our room? M-maksudnya gimana ini, Pak?"
"Kafe ini punya kita, Neng. Dan hampir setiap akhir pekan, aku menghabiskan waktu di sini. Besok kita cari sofabed ya, biar kamu nyaman kalo nemenin aku kerja di sini."
"P-punya Pak Iqbal?"
"Bukan. Tapi punya kita. Iqbal dan Zulfa."
"Ya Allah, Pak. Saya nggak tau mesti ngomong apa lagi?"
"Ya udah yuk, saya udah janji mau ngisi live music malam ini. Spesial. Kita salat isya dulu ya."
Sampai di pintu, Iqbal kembali lagi.
"Ada yang ketinggalan, Pak?"
"Iya. Kamu."
"S-saya?"
"Iya, kamu ketinggalan. Kamu kan nggak boleh jauh-jauh dari aku."
Iqbal meraih Luli kepadanya. Luli menyandarkan kepala di bahu suaminya. Memeluk erat lengannya dengan manja.
"Masih mau peluk? Udah lama lho ini. Nanti kita lanjutin di Madina aja ya."
"Ehk, kita pulangnya ke Madina?"
"Iya. Di rumah ibu kalo mau ke kamar mandi harus keluar dulu. Nggak enak."
"M-memangnya mau apa, Pak?"
"Mau cuci tangan, cuci kaki, cuci muka, gosok gigi sebelum tidur, Anak tekaaa." Iqbal menjentikkan jarinya ke hidung Luli. Tertawa geli.
"Ya udah yuk. Salat isya dulu. Kasian anak-anak nungguin aku."
Duduk tak jauh dari panggung kecil tempat live music berada. Luli menyimak lagu demi lagu yang mengalun dari bibir suaminya. Kepiawaiannya layak membuat Iqbal menjadikan musik sebagai bagian dari kesehariannya. Pilihan lagunya pun seakan sengaja dipaskan dengan kebahagiaan yang sedang si penyanyi rasakan.
Sampai setengah sembilan, Iqbal turun dan kembali pada Luli. Baru saja hendak menyeruput kopi hitam tanpa gula kesukaannya, seorang perempuan menghampiri keduanya.
"Iqbal. Selalu keren ya suaranya. Masih inget aku kan?"
"Mbak siapa?!" Luli bertanya. Suaranya terdengar lemah.
"Aku Cindy, mantannya Iqbal. Kamu?"
"Astaghfirullah. Lagi?! Matik aku!!"
Iqbal mengusap wajahnya. Luli berdiri, siap berlari.
***
Yaelah, Iqbaaaaalll. Udah halal kok ya masih aja ketemu mantan. Kapokmu kapaaaann?!
-----
Hai, ketemu lagi nih.
Akhirnya sampai juga di part ini. Part yang bikin aku agak dag dig dug. Beban banget nulisnya, soalnya pd nungguin. *dih, pe-de bingit :D
So sorry kalau jauh dari ekspektasi ya. Kebanyakan drama, mesra-mesraan, dan so(k) sweet malah bikin eneg gitu kali ya? Hihi...
Pokoknya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Trus aku bawa sedikit ayat tadi. Kalau ada kesalahan, tolong diluruskan ya, Teman-teman. Karena aku masih belajar, masih jauh dari kesempurnaan.
Terima kasih banyak untuk kalian semua. Apapun yang ada di part ini, semoga tetap bisa menghibur kalian ya. Ini cuma kubaca & edit sekali, langsung cuss update.
Oh ya, gambar ilustrasinya sengaja aku pesen lho buat part ini. Hahaha. Terniat. Ada yang mau? *halah
Baiklah.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Semarang, 20082020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top