Part 15.

Zulfa. Saya mohon, menikahlah dengan saya. Jadilah pendamping hidup saya. Jadilah ibu untuk anak-anak kita.

- pinta Iqbal, pada Luli -

Mau pakai, "berdua menikmati pelukan di ujung waktu, sudilah kau temani diriku," ntar dibilang tiru-tiru Mas Is :)

-------

* Sorry. Mereka belum nikah. Yg udah nggak sabar skip aja dulu, tunggu part selanjutnya. Hehe.

* Atlet Nascar makan puding,
Harap bersabar, and enjoy reading.

***

Malam ini, Iqbal dan keluarga besarnya akan datang untuk melamar Luli secara resmi. Sebelum mengesahkan hubungan keduanya di depan penghulu keesokan pagi.

Sejak sore menyapa, Luli seperti orang sedang bisulan. Tak enak duduk. Resah dan gelisah. Entah sudah kali keberapa ia mondar mandir kesana kemari. Dari kamarnya ke kamar orang tuanya, ke kamar mandi, kembali ke kamar lagi, ke teras belakang, dan seterusnya.

Ba'da salat isya, ia mulai di-make up oleh Riana. Sepupunya yang berprofesi sebagai dokter anak itu memang piawai pula dalam memoles wajah. Ia pula yang menawarkan diri untuk mendandani Luli agar terlihat berbeda dari hari-hari biasanya. Itupun dilakukan dengan setengah memaksa karena awalnya si calon mempelai perempuan ingin wajahnya tetap natural saja seperti biasa. Dasar ngeyelan!

"Luli, keluarga Pak Iqbal udah di depan tuh. Buruan siap-siap ya." Nara menyelinap masuk ke kamar. Memastikan Luli siap, sekaligus memberi kabar.

"Banyak orangnya, Nar?"

"Nggak cuma banyak, Lul. Buanyaaakk banget!"

"Jangan lebay ah."

"Lebay gimana? Ada kali sepuluh mobil, Lul."

"Astaghfirullah. Jangan becanda ah. Mana cukup deh tempatnya?"

"Cukup, insya Allah. Pak Iqbal kan udah koordinasi sama Mas Fikar. Katanya di luar rencana memang. Yang sebelumnya cuma keluarga Pak Iqbal dan kakek nenek dari abah uminya, ternyata membengkak karena pakde, bude, ua, mamang, apalah itu pada minta ikut."

"Berarti bapak ibu udah pada tau kan? Masakannya juga gimana kan, Nar?"

"Heleh, tumben mikir sampe ke situ. Biasanya kalo urusan internal rumah gini juga kamu EGP!"
(EGP: Emang Gue Pikirin)

"Beda kali, Ra. Luli kan udah mau jadi istri, jadi ibu rumah tangga. Masa iya mau EGP terus urusan rumah. Apalagi suaminya model limited edition gitu. Harus all out dooong. Iya nggak, Lul?" Kali ini Riana yang angkat bicara. Ia tertawa, ditimpali pula oleh Nara.

"Apa sih kalian nih?! Nggak jelas!" Luli cemberut.

"Heh, calon pengantin tuh nggak boleh cemberut. Ntar mempelai prianya berubah pikiran gimana?" kata Riana lagi.

"Pak Iqbal mah udah mentok sama dia, Mbak. Udah paten, Zulfa mawon," goda Nara. Dan lagi-lagi tawa berderai dari mereka berdua.

"Nara, udah kasih tau Luli belum sih? Kok malah ketawa-ketawa di sini." Fikar datang dengan wajah flat. Menatap tajam pada istrinya.

"Duh, bosque udah melotot gitu. Pasti aku dianggap nggak melaksanakan tugas dengan baik," bisik Nara disambut cekikikan oleh kedua saudaranya.

"Iya. Udah disampaikan dengan baik, Mas Fikar sayang. Lulinya aja yang malah ngajak becanda. Dia cuma mau menyamarkan kegrogian."

Sebuah lipbalm melayang ke jidat Nara, "Fitnah mulu deh jadi orang!"

"Sudah, segera bersiap! Jangan bercanda terus. Riana juga, kalau udah ketemu anak dua ini bukan ngajarin malah ngimbangin."

"Inggih. Sendika dawuh, Bapak Zulfikar Aditya."
(Sendika dawuh adalah bahasa Jawa halus, biasanya digunakan oleh bawahan pada juragannya. Artinya kalau di-bahasa gaul-kan ya, siap laksanakan.)

"Embuhlah. (Entahlah/terserahlah)." Fikar berlalu. Suara cekikikan terdengar lagi dari ketiga perempuan itu.

Ruang keluarga sudah disulap menjadi center untuk acara lamaran malam ini. Sebagian keluarga Luli berada si sisi dalam, sedangkan sisi yang menyambung ke ruang tamu telah dipenuhi dengan keluarga inti dari Iqbal.

Keluarga segera memberi jalan begitu Luli terlihat. Mengenakan gamis merah marun dengan sedikit sentuhan batik di beberapa bagian, tampak serasi dengan jilbab warna krem yang terulur menutupi dada.

Kali ini bukan Luli yang tersipu, namun justru Iqbal yang malu-malu, melihat gadis pujaannya terlihat ayu. Betapa inginnya memandang sang calon istri, tapi sekuat hati ia menahan diri, bahkan untuk sekadar mencuri-curi.

Acara dimulai. Masing-masing perwakilan keluarga saling memberi sambutan sebelum menuju ke acara inti. Iqbal sedari tadi lebih banyak menunduk, menyembunyikan rasa yang berkecamuk. Bahagia, tak sabar, malu, senang, sekaligus sedih, semua menjadi satu. Pun Luli, ia merasakan yang tak jauh beda. Terutama sedihnya, karena hendak lepas dari kedua orang tua yang begitu dicintainya.

Abah memperkenalkan satu per satu anggota keluarga, khususnya kakak-kakak Iqbal yang malam itu hadir semua beserta keluarga, kecuali abangnya yang sedang menempuh studi di Inggris.

Pun dengan bapak, yang memperkenalkan Fikar beserta keluarga kecilnya. Juga beberapa bude, pakde, om, bulik, dan sepupu-sepupu yang turut serta.

"Alhamdulillah, ternyata cukup banyak juga nggih anggota keluarga kita masing-masing. Insya Allah akan semakin besar dengan pernikahan Nak Zulfa dengan Iqbal besok pagi. Karena pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan, dua manusia, dua hati saja, melainkan juga dua keluarga. Maka dengan pertemuan dua keluarga besar begini, harapannya bisa lebih dulu saling mengenal dan karib sebelum resmi menjadi satu keluarga yang jauh lebih besar lagi.

"Emm, untuk selanjutnya, kami rasa akan lebih baik untuk segera masuk saja ke acara inti. Sebab saya lihat dua calon mempelai ini sudah resah dan gelisah ingin segera mendengar kata-kata sah. Sabar ya, tinggal menghitung jam lagi." Abah memang selalu bisa mencairkan suasana. Mengurai ketegangan yang Iqbal dan Luli rasakan.

"Jadi di sini, saat ini, disaksikan keluarga besar baik dari pihak kami maupun pihak Bapak Rofiq Hidayat. Saya sebagai orang tua dari Iqbal Sya'bani, hendak menyerahkan kepada anak kami untuk menyampaikan sendiri niat baiknya atas Nak Zulfa."

Abah menoleh pada anak bungsunya. Umi mengulurkan tangan dan menggenggam tangan kiri sang anak kesayangan. Microphone berpindah tangan, Iqbal menarik seulas senyuman. Bersiap untuk bicara, mengungkapkan maksud serta perasaan hatinya.

"Ehm. Bismillahirrohmanirrohiim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahi robbil 'alamiin, pada akhirnya saya berkesempatan untuk menyampaikan apa yang menjadi niat baik saya sekitar dua bulan terakhir ini, di hadapan keluarga besar, baik dari saya maupun calon istri saya, Zulfa Nurulita."

Iqbal berhenti sejenak. Memandang Luli, mengangguk, dan menggoreskan segaris senyum. Lalu menghela napas, melepasnya lambat-lambat. Bibirnya tampak bergetar.

"S-saya, emm, s-saya...." Ia menunduk, menahan bulir bening yang seketika memberati kedua netra. Haru menyeruak, mengusir segala tenang dan kemampuannya berbicara. Gagu.

Genggaman tangan umi mengerat. Kedua kakak perempuannya pula menyuntikkan semangat. Mengelus punggung adiknya dengan hangat.

Di seberangnya, gadis berusia hampir 21 tahun itu tak lagi kuasa menahan air mata. Ia menggigit bibir bawahnya. Membiarkannya nyeri agar tangis tak pecah lebih banyak lagi.

Suasana mendadak sunyi. Bapak dan ibu menyusut kedua sudut mata dengan tisu di tangan masing-masing. Zulfikar berkali membuang pandang, mencoba menghalau rasa sentimentalia atas peristiwa yang ternyata cukup berat ia terima. Harinya telah di depan mata. Waktunya melepas Luli tinggal hitungan jam lagi.

Hampir lima menit terjeda. Iqbal kembali buka suara. Mengawali dengan mendehem, sebelum menyambungnya dengan permintaan maaf.

"Mohon maaf, sudah berusaha saya tahan, tapi ternyata membendung yang seperti ini jauh lebih sulit daripada membendung sungai. Mungkin karena bendungan perasaan tidak diajarkan dalam materi perkuliahan."

Yang hadir semua tertawa. Lega. Iqbal berhasil menaklukkan keharuannya.

"Emm, baiklah. Jadi pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya, Iqbal Sya'bani bin Sudjana, menyampaikan maksud dan niat baik saya kepada keluarga Bapak Rofiq Hidayat, khususnya kepada ..., Zulfa. Zulfa Nurulita binti Bapak Rofiq Hidayat. Bahwa saya berniat untuk memintanya. Meminta Zulfa, untuk menjadi bagian dari hidup saya."

Iqbal memberanikan diri menatap Luli, "Zulfa. Saya mohon, menikahlah dengan saya. Jadilah pendamping hidup saya. Jadilah ibu untuk anak-anak kita."

"Yess! Alhamdulillah!" teriak beberapa diantara mereka. Dari suaranya, pekikan-pekikan itu keluar dari mereka yang masih muda, juga beberapa yang masih merasa berjiwa muda.

Satu dua celetukan dan cie-cie menyusul masuk ke gendang telinga.

Bapak tersenyum. Memegang mikrofon dengan wajah bahagia.

"Luli, anakku. Kamu sudah dewasa, Nduk. Tak terasa pula sudah tiba waktunya, ketika seseorang datang untuk mengambil alih tanggungjawab atasmu, dari pundak kami orang tuamu.

"Bahagia sudah pasti, karena yang datang adalah yang teristimewa. Meski bukan ksatria berkuda putih, yang hendak menyelamatkan dari kungkungan seekor naga raksasa. Ia bahkan jauh lebih istimewa dari sekadar itu semua."

"Dih, bapak apaan sih. Ketularan calon mantunya, gaje!" Luli meringis. Yang lain tergelak.

"Namun sedih tentu saja ada, sebab itu berarti kau tak lagi menjadi gadis cilik kami seperti dulu lagi. Meski di hati kami, kau tak akan terganti. Tetap Luli kecil yang kami manjakan dan selalu manja pada kami.

"Maka detik ini, izinkan kami untuk bertanya kepadamu. Apa jawabanmu atas permintaan dari Nak Iqbal Sya'bani, agar engkau menjadi pendamping hidupnya, menjadi ibu bagi anak-anak kalian, cucu-cucu kami?"

Luli memandang bapak, lalu ibu, kemudian Fikar. Ia terisak dan tergugu, berjuta kenangan masa kecil hingga waktu ini seakan film yang dengan cepat berputar.

"Bapak, Ibu, Mas Fikar, t-terima kasih. Luli bahagia menjadi gadis cilik yang selalu dimanjakan. Dan s-sekarang, izinkan Luli untuk ..., hiks, untuk m-menerima permintaan, emm, Pak Iqbal. Untuk menjadi istri. Menjadi pendamping hidup. Menjadi ibu untuk anak-anak kami." Terbata-bata namun cukup lancar Luli bicara. Gerimis tak berhenti meluncur dari kedua mata.

"Alhamdulillah."

Setiap mereka mengucap hamdalah. Sebagian tertawa, sebagian terharu. Separuhnya meringis, sisanya menangis. Semuanya mengekspresikan satu kata. Bahagia.

Iqbal menatap lembut pada calon ibu dari anak-anaknya kelak. Matanya menyorotkan cinta dan kerinduan yang menggelegak. Luli tak mengelak. Membalas tatapan itu dengan pancaran bahagia yang penuh mendesak-desak.

Setelahnya semua berlangsung akrab dan penuh kekeluargaan. Hingga kurang sedikit dari pukul sepuluh malam, keluarga Iqbal berpamitan untuk pulang dan bersiap kembali esok pagi.

Luli tak diizinkan ibu untuk membantu apapun. Ia hanya disuruh untuk istirahat. Menyiapkan diri, juga hati. Walau yang terjadi justru sebaliknya. Mana ada gadis yang esok hendak melepas masa lajang, sedang malamnya bisa tidur nyenyak bak melewati malam panjang? Tak ada!

Ia sudah berpindah ke kamar bapak ibu. Kamarnya sendiri dipakai beberapa sepupu perempuan yang tinggal di luar kota Semarang.

Jam dinding telah bergeser 60 derajat dari pukul sebelas tepat. Bapak dan ibu baru saja terlelap. Di luar kamar, suasana perlahan menuju senyap. Mungkin hanya Luli yang masih terjaga, menghalau gelisah yang mengendap.

Diambilnya gawai, scrolling status dari mereka yang ada di kontak whatsappnya.

Pak Iqbal.
One step closer.

Mbak Wulan.
Denger2 ada yg mau merit. Rasanya ky udah nunggu lama trs ditinggal pergi gitu aja. Tp memang nggak punya hak apa2 sih. Semoga cuma gosip.

Luli buru-buru mengambil screenshoot status kakak tingkatnya. Lalu mengirimkan pada seseorang yang mungkin menjadi objek bagi status seorang Wulan Hapsari.

[*screenshoot status whatsapp]

[Statusnya mbak wulan pak. Kayanya dia tau deh kl bapak mau nikah]

[Kamu blm tidur?]

[Nggak bs tidur pak]

[Sama. Saya jg gak bisa tidur. Apalagi besok malam ya, makin gak bs tidur deh kita]

[Apa sih?!]

[*emoticon senyum jejer tiga]

[Kl mbak wulan tau saya orangnya, kira2 gimana ya pak? Saya keder]

[Kenapa memangnya?]

[Saya kan cuma ky begini. Pasti orang akan bilang kl saya nggak level sm bapak]

[Bisa nggak sih berhenti bahas yg begini?]

[Saya jg takut nanti dicacimaki sm penggemarnya bapak. Ky nara dulu]

[Andini?]

[Iya. Dini. Mak lampir]

[*emoticon ngakak guling-guling jejer dua]

[Sudah, nggak usah mikir yg enggak2. Mikirin saya aja lbh bermanfaat]

[Belum halal!!]

[Sepuluh jam lagi]

[Sepuluh jam kurang delapan belas menit pak]

[*emoticon ngakak guling-guling banyak banget]

[Apa sih pak, gak penting bgt. Saya tuh lg galau beneran mlh diketawain. Gak pengertian!!]

[Galau soal apalagi sih?]

[Kl pd tau saya istri bapak. Bapak nggak malu?]

Tak ada balasan. Bahkan dibaca pun belum. Iqbal seakan menghilang ditelan bumi.

Lima menit. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Lalu tepat di menit ke dua puluh tujuh, suara denting dari gawainya mengagetkan Luli. Satu pesan masuk, yang setengah jam terakhir dia nanti-nanti.

[Sudah tidur?]

[Belum pak]

[Nungguin balasan saya ya?]

[Pede!!]

[Dengerin ini deh. Saya ke kamu ya begini. Jadi nggak usah mikir yang enggak2]

[*video]

Rupanya Iqbal menyusup ke studio saat menghilang dari membalas pesan Luli tadi.

[Habis itu langsung tidur. Saya nggak mau kamu ngantuk setelah resmi jadi Nyonya Iqbal Sya'bani besok pagi]

Luli buru-buru mendownload dan membuka videonya. Begitu tahu isinya adalah sang calon suami yang membawakan sebuah lagu untuknya, ia tergesa memasang earphone yang sedari tadi terselip di saku piyama.

Dilihat dan didengarkannya dengan seksama. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Senyumnya mengembang semakin lebar. Hatinya pun bergelenyar.

[Gara2 videonya jd makin nggak bs tidur. Tanggungjawab!!]

Di sana, Iqbal terbahak. Rasanya sudah tak sabar untuk membawa Luli ke dalam dekapannya.

[Iya. Besok saya ambil alih semua tanggungjawab dr bapak & ibu. Jg tanggungjawab atas ketidakbisatiduran kamu]

[Sekarang tidur ya, Zulfa]

[Saya sayang banget sama kamu]

Luli tersenyum. Dua tiga bulir bening meleleh membasahi wajahnya.

[Saya juga]

[Juga apa, Zulfa?]

[Cieee yg mau nikah, daya tangkapnya mendadak terdegradasi]

[*emoticon tertawa jejer tiga]

[Udah ah, saya mau tidur. Awas ya besok!!]

[Selamat tidur calon suami]

Luli mulai berani.

[Gara2 selamat tidur calon suami jd malah ngantuknya ilang. Tanggungjawab!!]

Iqbal menirukan pesan Luli beberapa menit sebelumnya.

[Derita elo!!]

Balas Luli tak berperikecalonsuamian.

Setelahnya ia mengubah mode ponselnya ke airplane. Membuat Iqbal gemas dan kesal karena hanya beroleh centang satu untuk pesan yang dikirimkan.

Berhenti berbalas pesan bukan berarti aktivitas Luli berlanjut dengan memejamkan mata. Tidak sama sekali. Ia mengulang kembali video yang tadi dikirimkan oleh pria yang esok pagi akan menjadi pendamping hidupnya. Dan untuk kesekian kali, ia merasa begitu dicintai.

***

Yeaiy, one step closer menuju official Mr. and Mrs. Sya'bani.

Alhamdulillah, bisa menyapa teman-teman pembaca lagi.

Yang kangen Luli-Iqbal angkat tangaaaann?
Yang kangen Fikar-Nara mana suaranyaaa?
Yang kangen sama saya katakan heiyaaa? *mendadak hening *gak ada yg ngangenin *hiks
Hahaha, apa deh.

Baiklah. Terima kasih untuk kalian semua. InsyaAllah ketemu lagi di halal official-nya Luli-Iqbal yaaa.

Sampai jumpa.
❤❤❤

Semarang, 18082020

------

Oh ya, yg pengen tau lagunya Iqbal buat Luli, ini yaaa :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top