Part 14.

Kalo rival memang gitu ya, Pak. Lihat gesture aja udah kebaca. Bapak juga ada hati kan sama Zulfa?

- Duh, perkataan siapa lagi ini?! -

------

Notes:
* Part ini 3,5K+ words, dan isinya kebanyakan drama. Duh duh duh.
* Mereka belum nikah, jadi kalau kalian tim yang nggak sabar pengen nyimak mereka nikah, disimpen dulu aja sampai 2 part lagi ke depan. Oke?
* Dan, oh ya, nggak ada kocak-kocaknya. So, sabar dan siap-siap bosen aja yaaa :D

Pohon kersen diserbu kepiting,
Kalaupun bosen, tetep enjoy reading.

***

Sudah menjadi kebiasaan ketika seorang perempuan hendak melepas masa lajang, ia melalui dulu masa pingitan. Paling tidak tak keluar rumah sejak beberapa hari sebelum hari H, kecuali untuk hal yang benar-benar penting.

Tapi ini tak berlaku untuk Luli. Dengan pertimbangannya sendiri bahwa mereka toh hanya akad nikah, toh tidak ada ramai-ramai, toh masih harus dirahasiakan, dan sebagainya. Maka ia masih melakukan aktivitas seperti biasa.

19.30. Luli masih ada di emperan gedung satu, berdua dengan Andro. Hanya berdua.

Mereka baru saja menyelesaikan tugas kelompok. Mengerjakan tugasnya memang tak hanya berdua, tapi yang lain langsung pulang begitu pekerjaan selesai. Tinggal mereka berdua, meski masih ada kelompok lain yang belum usai tugasnya, hanya saja mereka ada di dalam.

Luli gelisah. Apalagi melihat HRV putih yang ia kenal masih terparkir di halaman kampus tak jauh dari tempat mereka duduk.

"Yudi ke mana sih, Ndro? Katanya cuma nganter temennya, kenapa lama banget." Ya, Luli tertahan sebab motornya dipinjam temannya dan belum juga kembali.

"Iya nih. Tumben."

"Ehm ehm. Kalian ngapain berdua-duaan di sini?"

Yang ia khawatirkan terjadi juga. Luli menghela napas sebelum menoleh ke asal suara. Suara yang sangat ia kenal.

"Eh, Pak Iqbal. Ini, Pak, motornya Zulfa dipinjam Yudi dan nggak balik-balik."

"Nah kamu ngapain di sini?"

"Nemenin Zulfa, Pak. Kan kasian kalo sendirian. Udah malam."

"Kalau berdua lebih baik, gitu? Kenapa nggak tunggu di dalam? Masih ada teman kalian yang lain kan?"

"Iya sih, Pak."

"Zulfa, kamu anak perempuan, harus lebih bisa menjaga diri. Pulang dengan saya, sekarang!"

"T-tapi, Pak, motor saya?"

"Oke. Terserah kamu sajalah." Iqbal mendongkol. Sekuat tenaga menahan emosi.

Ia membuang napas kasar. Tak ingin memperpanjang pembicaraan. Berbalik badan dan meninggalkan keduanya menuju ke mobil. Diletakkannya ransel dan segala bawaan di seat sebelah kirinya. Capek, tapi hatinya lebih capek lagi. Ingin marah, tapi belum ada hak untuk itu, kecuali haknya sebagai dosen untuk mengingatkan mahasiswanya.

[Zulfa, tolong nurut sama saya. Saya sayang sm kamu. Saya nggak rela lihat kamu berdua2 begitu. Dg siapapun.
Ini bukan hanya ttg perasaan saya ke kamu, tp jg ttg kehormatan kamu sbg seorang perempuan.
Ini sudah malam. Please. Nurutlah sm saya]

Luli hanya membaca. Tak tahu harus membalas apa.

Iqbal menjalankan mobilnya, dan berhenti tepat di depan kedua mahasiswanya. Lalu turun menghampiri mereka.

"Zulfa, pulang sekarang." Mencoba melembutkan suaranya.

"T-tapi, P---"

"Nggak ada tapi. Kecuali kamu memang menikmati waktu berdua sama Angkasa di sini." Tetap saja emosinya tak bisa disembunyikan.

Luli menggigit bibir bawahnya. Merasa bersalah sekaligus kesal dengan kalimat terakhir yang diucapkan Iqbal.

"M-motor saya gimana?"

"Siapa yang bawa? Yudi? Wahyudi?"

"Iya, Pak."

"Suruh dia yang antar ke rumah kamu."

"Baik, Pak. Kalo gitu biar Zulfa saya antar pulang, nanti Yudi langsung ke rumah Zulfa saja."

"Ehk. Y-ya bukan begitu maksud saya. Emm, Zulfa, kamu bawa mobil saya. Biar saya yang tunggu motor kamu di sini. Nanti saya antar ke rumah."

"T-ta---"

"Sudah! Nggak usah membantah lagi! Pulang sekarang!" Luli hendak bicara lagi, tapi Iqbal keburu memotong ucapannya dengan perintah.

"Saya dosen di sini. Saya punya hak dan kewajiban untuk mengingatkan mahasiswa-mahasiswa saya jika mereka melakukan sesuatu yang dirasa kurang baik, atau bisa mengundang sesuatu yang tidak baik."

Disodorkannya kunci mobil ke tangan Luli, yang mau tak mau menerima dan melangkah menuju mobil dosennya.

Mesin mobil kembali menyala. Iqbal mendekat dan mengetuk kaca jendela.

"Kabari saya kalo sudah sampai  rumah. Kalo nggak berani bilang bapak ibu, bilang saja nanti saya nyusul. Saya yang akan jelaskan ke beliau berdua.

"Maaf kalo kamu nggak suka. Saya begini karena saya sayang sama kamu, Zulfa." Air mata Luli berderai begitu saja. Ia tak bicara sepatah pun kata.

"Hati-hati."

Iqbal kembali dan duduk di samping Andro.

"Wahyudi ngantar temannya ke mana?"

"Pulang ke kostnya, Pak."

"Di mana kostnya? Kaligawe?" Sengaja menyebut salah satu daerah di ujung utara Semarang, yang terbentang jauh dari tempat mereka di ujung selatan.

"Enggak sih, Pak. Cuma di Mulawarman."

"Mulawarman tapi lewatnya Srondol?" Pedas juga nih omongan Iqbal.

"Hehe. Bapak suka banget becanda deh."

"Bukan teman biasa kan yang diantar?"

"Hehe."

"Saya tau, kamu cuma mencari kesempatan biar bisa berduaan sama Zulfa." Andro hanya bisa nyengir.

"Jangan diulangi! Bukan seperti itu cara memperlakukan perempuan. Nanti, kalau kamu suka lagi sama seorang perempuan, datangi orang tuanya, sampaikan kalau kamu serius dengan anaknya. Bukan modusin anak gadis orang sembarangan.

"Tentunya bukan sekarang, tapi nanti kalau kamu sudah lulus, sudah mapan, sudah bisa mengusahakan masa depan yang baik untuk istri dan keluargamu.

"Dan tentunya bukan dengan Zulfa. Saya tau kok kamu ada hati sama dia. Tapi saya sarankan, kamu fokus dulu ke kuliahmu dan masa depanmu, baru mencari calon istri. Selain Zulfa tentu saja."

"Kalo rival memang gitu ya, Pak. Lihat gesture aja udah kebaca. Bapak juga ada hati kan sama Zulfa?"

"Kamu atau saya yang telpon Wahyudi?" Iqbal tak menjawab pertanyaan Andro.

"Monggo, terserah Pak Iqbal saja."

Iqbal merogoh saku celana jeansnya. Tapi tak menemukan ponselnya di sana.

"Handphone saya ketinggalan di mobil. Tolong kamu yang telpon Wahyudi, saya yang bicara."

Panggilan tersambung. Yudi sedikit panik ketika tahu dosen favorit sekaligus yang paling dia segani meneleponnya. Sudah begitu, nada suaranya jelas terdengar tak suka dengan apa yang diperbuatnya. Bersama Andro tentu saja.

Tak sampai sepuluh menit, Yudi sudah tiba di hadapan Andro dan dosennya. Kemudian tanpa basa-basi Iqbal meminta kunci motor Luli. Berpamitan secukupnya, dan bergegas meninggalkan dua mahasiswa yang malam ini sudah membuatnya capek hati.

Sementara itu di depan rumah Luli, gadis itu menghapus wajahnya dengan tisu basah. Berusaha menghilangkan jejak dari sisa tangis yang turun sepanjang kampus hingga rumah.

Sesuai pesan sang calon suami, ia hendak mengabarkan bahwa ia sudah sampai di rumah. Sengaja menelepon, agar Iqbal mendengar langsung suaranya. Ia ingin lawan bicaranya tahu kalau dia sedih, kalau dia sungguh tak menginginkan kejadian seperti yang baru saja mereka alami.

Luli tersentak. Kaget. Suara dering ponsel cukup nyaring tertangkap telinganya. Ditatap HP-nya sendiri, sedang melakukan panggilan. Lagipula, ringtone yang terdengar bukan seperti miliknya. Maka ia mencari asal suara, dan menemukan HP Iqbal tergeletak di seat sebelah kirinya, tertutup ransel dan beberapa file folder.

Diambilnya handphone tersebut. Membaca tulisan yang tertera di layarnya, senyum Luli mendadak merekah, seiring mukanya yang juga mencerah.

Nyonya Iqbal Sya'bani
2 panggilan tak terjawab

Luli mencoba melakukan panggilan sekali lagi. Nama yang terbaca masih tetap sama, Nyonya Iqbal Sya'bani. Kali ini ia justru ingin menangis. Merasa dihujani cinta dan kasih sayang yang tulus dari seseorang yang dulunya sama sekali tak pernah terbayang akan dekat dengannya.

Di teras, ibu terlihat celingukan. Memastikan mobil siapa yang berhenti di depan rumah. Luli keluar dari sisi driver, menarik senyum yang terlihat dipaksakan.

"Assalamualaikum, Bu."

"Waalaikumussalam. Kok bawa mobil Nak Iqbal, Lul? Ada apa?" Luli mencium tangan, lalu kedua pipi ibunya.

"Maaf, Luli capek, Bu. Mau mandi dulu ya biar segeran. Nanti Pak Iqbal ke sini bawa motor Luli."

"Ya sudah sana. Mau pakai air anget apa air dingin aja?" Ibu seakan mengerti apa yang saat ini Luli ingini.

"Seadanya aja, Bu."

Belum kelar Luli mandi, Iqbal datang. Bapak menyambut di teras, dan segera mempersilakan masuk. Ibu menyuguhkan wedang jahe begitu Iqbal menaruh badannya di sofa. Bapak dan ibu sama-sama tahu, capek sedang menghampiri sang calon menantu.

Tanpa basa-basi, "Maaf, Pak, Bu. Tadi Zulfa mengerjakan tugas di kampus sampai ba'da isya. Pas mau pulang, motornya dipinjam temannya dan nggak kembali-kembali. Kebetulan saya pas baru selesai dan mau pulang. Daripada Zulfa menunggu berdua dengan temannya laki-laki, saya suruh dia pulang dulu bawa mobil saya. Saya yang menunggu motor dia datang.

"Begitu ceritanya, Pak, Bu. Sungguh tidak ada maksud apa-apa. Saya hanya ingin menjauhkan Zulfa, paling tidak dari fitnah. Mohon maaf nggih Pak, Bu."

"Nggak apa-apa, Nak Iqbal. Kami malah berterima kasih sekali. Semoga semuanya berjalan lancar ya, sampai besok malam dan hari Sabtu. Rasanya kami juga masih deg-degan sampai kami benar-benar tuntas melepas Luli." Bapak memaklumi. Plus sedikit curhat.

Luli sudah sejak tadi keluar dari kamar mandi, tapi tak berniat untuk turut serta dalam obrolan malam ini. Ia masih merasa malu dan tak enak hati pada Iqbal.

Tak berlama-lama di rumah Luli, Iqbal segera pamit. Ia sudah di dalam mobil, ketika Luli dengan tergesa menghampiri.

"Pak, maafin saya ya. Bapak marah?"

"Iya, nggak pa-pa. Saya pulang dulu ya. Kamu istirahat. Assalamualaikum." Tak seperti biasa. Datar. Serupa dengan ekspresinya.

"Waalaikumussalam," jawab Luli lirih. Buru-buru menghapus bening yang lagi-lagi jatuh dari sudut netra. Ada khawatir menyelinap perlahan ke sudut hatinya.

Ia kembali masuk ke rumah. Mohon izin pada bapak dan ibu untuk istirahat lebih cepat.

Diambilnya gawai, lalu mengetikkan pesan untuk Iqbal.

[Pak Iqbal, saya bener2 minta maaf ya. Saya dg andro nggak ada apa2]

Baru terjawab sekira sepuluh menit kemudian.

[Semoga benar demikian. Masih ada 1+ hari. Mungkin kamu bisa bertanya sekali lagi pd hati kamu, Zulfa]

[Maksud bapak gimana?]

[Bapak nggak berubah pikiran kan? ]

[Saya capek, Zulfa. Saya istirahat dulu ya]

[Bapak di mana? Sudah sampe rumah kah? Cepat sekali]

Sepuluh menit, dan tetap diam.

[Pak...]

Tambah sepuluh menit, dan masih tetap diam.

[Pak Iqbal...]

Total tiga puluh menit, dan masih belum ada jawaban.

[Bapak marah?]

Hampir satu jam. Jangankan membalas, pesan Luli saja tak ada satupun yang dibaca. Luli tak lagi menunggu balasan, sekarang ia justru mengkhawatirkan keadaan Iqbal.

Jantungnya hampir lepas saat nada panggil terdengar dari ponselnya. Makin cemas begitu melihat nama yang tertera di layarnya. Umi Pak Iqbal.

"Assalamualaikum, Umi." Ditenang-tenangkannya intonasi yang keluar, padahal hati berdebar-debar.

"Waalaikumussalam, Neng Zulfa. Kamu sehat, Sayang?"

"Alhamdulillah sehat, Umi. Umi sama abah sehat juga kan?"

"Alhamdulillah, Neng." Terdengar umi mendehem. Luli mengambil napas, menahannya sesaat.

"Emm, Iqbal ke rumah kamu nggak, Neng?"

"I-iya, Umi. Tadi ke rumah, tapi jam setengah sembilanan udah pulang. Gimana, Umi?"

"Ngabari kamu nggak kalo udah sampe gitu?"

"Iya, tadi sekitar sepuluh menit setelah pulang kami sempat whatsapp-an, Umi. Pak Iqbal belum sampe rumah kah?" Mulai panik.

"Iya. Tadi sih ijin katanya mau di kampus sampe agak malam. Biasanya kalo udah lebih dari jam delapan belum selesai, dia suka telpon Umi. Ini kok tumben nggak ngabari."

"Iya, Umi. Tadi ada insiden sesuatu, Umi. Trus mobilnya yang bawa saya. HP-nya ketinggalan di mobil. Jam delapanan Pak Iqbal ambil mobil, sempat ngobrol sama bapak sebentar. Sama ibu juga. Pas mau pulang saya keluar. Tadi tapi udah sempat balas wa saya, Umi. Hiks." Luli mulai terisak. Kalimatnya sudah tak tentu arah.

"Iya, kamu jangan panik dulu ya, Sayang. Nggak pa-pa, tenang dulu. Mungkin dia udah nggak kuat nyetir sampe rumah dan pulang ke Madina. Memang beberapa hari ini agak keforsir tenaganya."

"Eh, ya udah, Umi, biar saya tengokin ke Madina aja. Kalo ada mobilnya berarti Pak Iqbal di sana."

"Ini sudah malam, Neng. Nggak baik kamu keluar sendiri."

"Nggak pa-pa, Umi. Biar saya minta temenin bapak atau ibu. Udah dulu ya, Umi. Maaf. Assalamualaikum."

"Iya, hati-hati ya, Sayang. Waalaikumussalam."

Tanpa mengganti piyamanya, Luli bergegas menyambar outer dan jilbab instan. Mengetuk kamar bapak ibu sambil sesenggukan.

"Pak, Bu, udah tidur belum? Luli mau minta tolong. Huhuhu."

Ibu keluar, "Kamu kenapa?"

"Pak Iqbal, Bu. Pak Iqbal belum sampe rumah. Barusan uminya telpon. Mungkin pulang ke Madina gitu, Bu. Tapi nggak biasanya nggak kasih kabar. Luli mau minta anter bapak ke sana, Bu. Hiks."

"Iya iya, kamu tenang dulu. Kita ke sana sekarang. Ibu ikut ya." Bapak menenangkan.

Tak membiarkan Luli memegang kemudi, Bapak mengambil posisi di seat kanan depan. Gadis ngambekan itu menangis sepanjang jalan. Ibu dengan lembut memberi pelukan.

Hanya lima menit, dan mereka telah sampai di pos satpam The Madina Residence. Meski tak menetap di sana, ternyata Iqbal cukup dikenal akrab oleh security yang bertugas. Ia menyebutkan blok dan no rumah Iqbal, serta menunjukkan arah menuju ke sana.

"Mas Iqbalnya tidur di sini kelihatannya, Pak. Soalnya belum lama masuk sini dan saya belum lihat keluar lagi." Satu informasi melegakan Luli.

Benar dugaan umi, Luli melihat mobil Iqbal di alamat yang disebutkan oleh Pak Satpam.

"Kita turun sebentar ya, Bu."

"Iya." Ibu dan bapak mengikuti langkah Luli.

Diketuknya pintu, dari pelan hingga agak keras.

"Jangan kenceng-kenceng, Nduk. Ini sudah malam." Bapak memperingatkan.

Luli spontan saja memutar kenop, pintu pun terdorong.

"Lah, Pak Iqbal sampe lupa ngunci pintu, Bu. Astaghfirullah. Kita masuk nggak pa-pa ya, Bu," rengek Luli.

"Ya sudah, nggak pa-pa." Bapak dan ibu lagi-lagi mengekori sang putri.

Tak memperhatikan sekeliling. Luli hanya mencari Iqbal saja. Ia mendengar dengkuran dari arah dalam, dan tergesa mencari asal suara.

Luli menemukan laki-laki yang dua hari lagi akan menjadi suaminya itu sedang tertidur pulas di atas karpet tebal nan hangat. Tanpa bantal, tanpa guling, tanpa selimut, bahkan tanpa sempat mengganti baju. Kakinya saja masih rapat terbungkus kaos kaki. Hanya pendingin ruangan yang sempat dinyalakan. Rupanya Iqbal sudah tak bisa lagi menahan capek dan kantuknya.

Ragu-ragu dan gemetaran, Luli berinisiatif menempelkan punggung tangan ke dahi Iqbal. Panas. Rupanya bukan cuma capek dan ngantuk, ia pula demam.

"Bu, Pak Iqbal demam. Panas banget gini. Gimana ini, Bu? Huhuhu."

"Mbok yang tenang to. Nangis nggak akan menyelesaikan masalah. Cari air hangat sama lap sana, biar ibu kompres. Kalo sudah telpon uminya Nak Iqbal."

Luli makin bengong.

"Di mana nyarinya, Bu? Ini kan bukan rumah Luli. Hiks"

"Ya sudah, kamu telpon uminya sekarang, biar ibu yang cari lain-lainnya."

Dengan sigap Luli segera menelpon umi, disambut dengan ucapan terima kasih dan janji untuk datang sesegera mungkin.

Tak lagi memikirkan boleh atau tidaknya, Luli segera melepas kaos kaki Iqbal. Mengganjal kepalanya dengan cushion, menaikkan suhu pendingin ruangan, mencari selimut, dan sebagainya. Ia kesana kemari dengan gagap, karena memang baru pertama kali masuk ke rumah itu.

Ibu mengompres calon menantunya. Sedang bapak mendiamkan saja anak gadisnya. Tak mau membuat Luli makin gelisah, malu, atau merasa bersalah.

"Pak, Pak Iqbal. Bangun, Pak. Ini saya, Zulfa."

Luli berusaha membangunkan. Menepuk pipinya, mengguncang bahunya, apa saja. Tangis dan panik masih menguasai.

"Pak, Bu, ini tidur apa pingsan sih? Kok nggak mau bangun. Huhuhu."

"Sudah, Nduk. Kamu yang tenang. Insya Allah nggak apa-apa, mungkin memang kecapean sekali."

Luli berhenti berusaha. Hanya duduk termangu di sebelah dosennya yang sedang terkapar tak berdaya.

"Emmh." Iqbal mengerang. Menoleh kanan kiri sambil mengusap wajahnya.

"Zulfa. Saya di mana?! Kamu kok di sini?! Apa kita sudah menikah?!" Iqbal terkejut melihat Luli di dekatnya. Hendak bangkit tapi rasanya tak ada tenaga

"Alhamdulillah." Luli lega luar biasa. Untung masih ingat untuk tak memeluk laki-laki di hadapannya.

"Saya mimpi apa gimana?"

"Ssstt, Bapak jangan banyak bicara dulu. Bapak kecapean, sakit, demam. Sebentar lagi umi datang."

"Biar minum hangat dulu, Nduk." Ibu menyodorkan teh hangat pada Luli. Bapak membantu Iqbal untuk duduk.

"Lho, ada Bapak Ibu juga? S-saya kenapa?" Iqbal terdengar lemah.

"Ssstt, Bapak minum dulu aja, jangan banyak bicara." Luli mengulurkan cangkir di genggamannya.

Tak lantas memanfaatkan keadaan, Iqbal mengambil cangkir dari tangan Luli dan meminum dengan tangannya sendiri. Kemudian dengan agak payah menggeser posisinya untuk bersandar di sofa.

Dua lembar tisu basah disodorkan Luli, lengkap dengan pesan agar sang calon suami mengelap wajahnya supaya lebih segar.

"Maaf, Pak, Bu. Saya tadi capek dan ngantuk sekali."

"Iya, Pak. Umi telpon saya jam setengah sepuluh. Saya kira bapak balas wa saya tadi udah sampe rumah. Hiks."

"Maaf ya, Zulfa, jadi merepotkan kamu. Jangan nangis ah. Saya baik-baik aja kok."

"Baik-baik gimana? Bapak demam gitu. Tidur kaya orang pingsan. Huhuhu." Tangis Luli mengeras lagi.

Deru mobil terdengar di luar. Sesaat berikutnya abah dan umi mengucap salam. Luli merasa lega.

Umi dan abah membantu Iqbal ke kamarnya. Hanya sebentar, abah sudah keluar. Bergabung bersama bapak, ibu, juga Luli.

"Terima kasih banyak, Pak Rofiq dan Ibu. Juga Zulfa. Iiq ya begitu itu. Kalo sakit itu berarti alarmnya bunyi. Pengen dimanja uminya. Apalagi ini mau nikah, sebentar lagi yang manjain udah beda." Abah bercanda dengan santainya.

"Neng, sini deh. Boleh nggih, Pak, Bu?" panggil umi pada Luli, kemudian memohonkan izin pula pada kedua orang tuanya.

Luli memenuhi panggilan umi setelah bapak ibu menganggukkan kepala.

"Ada apa, Umi?" Berdiri di depan pintu. Ragu-ragu.

"Sini, Neng. Iiq mau ngomong."

Hati Luli resah seketika. Khawatir Iqbal akan membahas kejadian di kampus tadi di depan uminya.

Umi menyuruh Luli duduk di sampingnya, di tepian bed berukuran nomor satu. Iqbal pun mengubah posisi baringnya menjadi duduk. Mengapit umi diantaranya dan Luli.

Iqbal sudah berganti pakaian. Mengenakan kaos oblong dan celana selutut, ia terlihat berbeda. Di mata Luli, Iqbal makin mempesona dengan kostum kasual macam itu.

"G-gimana, Pak? M-maaf ya, saya lancang masuk rumahnya. Tadi ketuk-ketuk pintu nggak dibukain, saya panik, pas muter handle ternyata nggak dikunci. Maaf."

"Nggak apa-apa, Zulfa. Santai aja. Ini kan rumah kamu juga."

"Ehk."

"Kamu pulang ya, istirahat. Wa-kan ke saya jadwal kuliah kamu besok dan siapa dosen pengampunya. Kamu nggak usah ke kampus, saya yang mintain ijin."

"T-ta..., i-iya. Baik, Pak." Mau menolak, tapi Iqbal keburu menggeleng sambil menatapnya, sebagai kode bahwa dia tidak menerima penolakan.

"Terima kasih ya, kamu udah mau nurut sama saya. Latihan. Dua hari lagi kamu jadi makmum saya lho. Insya Allah."

"J-jadi, Pak Iqbal ng-nggak berubah pikiran?"

"Sebenernya saya berubah pikiran sih."

"Ehk, jadi...." Luli siap menjatuhkan bulir bening dari matanya. Cengeng bener sih!

"Iya. Saya berubah pikiran. Kalo boleh saya pengen nikahin kamu sekarang juga. Mumpung ada bapak ibu dan abah umi. Boleh nggak sih, Mi?" Luli tersipu, mengusap sudut mata yang sudah basah. Mengalihkan pandang pada rak buku di sudut kamar.

"Ngawure lho. Kamu ngigau apa gimana sih, Dek? Nggak sampe dua hari lagi kok ya wis gak betah. Ckckck." Ditoyornya pelan kepala anak kesayangan.

"Hehe, becanda, Umi sayaaang." Iqbal memeluk ibunya. Mencium pipinya dengan mesra. Terlihat jauh lebih baik dari saat baru bangun tadi.

"Ya udah, kita keluar dulu yuk. Saya mau say thanks sama bapak ibu."

"Eh, nggak usah, Pak. Biar bapak ibu aja yang ke sini."

"Heh, nggak sopan dong, masa orang sepuh yang disuruh-suruh ke sini. Saya nggak pa-pa kok. Orang suruh ijab qobul sekarang aja saya kuat, apalagi cuma ke depan situ. Serius." Luli malah menangis lagi.

"Duh, jangan nangis terus dong, Zulfa. Saya nggak pa-pa, beneran. Eh, apa kamu mau nemenin saya di sini sama umi? Biar tenang nggak nangis terus gitu."

"Heh, ngawur. Nggak nggak nggak. Cari kesempatan aja ya ini bocah." Kali ini jemari Umi mendarat di kuping anak bungsunya. Tak main-main, benar-benar menarik itu telinga sampai merah. Dan kali ini tawa Luli pun pecah. Dasar labil!

Kemudian bertiga menyusul ke ruang keluarga.

"Pak, Bu, saya berterima kasih sekali sudah menemani Zulfa menengok dan memastikan keadaan saya. Mohon maaf yang sebesar-besarnya, jadi malah merepotkan Bapak dan Ibu. Insya Allah besok semua tetap berjalan sesuai rencana.

"Saya nggak pa-pa kok, Pak, Bu. Cuma kecapaian saja. Dua pekan ini waktu, tenaga, dan pikiran memang lebih banyak terforsir. Karena setelah ditentukan hari H-nya tempo hari, saya rescheduled semua jadwal hingga sepekan ke depan.

"Sengaja saya padatkan di dua pekan ini. Soalnya sepekan setelah nikah nanti sudah masuk Ramadhan, jadi sepekan besok saya kosongkan jadwal selain mengajar. Mau saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk banyak-banyak menghabiskan waktu sama Zulfa."

Muka Luli memerah laksana ceri. Iqbal juga sih, hal kaya begini pakai disampaikan di depan forum orang tua segala. Hadeh.

"Ya ya ya, kami sih maklum, wong ya pernah muda. Betul demikian nggih, Pak Sudjana?"

"Betul banget itu, Pak Rofiq. Ya nanti kalo Iiq sama Zulfa belum ngerti caranya, belum ada pengalaman, bolehlah nanya ke yang sudah senior kaya kita-kita ini. Hahaha." Tawa orang-orang tua membahana, seolah menertawakan Iqbal dan Luli yang mereka yakin sama-sama nihil pengalaman bermesra-mesra.

Duh, Abah. Gimana anaknya nggak cengengesan, lah abah uminya aja model begini.

Tepat pukul sebelas malam, Mobilio abu-abu tua meninggalkan rumah yang kelak akan menjadi tempat tinggal Luli.

Gadis itu menoleh sekali lagi. Sama sekali tak pernah bermimpi akan tinggal di perumahan ini. Benar-benar bagai tertimpa durian, yang berjatuhan meruntuhi dirinya.

"Alhamdulillah. Masya Allahu laa quwwata illa billah. Terima kasih ya, Allah. Semoga semuanya lancar, dan saya bisa jadi istri yang baik buat Pak Iqbal."

"Ih, kok aku jadi ngelantur kemana-mana sih." Ia tersipu atas monolognya sendiri.

Sampai rumah, Luli segera mencuci tangan, kaki, dan mukanya. Setelah bersih, ia menyusul ke kamar bapak ibu. Mengucapkan terima kasih, lalu mencium tangan dan pipi keduanya.

"Bu, Luli tidur sini aja boleh yaaa?" rengek Luli. Tiba-tiba saja ia ingin tidur bertiga dengan bapak dan ibunya.

"Lah, mau jadi nyonya kok minta tidur sama bapak ibu sih? Kaya bayi aja." Bapak meledek.

"Ya justru itu kan, Pak. Pokoknya dua malem ini Luli mau tidur di sini. Yaa boleh yaa?" Luli merajuk manja.

"Iya, iya, boleh banget. Wis ben to, Pak (Sudah biarin to, Pak). Kalo dia udah nikah nanti, belum tentu kita bisa ngelonin bayi gede ini lagi. Kalo liat modelnya Nak Iqbal, kayanya dia nggak bakalan kasih ijin deh. Kita bakalan dicoret dari daftar, dan cuma dia yang boleh ngelonin Luli." Bapak ibu terkekeh bersama. Luli bergidik sendiri.

"Ih, ibu apaan sih. Jijik banget bahasanya."

Luli merasa risih setengah mati. Malu. Ia segera menyusup diantara bapak dan ibu, membenamkan mukanya dalam selimut lembut berwarna abu-abu.

***

Gemesss nggak sih sama Luli?! Untung Iqbal sabar ya. Hehe...

Alhamdulillah, setelah kemarin "menipu" kalian semua, kali ini beneran up kan yaaa. Semoga bisa menghibur dan mengobati kekecewaan.

Mohon maaf kalo ada salah2 kata. Atau kl ada komentar yg gak terbalas. Selalu diusahakan sih, tp ya kadang ada keterbatasan.

Terima kasih untuk semuanya.
Laff laff laff....

Sampai jumpa.
❤❤❤

Semarang, 13082020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top