Part 13.
Tetap jadi anak baik ya, Nduk. Tetap ingat pesan dan nasehat bapak ibu. Walaupun nanti yang lebih utama bagimu adalah suamimu, bukan lagi bapak dan ibu.
- kata ibunya Luli -
--------
Belum kok, mereka belum menikah di part ini :)
***
[Assalamualaikum, Zulfa]
[Kamu nggak ada acara kan hari ini? Saya jemput buat fitting ya]
Pesan dari Iqbal diterima Luli. Hari masih pagi. Luli bahkan belum mandi.
[Waalaikumussalam pak]
[Kok mendadak. Udah ijin bapak ibu?]
[Belum. Penjahitnya umi ngabarinnya udah malam banget. Tadinya mau sm umi jg, tp mendadak hrs ke Kudus sm abah. Jd mungkin cm berdua. Maaf ya]
[Spt biasa, nanti saya yg ijin bapak ibu. Jam 9 saya jemput ya]
[Insya Allah]
-----
"Assalamualaikum."
Tepat jam sembilan, terdengar ucapan salam di teras rumah Luli. Jam-jam segitu memang ibu tak pernah menutup pintu.
"Waalaikumussalam," jawab ibu tak kalah lantang dari si pendatang.
"Eh ada Nak Iqbal. Nyari Luli atau bapak ini? Monggo, duduk dulu."
"Nggih, Bu. Maturnuwun." Iqbal duduk, sebelum mengungkapkan maksud kedatangannya.
"Jadi begini, Bu. Semalam penjahitnya umi mengabarkan kalau gamis yang mau dipakai Zulfa untuk akad nikah sudah siap. Tinggal fitting terakhir untuk memastikan semua sudah oke. Soalnya kemarin nggak sempat ngukur langsung, hanya pakai contoh gamis yang Zulfa punya. Kalau ada yang kurang atau Zulfa belum nyaman, biar bisa segera diperbaiki."
Keputusan soal hari pernikahan yang --bisa dibilang-- mendadak membuat keluarga Iqbal merasa bertanggungjawab atas segala persiapan, termasuk gaun yang akan dikenakan Luli saat akad nikah. Tadinya ibu keberatan, khawatir merepotkan. Pada akhirnya dicapai kesepakatan bahwa hanya baju yang akan dikenakan Luli saja yang diambil alih oleh keluarga Iqbal.
"Oh ya ya. Berarti nyari Luli ya?"
"Nggih, Bu. Leres. (Ya, Bu. Betul). Lha Bapak bukannya tenis ya, Bu?"
"Iya, Bapak tenis. Tadi Nak Iqbal sudah ijin bapak belum?"
"Belum, Bu. Zulfa juga belum. Soalnya bisa dibilang ini mendadak."
"Oh, baiklah. Saya panggilkan Luli dulu ya."
Ibu masuk, setelah lebih dulu mempersilakan calon mantunya untuk minum dan mengudap seadanya yang tersedia di atas meja.
Sampai di kamar Luli, terlihat anak gadisnya sudah siap dengan kostum untuk pergi. Bahkan slingbag yang selalu berisi handphone, tisu, dompet, suncare, dan lipbalm pun telah siap, meski masih tergeletak di atas kasur.
"Kok nggak bilang ibu kalo mau pergi?"
"Emm, iya, Bu. Maaf. Luli juga ragu-ragu ini. Pak Iqbal ngasih taunya juga mendadak."
"Lha kamu mengiyakan enggak tadi?"
"Luli jawab insya Allah. Dan Pak Iqbal bilang kalo dia yang mau ijin ke bapak sama Ibu."
"Kenapa kamu ragu-ragu pergi?"
"Emm, ya, emm, Luli takut aja sih, Bu. Nggak enak. Nggak nyaman gitu."
"Takut soal apa?"
"Emm, apa ya, Bu. Itu sih, Bu, kan memang sebentar lagi nikah, tapi kan bukan berarti terus udah boleh keseringan jalan berdua dari sekarang. Luli takut pas udah nikah nanti jadi malah rasanya berkurang.
"Lagian kan memang harusnya nggak boleh, Bu. Biasanya kalo bukan terpaksa dan atas ijin Bapak Ibu juga Luli nggak mau kan, Bu. Ya walopun Luli, emm, jujur aja memang emm, s-seneng kalo jalan berdua sama Pak Iqbal. Orangnya enak, baik. Selalu bikin Luli ngerasa nyaman." Dengan tersipu, Luli berkata jujur pada ibu.
Ibu tersenyum, "Ya sudah. Kamu temui Nak Iqbal dulu aja. Bilang apa adanya. Dia tipikalnya hampir sama kaya masmu, insya Allah punya solusi yang baik buat kalian berdua.
"Maksud Nak Iqbal ngajakin kamu pergi juga ibu yakin baik, karena pengen kamu nyaman selama pakai baju itu. Kan kamu jarang pakai gamis-gamis begitu. Dia tuh kaya berusaha ngertiin kamu banget deh, Nduk. Alhamdulillah, ibu lega dapet mantu kaya Nak Iqbal." Luli kembali tersipu.
"Ibu juga senang, Nduk, karena meski bapak ibu sudah memberi lampu hijau. Kalian juga tinggal selangkah lagi sampai ke jenjang pernikahan. Nggak lantas membuat kamu menganggap ringan semua prinsip baik yang sejak dulu kamu pegang.
"Tetap jadi anak baik ya, Nduk. Tetap diingat pesan dan nasehat bapak ibu. Walaupun nanti yang lebih utama bagimu adalah suamimu, bukan lagi bapak dan ibu." Luli terharu. Menepuk pelan kedua matanya dengan tisu.
"Luli ke ruang tamu dulu ya, Bu. Doanya terus ya, Bu, buat Luli." Dipeluknya sang ibu sebelum ia menemui Iqbal.
Mengenakan pleats skirt hitam dipadu blus putih motif bunga dan jilbab warna nude, Luli tampil sedikit berbeda. Polesan make up tipis memberi kesan lebih segar di wajahnya. Iqbal sampai harus menelan saliva saat menemukan pemandangan di hadapannya.
"Cantiknya," ucap Iqbal. Tentu hanya dalam hati saja.
"Assalamualaikum, Zulfa. Kamu sehat?"
"Waalaikumussalam. Pertanyaannya kaya setaun nggak ketemu ya, Pak." Iqbal tertawa, Luli juga. Ia mengambil tempat duduk di seberang calon suaminya.
"Hehe, iya. Maaf ya, Zulfa. Saya agak kaget, nggak pernah lihat kamu dandan begitu. Kamu beda banget. Can---"
"Ssstt, nanti ibu dengar lho, Pak. Malu. Disimpan dulu aja gombalannya buat minggu depan." Iqbal lagi-lagi tertawa.
"Sudah siap pergi?"
"Eh, emm, s-sebenernya sih belum, Pak. Saya nggak enak."
"Gimana?"
"Emm, ya walopun kita udah mau emm, menikah, emm tapi saya ngerasa nggak nyaman kalo kita jadi keseringan jalan berdua gitu, Pak. Saya takut malah jadi terbiasa, dan nanti berkurang rasa pas udah nikah."
"Iya. Saya bisa ngerti maksud kamu. Maaf ya kalo bikin kamu nggak enak. Saya cuma mau kamu nyaman, termasuk baju yang kamu kenakan pas akad nikah nanti."
"Iya, Pak. Nggak pa-pa."
"Emm, gini aja. Kita pergi sama bapak dan ibu. Habis fitting, kita jalan-jalan rame-rame. Kamu panggil ibu deh, biar saya yang bilang sama beliau."
"T-tapi, bapak masih tenis, Pak."
"Iya, saya tau. Tadi bapak naik apa, kok mobil di rumah?"
"Biasanya kalo saya di rumah, saya yang anter jemput, Pak. Ini tadi juga saya yang anter."
"Berarti nanti kamu juga yang jemput?"
"Iya, Pak."
"Jam berapa biasanya?"
"Sebentar lagi, Pak. Biasanya antara jam setengah sepuluh sampe jam sepuluhan, Pak."
"Oke. Tolong kamu panggil ibu dulu ya, biar saya sampaikan maksud saya tadi. Nanti kalo ibu iya, saya yang jemput bapak. Kita pergi berempat."
Tanpa berusaha menyanggah, Luli segera memanggil ibu, yang langsung beranjak menuju ruang tamu. Mengambil posisi di sebelah ibu, ia hanya menyimak pembicaraan keduanya.
Iqbal menerangkan pada ibu, bahwa sebenarnya dia akan mengajak Luli pergi bersama uminya, tapi ada salah seorang sahabat abahnya masa kuliah dulu sedang berkunjung ke rumah mertuanya di Kudus sehingga umi harus menyertai abah. Maka Iqbal mengusulkan untuk mengajak serta bapak ibu menemani Luli fitting baju.
Ibu secara pribadi menyetujui usul yang ditawarkan Iqbal sebagai solusi. Tapi bagi ibu, keputusan terakhir tetap berada di tangan bapak.
Iqbal tak menunda lagi. Ia bergegas menjemput bapak di lapangan tenis kampus. Sendiri. Tanpa Luli.
Dengan penuh percaya diri Iqbal menyusuri tepian lapangan. Dari kejauhan ia sudah bisa menemukan calon mertuanya. Beberapa pria paruh baya yang ada bersama bapak ia kenali. Hampir semua dosen senior yang telah lama mengabdi untuk memastikan kualitas generasi.
Iqbal baru saja menjelaskan pada bapak bahwa ia datang untuk menjemput beliau, ketika satu tepukan tegas mendarat di pundaknya. Dekan fakultas teknik.
"Ada apa ini, Pak Iqbal, kok datang kemari?"
"Iya, Pak. Saya menjemput Pak Rofiq."
"Masih ada hubungan saudara atau bagaimana?" selidik Pak Dekan.
"Nak Iqbal ini calon mantu saya, Pak. Tapi rahasia ya," jawab bapak, setengah berbisik. Lalu terkekeh.
"Oalah, jadi kemarin menemui saya cerita soal menikah itu sama putrinya Pak Rofiq to?"
"Betul, Pak."
"Berarti sebentar lagi iparan dengan Pak Zulfikar Aditya, dosen arsitektur?"
"Nggih. Itu juga betul, Pak."
"Judulnya mendadak ipar, Pak." Bapak menyahut sambil tertawa.
"Wong Nak Iqbal ini juga tiba-tiba datang, bilang mau melamar anak saya. Zulfikar saja sampai kaget katanya pas tau kalau adiknya diminta menikah sama sahabatnya."
"Masya Allah. Ini nanti kalau kumpul keluarga jadi berasa rapat universitas ya, Pak. Hahaha," canda Pak Dekan FT yang memang ramah.
Tak lama berbasa-basi, Iqbal dan bapak meninggalkan lapangan menuju ke mobil yang akan membawa mereka pulang.
Di mobil Iqbal menjelaskan semua kejadian di rumah, dengan Luli, juga dengan ibu. Bapak maklum, juga menyetujui. Alhamdulillah.
Bapak juga bertanya tentang pertemuan yang dimaksud Pak Dekan FT tadi. Iqbal menjelaskan dengan senang hati, bahwa ia memang sengaja menemui beberapa dosen yang lebih senior di departemennya. Juga ketua program studi, ketua departemen, hingga dekan. Ini berkaitan dengan rencana pernikahannya, sebab Luli masih menjadi mahasiswi aktif di institusi yang sama.
Kalau saja pernikahannya tidak perlu disembunyikan sementara waktu, Iqbal tidak merasa perlu menemui khusus satu per satu. Ia melakukannya untuk jaga-jaga, mana tahu dalam perjalanannya nanti, ada sesuatu yang terjadi di kampus berkaitan dengan status dia dan Luli.
Bapak senang. Beliau merasa salut pada pemikiran calon menantu, yang sudah ia sayangi layaknya anak sendiri. Walau bapak tak pernah mengatakan tentang hal ini.
-----
Fitting usai. Iqbal lega. Benar persangkaannya. Beberapa bagian gamis perlu diperbaiki karena kurang nyaman dirasa oleh Luli.
Ibu yang beberapa jam ini bersama mereka, melihat dan merasakan sendiri betapa Iqbal begitu menyayangi dan menjaga Luli. Berkali beliau mengingatkan anak gadisnya supaya tak henti bersyukur.
"Bapak Ibu ingin jalan-jalan ke mana ini? Monggo, saya siap mengantar ke manapun. Nggak harus di Semarang nggih, mau ke Solo, Pekalongan, Tegal, atau Cirebon, pokoknya saya siap."
"Jauh amat, Pak?"
"Iya, jauh. Tapi waktu tempuhnya udah nggak gitu panjang. Kan ada tol. Makanya saya nawarinnya kota-kota yang ada gerbang keluar tolnya." Bapak dan ibu kompak terbahak.
"Bener nggak apa-apa ini?"
"Saestu, Pak." (Beneran, Pak)
"Bu, kalau ke Solo gimana? Ke rumah besan."
"Ibu ikut aja, Pak. Yang penting Nak Iqbal nggak keberatan aja."
"Mboten, Bu (Tidak, Bu). Malah senang saya bisa jalan-jalan rame-rame begini."
"Bukan seneng karena bisa modusin saya ya, Pak?"
"Itu juga sih."
"Dih, jujur amat." Berempat tergelak mendengar obrolan kedua calon mempelai.
"Oh ya, bukannya Asya rumahnya Salatiga ya, Pak?"
"Ini besan lama. Orang tuanya Ayu. Mumpung sama Nak Iqbal dan Luli, biar kami kabari langsung soal rencana pernikahan kalian. Kalaupun nggak bisa datang, minimal sudah ketemu langsung sama calon mempelainya to."
"Masya Allah. Masih silaturahim terus ya, Pak?"
"Masih, Alhamdulillah. Memang orangnya juga baik sekali. Sekarang orang tuanya Ayu sejak kenal sama Nara juga udah nganggap Nara kaya anak sendiri malah. Ketemu besan baru ya lagi-lagi orang baik. Punya calon besan juga baiknya Masya Allah."
"Ya karena Bapak Ibu juga baik. Mendidik putra-putrinya juga dengan sangat baik. Jadi ketemunya ya orang baik terus, Pak," puji Iqbal.
"Alhamdulillah," ujar bapak dan ibu serempak.
"Nyuwun sewu, kita mampir beli oleh-oleh dulu nggih, Pak, Bu."
Tak menunggu persetujuan, Iqbal membelokkan mobil ke parkiran sebuah toko bakery. Lalu mengajak Luli turun dan memilih buah tangan untuk tuan rumah yang hendak dikunjungi.
Luli sedang memilih kue-kue tak jauh dari tempat Iqbal berdiri. Lalu sebuah suara menyusup telinganya.
"Mas Iqbal! Masih inget aku?" Seorang perempuan menyapa Iqbal.
"Riyu kan?"
Lewat sudut mata, Luli memindai baik-baik sosok perempuan yang saat ini berhadap-hadapan dengan Iqbal. Cantik, menarik, dan terlihat supel. Dan seperti yang sudah-sudah, kepercayaan diri Luli pun merosot tajam.
"Alhamdulillah, masih ingat. Mas masih sering ditanyain lho sama bapak."
"Oh ya? Kan udah ada yang baru."
"Iya sih, udah ganti beberapa kali malah. Tapi tetep aja yang menurut bapak nilainya paling baik di semua-muanya ya cuma Mas Iqbal." Iqbal tertawa, pun perempuan yang menjadi lawan bicaranya.
Luli menjauh, tak ingin mendengar lebih banyak lagi pembicaraan mereka. Ia mengambil kue-kue tanpa berpikir. Mana yang dirasa sering dia lihat untuk hantaran, dia ambil dan masukkan keranjang. Setelah dirasa cukup, ia menaruhnya di depan kasir, lantas menyusul Iqbal.
"Pak, belanjaannya sudah. Saya ke mobil dulu." Luli menjaga intonasi agar tetap terdengar sopan. Sayangnya gagal. Kentara sekali dia kesal.
"Siapa, Mas?" tanya perempuan bernama Riyu itu.
"Cal---"
"Saya asistennya Pak Iqbal, Mbak."
"Asisten? Pembantu maksudnya?"
"Iya. Pembantu rumah tangga." Luli menekankan kalimat terakhirnya.
Sungguh, Iqbal ingin tertawa. Namun sekuat tenaga berusaha menyembunyikannya dari sang calon istri.
Luli hendak berlalu, tapi Iqbal menariknya. Menggenggam erat pergelangan kanannya.
"Ini Nyonya Iqbal Sya'bani, Riyu."
Jantung Luli seakan hendak meloncat. Ia kaget. Serasa tersengat aliran listrik ribuan kilowatt.
Sudahlah Iqbal menggenggam pergelangan tangannya, ditambah lagi sebutan sebagai Nyonya Iqbal Sya'bani yang tertuju untuknya. Aish.
"B-bukan, Mbak. Masih calon kok. Masih ada kesempatan kalo mbak mau nikung Pak Iqbal." Jawaban Luli di luar dugaan Iqbal, bahkan dirinya sendiri.
"Astaghfirullah, bukan gitu maksud saya, Ya Allah. Nggak nggak. Saya nggak mau Pak Iqbal ditikung beneran. Astaghfirullah. Astaghfirullah." Luli menyesal atas bicaranya yang asal.
Kali ini Iqbal tak bisa menahan geli, yang datang bersama dengan rasa happy. Ya, dia bahagia dicemburui oleh Luli.
Sesaat ia menutup mulut dengan tangan kanannya, menyembunyikan senyum yang tak bisa ditahan lagi.
"Maaf ya, Riyu. Dia memang suka cemburu gini. Saking sayangnya sama aku. Padahal dia juga tau, kalo sayangku ke dia lebih besar dari itu." Wajah gadis bernama Riyu itu terlihat sedikit sayu. Mungkin dia cemburu.
"Kami duluan ya, Riyu."
Iqbal menarik tangan Luli agar mengikutinya ke kasir. Menggamitnya dengan sikut saat harus mengeluarkan dompet untuk membayar belanjaan.
"Cieee, yang manggilnya aku kamu. Mesra sekali ya bapak dosen kita ini sama mantannya."
"Cieee, ada yang cemburu." Iqbal tak menanggapi dengan serius, malah balik menggoda. Luli merengut.
"Udah ah, marahnya disimpen buat minggu depan," kata Iqbal lagi.
Setelahnya ia kembali menggenggam pergelangan Luli, dan tak sedetikpun melepasnya hingga mereka sampai di mobil.
"Maaf, Pak, Bu. Saya terpaksa menggandeng Zulfa. Anaknya ngambek." Iqbal menjelaskan keadaan yang tertangkap oleh netra kedua calon mertua.
"Kenapa?"
"Ketemu teman saya. Perempuan."
"Bilang aja ketemu mantan," ketus Luli.
"Iya, Pak, Bu. Zulfa benar. Saya yakin Bapak dan Ibu tau kalau itu hanya bagian dari masa lalu. Tapi saya senang kok, berarti Zulfa memang sayang sama saya, buktinya dia cemburu."
"Siapa juga yang cemburu. Sorry banget. Bapak aja yang kepedean."
"Uwis uwis, Nduk (Sudah sudah, Nduk). Ya dimaklumi lah kalau Nak Iqbal punya mantan. Wong memang calon suami idaman. Yang penting kan yang dia pilih buat jadi istri cuma kamu. Kurang serius bagaimana lho sayangnya Nak Iqbal ke kamu. Cemburu ya boleh, secukupnya saja. Apalagi belum sah, sebenernya juga belum punya hak untuk itu." Nasehat bapak pada Luli.
"Yang sabar ya, Nak Iqbal. Ini belum jadi nyonya aja udah ngambekan gini. Nanti kalo udah nikah apalagi." Ibu menimpali. Iqbal tertawa kecil.
"Ya tapi Luli tuh nggak cemburu, Pak, Bu."
"Terus apa dong?" cecar ibu.
"Ehk. Emm, cuma itu, emm, anu, cuma ..., cuma jealous aja."
"Itu sama juga cemburu, Bambaaang!"
Iqbal terpingkal-pingkal mendengar sahutan ibu. Nggak nyangka, calon ibu mertuanya segaul itu.
-----
Silaturahim di rumah orang tua Ayu berlangsung penuh keakraban. Tak lama di sana, hanya sekira satu jam. Selepas zuhur, rombongan mereka berpamitan.
Di perjalanan, ibu mengusulkan untuk sekalian mampir dan mengabari besan yang di Salatiga. Bapak setuju. Begitu juga dengan Iqbal. Luli mengekor keputusan yang lain saja.
Keluar dari gerbang tol Salatiga, Iqbal lagi-lagi berbelok di toko kue-kue yang mereka lewati.
"Sebentar nggih, Pak, Bu."
"Malah ngerepoti Nak Iqbal to ini."
"Mboten, Bu. Santai mawon, (Tidak, Bu. Santai saja)," kata Iqbal menenangkan ibu. Kenyataannya memang begitu.
"Ayo, Zulfa. Kamu yang pilih kue-kuenya." Dari luar, Iqbal membukakan pintu untuk Luli.
"Enggak ah. Males. Ntar ketemu mantannya Pak Iqbal lagi."
"Hush. Sana. Jangan nurutin maumu sendiri aja." Ibu memukul ringan paha Luli.
Masih sambil cemberut Luli turun dan berjalan di belakang Iqbal.
"Kenapa nggak jalan di sebelah saya aja?" Iqbal menghentikan ayunan kaki. Ia menunggu Luli, yang malah ikut-ikutan berhenti.
"Biar nggak kelihatan dateng sama Bapak, mana tau ada mantannya Bapak lagi di dalem sana."
"Hobi banget sih mikir yang nggak penting gitu. Ntar kejadian beneran nangis, ngambek, bete."
"Bapak juga sih, hobi banget gonta ganti pacar. Bangga ya kalo punya banyak mantan?"
"Ssstt, nantilah kalo udah nikah, saya ceritain semuanya ke kamu. Janji!"
"Kenapa harus nunggu nikah? Ada yang bapak sembunyiin ya?"
"Iya. Banyak yang saya sembunyiin. Kalo udah nikah kan garansinya udah habis, nggak bisa ngebalikin atau dibalikin lagi ke orang tua. Suka nggak suka, mau nggak mau harus sama-sama saling menerima." Dasar Iqbal, sempat-sempatnya bercanda.
"Emang saya kulkas pake garansi."
"Kan kamu memang kaya kulkas. Di luarnya hangat, tapi di dalamnya menyejukkan. Menurut saya, sifat kamu tuh begitu. Kamu orangnya hangat, ramah ke semua orang, menyenangkan. Tapi hatimu baik, lembut, menyejukkan."
"Kalau mau ngegombalin anak orang tuh mbok ya pilih tempat yang rada cakepan dikit gitu, Pak. Masa iya di parkiran toko gini."
"Hih. Kamu tuh emang bikin gemes ya. Kalo bisa ngehalalin sekarang, saya ijab qobulin detik ini juga deh." Luli mencibir.
"Udah ah. Bapak ibu nungguin kita. Kamu mau jalan di sebelah saya, apa mau saya gandeng kaya tadi?"
"Huh, modus. Bilang aja nyari kesempatan mau ngegandeng saya. Belum halal tau."
"Lah kamu juga nggak berusaha ngelepasin."
"Lah Bapak kenceng banget gitu megang tangan sayanya. Gimana mau ngelepasin."
"Oke. Sorry. Kalo gitu saya ulangi lagi."
Secepat kilat Iqbal meraih pergelangan kiri Luli. Menggenggamnya kuat, lalu menyeret Luli tanpa permisi.
Mereka baru saja melewati pintu toko dan menuju salah satu lorong berisi deretan cake untuk hantaran. Luli mulai mengedarkan pandang, bersiap memilih beberapa diantaranya.
Tiba-tiba,
"Kak Iqbal! Masih inget aku kan?" Seorang perempuan menghampiri, bertanya dengan berapi-api.
"Emm, Vero kan?"
"Alhamdulillah. Masih diingat sama mantan terindah."
"Ehk. Matik aku!!"
Iqbal cuma bisa tersenyum kecut, melirik Luli yang memandangnya dengan tatapan setajam silet.
***
Blaik kamu, Iq!! Kapokmu kapaaan?!
Sehari kok ketemu mantan dua kali. Mana lagi bareng calon istri. Dua-duanya pula di toko roti. Kayanya besok2 Iiq emoh masuk toko kue lagi deh. Trauma. Jiahaha...
Part 13 ini memang cuma sampe di sini yaaa. Tadinya mau dilanjutin sampe ketemu Fikar-Nara di Salatiga. Tapiii....
Eh, atau perlu bikin polling di instagramku? Ada part 13.2 apa enggak, gitu? *halah :p
Baiklah. Terima kasih untuk teman-teman semua. Semoga kalian selalu sehat dan bahagia, jadi tulisanku juga ada yg baca. Hehe.
Oh ya, sekarang aku juga udah jarang banget baca edit berkali-kali. Kelar ngetik, diemin sebentar sampe mengembang (bikin adonan donat kali ah?!), trus baca edit satu-dua kali. Terus publish deh. Pokoknya pede aja lagiii.
So, kalo ada typo, salah kata, dsb, jangan sungkan utk kasih tau aku ya.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Semarang, 10082020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top