Part 13.2.

Saya udah mentok sama kamu, Zulfa. Kalaupun kamu menolak saya, saya udah pasrah. Saya serahkan semuanya sama Allah aja, mau menjodohkan saya dengan siapa.

- eh, ini apa pula?! -

--------

Hai, teman-teman. Mau kasih tau dulu nih di pembukaannya.

Beluuum. Mereka berdua belum sah sah tsaaahh...

So, maaf ya kalau kembali mengecewakan dan merasa tertipu. Wkwk.

Jadi ini tuh part 13.2, yang seharusnya keluar sebelum part drama-dramaan kemarin itu. Tadinya memang saya skip karena saya suka keder kalau ada yang bilang, "Lama amat siiih, kapan nikahnya woiii". Maklum penulis pemula, kadang suka deg-degan kalau ketemu yang demikian. Haha...

Tapi beberapa diantara teman-teman menagih dan menanyakan. Terus saya juga sempat bikin survey di IG story, dan 90% lebih menjawab 'YA'. Dan part ini memang sudah ada draft-nya alias memang sudah siap mengudara.
*siaran radio kali ah!

So, nggak pa-pa lah ya saya tayangin nyusul begini. Buat seru-seruan aja.

Yang masih kesel "ini Luli Iqbal kapan halalnya sih?!", boleh skip dulu aja. Nanti silakan baca pas udah masuk part 16. Okay?!

Jadi begitu ya, teman-teman.
Yuk lah, cuss bacaaa.

***

Hampir jam dua, manakala HRV putih Iqbal berhenti tepat di depan rumah keluarga Nara. Wajah bapak dan ibu tampak semringah, sebab selain akan bertemu keluarga besan, di sana ada pula sang cucu kesayangan.

Berbeda 180 derajat dengan Luli. Wajahnya terlihat bagai benang yang terurai lalu digulung lagi dengan asal. Kusut. Senyumnya hanya terulas sekejap saat bersalaman dan mencium tangan ibu Nara.

Setelahnya ia bablas masuk ruang berikutnya seakan rumah sendiri.

"Nar, numpang ke toilet ya."

"Hemm. Cuci muka gih, biar muka nggak kaya serbet dapur." Nara menyahut dengan santainya. Seolah lupa sedang berada di tengah-tengah orang yang lebih tua.

"Biarin. Kakaknya aja mukanya kaya kanebo kering, wajar kalo adeknya kaya serbet dapur." Bukan Luli kalau tak asal bicaranya.

"Kanebo kering mana ada yang ganteng kaya suamiku." Tak mau kalah, mereka saling meneriaki satu sama lain.

"Iya, percaya. Suamimu mah paling ganteng sedunia. Alim. Nggak pernah punya pacar. Nggak punya mantan, apalagi yang tersebar di mana-mana." Nara mengerenyit, bingung dengan kelakuan adik iparnya.

Sementara tak jauh dari hadapan Nara, Iqbal tersenyum. Kecut sih, tapi tak mengurangi pesonanya. Tentu saja bukan di mata Nara, sebab dia telah dibutakan oleh pesona seorang Zulfikar Aditya saja.

"Cieee, berantem ya, Pak. Kalo pake bahasanya Lila, 'ih, Om sama Ante belantem, kaya olang pacalan ajah', gituuu." Satu cubitan kecil mendarat di lengan Nara. Bapak dan ibu Fikar tertawa.

"Hush, sama dosennya kok gitu lho," bisik ibunya sembari menyenggol lengan Nara.

"Nggak pa-pa, Bu. Kalau di luar kampus Asya ini statusnya calon kakak ipar kok, Bu."

"Dih, Pak Iqbal denger aja lho," celetuk Nara, lagi-lagi disambut tawa semuanya.

Pembawaan Nara memang serupa dengan Luli, suka asal dan senang bercanda. Hanya kecerdasan dan kepandaiannya jauh lebih baik. Ya, Nara anak pintar, bahkan termasuk yang paling pintar di angkatannya.

Pun dalam beradaptasi, dia sangat baik. Maka tak heran, baru beberapa bulan menjadi bagian dari keluarga Fikar, ia sudah seperti anggota keluarga lama layaknya Luli atau Fikar sendiri. Malah lebih dekat dengan bapak ibu dibandingkan Ayu dahulu.

"Kenapa, Bro? Ngambek?" Gantian Fikar bertanya. Datar pastinya.

"Hehe, iya, Fik."

"Kenapa?"

"Ketemu mantan. Dua kali pula."

"Astaghfirullah," respon Fikar. Iqbal jadi tak enak hati.

"Sudah, nggak usah diambil hati, Nak Iqbal. Disiapkan saja untuk menerima yang lebih-lebih lagi kalau sudah menikah nanti. Atau mau dipikirkan ulang, mumpung masih ada kesempatan?"

"Mboten, Pak. Sudah paten, Zulfa mawon." (Tidak, Pak. Sudah paten, Zulfa saja)

"Wuih, cinta mati beneran deh Pak Iqbal nih. Salut saya. Kira-kira Mas Fikar sama saya juga gitu nggak ya?" Duh, Nara remnya blong. Dia harus ikhlas menerima tatapan tajam dari suami tercinta.

Fikar memang begitu, di luar urusan pekerjaan, kalau sudah tak suka pada sesuatu, kadang tak lihat tempat atau waktu. Pun saat ini, ia terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan atas celetukan Nara.

"Iya. Maaf." Nara meraih tangan Fikar, menggenggam dan mengelusnya mesra sebagai ungkapan maaf dan penyesalan.

"Dih, bikin baper nih kakak-kakak ipar." Iqbal ngenes.

Tak berapa lama Luli kembali, membawa Lila yang baru bangun tidur dalam gendongannya.

"Itu bangun apa kamu bangunin, Lul?!" Mata Nara mendelik. Ngegas.

"Rahasia!"

Luli duduk memangku Lila, tak jauh dari tempat Iqbal duduk. Sempat beradu pandang, Iqbal melempar senyum yang menyejukkan, Luli melengos membuang muka. Masih kesal.

"Ante, itu kan Om yang dulu nggak panggil nama Lila, padahal Lila ada di sana kan ya? Yang dulu datang ke lumah kakek malam-malam. Lila nggak suka, Omnya jahat."

"Iya, memang Omnya jahat. Nyebelin," gerutu Luli.

"Maafkan Om ya Lila. Kan waktu itu Om Iqbal belum kenal Lila. Sekarang kita kenalan dulu ya, Sayang."

Lila memandang bergantian pada papa dan mamanya. Keduanya mengangguk, membuat Lila tahu bahwa itu boleh. Lalu ia mendekat pada Iqbal.

"Om namanya Iqbal. Panggil aja Om Iqbal. Om ini temannya Papa Fikar." Dua manusia beda generasi itu bersalaman.

"Ini Lila, Om Iqbal. Anaknya Papa Fikal sama Mama Nala. Besok Lila halus dipanggil juga ya, Om, kalo enggak nanti Lila ngambek kaya Ante Luli."

Tawa meledak memenuhi seantero ruangan, kecuali Luli yang darahnya makin mendidih. Ingin marah, tapi yang lain malah seakan girang dengan kekesalannya. Iqbal juga tak tertawa, hanya tersenyum saja. Berusaha menjaga perasaan Luli agar tak makin sakit hati.

"Tante Luli baik kok, nggak ngambekan. Kalo ngambek, ngambeknya sama yang sayang aja. Sama papanya Lila, sama kakek, sama nenek. Seperti Lila, kadang suka kesel kan, terus ngambek. Tapi ngambeknya sama papa, sama mama, sama tante ---"

"Sama Om Iqbal juga. Lila ngambek. Lila malah. Soalnya nggak dipanggil sendili."

"Iya. Maafin Om ya, Lila sayang. Besok nggak lagi dong, kan udah tau namanya anak cantik ini. Kemarin Lila ngambek juga kan karena sayang. Sayang sama Om Iqbal. Ngasih tau Om biar kalo manggil nggak ngelewatin siapapun.

"Sama kok kaya Tante Luli, kalo ngambek juga karena sayang. Ngambek sama kakek, karena sayang sama kakek. Ngambek sama nenek, karena sayang sama nenek.

"Coba sekarang Lila tanya, Tante Luli lagi ngambek sama siapa, gitu."

"Asem banget. Bisa ae lho. Kalo model begini sih Mas Fikar juga lewat."

Muka Luli memerah. Sementara tawa yang lain kembali pecah.

"Bapak tuh emang seneng ya kalo saya diketawain gini?! Katanya sayang, tapi sukanya nge-bully terus!" Luli marah. Ia lari ke luar rumah.

Iqbal salah tingkah. Ia mohon izin untuk mengejar Luli.

Masih tertangkap di telinganya, "Kok Ante Luli malah sama Om Iqbal sih? Belalti Ante Luli sayang sama Om Iqbal ya?"

Rupanya Luli serius marah. Ia asal lari saja tanpa memikirkan arah.

"Zulfa." Iqbal menarik sikut Luli agar berhenti. Sekira lima puluh meter jauhnya dari rumah Nara.

"Dengerin saya! Semua itu cuma masa lalu. Percayalah, saya nggak ada hubungan ataupun perasaan apa-apa sama mantan, yang manapun. Jangan drama lah, Zulfa. Simpan marahmu. Tahan, paling tidak sampe pekan depan.

"Saya tuh tersiksa banget lihat kamu nangis, marah, ngambek begini. Saya nggak bisa ngapa-ngapain, dan itu nyesek banget, Zulfa. So, please."

"Nyesek mana sama lihat calon suami dimanis-manisin sama mantan?! Kesel tauk. Bapak sih enak, nggak bakalan cemburu sama siapapun karena saya nggak punya mantan. Nah saya? Bisa-bisa tiap ke mana-mana ketemu sama mantannya Bapak."

"Oke, saya memang salah pernah pacaran. Sama sekali nggak kepikiran kalo suatu hari kelak calon istri saya akan begitu hebohnya ketika bersinggungan dengan yang namanya mantan.

"Tapi nggak pa-pa. Saya ikhlas, Zulfa. Saya ikhlas dicemburuin sama calon ibu dari anak-anak saya nanti."

Pipi Luli memanas. Hati dan kemarahannya perlahan mencair, seperti es batu di terik matahari. Calon suaminya memang so sweet. Selalu sabar, tenang, dan nggak pernah marah menghadapi dia.

"Sudah marahannya? Kalau sudah kembali ke rumah. Malu. Ini di pinggir jalan umum lho." Suara Fikar terdengar di belakang mereka.

Sibuk marahan ternyata bisa membuat fokus teralihkan. Sampai-sampai tak sadar atas kedatangan orang lain yang entah sejak kapan.

"Mas Fikar kok gitu sih? Nguping pembicaraan orang kan nggak sopan! Dasar, kalian berdua itu sama aja. Bapak-bapak pada nggak ngerti perasaan orang! Menyebalkan!!"

Luli marah lagi. Ia bersiap untuk kembali melarikan diri. Namun Iqbal dengan sigap kembali menarik sikut si calon istri.

"Boleh pergi, tapi perginya ke rumah Asya. Saya capek kalo harus ngejar-ngejar atau ngikutin kamu, tapi saya juga nggak bisa ngebiarin kamu sendiri. Marah juga butuh logika, Zulfa. Jangan sampe malah merugikan diri kamu sendiri," ujar Iqbal lembut.

"Ayo pulang. Masuk kamar Nara. Tenangkan hatimu dulu di sana." Fikar merangkul adiknya. Mengajak kembali ke rumah mertuanya.

Iqbal membuntuti di belakang mereka berdua. Kesal, sebab hanya bisa melihat kedekatan kakak beradik di depannya. Rasanya sudah tak tahan untuk segera halal, agar bisa memeluk dan menenangkan Luli dengan caranya sendiri.

Luli bablas menuju kamar Nara. Fikar mengikutinya. Sedangkan Iqbal kembali ke tengah-tengah keluarga Luli dan Nara di ruang tamu. Menyampaikan maaf dan penjelasan seperlunya.

Di kamar Nara, Fikar menasehati adik semata wayangnya, "Luli, masa lalu itu melekat sepanjang waktu. Kadang bukan sebagai ingatan, tapi selalu ada sebagai sejarah, yang nggak bisa dihapus dari kehidupan seseorang.

"Mantannya Iqbal mungkin banyak. Bisa jadi lima, sepuluh, atau bahkan lima belas, tapi semuanya sudah jadi masa lalu. Mau dilupakan model apapun, tetap saja pernah tercatat dalam sejarah hidupnya. Nggak bisa dihapus. Sebaliknya, dia bisa sewaktu-waktu datang, entah dalam wujud fisik, ataupun sekedar pembicaraan. Ya karena dia memang ada.

"Jangan biarkan hatimu dikuasai cemburu, sampai nggak bisa melihat bagaimana Iqbal padamu. Katamu, waktu kalian sarapan berdua pagi itu, sebenarnya mau bicara tentang sesuatu yang berkaitan dengan rasa saling percaya satu sama lain. Dan pembicaraan itu batal karena kamu percaya sepenuhnya sama Iqbal. Kenapa sekarang jadi begini cuma karena masa lalu?

"Luli, Mas kenal sama Iqbal. Mas tau dia memang beberapa kali gonta ganti pacar. Tapi dia orang yang punya komitmen. Kalaupun dia selesai dengan seseorang, ya itu berarti ada sesuatu yang tak sesuai dengan prinsipnya. Mas yakin sekali, dia seperti ini sama kamu karena dia memang sudah menemukan yang dia cari, ya kamu itu orangnya.

"Mungkin kalian butuh bicara berdua."

"Nanti Mas marah-marah lagi?! Ngomong nggak enak lagi tentang kami!"

"Nggak begitulah. Ini beda kasus, Luli. Kamu ingat dulu pernah Mas minta untuk nemenin waktu Mas sama Nara ngobrol berdua sebelum nikah?"

"Yang Mas sama Nara di mobil, trus aku nungguin di deket mobil?"

"Hemm."

"Itu sih bukan nemenin, tapi jadi kambing congek. Ngawasin doang nggak denger apa-apa."

"Nah. Mungkin sekarang waktunya kalian bertukar peran."

"Kalian siapa nih?"

"Kamu sama Nara." Fikar menatap Luli. Tersenyum penuh arti.

"Kalian bicaralah berdua, biar Nara yang jadi orang ketiga. Aku yang menyampaikan sama bapak dan ibu. Deal?"

"Emm, iya deh."

"Halah, pakai sok-sokan terpaksa. Deal ya deal aja. Nggak usah basa-basi."

"Emang Mas?! Kaku. Aku kan orangnya luwes. Boleh dong pake basa-basi."

"Iya deh, terserah kamu aja. Sekarang kita keluar dulu. Siap-siap, dipikir benar apa yang mau kamu sampaikan ke Iqbal. Jangan udah ngobrol masih nggak ada hasilnya. Cuma kesenengan aja bisa berdua-dua."

"Mas tuh gitu, mesti deh nuduhnya jelek!" Satu cubitan mendarat di pinggang Fikar.

Tak sulit memperoleh izin jika Fikar yang melakukannya. Lagipula, semua sesepuh di situ pun telah percaya pada seorang Iqbal Sya'bani. Jadilah saat ini Luli --lagi-lagi-- beroleh kesempatan untuk berdua-duaan dengan sang calon suami.

Iqbal menyalakan mesin, juga pendingin udara. Lagu-lagu slowrock era 80-90an mengalun pelan seolah menjadi backsound bagi drama mereka.

"Zulfa, saya minta maaf. Semua itu di luar kuasa saya. Kalo kamu mau marah, marahlah. Saya terima."

"Nggak mau ah. Masa orang marah pake disuruh-suruh." Luli menjawab ketus.

"Ya udah, kalo nggak mau marah, tolong maafkan saya."

"Enak banget tinggal minta maaf gitu."

"Lha terus saya harus gimana? Saya memang pernah pacaran, Zulfa, tapi percayalah, saya menjaga diri sebaik kamu menjaga diri kamu untuk tidak pacaran."

"Emang gimana tuh pacaran yang menjaga diri? Baru dengar ada yang model gini." Omongan Luli seperti nasi goreng karetnya tiga. Pedes banget!

"Ya ada lah. Mungkin bagi kamu, juga yang lain, akan menganggap ini sesuatu yang nggak mungkin. Mustahil. Utopis. Tapi begitulah kenyataannya. Seperti yang sudah saya bilang tadi, saya akan jelasin semuanya, nanti saat kita sudah menikah."

"Kenapa nggak dari sekarang aja?"

"Nggak bisa, Zulfa. Sebenarnya bukan sesuatu yang akan mengubah kesediaanmu menikah dengan saya sih. Saya cukup yakin soal itu. Tapi bagi saya tetap berat, karena ini menyinggung sesuatu yang agak sensitif bagi saya. Ini menyangkut keluarga saya. Dan saya hanya akan mengatakan ini pada seseorang yang sudah menjadi bagian dari hidup saya, bagian dari keluarga saya. Kapan? Ya tentunya setelah kita menikah nanti.

"Kalo bagi kamu, pernah pacarannya saya adalah suatu kesalahan besar, tolong kasih tau saya gimana saya harus menebus kesalahan saya."

Luli diam. Berusaha mengurai baik-baik segala penjelasan Iqbal. Mencoba memahami hal-hal yang harus dia terima, dia mengerti, dan dia maklumi untuk saat ini.

"Tapi Bapak beneran kan cuma mau menikahi saya?"

"Maksudnya apa lagi ini, Zulfa?"

"Mantan Bapak kan cantik-cantik, keren, dan kelihatannya smart-smart gitu. Apalah saya kalo dijejerin sama mereka. Tadi yang namanya Riyu, cantik banget, ramah, dan kelihatan pintar. Udah gitu Bapak kenal baik juga kan sama bapaknya, sampe masih diharapkan untuk balikan sama Riyu Riyu itu tadi."

"Ya Rabb, ternyata ini tuh bagian dari ke-insecure-an to? Ya ya ya, paham." Iqbal menyadari sesuatu.

"Emm, iya sih, kalo Riyu memang salah satu yang paling cantik, tapi masih ada yang lebih cantik lagi sih. Dan Riyu juga memang pintar, wong dia dosen.

"Kalo Vero tadi, dia mantan saya yang umurnya paling muda. Waktu kami jalan, dia umur 24, baru setengah jalan S2-nya."

"Malah dijelas-jelasin detail segala. Gak punya perasaan banget sih. Hiks." Luli mulai mewek. Iqbal sok-sok cuek.

"Saya nggak pernah pacaran sama mahasiswa. Ya kalopun mahasiswa, minimal mahasiswa S2 lah. Karena saya memang punya standar yang cukup tinggi saat mencari istri."

Wajah Luli makin sendu. Sedih banget. Merasa Iqbal sama sekali tak memikirkan perasaannya. Rasa rendah diri pun makin merajalela. Ia mencoba bersabar, dan tetap mendengar perkataan Iqbal.

"Lalu Allah menegur saya dengan telak. Kamu tau? Selama ini saya nggak pernah memulai pacaran dengan perasaan, Zulfa. Semuanya dengan standar, logika, dan perhitungan. Pacaran, yang nggak ada dalam ajaran agama kita, saya lakukan dengan pembenaran dari sudut pandang saya sendiri.

"Nyatanya, yang namanya jodoh itu nggak butuh standar. Cuma butuh ridho aja dari Yang Maha Menjodohkan.

"Dan kamu datang. Memporakporandakan semua pemikiran, standar, keinginan, dan apalah semuanya itu. Allah cuma mau mematahkan semua kesombongan saya. Menunjukkan, kalo saya itu cuma manusia biasa yang nggak ada kuasa untuk menentukan apapun, termasuk jodoh. Harus yang begini, begitu, ini, anu, dan bla bla bla.

"Dan saya juga tau. Kamu marah, ngambek, dan semacamnya itu bukan karena kamu nggak bisa menerima masa lalu saya. Kamu cuma insecure. Nggak pe-de, rendah diri, ciut nyali, gara-gara lihat mantan-mantan saya tadi."

"Asem, tau aja!"

"Mungkin Allah juga sedang menegur kamu, Zulfa. Agar jangan terlalu rendah memandang dirimu sendiri. Kamu sudah berusaha menjadi yang terbaik, Zulfa. Setidaknya dengan menjaga diri kamu dari sesuatu yang dianggap kesenangan di masa muda, dari hal-hal yang Allah nggak suka. Dan sayalah orang yang beruntung, atas upayamu menjaga diri selama ini. Insya Allah."

Luli masih diam, berusaha mencerna satu per satu perkataan Iqbal. Dan ia merasa semua itu ada benarnya.

"Saya sih berharap banget kamu membuang jauh-jauh segala prasangka rendah tentang diri kamu sendiri. Saya udah mentok sama kamu, Zulfa. Kalaupun kamu menolak saya, saya udah pasrah. Saya serahkan semuanya sama Allah aja, mau menjodohkan saya dengan siapa.

"Jadi begitu, Zulfa. Sekarang keluarkan kertas, alat tulis, dan kalkulator. Saya akan adakan kuis tentang materi yang baru saja saya jelaskan panjang lebar." Iqbal mengakhiri bicaranya dengan melempar canda.

Luli yang matanya sudah basah sejak tadi jadi tertawa kecil.

"Mentang-mentang dosen, becandaannya gitu banget." Luli sok-sok cemberut. Sungguh, betapa inginnya Iqbal menarik itu mulut yang mengerucut. Gemesss. Ups.

Tiba-tiba ponsel Luli bergetar. Satu pesan ia terima. Dari Nara.

[Apa sih?! Hbs nangis ketawa, trus cemberut. Gak mikirin aku yg udah capek duduk nganggur nungguin orang kasmaran ngambek2an.
Udahlah iyain aja. Kurang apa deh Pak Iqbal. Ntar dia berubah pikiran tau rasa kamu]

"Asem lah ini bocah. Ngawasinnya gitu amat. Kurang ajaran ini sih!"

Luli membuka pintu mobil. Keluar, lalu berteriak, "Mas Fikaaarrr, ini lho istrimu kurang pendidikan akhlak dan budi pekertiiii!!"

***

Curhatnya udah tadi di pembukaan. Jadi sekarang tinggal say thanks ajaaa.

Terima kasih buat kalian semua. Dan maafkan untuk setiap kesalahan dan kekurangan yang ada.

Semoga berkenan yaaa.

Love you all.
Juga ell, dan dull.

Semarang, 15082020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top