Part 12

Aku jadi merasa kalau selama ini belum jadi kakak yang baik buat kamu. Dan kesadaran itu baru muncul ketika kamu sudah hampir jadi milik orang lain. Nyesek ya ternyata.

- kata Fikar, pada Luli -

---------

* Siapin tisu, ada sedih-sedihnya dikit. Gak ada tisu, mungkin bisa pakai ujung baju :D

* Pergi ke Klaten cuma beli piring.
Happy weekend & enjoy reading :)

***

Tok tok tok.

Terdengar ketukan di pintu kamar Luli. Ia baru kelar membereskan ransel dan segala tetek bengek yang akan menemaninya ke kampus hari ini.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah tujuh. Dengan sedikit malas ia beranjak menuju pintu. Dan makin malas begitu tahu siapa yang berdiri di depan situ.

"Boleh masuk?" Fikar bertanya.

"Hemm."

Luli menaruh badannya ke atas tempat tidur. Duduk memeluk lutut di sana. Fikar mengambil posisi di samping adik kesayangan, yang mengaku sudah memaafkan tapi nyatanya masih terus mendiamkan.

"Selamat ya. Alhamdulillah, lebih cepat lebih baik."

"Hemm."

"Masih kesel?"

"Kan Mas emang ngeselin. Nggak ngerasa?"

"Tapi ngerasa juga kan kalau Mas sayang sama kamu?"

"Hemm," sahut Luli datar. Cuma mulutnya yang sedikit miring.

"Dua pekan lagi kamu menikah. Lalu Mas nggak punya tanggung jawab apa-apa lagi atas kamu. Sounds so sad nggak sih, Luli?"

"Mas kan emang nggak punya tanggung jawab apa-apa sama aku? Sok penting banget."

"Oh ya? Jadi kalau ada apa-apa sama kamu, ada kesulitan yang mengancam kamu, dan semacamnya, cuma bapak yang wajib maju buat melindungi kamu? Kalau kamu melenceng dari jalur yang seharusnya, apa hanya bapak yang harus menasehati kamu? Enggak, Luli. Enggak begitu.

"Yang kulakukan kemarin mungkin memang menyebalkan ---"

"Memang aja! Nggak pake mungkin. Udah fix."

"Hehe, iya deh. Yang kulakukan kemarin memang menyebalkan..., buat orang yang sedang jatuh cinta."

"Mas nih mau ngajak baikan apa mau ngejek sih? Keluar aja sana gih. Ngeselin emang!"

"Iya. Ampun, Zulfa." Mendengar panggilan yang tak biasa, satu cubitan mendarat di pinggang Fikar. Sedang rona merah dan senyum malu-malu Luli mendarat di kedua mata kakaknya.

"Tau nggak, akhir-akhir ini aku sering ingat masa-masa kecil kamu. Yang suka banget ngambek, yang suka banget marah, tapi juga manis banget kalau pas merasa berterima kasih atau lagi sayang sama aku. Kira-kira, kalau udah jadi ibu dosen besok, aku masih punya kesempatan untuk dapat ngambeknya, marahnya, dan manisnya kamu nggak ya?"

Hati Luli mulai gerimis, tapi ia bertahan untuk tak menangis.

"Mas kan udah punya Nara. Udah ada yang ngambekin, marah, dan manis-manis sama Mas. Mana aku dibutuhkan buat yang begitu-begitu? Nggak ada waktu kan? Mas ke aku, Nara ke aku, udah sibuk semua kan? Terus, kenapa tiba-tiba sekarang merasa kehilangan aku?"

"Ya beda dong, Luli. Dengan Nara, bahkan dengan Lila, semua punya proporsi sayang masing-masing sesuai status atau posisinya."

"Tapi sayang yang Mas tunjukin ke aku waktu itu tuh berlebihan. Lebay. Malah jadi kaya nuduh kami kaya gimana gitu. Kaya yang aku tuh cewek gampangan banget. Padahal aku udah menjaga banget. Ya kalo khilaf dikit-dikit kan ya tinggal maafin apa susahnya, nggak usah pake marah-marah apalah kaya kemarin itu.

"Sakit banget tauk lihat matanya Mas yang sinis gimana gitu."

"Iya, aku juga sadar kalau salah. Entahlah, aku sendiri heran, waktu itu rasanya kaya kehilangan akal sehat. Maaf ya kalau menyakiti kamu.

"Ada yang sakit juga di sini waktu melihat kamu berdua-duaan sama Iqbal." Fikar menunjuk dadanya.

"Kenapa? Mas cemburu?"

"Ya. Dalam proporsi sebagai kakakmu. Sejak kamu dekat dengan Iqbal, aku sering melihat matamu itu menyiratkan bahagia yang teramat sangat. Padahal seumur aku jadi kakakmu, rasanya belum pernah dapat yang seperti itu.

"Aku jadi merasa kalau selama ini belum jadi kakak yang baik buat kamu. Dan kesadaran itu baru muncul ketika kamu sudah hampir jadi milik orang lain. Nyesek ya ternyata."

"Ya. Sama nyeseknya saat berasa kehilangan sahabat padahal status hubungan justru semakin dekat."

"Ini tentang Nara?"

"Semoga Mas sama Pak Iqbal nanti nggak gitu."

"Maafin aku ya, Luli."

"Mas tau nggak rasanya, pas butuh tempat curhat yang bukan dari circle keluarga, tapi nggak tau harus ke mana? Nggak tau lah ya, Mas kan nggak pernah butuh curhat," sindir Luli.

"Waktu itu sebenernya aku memang cuma mau ngumpulin tugas. Sama ada sedikit yang mau Pak Iqbal omongin ke aku. Tapi nggak penting-penting juga sih, karena yang mau kita bahas itu sebenernya lebih ke soal kepercayaan satu sama lain, dan aku percaya kok sama beliau.

"Tapi Pak Iqbal malah ngajak sarapan segala. Tadinya aku mau nolak, tapi pas inget aku punya sesuatu yang masih ngeganjel di hati, kupikir mungkin aku curhatin sama beliau aja. Apalagi ini ada hubungannya dengan kami berdua.

"Aku tau kami memang salah. Tapi waktu itu aku merasa lega banget udah ngeluarin semua uneg-uneg. Apologiku buat diriku sendiri sih, bahwa segala sesuatu pasti ada hikmahnya, termasuk sebuah kesalahan.

"Terus Mas dateng, dan marah-marah, dan matanya Mas tuh kaya menjatuhkan tuduhan yang...."

Tak melanjutkan kalimatnya. Luli menarik napas panjang. Satu dua bening berjatuhan. Ia menengadah, mencoba menahan agar gerimis tak menjadi tumpah ruah. Menunduk lagi setelah merasa reda, lalu mengusap hidung dengan punggung tangan kirinya.

Fikar mencoba tetap tenang, meski liquid di kedua mata sudah sarat menggenang. Ia menunggu adiknya menyelesaikan kalimatnya tadi.

Tiba-tiba,

"Maafin Luli ya, Mas. Luli juga nggak tau kalo Mas sampe ngerasa seperti itu. Mas bukan kakak yang buruk kok, Mas baik, yang terbaik buat aku. Huhuhuu."

Luli memeluk erat Zulfikar, menumpahkan tangis hingga membasahi bagian dada kemeja kakaknya.

Fikar mendekap adiknya tak kalah kuat. Tak lagi gerimis, kini hujan deras turun dari netra keduanya.

Ikatan mereka memang kuat. Namun terkadang, sorot mata saja tak cukup untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya dirasa. Dan pagi ini, mereka saling mendengar cerita di balik kejadian hari itu, dalam versi masing-masing sebagai lakon utama tentu. Hingga akhirnya satu sama lain tahu, apa yang sejatinya sedang berusaha disampaikan oleh mata waktu itu.

"Maafin aku ya, Luli. Kita cuma butuh lebih banyak waktu untuk bicara dari hati ke hati. Aku janji, akan memanfaatkan waktu dan kesempatan menjadi kakak terbaik buat kamu, sebelum kamu resmi menyandang status sebagai Nyonya Iqbal Sya'bani," ujar Fikar begitu pelukan kelar, dan jarak mereka kembali melebar.

"Mas nggak perlu begitu. Aku selalu tau kok kalo Mas adalah kakak yang terbaik buat aku. Aku bahagia punya Mas Fikar sepanjang hidupku."

Mata keduanya beradu, dan Fikar menemukan binar seperti yang selalu ditunjukkan Luli saat bicara tentang Iqbal. Kedua pipi Fikar basah tanpa terasa. Yang ingin dilakukannya saat itu hanyalah memeluk adik kesayangannya.

Ditariknya Luli ke dalam pelukan. Membiarkan adiknya merasakan guncangan akibat isaknya. Kali ini ia tak ingin menjaga imej atau apapun. Ia cuma seorang kakak yang begitu bahagia, sebab menjadi yang terbaik di mata adiknya.

Rupanya ada seseorang yang sejak tadi menyaksikan dari balik pintu yang terbuka. Yang tak tahan untuk turut bergabung dalam pelukan bahagia.

Sambil menyeka air mata, seseorang itu masuk dan berteriak merusak suasana, "Aku ikut dooong. Kalo nggak boleh nanti chat nyasarnya semalem kusebar lho!"

Satu bantal dari Luli melayang tepat mengenai wajah Nara. Lalu disusul satu bantal lagi, dan pelakunya adalah Zulfikar Aditya.

-----

[Assalamualaikum pak]

[Saya udah baikan lho sm mas iqbal]

Entahlah, tapi Luli merasa perlu menyampaikan kabar gembira ini pada sang calon suami.

[Waalaikumussalam, Zulfa]

[Terima kasih banyak ya. You make my day. Bahkan sepagi ini]

[Kok bisa gitu? Bapak seneng banget ya krn saya udah baikan sm mas fikar?]

[Cek lagi deh wa kamu barusan]

[Honestly, saya sdh nggak sabar pengen denger panggilan selain bapak, pak atau semacamnya]

[Saya tau kamu salah ketik, tp itu sdh cukup utk bikin saya tau kl saya ada di hati dan pikiran kamu]

[I love you]

Luli kembali mengecek pesan yang dia kirim, setelah lebih dulu meredakan hati yang berdesir tak karuan. Apalagi penyebabnya kalau bukan sesuatu yang dibaca ai laf yu.

"Astaghfirullahaladziim." Setengah memekik ia beristighfar. Telat!

Luli memang sering begitu, seperti saat ini. Ia butuh beberapa kali membaca untuk memahami apa kesalahannya.

[Maaf pak]

[But i love you too]

[Zulfa, kamu nggak salah ketik lg kan?]

[*emoticon senyum jejer dua]

[Kamu kuliah jam brp?]

[9 pak]

[Oke. Jgn kemana2]

[Ada apa pakk?]

Tak ada jawaban.

Dan dua puluh menit kemudian,

"Luli, ada Pak Iqbal dateng." Nara masuk ke kamar Luli yang sengaja dibiarkan terbuka.

"Heh, serius? Mau ngapain deh?"

"Kangen sama calon istri katanya."

"Halah, fitnah aja kerjaan kamu. Dasar Mak Lampir!"

"Asem. Emang aku Mbak Dini."

"Oh iya, fixed kamu bukan Mak Lampir. Mak Lampir mah gak ada sopan-sopannya. Kamu sama Dini aja panggil mbak. Benar-benar kakak ipar warbiyasak biarpun sering durhaka sama adik ipar." Nara tertawa, Luli juga.

"Nduk, ada Nak Iqbal. Kita sarapan bareng ya." Bapak menyusul ke kamar Luli.

"Tapi kan kita semua puasa, Pak?"

"Nggak pa-pa, Nduk. Ini kan puasa sunnah, tak mengapa kalau dibatalkan untuk menghormati undangan, bisa juga untuk menghormati tamu.

"Dulu, suatu hari Rasulullah pernah bertanya pada Aisyah, 'Aisyah, apakah ada sesuatu makanan?' Lalu Aisyah menjawab, 'tidak ada apa-apa ya, Rasulullah'. Maka Rasulullah pun berpuasa dan beliau pergi. Kemudian ada tamu datang dan membawa hadiah berupa makanan. Saat Rasulullah kembali, Aisyah berkata bahwa ia telah menyimpan makanan untuk Rasulullah. Rasulullah pun membatalkan puasa beliau dan makan hadiah tersebut.

"Nak Iqbal bawa makanan, Nduk. Rasanya jauh lebih baik bagi kita untuk membatalkan puasa. Yang penting usahakan sebisa mungkin agar Nak Iqbal nggak tau kalau kita serumah batal puasa untuk menghormati dia."

"Eh, i-iya, Pak. Maaf ya, Pak."

"Maaf? Buat apa?"

"Maafin Pak Iqbal ya, Pak, jadi bikin puasa kita terpaksa batal deh."

"Masya Allah, calon istri sholihah beneran ini sih. Udah membela nama baik suamik." Nara menggoda.

"Sudah, Ra, kamu bilang ke Fikar sana kalau kita semua batalin puasa," perintah bapak pada Nara.

"Nggih, Pak."

Sarapan --dadakan-- pagi itu berlangsung hangat dan akrab. Sedapnya nasi liwet yang dibawa Iqbal memang juara. Pun si pembawa, yang memang piawai dan luwes menempatkan dirinya, hingga antara dia dan keluarga Luli seakan tak ada jarak lagi.

Sebelum pamit, Iqbal menyempatkan diri minta izin pada bapak dan ibu. Ia berniat mengajak Luli mengurus beberapa dokumen untuk pendaftaran pernikahan mereka. Juga membuat foto close up sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh keduanya.

"Tanpa mengurangi rasa hormat, kami mohon maaf ya, Nak Iqbal. Untuk pengurusan surat mungkin bisa dengan orang yang sudah kami mintai tolong. Tapi kalau untuk ambil foto, silakan Nak Iqbal jemput Luli ke sini, dan antar pulang lagi ke sini. Insya Allah kami percaya pada kalian berdua." Demikian jawaban bapak.

Dan di hadapan bapak ibu juga, mereka --Iqbal dan Luli-- membuat janji untuk keluar bersama sore nanti.

-----

HRV putih meluncur meninggalkan Potrait, studio foto yang dipilih Luli. Lepas isya tadi mereka baru bisa berangkat, sebab kesibukan Iqbal di kampus baru usai sesaat sebelum maghrib. Konsekuensinya, bapak hanya memberi izin keluar selama satu jam. Selesai atau tidak, Luli harus sudah diantarkan kembali maksimal pukul 20.20.

Beruntung, tanpa perlu mengantri mereka bisa langsung bergantian diambil gambar. Sisa waktu mereka manfaatkan untuk menyusuri jalanan Tembalang-Banyumanik. Iqbal sengaja tak berbelok melewati jalan Tirto Agung Raya, ia lebih memilih menghabiskan Jalan Prof. Soedarto hingga patung kuda, lalu belok ke kiri melewati Srondol, dan belok kiri lagi di pertigaan Sukun.

"Maaf ya, jadi kemaleman gini."

"Nggak pa-pa, Pak."

"Ada tugas buat besok?"

"Udah selese kok."

"Tumben?" Senyum mengembang di wajah Iqbal.

"Sekarang udah mengurangi kebiasaan ngerjain tugas dadakan, Pak."

"Alhamdulillah. Lebih enak gitu kan? Nggak kemrungsung."
(Kemrungsung: merasa terburu-buru, seperti dikejar-kejar sesuatu).

"Hehe, iya, Pak. Lebih tenang. Dan kalo ada yang nggak bisa jadi punya waktu buat tanya dulu ke teman."

"Teman siapa? Asya?"

"Iya, seringnya sih sama dia. Dan Andro."

"Ang---"

"Iya, Angkasa Andromeda." Luli tertawa kecil.

"Saya cemburu lho kalo lihat kamu dekat-dekat sama dia. Tapi ya gimana lagi, belum punya hak buat ngelarang." Iqbal tertawa lagi, sedikit sumbang.

"Saya nggak ada apa-apa kok, Pak, sama dia."

"Tapi feeling saya, dia ada apa-apa sama kamu."

"Terus, salah saya?"

"Iya."

"Lah kok?"

"Salah kamu terlalu baik dan lucu. Dan polos juga. Bikin orang gampang jatuh sayang."

"Bapak aja kali yang begitu."

"Hahaha, kamu lucu banget deh. Alhamdulillah kalo bener cuma saya aja yang begitu. Berarti nggak ada saingan."

"Ya kalo Bapak ke saya jelas nggak ada saingan. Saya ke Bapak yang banyak saingan."

"Gitu ya? Tapi katanya kamu nggak ngefans sama saya? Berarti nggak masuk bursa persaingan kan?"

"Penting ya, Pak?"

"Hehe, enggak lah. Yang paling penting, kamu yang keluar sebagai pemenang. Peserta yang lain otomatis tumbang."

Keduanya begitu riang. Tak ada pembicaraan penting, hanya yang ringan saja.

"IPK berapa? Boleh tau?"

"Belum wajib dijawab kan ya, Pak?"

"Kenapa memangnya?"

"Malu lah, Pak."

"Nggak bikin saya berubah pikiran kok."

"Iya deh. 2,8."

"Agak berat juga ya naikin ke 3. Butuh angka 3,6."

"Cepet amat ngitungnya, Pak?" Luli meringis.

"Udah biasa. Saya jaman kuliah dulu punya angka-angka yang harus saya capai buat ngejar IPK sesuai target yang udah saya bikin. Saya dulu lulusan terbaik teknik sipil di angkatan saya lho. Kalo di fakultas cuma nomer dua."

"Nomer satunya Mas Fikar?"

"Iya. Nggak tau, itu orang makannya apa sih?" Mereka kompak terbahak.

"Makannya sih biasa, Pak, tapi suka bikin orang yang di sekelilingnya makan ati." Berdua tertawa lagi.

"Beda jauh ya, Pak, sama saya."

"Nggak pa-pa. Namanya beda orang ya wajar kalo beda kemampuan. Nggak harus semester ini juga kan jadi 3-nya. Insya Allah nanti kita kejar bareng-bareng. Pelan-pelan nggak masalah, nanti lulus udah tiga lebih."

"Bapak yang sabar ya."

"Insya Allah. Zulfikar pernah cerita tentang masa kecil kamu. Saya yakin kamu itu tangguh, buktinya bisa berjuang sampai sejauh ini. Menurut saya, sekarang ini kamu cuma kurang effort aja. Tapi sebenarnya kamu bisa, kamu mampu. Mampu untuk melalui beratnya perjuangan.

"Saya bisa ngerti kok. Adakalanya jenuh juga mengejar sesuatu. Apalagi kamu, yang dari kecil harus berjuang, maaf, cuma buat mengejar ketinggalan. Anggap saja yang satu setengah tahun kemarin istirahat. Besok jalan lagi udah nggak sendiri, udah jadi Nyonya Iqbal Sya'bani, jadi perjuangannya bisa lebih dinikmati."

"Makasih ya, Pak. Saya nggak tau, kebaikan apa yang sudah orang-orang tua saya lakukan sehingga Allah sesayang ini sama saya. Ngasih jodoh yang baik banget, yang bahkan jauh melebihi ekspektasi saya. Semoga kebaikan yang orang-orang tua saya lakukan mendapat balasan yang terbaik, bukan sekadar yang saya terima."

"Udah ah, nggak usah ngomong yang melow gitu. Nantilah dua pekan lagi. Saya nggak suka lihat kamu nangis sekarang, sedangkan saya ---"

"Cuma bisa lihat dan nggak bisa berbuat apa-apa?" Luli melanjutkan kalimat Iqbal, seolah sudah hapal di luar kepala.

"Udah apal ya? Padahal belum resmi jadi nyonya lho." Mereka saling menoleh, lalu berpandangan. Luli membuang muka ke arah kaca depan. Lampu jalan seakan menyorot kedua pipinya yang kemerah-merahan.

"Eh, tau nggak, tadi pagi saya tuh lupa kalo puasa. Saking senengnya dapat 'i love you too' udah aja cabut ngajak sarapan bareng. Nggak kepikiran hari apa dan lagi puasa." Tawa Iqbal berderai-derai.

"Emm, Bapak nggak sendirian kok. Udah berhasil ngajakin kami sekeluarga buka puasa lebih awal."

"Serius?!"

"Dua rius!!"

"Astaghfirullah hal adziim."

"Nggak pa-pa, Pak, santai aja. Kata ibu ini rezeki buat kami sekeluarga."

"Memangnya kamu juga puasa, Zulfa? Bukannya kamu puasa Senin Kamisnya hari Selasa ya? Hahaha." Iqbal terpingkal-pingkal. Luli kesal.

"Kita pulang aja deh, Pak."

"Masih ada sepuluh menit, Zulfa."

"Pokoknya saya mau pulang! Bapak ngeselin!"

"Kamu ngambek?"

"Hemm."

"Tapi nggak berubah pikiran untuk jadi istri saya kan? Atau saya harus cari calon istri lagi?"

"Ehk, ya nggak gitu juga kali!!"

***

Luli mah nggak mau rugiiii....
Hihihi.

Alhamdulillah, walaupun seharian ada kegiatan, tapi bisa juga menemani malam minggu kalian.

Nggak sempet baca edit lagi. Ini tadi ngetiknya sebagian jg di mobil. Jadi part ini tuh diketik di tiga kota sekaligus. Semarang, Solo, dan kota tempat saya lahir dan besar.

Baiklah. Semoga tetap bisa dinikmati walaupun masih banyak kekurangan di sana-sini.

Terima kasih buat kalian semua.
I love you all.

Sampai jumpa.
❤❤❤

Rumah Bapak Ibu, 08082020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top