Part 11.3
Ada kalanya sahabat menjadi seseorang yang paling menyebalkan di dunia. Apalagi ia merangkap sebagai kakak ipar pula. Hal-hal yang bersifat rahasia jadi tak bisa disembunyikan darinya.
Iya, ini ada hubungannya dengan Nara.
***
Bagi Luli, waktu seakan bergerak cepat begitu abah mengatakan akan mengantarnya pulang dan menemui kedua orang tuanya. Ia yang baru saja merasa yakin atas kesiapannya menjadi Nyonya Iqbal Sya'bani, perlahan mencoba mencerna kembali apa yang sekiranya akan terjadi setelah ini.
Dengan gontai Luli melipat mukena. Sangat kontras dibandingkan umi yang begitu bersemangat di sampingnya. Salat berjamaah bersama umi barusan menjadi salah satu yang tak khusyuk dalam hidupnya. Ia gelisah.
"Kamu kenapa, Sayang?" Tak ada jawaban dari Luli untuk pertanyaan umi. Ia hanya meringis. Sama sekali tidak manis.
"Nggak pa-pa, Neng. Mungkin memang sudah waktunya ketemu. Kamu dengan kami, juga kami dengan bapak dan ibu kamu. Apapun keputusannya nanti, semuanya adalah yang terbaik, insya Allah."
"I-iya, Umi. Maaf."
"Maaf, untuk apa?"
"Maaf, kalau saya nggak sesuai dengan ekspektasi abah dan Umi."
"Sesuai gimana?"
"Emm, ya sesuai seperti kriteria abah sama umi sebagai seseorang yang akan menjadi pendamping hidupnya Pak Iqbal. Sungguh, saya nggak pernah ngejar-ngejar beliau lho, Umi."
"Kamu ini bicara apa sih, Neng? Kami nggak pernah menentukan kriteria apapun. Yang terpenting dia memegang teguh Islamnya. Karena itu bernilai 1, sedang yang lain, semacam rupa, harta, nasab, dan sebagainya nilainya 0. Asalkan angka 1 ada di depan, berapapun 0 yang mengikuti, dia tetap bernilai. Tapi jika angka 1 tak ada, maka dia tak ada nilainya. Angka 0 memang membuat angka satu lebih bernilai, tapi angka 1 membuat angka 0 ada nilainya."
"Masya Allah. Saya pernah baca ini di buku tentang Buya Hamka, Umi."
"Yess. Umi juga baca di sana. Kamu suka baca ya, Neng? Masya Allah, hobi kamu udah nyambung lho sama kami semua." Umi mengambil tangan Luli, menggenggamnya dengan tangan kiri, lalu menepuk pelan dengan tangan kanannya.
"Kami sudah tau semuanya, Neng. Bagaimana ceritanya, kronologinya, sampai Iiq jatuh cinta sama kamu. Dia saja begitu yakinnya, masa iya kami nggak yakin?"
"Iyakah, Umi? Pak Iqbal malah nggak pernah cerita apa-apa ke saya, Umi."
"Ya kalian ngobrol saja jarang kan? Sekalinya ngobrol berdua, kakak kamu marah kan?"
"Pak Iqbal cerita semua ya, Umi?"
"Iya, dia terbuka banget kalo sama umi. Bisa dibilang, segala sesuatu dia curhatin ke umi."
"Waduh, ntar kalo udah nikah jangan-jangan aibku di rumah juga diceritain semua nih."
Umi seakan bisa membaca pikiran Luli, "Ya nggak semua-muanya juga sih, Neng. Dia punya pacar aja umi baru tau setelah dia bilang kalo habis ngelamar kamu. Itu juga pas ngelamar kamu nggak bilang-bilang dulu sama abah dan umi."
"Ehk. T-terus, Umi marah nggak? Abah?"
"Kenapa harus marah? Iiq sudah dewasa. Dia sudah bisa memutuskan sendiri apa yang menurutnya harus atau tidak untuk dilakukan. Kami malah bangga Iiq berani meminta kamu langsung ke orang tuamu. Bahkan katanya, Neng Zulfa sendiri waktu itu belum tau ya kalau Iiq mau datang untuk meminta kamu jadi istrinya?"
"Iya, Umi. Saya jadi terlihat bodoh sekali. Malu saya kalau inget itu."
"Kamu nggak usah merasa kecil hati, rendah diri, nggak pe-de, atau semacamnya gitu ya, Neng. Harta, rupa, skill, dan sebagainya, semua cuma titipan. Bisa diambil sewaktu-waktu sama Yang Maha Punya.
"Jadi nggak perlu minder hanya karena membandingkan diri kamu dengan Iiq yang katanya, katanya lho ini, ganteng, pinter, baik, kaya, dan apalah itu. Wong derajat yang dihitung di hadapan Allah adalah taqwanya. Bisa jadi dari segi ketaqwaan kamu justru jauh meninggalkan Iiq. Maka Allah menjodohkan kalian supaya kamu bisa membawa Iiq menjadi sosok yang lebih baik.
"Pokoknya berprasangka baik saja, terutama sama Allah. Karena semua yang Allah kasih memang yang terbaik untuk hamba-Nya. Gitu ya, Sayang." Umi menepuk lembut pipi kiri Luli.
Keduanya tak tahu, ada telinga yang terpasang baik-baik untuk memindai semua obrolan mereka.
"Umi."
"Iya, Sayang?"
"Emm, anu, emm, itu m-mantannya Pak Iqbal pasti banyak banget ya?" Luli menunduk. Sedikit menyesal dengan pertanyaan yang baru saja ia ajukan.
"Kalo itu umi nggak tau, Neng. Kan umi juga taunya belum lama. Itu juga dia nggak bilang berapa orang. Tapi yang jelas nggak cuma satu sih. Nantilah kalo udah nikah, dia bilang mau ceritain semuanya ke kamu."
"Emm, mantannya pasti cantik-cantik ya, Umi?" Pertanyaan Luli semakin ngarang, seiring suaranya yang makin menghilang.
"Kamu yang paling cantik, Zulfa. Jadi nggak usah sibuk mikir yang sudah-sudah. Kita siap-siap aja ketemu bapak ibu. Ini calon besan udah pada nggak sabar." Iqbal muncul tiba-tiba, mengagetkan Luli, juga umi.
Iqbal mengambil posisi duduk di belakang uminya. Merangkul sang ibu, lantas mencium kepala beliau dengan sayang. Luli tersenyum melihatnya.
"Sama ibunya aja begitu, insya Allah sama aku juga nanti sayang banget."
"Heh, kamu pasti udah nguping duluan ya, Dek?!" Umi memukul pelan paha anak bungsunya.
"Rahasia!" ujar Iqbal sembari memamerkan geligi rapinya.
"Iiq ngabarin bapak ibunya Zulfa dulu ya, Mi, kalo kita mau ke sana."
Dikeluarkannya ponsel dari saku celana, sambil melirik sekilas pada gadis di depannya.
Tak berkata apapun, Luli hanya bisa pasrah saja. Mempersiapkan hati dan diri, untuk segala sesuatu yang akan terjadi. Apapun bentuknya.
Range Rover Sport warna hitam meluncur meninggalkan pagar rumah nan megah. Kali ini, Iqbal mau tak mau bersedia menyetir mobil abah.
"Dek, mampir Tante Ratri dulu ya. Mau ambil oleh-oleh."
"Eh, nggak usah repot-repot, Umi," ujar Luli. Lagi-lagi tak enak hati.
"Udah nggak pa-pa, Neng. Namanya silaturahim itu ya sebisa mungkin nggak ngerepotin tuan rumah. Apalagi ini dadakan. Udah, kamu tenang aja ya."
Masih ada gelisah, tapi Luli berusaha lebih tenang. Mengalihkan kegugupan dengan bersyukur. Bersyukur karena Allah memberinya kesempatan untuk bisa masuk ke keluarga Iqbal yang begitu welcome pada keberadaaannya.
Obrolan ringan meramaikan suasana di dalam mobil. Keluarga Iqbal memang sangat menyenangkan. Mereka berhasil memangkas jarak yang selalu dikhawatirkan oleh Luli. Hingga tak terasa, gerbang perumahan telah tampak di depan mata. Luli meremas-remas tangannya yang sudah basah oleh keringat.
Turun dari mobil, Luli melihat bapak ibu sudah berada di teras. Rupanya beliau berdua sudah menunggu kedatangan tamunya. Luli menaruh tangan kirinya di dada, lalu menghela napas sepanjang ia bisa.
"Kamu ngapain, Zulfa?"
"Ehk, ng-nggak. Nggak pa-pa kok, Pak."
"Udah, tenang aja. Insya Allah ini akan jadi solusi untuk menyegerakan Luli Iqbal menuju halal," bisik Iqbal. Mendengarnya, timbul geli di perut Luli.
"Kalau bukan dosenku, pasti udah kuupdate buat hashtag nih." Luli tersenyum sendiri.
Bapak dan ibu menyambut kedatangan calon besan dengan penuh kehangatan. Ibu langsung akrab dengan umi, sedangkan bapak sudah larut dalam obrolan yang seru dengan abah dan calon mantu.
Luli membawa nampan berisi teh hangat, juga kudapan yang beberapa adalah buah tangan dari umi. Dengan diiringi senyum, ia menaruh satu per satu di atas meja. Kemudian ikut duduk setelah kudapan terakhir tersaji di sana.
"Kelihatannya bisa langsung mulai ke intinya nggih, Pak Rofiq." Abah to the point.
"Nggih, Pak Sudjana. Monggo."
"Iq, kamu dulu, Nak." Abah mempersilakan Iqbal sebagai tokoh utama yang memiliki kepentingan.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sebelumnya saya mohon maaf kepada Bapak dan Ibu Rofiq, juga Zulfa, karena kedatangan kami yang mendadak. Tentunya semua ada hubungannya dengan niat baik saya, yaitu meminta Zulfa untuk menjadi istri saya.
"Sebenarnya memang semua di luar rencana. Namun pada akhirnya, yang bisa kita semua ambil, terutama saya, adalah hikmahnya. Bagi saya, tentu saja harapan untuk menyegerakan niat baik semakin terbuka lenar. Maka saya tidak ingin berpanjang kata, Pak, Bu, saya mohon izin untuk menyerahkan kepada para sesepuh mengenai permufakatan atas niat saya ini.
"Demikian, Pak, Bu. Juga Abah dan Umi. Dan, Zulfa tentu saja."
Iqbal mengakhiri mukadimah. Memandang bapak, ibu, abah, dan umi bergantian. Senyumnya merekah pada peserta terakhir yang ia pandang.
Abah bersiap memulai bicara, "Baik, Pak Rofiq dan ibu, juga Zulfa. Jadi begini, kedatangan kami kemari sebenarnya belum bisa disebut lamaran resmi nggih, karena kalau dalam keluarga kami, lamaran resmi itu nanti biasanya ketika kami datang bersama keluarga besar untuk menyampaikan permintaan dan berkenalan dengan keluarga besar calon besan.
"Kemudian, yang namanya kebetulan itu kan sebenarnya hanya bahasa manusia nggih. Begitu pula yang terjadi pada kita semua hari ini. Iqbal yang datang kemari diminta mengantar buah tangan oleh uminya, mobil Pak Rofiq yang sedang dibawa kerabat, lalu lupa kalau tadi berangkat berempat, sampai akhirnya Zulfa bertemu dengan kami. Semuanya kebetulan, kalau untuk kita sebagai manusia. Namun tidak demikian bagi Yang Kuasa. Ini memang sudah diatur sedemikian rupa. Masya Allah."
Bapak dan ibu Rofiq mengangguk-angguk. Wajah keduanya terlihat semringah. Luli berkali melirik pada dua orang yang paling berarti dalam hidupnya.
"Kemudian tadi kami ajak Zulfa ke rumah, dan di sana kami sempat bicara beberapa hal, salah satunya tentang sesuatu yang masih mengganjal sehingga Zulfa ini belum siap untuk menjadi Nyonya Iqbal."
"Dih, bahasanya Abah gitu banget sih, pake bawa-bawa Nyonya Iqbal segala," batin Luli.
"Salah satu yang disampaikan oleh Zulfa adalah sesuatu yang bagi dia belum bisa di-clear-kan dengan keluarga. Zulfa ini masih bingung bagaimana menyampaikan, karena ini berkaitan dengan bapak dan ibu. Sepertinya calon mantu ini memang agak perasa dan sensi nggih, Pak, Bu? Baru cerita sama kami saja sudah mau nangis. Mungkin sebab itu belum bisa menyampaikan sendiri kepada Bapak dan Ibu."
"Nggih, Pak. Ini memang agak melow anaknya. Apalagi kalau sudah berkaitan dengan keluarga." Ibu menyahut. Melihat pada anaknya dengan senyum lebar.
"Kedatangan kami kemari salah satunya untuk itu, Pak, Bu. Insya Allah kami yang akan mewakili menyampaikannya pada kesempatan ini."
Abah lantas membeberkan semua hasil pembicaraan di Bukit Sari tadi, termasuk saran-saran yang boleh disebut pula sebagai solusi. Tak ada yang ditambah ataupun dikurangi. Semua tersampaikan dengan kemampuan yang baik mengenai diplomasi.
Bapak mengangguk-angguk, sesekali terlihat keharuan terpancar di wajahnya, disusul senyum bahagia, lalu rona yang menunjukkan kesetujuan atas saran dari calon besan.
Ibu pun sama, hanya terlihat lebih emosional ketika berbicara tentang betapa dekatnya Luli dengan keluarga. Beberapa kali terlihat beliau mengusap air mata, hingga Iqbal mengangsurkan box tisu pada Luli agar mengambilkan satu dua lembar untuk sang ibu.
Luli lega. Segala yang menjadi beban utama telah tersampaikan kepada bapak dan ibu. Tinggal menanti kejutan apa yang akan ia terima berikutnya.
"Baik, Pak Sudjana, dan Ibu. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Ada kalanya anak tak bisa menyampaikan sesuatu pada orang tuanya. Apalagi ini menyangkut emosi, dirinya, hatinya, dengan kedua orang tuanya. Begitupun anak kami, Zulfa. Kalau di keluarga biasa dipanggil Luli.
"Sejujurnya, kami tidak bisa menahan keharuan ketika mendengar semuanya tadi."
Bapak berhenti bicara, menarik napas panjang. Kaca-kaca terlihat di kedua netra beliau. Ibu menggenggam tangan bapak. Menransfer kekuatan, meski kedua netranya sendiri sudah tak tahan untuk menumpahkan hujan.
Luli menunduk. Menyembunyikan air yang telah menetes deras membasahi pangkuannya.
"Tentang Luli, selalu menjadi sesuatu yang melankolis buat kami. Dia kesayangan kami semua. Melepasnya untuk keluar dari rumah ini tentu saja akan menjadi sesuatu yang tidak mudah bagi kami. Mungkin demikian pula dengan Nak Iqbal bagi bapak dan ibu berdua.
"Tapi menahannya, juga bukan sesuatu yang baik untuk kita semua. Cepat atau lambat waktunya pasti akan tiba. Satu hal yang membuat kami lega. Paling tidak keluarnya Luli dari rumah tak jauh-jauh dari induknya."
Semua tertawa mendengar bapak melempar canda. Suasana mulai mencair.
"Terkait solusi yang disampaikan oleh Bapak Sudjana, kami setuju semuanya. Usia dan pengalaman memang tidak bisa dibohongi nggih, Pak. Kami sangat bersyukur dan berterima kasih bisa bertemu, berkenalan dengan keluarga Bapak Sudjana. Bahkan sebentar lagi besanan, insya Allah."
Lagi, semua tertawa. Dan satu orang yang tak mampu menyembunyikan bahagianya. Ia terlampau gembira, hingga tak sadar pada senyumnya yang terlalu lebar. Siapa lagi kalau bukan Iqbal.
"Jadi mungkin tak usah berpanjang lebar lagi, nggih. Luli sudah siap to, Nduk?"
"Ehk. Eh, i-itu, Pak. Emm, anu, itu, L-Luli emm ---"
"Sing tenang, Nduk. Tarik napas dulu, lepasin pelan-pelan. Tunggu sampai tenang, baru bicara." Ibu memberi instruksi atas kekonyolan Luli.
"Sudah? Gimana, Nduk?" Bapak kembali bertanya.
"Bismillah. Iya, Pak, Bu, Abah, Umi. Insya Allah Luli siap."
"Siap apa, Zulfa?" Dasar Iqbal, rese!
"Emm, siap jadi, emm..., istri Bapak." Luli memandang Iqbal dengan malu-malu. Pipinya seperti tomat yang siap dipetik.
"Waduh, belum apa-apa kok kita udah berasa ngontrak ya. Dunia udah jadi milik mereka berdua ini sepertinya," celetuk umi mengundang tawa.
"Alhamdulillah. Dengan jawaban dari Luli baru saja, saya rasa akan lebih baik kalau kita segera menentukan tanggal saja. Saya pikir lebih cepat akan lebih baik. Kasian juga calon pengantinnya kalau harus menahan lebih lama." Bapak. Dan lagi-lagi memancing tawa.
"Masya Allah. Keputusan yang baik saya rasa. Usul saya juga sama. Nggak usah lama-lama. Pengurusan pernikahan di KUA kalau sudah siap semua bisa cepat kok. Insya Allah sepuluh hari bisa. Kalau akad nikahnya kita tetapkan dua pekan dari sekarang, kira-kira bagaimana?" Seperti biasa, abah selalu to the point.
"Ehk, m-maksudnya pengurusan ke KUA-nya mulai dua minggu lagi kah, Abah?" Luli spontan bertanya.
"Ya bukan to, Neng. Pengurusannya mulai besok. Kalian nikahnya dua minggu lagi. Kalau umi usul, harinya Sabtu, dua pekan dari sekarang."
"Ehk." Luli menelan ludah. Shock.
"Yess! Alhamdulillah!" Sebaliknya dengan calon mempelai pria. Iqbal rasanya ingin sujud syukur sekarang juga. Lalu lari keliling lapangan sepuluh kali. Saking bahagianya hendak melepas status 'sendiri'
Acara selanjutnya berlangsung lebih santai. Musyawarah telah menghasilkan mufakat, untuk mengakhiri masa lajang Iqbal yang --menurut dia sendiri-- terbilang telat.
Sekira lima belas menit menjelang maghrib, keluarga Iqbal mohon diri.
"Nanti kita ngobrol lagi ya," bisik Iqbal saat berpamitan pada Luli.
-----
Malam merayap lamban, menelan Luli dalam penantian. Dia yang tadi berjanji akan ngobrol lagi, belum juga datang walau cuma melalui notifikasi. Luli yang mulai kesal melempar ponselnya asal. Ia baru saja mendaratkan kepala di bantal, ketika gawainya bergetar.
[Assalamualaikum, Zulfa]
[Waalaikumussalam, Pak]
Tak butuh menunggu, Luli segera membalas pesan itu.
[Gercep bener. Kamu pasti nunggu wa dr saya ya?]
[Enggak. Siapa bilang?!]
[Iya deh. Maafin saya ya. Td diajakin abah ngobrolin proyek, pdhl kl sdh gitu abah suka lupa waktu]
[Kamu belum tidur?]
[Belum pak]
[Sdh malam lho. Tidur ya. Jgn kecapean]
"Nyebelin banget sih, ditungguin lama, giliran wa cuma gini doang. Males!" omel Luli.
Ia begitu sebal, meski hanya bisa menyimpannya dalam-dalam. Akan sangat memalukan kalau dia mengatakan yang sebenarnya. Gengsi lah ya. Mau ditaruh di mana itu muka?
Ia memutuskan untuk tak membalas lagi pesan dari lawan bicaranya. Tak peduli yang di seberang sana menunggu balasannya.
[Zulfa, kamu sdh tidur ya?]
Baru sepuluh menit tak berbalas, Iqbal sudah tak sabar untuk memastikan.
[Belum]
[Marah?]
[Nggak]
[Kok td gak balas lg?]
[Katanya suruh tidur, nggak boleh kecapean]
[Kamu blm mau tidur? Kl gitu biar saya temenin]
[Nggak usah]
[Kamu masih kangen sm saya kan?]
[Bapak kapan sih nggak kepedean gitu?!]
Di seberang sana Iqbal tertawa. Rasa hati ingin sekali menggoda Luli.
[Kamu tau, hari ini saya iri banget lho sama umi]
[Hmm]
[Nggak pgn tau kenapanya?]
[Nggak!]
[Yakin?]
"Udah sih tinggal cerita aja, pake mancing-mancing segala. Nggak peka banget sih!" Luli menggerutu.
[Ya udah, kl nggak pgn tau jg gpp. Yg penting kamu tau kl saya sayang sm kamu]
Balasan dari Iqbal kembali diterima. Ia menaruh gawainya, berniat untuk tak membalas, tapi sekejap kemudian berubah pikiran. Akam ia balas, hendak sekalian menunjukkan kekesalannya.
[Lul, bener tadi Pak Iqbal dateng sm keluarganya? Bapak telpon masmu, tp dia mau nanya ke kamu takut kamu msh marah. Kesian tau, Lul. Mas Fikar sedih bgt lho kamu ngambek lama gitu. Maksud dia waktu itu kan baik, krn dia sayang sama kamu. Buruan baikan lah]
Pesan dari Nara masuk menyela. Kabar baik memang cepat berhembusnya. Luli tak bisa mangkir, karena datang dari sumber yang terlibat langsung di dalamnya.
Dibacanya sekilas. Ia masih malas dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kakaknya. Pesan dari Nara tak menjadi prioritas, dibiarkan lewat begitu saja.
Luli kembali menggerakkan jemarinya, menari lincah pada tuts-tuts di layar ponsel, sebelum kemudian menekan tombol kirim sebagai balasan untuk calon suami di seberang sana.
[Bapak Iqbal Sya'bani yang terhormat!! Bapak tuh emang ngeselin ya! Ngakunya aja sayang, tp nggak peka!]
Saking kesalnya, Luli tak sadar kepada siapa ia mengirimkan pesan balasan.
[Cieee yg lg ngambek sm calon suami. Udah malem woiii! Belum halal! Inget dosa!]
[Btw, udah kucapture chatnya ya, Luli sayaaang. Mau baikan sm Mas Fikar, apa chat nyasarmu kusebar? Hahahahahaha]
***
Naraaa... Ngeselin bener siiihh!! Haha.
Yeaiy, ketemu lagi sama Luli dan Iqbal, yg selangkah lagi menuju halal. Insya Allah.
Maafkan kalau updatenya agak lama. Lagi dapat kunjungan dari dua bos besar alias kakek neneknya bocah-bocah. Hehe. Mau nyambi-nyambi ngetik kok rada susah. Susah fokusnya terutama. Jadi mohon maklumnya kalau gak sesuai ekspektasi ya.
*kok jd insecure sih, kaya Luli ke uminya Iqbal aja. Wkwk
Terima kasih ya sudah membaca dan meninggalkan jejak di sini. Terima kasih juga karena sudah sabar menunggu, sampai pada colek2 di DM segala. I love you tomaaatt.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Semarang, 06082020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top