Part 11.2

Tak ada sesuatu terjadi tanpa seizin-Nya. Pun sebuah pertemuan tak disengaja, semua sudah diatur Sang Maha Penulis Naskah, yang sekaligus merangkap sebagai Sutradaranya.

--------

Warning:

* 3,9K+ siapin mijon dan kacang rebus boleh tuh :D

*pesawat terbang hampir landing,
biarpun panjang tetep enjoy reading :p

***

"Mi, please, jangan heboh deh, nanti anaknya malu," bisik Iqbal pada ibunya.

"Hehe, sorry, Dek."

Usai memanggil si abah dengan kehebohan yang haqiqi, umi mendekati Luli yang sudah pucat pasi. Plus gemetaran pasti.

"Zulfa, kenalin ini umi saya. Maaf ya, memang suka rada heboh gini." Luli mengangguk kaku.

Gugup tak bisa dihindari. Terlihat jelas bibir Luli bergetar saking paniknya. Ia bahkan tak mengulurkan tangan untuk sekadar bersalaman, apalagi cium tangan.

"M-ma-maaf, Pak. S-saya, emm, s-saya---" Tiba-tiba Luli berlari meninggalkan Iqbal dan kedua orang tuanya.

"Aduh!" gumam Iqbal sambil menepuk jidatnya. Serba salah. Di satu sisi takut Luli tak berkenan, di sisi lain khawatir orang tuanya yang berubah pikiran.

"Nggak kamu kejar, Dek?" tanya abah.
Terlihat bisa memaklumi. Begitupun umi.

"Larinya ke toilet perempuan pasti, Bah. Iq tunggu di depan area toilet aja deh. Tolong dimaafin ya, Bah, Mi. Dia emang gitu, refleksnya suka di luar dugaan."

Iqbal sok paling mengerti tentang bagaimana sang calon istri. Padahal dalam hati, ia sendiri masih menerka apa yang kira-kira akan terjadi setelah ini.

Tak sampai lama di dalam kamar mandi, Luli keluar dengan wajah agak basah. Wajah yang kala itu sukses membuat Iqbal jadi salah tingkah. Lalu tak enak makan tak nyenyak tidur, dan memutuskan mengejarnya untuk diajak menikah.

"Maaf ya. Saya beneran nggak tau kalo abah sama umi juga kondangan di sini." Seperti biasa, Iqbal yang tak pelit kata maaf berusaha menjelaskan begitu Luli keluar dari area khusus wanita.

"Eng-enggak pa-pa, Pak. Saya yang minta maaf."

"Kamu ngapain di dalam? Nggak nangis kan?"

"Eh, eng-enggak, Pak." Luli menggeleng.

"Saya tuh, anu, emm, sebenernya dari habis solat tadi tuh kepengen ke belakang. Tadi tuh keluar dari mushola jalan ke Bapak mau ijin sebentar. Malah ibunya bapak dateng. Saya shock banget. Makanya langsung lari ke toilet, takut ng---"

"Udah, nggak usah diterusin. Saya udah ngerti lanjutannya." Iqbal tertawa.

"Kamu lucu banget sih. Gimana saya nggak makin ---"

"Udah, nggak usah diterusin. Saya tau, ujung-ujungnya Bapak pasti ngegombalin saya."

Mereka berdua tergelak bersama.

"Kamu beneran nggak nangis kan?"

"Enggak, Pak."

"Tapi kenapa muka kamu basah?"

"Oh, itu. Emm, saya itu, emm habis ambil wudhu, Pak. Biar lebih tenang. Jujur, saya gugup tiba-tiba ketemu orang tuanya Bapak di sini."

"Masya Allah. Gimana aku nggak makin jatuh cinta?"

"Maaf ya, Pak. Emm, pasti nilai saya langsung jatuh di depan orang tuanya Bapak ya." Luli tertawa, sedikit sumbang. Menertawakan kekonyolannya kabur begitu saja dari hadapan calon mertua. Sungguh tak ada maksud apapun, dia cuma khawatir akan.... Ah sudahlah.

"Enggak. Umi saya udah terlanjur sayang sama kamu. Insya Allah nggak ada itu jatuh nilai atau apapun. Serius. Yuk kita ketemu abah sama umi. Kamu rileks aja ya. Abah sama umi orangnya santai kok, nggak beda jauh dari saya."

"Iya, Pak. Insya Allah," jawab Luli.

Ia mengangkat kepala, hingga mereka berdua saling menatap sekilas. Tapi bagi Luli sangat membekas. Tatapan lembut Iqbal seolah mengandung kekuatan dan ketenangan yang mengalirkan kesejukan baginya.

"Bismillah." Luli menggumamkan basmalah. Lantas mengikuti Iqbal melangkah.

"Bah, Mi, kenalin, ini Zulfa." Iqbal mengulang memperkenalkan Luli pada kedua orang tuanya.

Luli mendadak gugup lagi, tapi ia cukup mampu menguasai diri. Diberikannya satu senyum, lengkap dengan anggukan penuh kesantunan laiknya seorang menantu idaman.

Abah tersenyum, menangkupkan kedua tangan di depan dada.
Umi mendekat, meraih tangan Luli, dan menggenggam erat dengan kedua tangannya.

"Alhamdulillah, akhirnya bisa ketemu ya, walaupun nggak sengaja. Umi dari pertama Iiq cerita tuh sudah pengen banget ketemu sama Neng Zulfa."

"Hah, Neng? Baru ketemu lho, masa iya udah dapet panggilan baru." Luli kaget. Mimik mukanya berkata demikian.

"Mi, ada yang kaget dipanggil Neng deh kayanya," goda Iqbal.

"Oh, iyakah? Nggak pa-pa ya, Neng? Mantunya umi semua umi panggil Neng. Abah juga kalo manggil umi begitu. Kamu kan sebentar lagi juga jadi mantu umi. Manggil Neng-nya sekarang atau besok sama saja kan ya?" Umi menjelaskan.

"Iya, sudah. Nggak masalah. Cuma panggilan saja, nggak usah diperpanjang urusannya." Abah menimpali.

"Terima kasih ya, Neng Zulfa. Umi tuh suka lihat matanya Iiq kalo lagi cerita tentang kamu. Bahagia banget. Jadi mengingatkan umi jaman dia kecil dulu. Kalo lagi happy matanya tuh kaya gitu. Terutama kalo habis dikasih duit. Masya Allah."

"Mi, please deh, nggak usah buka rahasia juga kali." Iqbal geleng-geleng melihat uminya. Luli tersenyum geli.

"Kita duduk situ dulu yuk." Umi menunjuk salah satu titik di teras mushola. Merangkul pinggang Luli dengan akrab menuju ke sana.

Calon menantu mulai menemukan kenyamanan, meski jantungnya belum menurunkan ritme kecepatan. Dan pucat masih enggan meninggalkan.

Berempat duduk di tangga teras. Umi kembali menggenggam tangan Luli. Mengalirkan kehangatan pada tangan gadis itu, yang sedingin es batu.

"Ini tadi gimana ceritanya, Dek?"

"Jadi gini, Mi. Tadi pagi pas nganter oleh-oleh ke rumah Zulfa, ternyata bapak ibu mau kondangan ke sini, tapi mobilnya lagi dipakai mudik sama keluarga Bu Nani, yang bantu di keluarga Zulfa, Mi. Nah daripada naik taksi, Iiq antar aja, Mi. Malah sama bapak ibu, Zulfa suruh ikut, maksudnya biar Iiq nggak nunggu di sini sendiri.

"Udah agak lama kan Mi di sini, trus Zulfa telpon ibu, ternyata bapak ibu lupa kalo tadi pergi sama kami. Keasikan reunian ketemu temen-temen lamanya gitu, Mi. Malah udah pulang sama salah satu sahabat bapak jaman sekolah. Kan yang mantu ini temennya bapak jaman sekolah dulu. Gitu, Mi."

"Berarti ini kalian mau pulang berdua?"

"Eh, ya nggak gitu sih, Mi. Zulfa nggak nyaman kalo semobil berdua, Mi. Ini tadi aja ngobrol berduaan juga dia nggak nyaman. Padahal ya banyak orang, nggak bakal ngapa-ngapain juga. Tapi dia memang gini, Mi, berusaha menjaga banget dianya."

"Ya udah, kita anter aja. Nanti umi ikut mobil kalian, biar abah sendiri. Abah kan udah dewasa, berani lah ya."

"Please deh, Mi. Becanda mulu, nggak lihat apa calon mantu pucet gitu." Abah mengingatkan.

"Nggak pa-pa kan, Zulfa?" Iqbal meminta persetujuan. Tumben.

"I-iya. Terserah P-Pak Iqbal s-saja."

"Duh, matik aku. Harus semobil sama uminya Pak Iqbal. Mana dianter sampe rumah. Ntar ketemu bapak ibu gimana dong?"

"Nah, iya. Gitu lebih baik. Alhamdulillah ya, Bah, punya calon mantu yang menjaga diri. Beruntungnya si Iiq, biarpun play---"

"Umi, please deh?!" seru Iqbal sedikit keras. Ia merasa jengah karena uminya hampir menjatuhkan reputasinya di depan Luli.

Tak sopan memang memotong pembicaraan orang tua, apalagi dengan intonasi cukup keras. Tapi Iqbal terpaksa. Ia tak mau Luli tahu tentang masa lalunya dari orang lain. Nyatanya ia merasa bahwa dia tak seperti itu --playboy--. Maka dia ingin Luli mendengar segala sepak terjangnya yang sudah lalu, bukan dari orang lain, tapi dari dia sendiri. Tentunya nanti, setelah mereka resmi berstatus suami istri.

"Ya sudah, kita langsung pulang sekarang aja." Abah bisa membaca suasana, beliau menengahi.

"Iya, Bah. Iiq tadi parkirnya agak di depan."

"Abah juga kok. Kita bareng aja deh ke sananya." Abah memberi alternatif.

Semua bersepakat. Berempat jalan kaki menuju mobil.

"Dek, tukeran mobil aja ya, biar ibu-ibu nyaman," saran abah. Mereka berdua berjalan duluan, beberapa meter di depan para perempuan.

"Dih, penghinaan Abah ni. Emang mobil Iiq nggak nyaman apa?"

"Mobilmu kan kecil, enakan pake SUV lah."

"Nggak ah, Bah. Enakan ini. Iq males pake mobil besar."

"Kalo nglungsuri punya abah, mau?" (Nglungsuri: menerima/memakai barang bekasnya orang lain, biasanya dari orang yang dekat. Misal: baju kakak, dipakai lagi di adiknya. Buku pelajaran kakak, dipakai lagi di adiknya, dsb)

"Halah, padune Abah ki pengen ganti. Modus thok." Iqbal terbahak.
(Halah, bilang aja Abah yang pengen ganti. Modus aja.)

"Ya nggak gitu. Kamu tuh aneh, dikasih yang lebih bagus kok emoh."

"Soalnya ngedapetinnya nggak ada effort, Bah. Kalo mobil Iiq kan dapet dari hasil keringat sendiri."

"Kamu tuh jadi orang memang sukanya yang ngeluarin effort lebih ya. Termasuk nyari istri. Maunya yang butuh perjuangan, biarpun harus nunggu entah berapa lama. Padahal yang ngantri jadi istrimu banyak lho."

"Abah provokatif banget sih. Nggak suka ya sama Zulfa?" Iqbal menghentikan langkah, sedikit cemberut memandang pada abah.

"Ya nanti kalau abah suka sama Zulfa, terus kamu kebanting gimana?"

"Ya nggak gitu juga keless, Bapak Sudjanaaa." Ditinjunya pelan bahu abahnya, mereka tertawa berdua.

"Lha pertanyaanmu aneh kok, Dek. Penekanan abah kan di effort lebihnya, kenapa jadi kesimpulannya abah nggak suka sama Zulfa. Kumaha sih maneh? (Gimana sih kamu?). Masa iya jealous sama abah? Yang bener ajalah!

"Tentang Zulfa, Abah umi insya Allah suka, Dek. Anaknya kelihatan kalo anak baik kok. Phisycally biasa saja memang, sorry. Tapi menurut kami dia punya inner beauty yang kuat. Insya Allah hatinya cantik, Dek."

"Baru lihat sekali udah bisa menilai sedetail itu, Bah? Apa karena Abah mantan playboy?"

"Ngawur! Pacaran aja abah nggak pernah. Memangnya kamu." Gantian abah meninju lengan anaknya.

Melihat keakraban bapak-anak yang tersaji di depan mata, hati Luli terasa adem bagai di pegunungan Alpen. Senyum Luli pun mengembang lebar.

"Lucu ya lihat Iiq sama abahnya? Ya kaya gitu itu mereka berdua, Neng. Kaya temen. Temen beda generasi." Umi menjelaskan pada Luli. Tangannya masih belum lepas menggandeng si calon mantu.

Tak sampai lima menit, mereka sudah di dalam mobil Iqbal. Bertiga. Iqbal di belakang kemudi. Umi dan Luli duduk di baris belakang.

"Neng Zulfa semester berapa?"

Mobil mulai meninggalkan parkiran. Umi Iqbal membuka pembicaraan. Tangan kanannya masih setia menggenggam tangan kiri Luli.

"Empat, Bu."

"Jangan panggil bu, panggil umi aja."

"Ehk, i-iya, Bu. Emm, Um--Umi."

"Santai aja, Sayang. Anggap orang tua sendiri. Kan sebentar lagi juga begitu." Rona merah merekah di pipi Luli, yang masih menyisakan sedikit pasi.

"Udah lama kenal Iiq?"

"Ya d-dari awal kuliah, Umi."

"Dari awal kuliah udah kenal atau baru tau aja?"

"Emm, baru sebatas tau, Umi. Ketemu di kelas baru mulai semester dua."

"Galak nggak dia kalo di kampus?"

"Pak Iqbal? Galak? Enggak sama sekali, Umi. Pak Iqbal terkenal baik, pintar, dekat sama mahasiswa, dan fansnya banyak, Umi. Kelihatannya hampir semua cewek sipil pernah ngelirik Pak Iqbal deh." Luli mulai akrab.

"Kecuali dia, Mi. Dia nggak pernah ngefans sama Iiq. Ngelirik juga enggak."

"Ciyeee, dosennya curhat. Malu dong, Dek, sama mahasiswinya." Iqbal tertawa lepas.

"Zulfa, dibiasain ya dengar panggilan Iiq atau Dek. Kesannya memang anak mama banget sih. Tapi saya nggak malu kok dipanggil begitu. Itu tanda sayang keluarga buat saya. Kamu jangan kuatir, kalo di luar saya tetep anak muda mandiri dong ya. Hehe."

"Mandiri mah iya. Tapi kalo muda, kayanya kamu musti introspeksi diri deh, Dek."

Luli menahan tawa mendengar candaan umi. Ia merasa makin rileks. Degup jantungnya tak seribut tadi. Pun air mukanya, cerah tak lagi pasi. Genggaman tangan sang calon mertua ternyata ampuh mengalirkan kenyamanan pada diri Luli.

"Kita mampir Bukit Sari dulu ya, Dek. Nggak pa-pa kan, Neng?"

"Ehk, t-tapi nanti kalau saya dicari ibu g-gimana, Umi?"

"Oh iya juga. Eh, tapi nggak pa-pa, biar umi yang minta ijin ke ibu."

"Duh." Luli tak berdaya.

"Dek, tolong telponkan ke ibunya Neng Zulfa, nanti umi yang bicara."

Iqbal meraih handphone di seat sebelah kirinya. Mencari nama ibu, sesaat kemudian membuka pembicaraan lebih dulu.

"Assalamualaikum, Bu. Ini Iqbal.Mohon maaf, ini ada Umi saya mau bicara, Bu." Ponsel berpindah ke tangan umi.

"Assalamualaikum, Ibu Rofiq. Mohon maaf, saya uminya Iqbal."

"Oh, uminya Nak Iqbal?"

"Njih, Bu. Calon besan ini. Salam kenal njih." Iqbal cekikikan, Luli nyaris jantungan.

"Jadi begini, Bu, tadi kami nggak sengaja ketemu Iqbal sama Zulfa di mushola Rimba Graha. Kebetulan kami juga kondangan di sana. Nah ini saya barengin pulangnya. Kalau kami ajak mampir dulu ke Bukit Sari bagaimana njih, Bu?"

"Oh njih, Bu, monggo. Bagaimana anaknya saja. Kalau saya dan bapaknya insya Allah mengizinkan."

"Alhamdulillah. Njih, Bu, maturnuwun (terima kasih). Ini saya tanya dulu Zulfanya. Insya Allah mau."

Setelah basa basi singkat sebagai penutup, umi menyerahkan kembali ponsel bungsunya. Lalu menanyai kesediaan Luli.

"Kata ibu terserah kamu, Neng. Mau kan ya mampir Bukit Sari? Sebentar aja."

"Eh, i-iya. G-gak pa-pa, Umi."

Rasa hati ingin menolak, tapi otaknya tak bisa diajak kerjasama, malah mengirim sinyal iya kepada bibirnya. Duh, Luli kalah telak!

Lagu-lagu Savage Garden mengiringi sisa perjalanan mereka ke Bukit Sari. Sesekali Iqbal bersenandung mengikuti.

Maybe it's intuition
But some things you just don't question
Like in your eyes
I see my future in an instant
And there it goes
I think I found my best friend
I know that it might sound
More than a little crazy but I believe

I knew I loved you before I met you
I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you
I have been waiting all my life
(I Knew I Loved You - Savage Garden)

"Dek, ngomong sendiri nggak berani to?"

"Soal apa itu, Mi?"

"Kamu lho, mbok ngomong sendiri kalo i knew i loved you gitu. Masa harus diwakilin sama yang nyanyi."

Kali ini tawa Luli pecah, meski tak sepenuhnya lepas. Umi memang paling bisa mencairkan suasana.

"Alhamdulillah. Umi bully juga Iiq rela, asalkan Zulfa mau ketawa. Nggak tegang lagi macam tadi." Iqbal menatap Luli melalui spion tengah. Melempar senyum dan anggukan, sebagai kode dia senang jika Luli mulai merasa nyaman. Luli membalas senyum tersebut dengan malu-malu.

Mobil memasuki kawasan Bukit Sari. Berhenti di satu rumah yang menurut Luli megah sekali. Ia sering melihat area ini di sisi kiri dari ruas tol Tembalang, tapi tak pernah menyangka akan berhubungan dengan salah satu dari penghuninya.

"Allahu Akbar, rumahnya gini amat? Duh, apalah aku di hadapan Pak Iqbal? Kenapa malah aku yang dipilih buat jadi calon istri?"

Seorang pria berusia awal 50-an membuka pagar besi. Iqbal menurunkan kaca mobil, menyampaikan terima kasih pada bapak itu.

Mereka turun dari mobil. Iqbal bahkan membukakan pintu untuk Luli. Dan begitu melihat jumlah mobil yang terparkir di garasi, Luli menggigit bibir, menciut nyali.

"Sudah, nggak usah mikir yang enggak-enggak. Semua cuma harta dunia. Kamu jauh lebih berarti dari itu semua." Iqbal menarik lembut sikut Luli.

Luli kaget. Untuk kesekian kali para kupu-kupu berlomba-lomba menari di perut Luli. Pun hatinya, kembali dibuai perasaan berarti. Iqbal memang paling bisa untuk yang satu ini.

"Dek, fotoin dulu ya. Mau umi pamerin di grup kita." Kali ini permintaan umi, yang tak sabar ingin berbagi kejadian hari ini pada grup keluarga beranggotakan anak, mantu, dan cucu. Ckckck.

Iqbal terbahak. Lantas meminta Luli untuk mengiyakan saja kemauan ibunya yang kadang suka lebay.

Iqbal mengajak Luli duduk di teras yang berhadapan dengan kolam renang. Suasana santai dan penuh kekeluargaan begitu terasa. Umi pamit ke kamar, katanya geli kelamaan pakai baju kondangan.

Mereka tak hanya berdua. Seorang ibu berusia setengah baya sibuk di pantry tak jauh dari mereka. Rupanya abah atau umi telah memintanya menyiapkan sesuatu untuk menyambut Luli. Beberapa kali beliau bolak balik menuju keduanya, menyajikan kudapan dan minuman di meja.

"Terima kasih, Bu Yus."

"Sama-sama, Mas Iiq. Alhamdulillah, ini ya calon istrinya."

"Dih, Ibu ni. Jaim dikit kek. Kan jadi keliatan kalo saya suka bahas dia di rumah ini. Haha." Dasar Iqbal, tak ada malunya sama sekali. Bi Yus tertawa, terlihat gembira.

"Itu Bu Yus, istrinya Pak Yus yang tadi bukain pagar. Udah puluhan tahun ikut di sini, dari Bu Yus belum menikah. Memang nggak punya anak, jadi kalo sama kami, anak-anak abah umi, udah kaya anak sendiri. Memang masih saudara juga sama Umi," terang Iqbal.

"Oh, berarti sama dengan Bu Nani gitu ya, Pak, masih saudara ibu juga. Ikut bapak ibu dari jaman Mas Fikar masih bayi malah. Karena suaminya meninggal dari anaknya umur empat tahun. Anaknya juga pas SMA ikut di rumah, sekolah di Semarang, kuliah juga. Sekarang jadi dosen di Jakarta."

"Oh ya? Yang lagi pulang kampung bawa mobil bapak kah? Sekarang ikut Zulfikar bukan sih?"

"Iya, Pak. Momong Lila."

"Eh iya, Lila apa kabar? Dulu sukses bikin saya jantungan lho waktu nangis gara-gara nggak saya sebut namanya. Kayanya karakternya rada mirip bapaknya deh dia. Secara Ayu kan anaknya lemah lembut banget." Iqbal terkekeh, Luli mengikuti. Akrab sekali.

"Bapak kenal Mbak Ayu juga ya?"

"Iya, beberapa kali ketemu dan jalan bareng."

Umi bergabung, pun abah. Sudah dengan kostum yang lebih santai dari sebelumnya.

Lazimnya orang sepuh, abah umi mempersilakan Luli menikmati apa yang tersaji di meja. Berbincang ringan, diselipi satu dua pertanyaan tentang pribadi Luli. Seputar keluarga, hobi, dan kuliah tentu saja.

"Zulfa umurnya berapa ya?" Pertanyaan abah terdengar sangat basa-basi.

Feeling Luli mulai tak enak. Ia yakin, pembicaraan ringan akan bergeser menuju yang lebih berat. Setidaknya bagi dia.

"Dua puluh, mendekati dua puluh satu, Pak."

"Panggil abah aja, Sayang." Umi meralat panggilan. Luli mengangguk.

"Keinginannya untuk menikah kira-kira saat umur berapa?"

"Nah kaaann, nah kaaann."

Luli lagi-lagi menggigit bibir. Menghela napas. Mencoba menyiapkan jawaban yang pas.

"Dia nggak pakai target umur, Bah. Cuma memang masih ada yang mengganjal. Kalo itu udah ada solusi, insya Allah dia siap jadi istri Iiq. Begitu ya, Zulfa."

Perlahan, Luli mengangkat kepala, memandang Iqbal yang juga sedang menatapnya. Satu anggukan dari calon suami menguatkan hati Luli.

"I-iya betul, Abah." Luli salah tingkah. Duh, malunya.

"Coba di-share ke kami, apa yang masih jadi ganjalan buat Zulfa. Siapa tau bisa kita cari solusinya bareng-bareng di sini." Sebuah saran yang bijak diberikan oleh abah.

"Saya sampaikan di sini ya, Zulfa? Siapa tau kejadian nggak sengaja ketemu Abah sama Umi tadi memang Allah atur untuk jadi solusi buat kita."

Tak langsung menjawab, Iqbal meminta izin dulu pada Luli. Membuat yang bersangkutan makin makin makin jatuh hati.

Luli memang tak berkata apapun, tapi Iqbal tahu jawabannya, hanya dengan melihat sorot mata dari calon ibu anak-anaknya.

"Jadi gini, Bah, Mi, ...."

Diceritakannya beberapa hal yang masih menjadi ganjalan bagi Luli. Tentang impian orang tuanya, juga tentang kekhawatirannya menghadapi reaksi keluarga besar teknik sipil.

Abah dan umi mengangguk-angguk. Bertanya lagi satu dua hal, hingga akhirnya keluar saran dan nasihat dari beliau.

"Sebenarnya kedua ganjalan ini saling berhubungan ya. Kalau satu terselesaikan, maka jalan keluar untuk keduanya ditemukan. Intinya di kesiapan Zulfa berada di kampus dengan status yang baru, yaitu bukan sekadar sebagai mahasiswi, tapi sekaligus sebagai istri salah satu dosen di jurusan yang sama.

"Abah paham, dengan perasaan Zulfa, terutama mengenai kemampuannya di mata kuliah. Memang jadi terasa agak berat, terutama terkait profesionalisme. Karena subjektivitas pasti akan ada ya, walaupun mungkin sangat kecil. Nggak mungkin lah Iiq akan santai saja ketika nilai istrinya kurang. Meskipun pada akhirnya membiarkan apa adanya, tapi kan tetap saja hati nuraninya berkata lain. Dia melakukannya dengan terpaksa. Dan itu sudah pasti menyiksa.

"Tapi Abah sama Umi yakin, Iiq nggak akan membiarkan nilai kamu kurang. Dia kan dosen, manfaatin aja suruh ngelesin kamu setiap hari. Les privat. Kalau sudah halal kan lesnya juga lebih enak, lebih nyaman, lebih bebas, bisa disambi-sambi yang lain. Nyanyi misalnya.

"Nyanyi, Iq, bukan yang lain. Pikiranmu diluruskan lah. Hahaha."

Abah dan umi tertawa. Iqbal melirik Luli tak enak hati, yang dilirik malah ikut senyum-senyum, tersipu.

"Abah tau aja deh. Pasti dulu juga gitu," sahut Iqbal.

"Hush, malah ngece wong tuo. Pamali!" Abah tak mau kalah.
(Hush, malah ngejekin orang tua. Nggak baik!)

"Minum dulu, sebelum dilanjutin lagi. Terutama Iiq tuh, yang udah oleng begitu denger kata disambi-sambi," celetuk umi.

Malu-malu, Luli ikut tertawa. Dalam hati membenarkan semua kata calon bapak mertua.

Abah bersiap melanjutkan bicara, "Kemudian tentang pandangan teman-teman di jurusan, takut dinyinyirin, digosipin, dighibahin, dan semacamnya karena jadi istri Iqbal Sya'bani. Mohon maaf ya, Zulfa, tapi menurut abah itu terdengar agak berlebihan.

"Dalam artian begini, Iqbal ini kan manusia, mau dia kejar perempuan setinggi atau sesempurna apapun levelnya, tetap saja dia nggak punya kuasa atas jodohnya. Kalau Allah sudah menakdirkan bahwa jodohnya kamu, ya mau apa?

"Kalaupun nantinya banyak perkataan tak enak yang masuk ke telinga, percayalah sama Abah, itu nggak akan bertahan lama. Paling satu dua bulan juga hilang. Banyak yang mengidolakan bukan berarti Iiq harus menikah dengan semua dari mereka kan? Kesenengen Iiq-nya dong. Hahaha."

"Yaelah, Bah. Becanda mulu deh. Mana candaannya rada sensi buat kaumnya Umi." Mereka tertawa lagi.

"Kembali ke tadi. Ya intinya begitu, Zulfa. Siap atau nggak siap, yang akan kamu hadapi sama saja. Jadi semua tergantung mental kamu juga, Nak. Untuk hal yang satu itu, abah dan umi juga yakin kalau kamu tidak sendiri. Banyak yang akan mendukung dan menguatkan kamu. Keluarga kamu, keluarga Iiq, sahabat-sahabat, banyaklah. Termasuk rekan-rekan seprofesi Iiq. Pasti bahagia melihat rekannya nggak jomblo lagi."

"Iya deh, Bah. Bully terooosss. Iiq ikhlas kok."

"Heh, abah belum selesai ngomong kali, Dek!" Umi melempar Iqbal dengan kulit kacang.

"Soal impian bapak dan ibu Zulfa, saya kok setuju sekali dengan konsep tasyakurannya. Kalau perlu kita adakan sekali saja, tapi langsung dari dua keluarga. Biar sekalian ngumpulnya."

"Ya tapi, Bah, kapannya itu gimana?"

"Nah, soal kapannya, ini kan sebenarnya kembali ke kesiapan Zulfa ya. Padahal kalau menurut abah, siap sekarang atau tahun depan, yang dihadapi itu sama saja. Jadi ya akan lebih baik kalau akad nikah diadakan secepatnya. Untuk soal tasyakuran, walimah, resepsi, pesta, atau apalah itu, kita adakan menyusul, dengan catatan.

"Catatannya apa? Yaitu ada batas waktunya. Maksimal sebulan dari akad nikah misalnya. Atau dua bulan lah paling lama."

"Kenapa paling lama dua bulan, Bah?"

"Ya kan salah satu kekhawatirannya tadi kuatir kehilangan momentum to? Abah pikir kalau dua bulan ya masih anget lah, belum kelewat momentumnya. Dan yakin deh, dua bulan jadi istri, Zulfa pasti udah berubah pemikiran."

Luli kembali tersipu mendengar pernyataan abah. Pipinya benar-benar bak buah ceri, merah berseri-seri.

Mereka kembali menikmati kudapan dan minuman, sampai beberapa saat ke depan.

"Kita lanjutin lagi ya. Jadi kalau menurut abah, ini semua sudah ada solusi sih. Nikah secepatnya, silakan dirahasiakan dulu nggak masalah. Yang penting soal kesiapan harus selalu diasah, terutama Zulfa. Persiapan hati dan mental lho ya. Kalau soal persiapan syukuran sih serahin ke EO, WO, atau apalah itu.

"Bagusnya sih syukurannya pas liburan semester. Jadi nggak langsung ketemu orang kampus. Kalaupun ada omongan dari mereka yang baru tau, kalian, terutama Zulfa, nggak perlu dengar langsung. Ada jeda dulu gitu."

Usia dan pengalaman memang tak bisa bohong. Seperti halnya abahnya Iqbal. Hidup lebih dari enam puluh tahun, menikah hampir empat puluh tahun, plus menikahkan empat orang anak, tentu menjadi bekal yang tak sedikit dalam mengarungi kehidupan.

Luli membenarkan semua kata sang calon abah mertua. Perlahan keyakinan muncul di hatinya.

Abah melanjutkan bicara, "Walaupun abah juga tetap yakin, kalau hubungan kalian sudah officially husband and wife, nggak butuh waktu lama juga Zulfa pasti berubah pikiran. Yang tadinya nggak siap, jadi malah siapnya kelewat-kelewat. Termasuk siap kasih cucu buat kita. Ya kan, Mi?"

"Yang terakhir iya banget, Bah. Umi setuju, 120 persen!"

"Iiq juga setuju sih, Bah, Mi. Tapi tetap Iiq kembalikan ke nyonya, gimana nyamannya dia. Ya, Zulfa?"

"Ya Allah, disebut nyonya. Kok aku gimana gitu ya."

Serangan kupu-kupu datang lagi. Dan sungguh, detik itu juga Luli mendadak merasa siap lahir batin menyandang status sebagai Nyonya Iqbal Sya'bani.

"Ya sudah. Kita siap-siap solat asar. Habis itu kita antar Zulfa, sekalian ketemu orang tuanya bahas ini. Biar Iiq bisa segera urus persiapan pernikahannya."

"Uhuk uhuk uhuk."

Dan kali ini, jatah keselek kembali jatuh pada Luli!!

***

Yeaiy, Luli-Iqbal menuju halal kayanya tinggal selangkah lagi deh.

Btw, ngerti nggak sih aku nulis apa di part ini. Panjang doang, isinya entah. Haha... Tapi gpp ya, semoga tetap bisa menghibur kalian semua.

Dan part 11 nih kayanya paling panjang deh. Soalnya masih belum nganter Luli pulang dan ketemuan sama bapak ibu Luli juga. Nggak tau deh, gimana nanti. Hehe.

Buat teman-teman yang sudah baca, vote, dan komen, terima kasih banyak yaaa. Kalian semua juaraaa. Juara di hatikyuuu....
*aku ketularan Iiq, apa Iiq yg ketularan aku nih? :D

Oh ya, sekarang aku nggak pakai jadwal2an lah. Pokoknya kelar nulis, siap update, publish. Gitu aja.

Sampai jumpa.
❤❤❤

Semarang, 03082020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top