Part 10.2

Kalau kau terlahir hanya dua bersaudara, akan ada masanya rasa takut kehilangan itu datang. Terutama ketika salah satu akan menjalani kehidupan baru, di luar lingkaran yang selama ini hanya melibatkan kalian.

(Aku. Mewakili Fikar.)

***

Fikar sedang mengaduk coklat panasnya, manakala Iqbal sampai di salah satu kafe dekat kampus. Sore itu mereka janjian bertemu, hanya berdua. Sebab Nara dan Luli masih ada praktikum yang tak bisa ditinggalkan.

"Assalamualaikum. Sorry nunggu. Udah lama, Fik?"

"Waalaikumussalam. Nggak pa-pa, santai aja. Belum telat kok."

"Toleransi sepuluh menit kan?"

"Kalau sama Zulfikar Aditya cuma lima menit, Bro. Lebih dari itu mending nggak usah ketuk pintu."

"Haha, jadi dosen jangan kaku-kaku lah, Fik. Standarmu diturunkan. Nggak setiap mahasiswa sama kaya kamu jaman mahasiswa dulu."

"Sudah ceramahnya, Bapak Iqbal Sya'bani?"

"Hehe. Cukup, Fik. Langsung masuk topik utama aja."

"That's better."

Iqbal memanggil waitress, memesan secangkir kopi hitam tanpa gula. Juga sebotol air mineral dingin.

"Yang pertama, aku minta maaf banget untuk kejadian tadi pagi. Tepatnya untuk ngajakin Zulfa ngobrol berdua. Jadi memang ada sesuatu yang mau kami bahas, meskipun akhirnya topik bahasan justru bergeser. Dia curhat.

"Yang kedua, aku minta maaf lagi. Gara-gara aku, kalian berdua jadi tersulut emosi. Positifnya, kita jadi bisa ketemu gini. Mungkin ini kesempatan juga untuk menyampaikan apa yang tadi dicurhatkan oleh adikmu ke aku."

"Dia cerita apa?" tanya Fikar tanpa mengubah ekspresi.

Dan Iqbal pun menceritakan kembali semua yang menjadi bahan curhat Luli pagi tadi. Tentang keinginan bapak ibunya, termasuk bagaimana sikap Fikar akan hal tersebut.

"Tolong jangan sampai ke bapak ibu dulu ya, Fik. Kita diskusikan terbatas dulu aja. Kalau sudah ada yang mau dibawa dari kita, insya Allah aku sendiri yang akan datang ke bapak ibu untuk membicarakan tentang ini," pesan Iqbal mengakhiri ceritanya.

Fikar mendengarkan, mengaduk isi cangkirnya tanpa bicara. Matanya menyorotkan sesuatu yang tak biasa.

"Luli memang begitu. Perasaannya jauh lebih dominan, apalagi pada kami, orang-orang terdekatnya. Aku cuma nggak menyangka, kalau dia sedemikian dalamnya memikirkan hal semacam itu, sampai rela menyingkiran keinginannya untuk segera mendampingimu, Bro."

"Masa sih?" Iqbal sok bertanya, padahal hatinya bahagia tak terkira. Kalau boleh, ia ingin mendengar lagi kalimat yang baru saja diucapkan sahabatnya.

"Ya, dia tak pernah bicara tentang itu sih, tapi kurasa itu juga tak perlu. Cuma dengan melihat sorot matanya, kami semua sudah tau apa yang ada di hati dan pikiran adikku. Dia itu mudah dibaca." Fikar tertawa kecil, ada getir.

"Tapi memang banyak keraguan yang masih dia pendam. Bukan tentang perasaan dan keyakinannya padamu sih, Bro. Kalau soal itu, aku yakin seratus persen dia tak ada ragu. Kalau aku bilang sih, ini cuma masalah teknis, yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan banyak diskusi.

"Hanya saja...."

Fikar menghentikan ucapannya. Ditariknya napas panjang. Matanya menatap keluar jendela kaca, memandang jauh, entah apa. Sebelum akhirnya melanjutkan bicara.

"Tentang kejadian pagi tadi, aku minta maaf, Bro. Tadi itu memang nggak bisa mengendalikan emosi. Entahlah, logikaku mendadak mati."

"Ya, aku ngerti. Cuma aku nggak tau, apa yang membuat seorang Zulfikar Aditya tak seperti yang kukenal selama ini."

Fikar menghela napas, lagi.

"Aku cemburu, Bro. Sorry."

Tak menatap Iqbal sama sekali. Fikar menggigit bibir bawahnya. Menghela napas untuk kesekian kali. Bening tampak menggelanggang di kedua netra.

"Kupikir, melepaskan adikku tak akan sesulit ini. Ternyata aku salah." Fikar menelan saliva. Mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Mengusir sedih, yang perlahan datang mendera.

"Sejak kamu datang ke rumah untuk memintanya menikah denganmu, aku melihat sesuatu yang berbeda di mata adikku. Sesuatu yang rasanya belum pernah kutemui seumur kebersamaanku dengan Luli.

"Dan aku cemburu."

"Apalagi ketika dia marah pagi tadi. Meluapkan semua yang mungkin ada di hatinya tentang aku. Aku merasa gagal. Aku yang kakaknya, yang bahkan dari sejak dia belum lahir sudah selalu menemaninya, ternyata tak pernah bisa membuat mata adikku berbinar seperti setiap kali dia bicara tentangmu.

"Sebaliknya. Dia justru memandang aku sebagai seseorang yang ingin mengambil kebahagiaannya.

"Padahal aku menyayanginya, lebih dari diriku sendiri."

Iqbal mengambil kesempatan untuk bicara, "Dia pun begitu padamu, Fik. Yang tadi itu aku tau kalian hanya sama-sama emosi. Aku yakin sekali, Zulfa nggak membencimu seperti yang dia katakan tadi. Dia cuma kesal, karena kamu datang-datang langsung marah dan menuduh yang bukan-bukan.

"Kami tau, kami salah. Tapi kamu juga terlalu keras dan berlebihan meresponnya. Aku pribadi sih nggak masalah, tapi tidak dengan Zulfa, yang katamu perasaannya lebih mendominasi.

"Kamu saja sampai kehilangan logika begitu."

"Ya. Aku gelap mata. Melihat kalian berduaan begitu, tanpa aku tau sebelumnya. Biasanya apa-apa dia selalu izin padaku, minta pertimbanganku. Dan tadi, rasanya aku sudah kehilangan adikku sejak detik itu. Aku belum siap. Jadinya malah aku terlihat posesif dan reaktif ya?"

"Yes. Absolutely right."

Fikar mendongak, menatap langit-langit bangunan berhiaskan pendar cahaya dari rangkaian bohlam.

"Dua koma tujuh," gumamnya pelan. Masih sempat memperkirakan jarak antara mata dengan tinggi plafon di atasnya.

"Ngitungnya gimana? Zulfikar Aditya nih memang luar biasa." Iqbal terkekeh, menggelengkan kepala.

Tak menjawab apa-apa, Fikar langsung saja melanjutkan bicara.

"Kedatanganmu bisa mengubah dia jadi sosok yang menurutku berbeda dari sebelumnya. Dia yang dulu manjanya Masya Allah, sekarang manjanya tuh beda. Dia makin dekat sama bapak ibu, tapi juga lebih mandiri di rumah. Sudah mau bantu-bantu pekerjaan rumah, sudah mulai turun ke dapur, dan semangat belajarnya luar biasa.

"Kalau dulu sering banget mengandalkan Nara untuk tugas-tugas dan kuliahnya, sekarang dia selalu berusaha untuk bisa sendiri. Walaupun kadang kelihatan banget dia stress. Aku yang melihat malah jadi geli." Sesungging senyum muncul di wajah Fikar yang sejak tadi datar.

"Tapi, Bro, setiap kali melihat matanya saat bicara tentangmu, aku merasa nggak mampu. Nggak mampu melepas adikku. Rasanya hatiku yang paling dalam bertanya, apakah setelah dia menikah nanti, berarti aku kehilangan seseorang yang selalu menemani saat aku sendiri?"

Fikar menyesap coklatnya yang tak lagi panas. Menandaskan dalam beberapa tegukan. Lalu memanggil waitress dan meminta air mineral.

Iqbal hanya mengamati. Ia sudah hapal, rekan seprofesi yang tengah duduk di depannya itu kalau sudah bicara serius susah dihentikan. Hilang sudah semua kesan pendiam dan dingin, berganti banyak bicara dan mendominasi.

Panggung kecil di arah jam dua dari tempat meja mereka berada memulai live music-nya. Mengiringi obrolan serius diantara mereka berdua.

"Semua yang dikatakan adikku tadi pagi benar. Aku memang tak pernah menganggap dia ada, dalam hal ini kemampuannya. Aku selalu melihat dia sebagai anak kecil yang lugu, polos, naif..., bahkan, sorry, bodoh.

"Tapi tidak dengan perasaannya, Bro. Luli itu perasaannya sangat dominan, feeling-nya kuat banget, terutama soal siapa yang benar siapa yang salah. Dia bisa galak banget kalau sudah membela apa yang dia yakini benar, tapi juga lemah lembut dan lucu kalau itu tentang sesuatu yang baginya menyenangkan. Bicara tentang kamu misalnya."

Lagi, Iqbal tersenyum sendiri. Mendengar begitu saja, rasanya dunia dan seisinya telah dia miliki. Aish.

"Waktu aku berkonflik sama Nara, Luli juga selalu konsisten memihak yang menurutnya benar. Tak selalu aku, hanya karena aku kakaknya. Waktu aku mendiamkan Nara, dia pasang badan buat sahabatnya. Menurutnya marahku terlalu berlebihan dan menyebalkan.

"Sebaliknya waktu Nara yang marah sampai minta pulang ke Salatiga, dan kami berpisah berhari-hari. Hampir setiap hari bapak ibu habis-habisan memarahiku, tak peduli aku sedang banyak pekerjaan dan beban pikiran. Tapi tidak dengan Luli. Dia malah berani keras pada Nara, karena menurut dia marahnya Nara sudah berlebihan, kekanakan, dan nggak masuk akal. Terlalu dipaksakan.

"Pun waktu Ayu pergi, dia yang berdiri paling tegar untuk menemani Lila. Dia juga yang selalu menemani aku, walaupun hanya dengan diamnya. Kadang malam buta dia keluar dari kamarnya cuma karena dengar aku beraktivitas di dapur. Tanpa bicara sepatah pun kata, dia mengambil alih cangkir dari tanganku, menyuruhku menunggu di teras belakang, dan membuatkan coklat panas kesukaanku. Lalu menemaniku dengan diam dan membaca buku. Seperti tahu, kalau aku sedang tak ingin banyak bicara, tapi membutuhkan seseorang yang mengerti perasaanku." Lagi, Fikar menggigit bibir, menahan mata yang berkaca-kaca.

"Masya Allah, Zulfa ini kayanya romantis sekali deh anaknya. Aku nggak salah pilih. Insya Allah." Ada yang salah fokus.

"Maaf, Bro. Maaf kalau ada bagian diriku yang belum percaya sepenuhnya sama kamu. Sejujurnya aku masih menyimpan kekhawatiran, lebih tepatnya ketidakrelaan, seandainya adikku cuma akan jadi mantanmu yang berikutnya. Dia nggak pantas untuk itu. Luli terlalu baik untuk disakiti."

Iqbal membuang napas perlahan. Merasa tak tahan untuk diam saja. Tapi melihat Fikar yang sepertinya belum akan berhenti bicara, ia memilih untuk menahan dirinya.

"Aku, maksudku kami. Kami semua tau, akan tiba waktunya melepas Luli untuk menjalani bahagianya di luar lingkaran kami. Tapi tak ada yang menyangka akan secepat ini.

"Ketika kamu yang datang, jujur saja aku lega. Aku mengenalmu, Bro. Siapa dan bagaimana kamu. Tapi di satu sisi, aku pula merasa nggak rela. Karena, itu berarti waktu kami memiliki Luli tak akan lama lagi. Selain sebab mantanmu yang banyak itu tentu saja."

Iqbal tersenyum kecut.

"Waktu dia belum lahir, setiap hari sebelum aku tidur, aku mengajaknya bicara. Aku hampir tujuh tahun saat itu, suka sekali menempelkan kupingku ke perut ibu. Menunggu saat-saat dia menendang perut ibu, seakan sedang menjawab omonganku.

"Waktu dia bayi, aku yang selalu menemani. Pulang sekolah, aku ajak menyanyi, aku ajak bicara, aku ajak bercanda, aku gendong-gendong, dan dia tertawa-tawa.

"Waktu dia masuk SD, sering cemberut karena sama sekali nggak paham mengerjakan PR. Aku yang ngajarin dia. Biarpun selalu kuejek habis-habisan dulu sebelumnya. Ya gimana nggak pengen ngejek, soal kaya begitu sih waktu aku seusia dia, aku kerjakan sambil merem juga bisa dapat nilai sempurna." Tawa kecil meluncur dari Fikar.

"Lalu paling parah, waktu dia dapat haid untuk pertama kalinya. Waktu itu dia 13 tahun, dan kami cuma bertiga dengan Bu Nani. Ibu ikut bapak pergi, entah ke mana aku lupa. Alih-alih bertanya ke Bu Nani, dia dengan lugu dan nggak ada malu-malunya sama sekali malah memintaku mengajarinya memasang pembalut.

"Aku masih ingat jelas, kubilang padanya, 'Kamu bego bener sih, gini aja nggak ngerti. Ini kan urusan perempuan. Makanya belajar dulu sebelum dateng waktunya'. Dengan santainya dia jawab, 'Buat apa punya kakak yang pinter segala-galanya kalau nggak dimanfaatin buat nanya segala rupa'. Asem bener itu bocah!"

"Kamu bisa?!" Kening Iqbal berkerut, seolah tak percaya.

"Bisalah. Calon imam yang baik kan kudu ngerti juga urusan macam itu." Jawaban cerdas!

Fikar tertawa, menerawang bertahun ke belakang. Iqbal turut tertawa, dalam hati membenarkan ucapan kawannya, sekaligus merasa geli. Masangin pembalut, Cuy.

"Tapi sampai umurnya hampir menginjak dua puluh satu, ada satu hal yang sama sekali tak pernah dia bicarakan."

"Apa itu, Fik?"

"Cinta. Hati. Perasaan. Cowok. Semacamnya lah. Aku sampai heran, ini anak apa nggak mudeng kalau di dunia ini ada sesuatu yang bernama cinta, apa gimana? Kan saking lugunya, Bro. Tapi ya kupikir nggak mungkin juga, secara kehidupan sosialnya jauh lebih baik dari aku.

"Maka ketika kamu datang, yang dikatakan oleh hatiku adalah, bahwa adikku memang pantas mendapatkan seseorang seistimewa kamu. Biarpun mantannya mengular entah berapa panjang.

"Jadi, berapa jumlah mantanmu, Bro?"

"Uhuk uhuk uhuk."

Iqbal keselek. Nggak menyangka sama sekali panjang lebarnya Fikar bicara akan ditutup dengan pertanyaan se-sialan ini. Sahabatnya memang nggak mudah ditebak arah pikirannya.

"Halah, pakai keselek segala. Tinggal bilang kan berapanya."

"Emm, jadi aku mulai pacaran dari sejak awal kuliah S2, Bro. Itu berarti sekira enam tahun lalu. Karena tujuan pacaranku berbeda dari orang kebanyakan, aku bisa setahun ganti beberapa kali, Fik. Dan biasanya ---"

"Dosen teknik kok ngomongnya pakai retorika segala. Orang sudah ada angka pastinya juga, tinggal bilang berapa. Kelar! Kamu terlalu pintar untuk butuh menghitung atau mengingat-ingat dulu berapa jumlah mantanmu.

"Dan kamu terlalu kenal aku untuk ngomong pakai berbelit-belit gitu."

"Asem banget, orang satu ini kalo ngomong nggak pake filter babar blas (sama sekali). Sabar, Iq. Istighfar."

"Oke, Bro. Dua hal sebelum aku kasih tau. Satu, jangan heboh. Dua, berhenti di kamu. Kalo sampe ada orang lain yang tau jumlah mantanku bukan dari aku, aku bikin perhitungan sama kamu."

"Oke, deal! Berapa?"

"Dua belas. Puas?!"

"DUA BE ---"

"Nggak usah heboh, Monyong!!"

"Sh*t! Lambemu lho!"

Mereka berdua tertawa lepas usai mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, tentu saja jika dilihat dari kedudukan mereka saat ini. Kalau dari sisi pertemanan sih itu sesuatu menyenangkan sekali.

"Terakhir denger kamu ngomong begitu pas kita KKN deh, Fik."

"Aku memang nggak pernah ngomong yang kasar dan jelek-jelek. Memangnya kamu, Bro!"

"Enak aja! Aku juga sopan kali!"

"Ckckck, selusin. Itu mantan apa koleksi batik buat kondangan."

Mereka terpingkal-pingkal lagi. Lupa pada semua hal serius nan dramatis yang baru saja dibahas bersama.

"By the way, tadi pas marah sama aku Luli lari ke mana?"

"Ke toilet."

"Berapa lama kamu cari sampai ketemu dia di sana?"

"Enggak. Aku langsung nyari ke sana. Udah tau ke mana adikmu pergi."

"Kok bisa? Jangan-jangan di belakangku kalian menyembunyikan sesuatu nih. Atau, sebenarnya sudah dari lama kalian dekat? Pingsannya Nara cuma momentum buat membuka semuanya?"

"Suudzonmu lho!" Iqbal tak terima.

"Tapi tadi istriku marah lho begitu masuk mobil. Ngamuk heboh. Aku dipukul, dicubit, dicakar, sambil nangis dan histeris. Menyalahkan aku atas kemarahan Luli."

"Asya? Ngamuk?"

"Iya. Baru kali ini. Dulu pernah sih tanganku digigit, tapi bukan ngamuk yang histeris seperti tadi. Aku sampai bingung nenangin dia. Mana dia mau ada kuliah. Aku juga mau ngajar."

"Terus dia telat nggak? Kuliah drainase kan?"

"Iya. Katanya sih enggak telat."

"Kamu tau siapa dosennya?"

"Siapa?"

"Rahma."

"Dosen baru kah? Aku kenal?"

"Emm, kenal nggak yaaa?" Intonasi Iqbal mengandung ejekan.

"Mungkin kenal kalo kusebut nama lengkapnya."

"Siapa memang?"

"Rahma Chairunnisa. Kenal?"

"SERIUS?!"

"Hahaha. Woles, Zul!" goda Iqbal sembari tergelak.

"Eh, asem bener! Awas ya, jangan sampai ada yang tau soal Rahma. Terutama Nara. Dia sudah tau ceritanya sih, tapi nggak tau siapa orangnya. Kalau tau sekarang ternyata jadi dosennya, bisa habis aku dicurigai seumur hidup."

"Yaaa, asal rahasia soal mantan tadi aman, insya Allah urusan Rahma juga aman." Iqbal kembali tertawa penuh kemenangan, sedangkan Fikar air mukanya berubah total. Tak enak dilihat. Kecut.

Ingatannya melayang ke masa SMA. Pada seorang kakak kelas perempuan, yang setiap hari selama dua tahun menerornya sebagai seorang pencinta. Cih, geli banget bahasanya.

Iqbal tahu ceritanya, karena dia dan Rahma bertetangga. Ia pula seangkatan dengan Rahma, sering bertemu di lomba-lomba yang bertema keilmuan. Dan karena tahu Iqbal sering ketemu Fikar di event-event anak band, Rahma jadi sering pula bertanya tentang Fikar. Padahal saat itu Iqbal belum mengenalnya sedekat ini.

"Udah sih, Zul. Asem banget mukamu. Buat nyayur asem dapet satu tong tuh. Tenang aja, Rahma udah punya suami yang lebih dari kita-kita ini. Aman lah." Iqbal ngakak lagi.

"Sekali lagi panggil Zul, kita baku hantam di sini deh." Fikar tak terima.

"Hahaha, gitu amat, Fik."

Melanjutkan tawa sebentar. Setelahnya Iqbal memasang kembali mode serius.

"Jadi begini, Fik. Yang kamu sampaikan panjang lebar tentang Zulfa tadi, menurut aku ini ya, hanya kekhawatiran yang sedikit berlebihan. Aku tau, semua itu karena sayangmu yang sangat pada adikmu.

"Mungkin karena kalian hanya dua bersaudara. Aku sendiri, jujur, jadi iri melihatmu dengan Zulfa. Aku nggak pernah punya perasaan seperti itu sama kakak-kakakku, bisa jadi karena saudara kandungku banyak. Satu nikah, masih ada yang lain. Jadi ya begitulah.

"Percayalah, saat kami sudah menikah nanti, tak ada apapun yang akan berubah selain status kami. Dan tempat tinggal mungkin. Juga kebiasaan. Tapi tak ada apapun yang akan berkurang, bahkan justru bertambah.

"Adikmu yang dulunya cuma satu, jadi dua dengan adanya aku. Adikmu yang mungkin malas jika diajak diskusi agak berat, jadi tetap betah karena ada aku yang mewakilinya berpendapat. Dan sebagainya.

"Pokoknya gitulah, Fik. Aku nggak akan membatasi adikmu. Senyamannya dia saja, tentunya segala sesuatunya tetap akan kami bicarakan dulu berdua."

"Oke. Aku paham maksudmu. Dan aku percaya sama kamu, Bro. Kamu yang terbaik untuk Luli, juga untuk kami."

"Alhamdulillah. Udah ah, aku mau nyanyi aja, mumpung ada live music-nya."

"Kamu masih gatel gitu ya kalau lihat live music gini?"

"Banget! Pokoknya kalo main ke kafe, ada live music dan ada kesempatan, aku nggak tahan buat nggak naik. Biar cuma satu lagu, yang penting naik dulu."

"Kalau berhenti di mushola pas mau masuk jam solat, masih gatel juga ngegantiin muadzinnya?"

"Hahaha. Masih ingat aja sih, Fik. Iya, itu masih juga."

Sudah jadi kebiasaan Iqbal, di manapun tempatnya, kalau berhenti di masjid atau mushola menjelang waktu salat, dia akan meminta sang muadzin untuk menyerahkan tugas kepadanya. Kata dia, berburu pahala. Ia tahu, betapa utamanya pahala yang dicatatkan untuk seorang muadzin. Yang paling Iqbal garis bawahi adalah, karena berapa banyak orang yang melaksanakan salat sebab mendengar adzannya, maka sebanyak itu pula pahala yang ikut diterimanya.

"Calon adik ipar ini memang istimewa. Beruntungnya adikku. Masya Allah."

"Insya Allah. Doanya ya, Fik."

"Eh, kapan-kapan kita nge-jam bareng yuk, Fik. Nantilah kalo adikmu sudah jadi ratu di rumah kami, kita bisa sering-sering jamming. Aku ada studio di Madina, kecil aja sih, tapi cukuplah. Kalo mau yang gedean, bisa ke Bukit Sari."

"Jadi ratu di rumah kami. Hmm, betapa bahagianya kamu, Luli. Calon suamimu ini kelihatannya cinta banget sama kamu." Fikar membatin. Rasa senang dan lega menyusup masuk ke dasar hatinya.

"Sudah, buruan manggung sana, Bro, mumpung lagi jeda."

"Sip. Mau kurekam, nanti videonya kukirim ke adikmu." Iqbal bersiap berdiri.

"Oh pantesan, dia sekarang sering nyanyi-nyanyi lagu yang kayanya mustahil banget dia kenal sendiri. Feeling-ku benar berarti. Selama ini kamu yang suka kasih lagu ke dia."

"Emang iya, Zulfa suka nyanyi?" Dia duduk lagi.

"Enggak. Justru itu aku curiga, karena sekarang dia sering kedengaran nyanyi-nyanyi kecil gitu. Tapi aku udah nebak sih begitu dengar Luli nyanyiin 'Hotel California'. Siapa lagi yang punya lagu wajib itu kalau bukan Iqbal Sya'bani." Mereka tertawa lagi.

"Kukasih tau ya, Bro. Luli itu sebenarnya nggak suka nyanyi. Dia sukanya buku. Lebih spesifiknya, novel."

"Noted, Bro. Thanks infonya. Insya Allah segera direalisasikan."

Iqbal meneguk air mineralnya, lantas melangkah menuju panggung kecil tempat live music berada. Setelah bicara pada personil band di atas sana, ia menyerahkan ponsel pada salah satu waitress untuk merekam aksi panggungnya.

Dua menit berikutnya, satu lagu dari Peter Cetera mengalun dari bibir seorang Iqbal Sya'bani. Fikar menggeleng sambil tersenyum. Benaknya dipenuhi bayangan adiknya. Betapa bahagianya Luli setelah menikah nanti. Dia yang basically romantis, pasti happy mendapatkan perlakuan manis setiap hari. Dari siapa lagi kalau bukan sang playboy insyaf dengan jumlah mantan selusin itu.

Fikar tersenyum sekali lagi. Disusul mulutnya yang komat kamit, turut mengalunkan nada dari salah satu lagu favoritnya.

I am a man who will fight for your honor
I'll be the hero you're dreaming of
We'll live forever, knowing together
That we did it all for the glory of love
(Glory of Love - Peter Cetera)

***

Ini kenapa lagunya makin hari makin jadul siiih?! Haha...

Capek ya nyimak obrolannya mereka berdua. Serius bangeeett. Dan panjang.

Tentang Fikar dan Luli, sungguh, ini mengingatkan aku pd secuil kisah antara aku dan kakakku waktu aku minta izin untuk menikah (dg temannya). Sama seperti Fikar dan Luli, kami cuma dua bersaudara. Kakakku laki-laki. Hanya bedanya, selisih umur kami cuma setaun. Makanya, rada bawa emosi waktu nulis ini. Hehe.

Tentang Rahma, masih ingat kan cerita Fikar tentang sejarahnya dia sebal dengan panggilan ZUL?

Jadi kangen Fikar-Nara gak sih? Hihihi...

Ini aku update lebih awal. Selain karena sudah kelar, jg karena besok Idul Adha, kuatir nggak sempat up.

Terima kasih buat kalian semua, yang sudah baca, vote, komen, dan apresiasi lainnya. I love you all.

Mohon maaf kalau ada salah-salah kata yaaa.

Sampai jumpa.
❤❤❤

Semarang, 30072020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top