Part 10.1

Saat berdua-duaan, pihak yang ketiga adalah setan. Kalaupun bukan setan langsung yang datang, seringnya tetap terjadi hal-hal yang nggak diinginkan.

So....

***

"Saya tau kamu lagi nggak solat, jadi pasti nggak puasa juga. Kita makan bareng ya."

"Ehk."

Luli baru saja menarik kursi, menaruh ransel di samping kiri, lalu duduk berhadapan dengan dosen ganteng berstatus calon suami. Hanya berdua. Ya, berdua.

Sebotol jus berwarna oranye butek menyapa mata. Entah mangga, jeruk, atau wortel, Luli tak berniat menebaknya. Ia hanya penasaran tentang satu hal.

"Kok Bapak tau?"

"Kalo orang solat subuh harusnya nggak bangun kesiangan. Harimu kemarin dimulai dari bangun kesiangan kan?"

Analitis sekali bapak kita yang satu ini!

Luli tak hendak berkomentar lagi.
Ia mengeluarkan lembar jawaban kuis, juga tugasnya. Dengan sopan menaruhnya di meja.

"Lancar ngerjakannya?"

"Alhamdulillah. Terima kasih sudah dikasih keringanan, Pak."

"Eh, itu nggak gratis lho. Saya minta balasan dong. Kita sarapan bareng ya, saya bawa bekal dari rumah. Nasi goreng seafood. Enak deh."

"Ehk, eng-nggak usah, Pak. Nggak enak kalo ada yang lihat. Nanti dikira ada apa-apa."

"Lah, kan memang ada apa-apa. Ada cumi, jambal, telur, sama udang. Tapi nggak di balik batu kok." Kelakar Iqbal, disambut cengiran dari Luli.

"Bapak yang bikin?"

"Bukan. Umi yang bikin. Begitu tau saya mau ketemu siapa pagi ini, Umi langsung bikinin ini. Spesial buat calon mantu katanya." Pipi Luli langsung panas.

"Nah, kalo ini saya yang bikin. Smoothies mangga. Saya suka banget buah satu ini. Manis. Kaya adiknya sahabat saya."

"Gombalmu lho, Pak!" Luli menggigit bibirnya, tak membiarkan senyum lolos dari sana.

Iqbal menyorongkan kotak bekal dan botol minum ke arah Luli.

"Kita makan bareng ya."

"K-kok cuma satu, Pak."

"Kan kita makannya satu buat berdua."

"Ehk. Bapak saja yang makan, saya udah sarapan kok. Beneran!!"

Luli mencoba meyakinkan, padahal perutnya belum terisi sebutir pun nasi. Mukanya memucat bagai mayat. Tak sanggup membayangkan makan sekotak berdua dengan dosennya, di lingkungan kampus pula. Gimana kalau ada yang tiba-tiba datang dan melihat mereka. Gila aja!

"Nggak, nggak. Gitu aja pucat. Saya masih bisa berpikir jernih kok." Iqbal mengeluarkan satu kotak makan dan sebotol smoothies lagi. Tergelak melihat wajah Luli yang pucat pasi.

"Sial. Dikerjain! Untung sayang. Eh."

"Nanti kalau ada yang ke sini gimana, Pak?"

"Ya nggak apa-apa. Memang ini bukan tempat yang private kan? Kalau lagi berdua, terus ada yang datang, berarti yang ketiga adalah setan bukan?"

"Garing!" batin Luli, "Nggak tau aja gimana deg-degannya aku, takut ada yang datang dan mencurigai kebersamaan kami."

Baru juga dibatin, dari pintu terdengar ketukan, tapi yang datang bukan setan. Alif, kakak tingkat Luli mengucap salam.

"Eh, sorry, Mas. Lagi ada yang konsultasi ya?"

"Nggak pa-pa, masuk aja, Lif. Piye? (Gimana?)"

Alif masuk, dan melihat Luli. Matanya mengerling pada Iqbal.

"Oalah, Zulfa to. Kenal lah. Temennya Asya sama Andro kan? Salam ya sama mereka. Anak-anak pintar yang baik dan hormat sama senior." Alif nyerocos tanpa ditanya. Luli mengangguk.

"Angkasa?" tanya Iqbal datar.

"Iya, Pak." Luli yang menjawab.

"Hemm." Masih datar.

"Eh, gimana, Lif? Mau apa nih?"

"Nanti aja deh, Mas. Kayanya lagi menikmati sarapan spesial dengan someone yang juga spesial."

"Gak usah ngece. (Nggak usah ngeledek). Ini tuh tadi dibawain bekal dua sama Umi, buat sarapan, soalnya aku berangkat pagi-pagi. Lagi mau makan, eh adik tingkatmu ini datang. Yo wis, tak ajak sarapan sekalian." Sedikit berbohong.

"Ndadak klarifikasi barang, Mas. (Pake klarifikasi segala, Mas). Kan aku malah makin curiga." Alif tertawa.

"Asem, iya juga. Bego!" sesal Iqbal.

"Tak laporin Umimu lho, Mas. Biar disuruh nikahin Zulfa sekalian. Ntar keluar tuh di Line Today. Seorang dosen dipaksa sang ibu menikahi mahasiswinya karena tertangkap basah sarapan berdua di kampus."

"Asem! Rahasia Ilahi kali, Lif." Terkekeh berdua.

Luli diam, meredam khawatir yang berjejalan di hati. Tapi masih sempat membatin, "FTV kali!"

"Ya udah, Mas. Nanti aja. Bisa bimbingan jam berapa?"

"Habis dhuhur ya?"

"Di sini apa di ruang dosen?"

"Di hatimu."

"Hatiku apa hatinya Zulfa nih?" Alif cekikikan.

"Udah sana keluar. Ribut wae. Bakda dhuhur di mejaku."

"Siap, Bapak Iqbal Sya'bani yang terhormat. Saya pamit dulu. Yok, Fa. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam." Iqbal dan Luli menjawab salam berbarengan.

"Oh iya, Mas. Remaja masjid siap jadi panitia 'Zulfa Iqbal menuju halal' ya. Hahaha." Sebuah pulpen melayang menuju Alif. Sayang meleset.

"Jangan kaget ya, Alif tuh tetangga saya. Dari dia kecil kami udah saling kenal. Sering bareng di masjid sampai sekarang. Bapaknya juga kontraktor, beberapa kali kerja sama dengan abah. Anak-anaknya juga dikuliahin sipil semua. Alif tuh kalo lagi nggak ada orang ya suka begitu, di kampus udah rasa kaya di rumah. Tapi kalo lagi banyak orang, dia sopan kok."

"Iya, Pak. Emm, tapi nggak pa-pa nih, Pak, ada yang tau kita makan bareng gini? Saya nggak enak, Pak. Takut digosipin."

"Santai aja, nanti si Alif saya bungkam deh. Udah yuk, lanjutin makannya."

Luli sadar, seharusnya ini tak boleh diteruskan. Tapi ia juga merasa ini kesempatan, untuk menyampaikan unek-unek yang mengganjal di hatinya, terkait kesiapannya untuk menikah.

Jadi ia diam saja, dan lanjut menikmati sarapan berdua. Tanpa suara. Hingga dering HP Iqbal mengagetkan keduanya.

"Umi saya vidcall nih. Sebentar ya." Perasaan Luli seketika tak enak.

"Assalamualaikum, Mi." Loudspeaker diaktifkan.

"Waalaikumussalam. Udah sarapannya, Dek?"

"Ehk, Dek?" Luli meringis sendiri.

"Iya, Mi. Ini lagi makan."

"Sama Zulfa?"

"Ya Rabb, kok aku dibawa-bawa."

"Hehe, iya, Mi."

"Boleh dong Umi bicara sama dia?"

"Uhuk uhuk uhuk." Luli tersedak. Mukanya memerah.

Iqbal mengakhiri panggilan dan menaruh gawainya asal saja. Bangkit dengan tergesa, mendekati gadis yang masih terbatuk-batuk di hadapannya. Disodorkannya air mineral, lalu menepuk-nepuk punggung Luli.

"Ya Allah, Zulfa. Harusnya kamu santai aja, nggak perlu pake keselek segala. Kalo nggak mau ngomong sama Umi juga nggak pa-pa. Umi santai kok orangnya," ujar Iqbal begitu keadaan Luli berangsur normal.

"Emm, maaf, Pak. Bukan nggak mau sih, Pak. Saya cuma..., belum siap. Maaf." Luli menyeka sisa air mata.

"Iya, nggak pa-pa. Saya yang minta maaf."

"Nggak, Pak. Nggak pa-pa. Terima kasih banyak sarapannya. Ini biar saya bawa wadah bekalnya, besok saya kembalikan kalau sudah bersih."

Iqbal hendak menolak, tapi mendengar kalimat 'besok saya kembalikan', dia tak mau menyiakan kesempatan untuk bertemu lagi dengan Luli. Maka mengiyakan menjadi satu-satunya pilihan terbaik.

"Katanya Bapak mau bicara sama saya?"

"Oh iya. Itu, tentang kejadian kemarin. Rasanya saya perlu menegaskan, kalau kamu nggak usah anggap serius atau masukkan hati pembicaraan saya dengan Pak Irfan. Percayalah, saya cuma mau kamu. Walau harus menunggu seribu tahun lamanya."

"Itu lagunya Tulus, Pak," celetuk Luli spontan.

"Jikustik." Iqbal tak mau kalah.

"Tapi kalau menurut saya bagus versinya Tulus, Pak."

"Saya sih lebih suka versi aslinya."

"Bapak angkatan lama sih."

"Maksud kamu saya tua?" Luli menutup mulut dengan tangan kirinya, berusaha menyembunyikan tawa.

"Saya nggak bilang lho, Pak."

"Ya deh, nanti saya bikin lagunya yang versi saya. Khusus buat kamu." Pipi Luli merona.

Pembicaraan melenceng dari niat awal. Mungkin pihak ketiga mulai berdatangan. Maka mereka berdua harus siaga, jangan sampai terseret lebih jauh dalam kebersamaan yang tidak semestinya.

"Maaf. Jadi, mau dilanjutkan atau tidak topik kita tadi?"

"Emm, nggak usah, Pak. Saya percaya sama Bapak. Tapi...."

"Tapi apa, Zulfa?"

"Sebenarnya ada yang mau saya sampaikan ke Bapak. Dari awal, ini salah satu yang paling jadi ganjalan buat saya, Pak. Mau cerita ke bapak ibu tapi saya nggak bisa, karena ini menyangkut beliau berdua. Mau bicara sama Mas Fikar, saya juga kurang nyaman, karena ada namanya terbawa. Rasanya, saya cuma bisa cerita dan cari solusinya sama Bapak. Tapi saya bingung kapan, di mana, dan bagaimana mau ceritanya. Saya pikir, mungkin sekarang waktunya."

"Ini tentang apa?"

"Tentang bapak dan ibu, Pak."

"Gimana?"

"Jadi bapak dan ibu itu dulu, dulu banget pas Mas Fikar nikah sama Mbak Ayu, bapak ibu tuh pernah bilang kalo pengen ngadain syukuran dengan konsep seperti yang beliau berdua inginkan. Tapi Mas Fikarnya nggak mau.

"Bapak tau sendiri kan, dia tuh orangnya kaku banget. Dan sangat menjunjung tinggi idealismenya. Begitupun waktu itu, Mas Fikar nggak mau diadakan semacam resepsi gitu. Alasannya karena duitnya dia belum cukup, sedangkan dia nggak mau terima bantuan dari orang lain untuk sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan pribadinya. Termasuk dari bapak ibu. Lagipula di tempat Mbak Ayu udah dipestain gitu. Jadi mending duitnya buat modal hidup katanya.

"Bapak ibu, saya tau sempat kecewa. Tapi udah paham lah gimana anak sulungnya. Eh, pas kemarin sama Nara pun gitu. Alasannya karena Mbak Ayu belum lama meninggal. Ya akhirnya cuma bikin resepsian kecil di rumah Nara. Bapak juga kayanya ke sana kan ya?"

"Iya. Terus?"

"Nah, saya tau banget, Pak, bapak ibu punya harapan untuk mewujudkan impiannya pas nikahin saya nanti. Tapi saya kan nggak nyangka Allah mau kasih jodohnya secepat ini. Saya belum lulus, eh malah yang dateng bapak. Yang punya circle sama dengan saya, tapi gap-nya terlalu jomplang, sehingga kalo disandingkan jadi kaya ---"

"Langit dengan bumi? Kenapa itu lagi sih, Zulfa. Saya nggak suka bahas beginian." sahut Iqbal cepat.

"Ya memang kenyataannya gitu, Pak. Dan itu bikin saya ragu-ragu. Saya nggak siap keluarga besar teknik sipil tau. Kalaupun mau disembunyikan dulu status kita nanti, itu berarti nggak ada resepsi, walimah, syukuran, dan semacamnya kan, Pak. Saya nggak tega sama bapak ibu saya." Mata Luli menggenang lagi.

"Kelihatannya memang sepele sih, Pak. Tapi enggak buat saya. Saya tuh bingung mau ngomong sama siapa. Sama bapak ibu, pasti nanti bilang nggak pa-pa, walaupun dalam hati beliau berdua kecewa. Mau bilang sama Mas Fikar, pasti saya dibilang berlebihan. Mau cerita sama Nara, sekarang dia jarang punya waktu untuk ngobrol dari hati ke hati, Pak. Ada waktu pun, pasti ceritanya bocor ke Mas Fikar.

"Maaf ya, Pak. Jadi nyampah sayanya."

Iqbal tersenyum, ada bahagia tergambar di kedua netra.

"Zulfa, kamu tau nggak, saya suka sekali dengan moment seperti ini. Saat di mana kamu bagi segala keluh kesah ke saya. Apalagi ini memang menyangkut kita. Kamu dan saya.

"Ada lagi yang mau kamu sampaikan?"

"Eng-nggak ada sih, Pak. Itu aja dulu yang paling mengganggu pikiran saya."

"Oke. Sementara cukup kita saja dulu. Insya Allah saya akan bantu mikirin gimana sebaiknya, dan gimana nanti kita menyampaikan ini ke bapak ibu, juga Zulfikar."

"Ya, Pak. Saya juga cuma bingung gimana kasih taunya karena besar kemungkinan impiannya bapak ibu nggak akan bisa diwujudkan, Pak. Kan kalo selisih waktunya terlalu jauh sama akad nikah juga kaya udah kelewat momentumnya gitu."

"Jadi kamu sebenernya udah pengen cepet-cepet nikah sama saya nih?"

"Ehk, emm, y-ya nggak gitu juga kali, Pak." Luli menunduk, menyembunyikan mata yang seringkali berkhianat pada ucapannya.

"Gitu juga nggak pa-pa kok, Zulfa. Jadi nggak ngerasa berdosa kan kalo harus berdua gini."

Sesi curhat baru akan diakhiri, ketika handphone Iqbal berdering lagi. Mata Luli refleks saja ikut melirik benda pipih di atas meja. Kakak Ipar - Zulfikar. Membaca nama yang tertera, Luli tersenyum geli. Ia sekuat hati menahan tawa, sekaligus menahan jantung agar tetap pada tempatnya. Iqbal nyengir, malu-malu gimana gitu, sebab nama kontak yang terlanjur terbaca.

"Assalamualaikum. Gimana, Bro?"

"Waalaikumussalam. Aku di depan ruanganmu. Kamu ngapain berduaan sama adikku?" Lagi-lagi loudspeaker diaktifkan.

"Eh. Dari kapan? Kenapa nggak masuk aja?" Iqbal berjalan menuju pintu. Membukanya, dan menemukan Fikar beserta Nara. Panggilan ia akhiri.

"Ckckck. Jadi begitu ya?!" Senyum miring terukir di wajah Fikar.

Luli mulai gemetar. Takut dan panik jadi satu. Jemarinya saling meremas. Cemas. Kedua matanya memanas.

"Kamu nangis, Luli? Kenapa? Sedih karena ketangkap basah lagi berduaan di sini?"

"Mas kalo nggak usah nyolot gitu bisa nggak sih?"

"Kamu ada perlu apa pagi-pagi ada di sini?"

"Eh, itu, ngumpulin tugas."

"PR maksudnya?"

"PR apa?"

"Kuis yang boleh dikerjakan di rumah?"

"Nara ember banget sih. Udah dibilang jangan sampai ke Mas Fikar juga. Dasar rese!" Luli melirik kesal ke arah Nara. Yang bersangkutan meringis, merasa berdosa.

"Baru begini, dan kamu sudah lupa dengan profesionalisme yang harus dijunjung tinggi, Bro? Wow, hebat sekali adikku ini. Bisa mempengaruhi kamu sampai jauh begini."

"Nggak usah gitu lah, Fik. Sudah dua tahun terakhir, setiap Kamis pagi aku selalu ketemu sama mahasiswa gini."

"Tapi nggak di sini juga kan? Nggak berdua-dua juga kan? Dan yang pasti, nggak ada urusan dengan hati kan?"

"Aku nggak akan menjelaskan apapun, Fik. Rasanya percuma untuk saat ini. Logikamu sedang nggak main, kalah sama emosi."

"Terserah. Aku juga nggak peduli. Ini sudah yang ke berapa kali?"

"Apa sih maksudnya, Mas?" Luli angkat bicara.

"Kalian. Berduaan begini sudah berapa kali?"

"Mas, nggak usah nuduh yang bukan-bukan deh. Ini tuh baru sekali, itupun karena ada perlu. Ibu juga tau kok aku mau ketemu siapa di kampus. Aku sama Pak Iqbal tuh nggak ngapa-ngapain. Jahat banget sih pikiran, Mas!"

"Hebat kamu ya. Ada kemajuan nih mau berdua-duaan sama laki-laki. Di kampus lagi. Senang kamu? Boleh ngerjakan kuis di rumah, bisa ngerjakan tugas dibantu dosennya, bisa ---"

"Stop, Fik! Zulfa nggak seperti itu. Kalau mau menyalahkan, salahkan aku saja. Aku yang kasih begitu ke dia, bukan dia yang minta. Walaupun semua tentu ada alasannya. Pun hari ini, dia butuh berbagi cerita ke aku. Dia ---"

"Luli?! Sejak kapan kamu nggak menganggap aku, bapak, dan ibu ada?! Sampai harus bicara berdua-dua di sini. Yang kalian lakukan itu mengundang fitnah. Sudah sama-sama tau kenapa tetap diteruskan? Kamu Luli, sudah nggak butuh kami, heh?!"

"Dan sejak kapan kamu mengedepankan emosi kaya gini, Fik? Duduk dulu lah. Kita bicara baik-baik. Ada kalanya kita nggak nyaman bicara tentang sesuatu pada seseorang. Mungkin saat ini Zulfa sedang merasa seperti itu."

"Nggak nyaman bicara sama kami karena sudah ada kamu, begitu? Kamu lupa, kami siapanya dan kamu siapanya?!"

"Fik ---"

"Cukup, Pak. Nggak usah dilanjutkan. Kalo tentang saya, Mas Fikar memang nggak akan pernah menganggap benar. Sayang sih iya, saya kan saudara dia satu-satunya. Tapi kalo soal kemampuan, pendapat, dan semacamnya, saya nggak dipandang apapun sama dia. Udah biasa." Suara Luli bergetar. Ia kecewa, pada Fikar yang --menurutnya-- tak mau memahami sedikit pun perasaan dan kondisinya saat ini.

"Begitu ya?" Bukan menenangkan, Fikar malah terkesan menantang.

"Iya! Aku kan bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa. Nggak seperti Mas yang superior. Yang cerdas, pintar, jenius, brilian, berprestasi, mandiri, selalu bikin bangga bapak ibu. Semua! Semua yang baik-baik punya Mas. Semua yang super Mas yang ambil. Semua! Termasuk sahabatku, Mas ambil."

Nara tercekat, ia menggigit bibir menahan tangis. Dadanya sesak. Ia sadar, beberapa waktu terakhir ini memang tak sedekat dulu dengan Luli. Yang ada cuma bercanda dan saling lempar ledekan. Jarang ada waktu untuk berbagi cerita seperti sebelumnya.

"Sekarang, untuk pertama kalinya aku merasa dicintai sebagai seorang perempuan dewasa, Mas juga mau ambil kebahagiaanku, hah?!

"Aku tau batas, Mas! Bahkan yang seperti itupun Mas nggak pernah percaya sama aku kan?! Aku bukan anak kecil lagi, Mas! Apa aku nggak boleh jatuh cinta?! Apa aku nggak boleh bahagia?! Apa aku cuma bolehnya diam saja?!

"Iya, kami memang salah. Tapi Mas nggak perlu men-judge aku sama Pak Iqbal sedemikian rendah. Aku nggak seperti itu! Kami nggak seperti itu!

"Mas memang nggak suka lihat aku senang sedikit. Sudah, ambil aja semuanya. Ambil! Ambil buat Mas semua! Aku nggak usah dapat apa-apa! Aku benci sama Mas Fikar!! Benci!!" Luli berlari, setelah mengeluarkan semua emosi. Bulir bening berlinangan di kedua pipi.

Iqbal berusaha tetap tenang di tempatnya. Nara hendak menyusul Luli, tapi Fikar menahannya.

"Kamu lagi hamil, Na. Nggak usah lari-lari. Biarkan saja. Dia butuh sendiri kalau lagi begitu."

Fikar masih sok paling mengerti adiknya. Sejatinya tidak demikian dalam hati, ia sedang berusaha menekan banyak rasa. Kalut. Semrawut.

"Emm, aku ada jadwal ngajar, Bro. Maaf untuk semuanya. Nanti kita harus bicara."

"Oke. WA aja. Insya Allah aku siap kapanpun. Zulfa biar jadi urusanku."

"Aku percaya sama kamu, Bro. Assalamualaikum." Fikar menggandeng Nara keluar tanpa bicara.

"Waalaikumussalam." Iqbal ikut keluar. Ia yakin, ke mana harus mencari Luli.

"Zulfa, kakakmu sudah pergi, dia ada kelas. Saya tunggu kamu di luar ya." Iqbal memanggil. Mengetuk satu-satunya pintu toilet yang tertutup rapat, lalu keluar lagi tanpa menunggu yang di dalam sana menampakkan diri.

Tak sampai dua menit, Luli sudah berdiri di sebelahnya, "Maaf, Pak."

"Ini." Tak banyak bicara, Iqbal mengulurkan sehelai sapu tangan untuk gadis di sebelahnya.

"Bahkan sampai wajah pun kamu nggak ada bakat untuk bohong ya. Baru nangis sebentar mata udah bengkak gitu. Mau bilang apa sama teman-temanmu? Digigit serangga? Serangga jenis baru yang bisa ngajar mektan, gitu?" canda Iqbal. Luli tertawa kecil.

"Maafkan saya, Pak. Saya nggak bisa nahan emosi. Mas Fikar memang suka gitu, selalu nganggap saya nggak bisa apa-apa."

"Nggak pa-pa. Namanya juga kakak adik, kadang suka ada konflik. Kamu nggak perlu jaga imej di depan saya. Saya menerima kamu dengan segala apa adanya kok."

Hening.

"Zulfa, terima kasih ya."

"Memang saya kasih apa? Saya yang harusnya terima kasih sama Bapak."

"Terima kasih. Saya bahagia dengar pengakuan kamu ke Fikar tadi." Wajah Luli merona lagi.

"Saya juga minta maaf sudah modusin kamu. Anggap saja begitu. Yang kita lakukan ini memang salah. Nggak seharusnya kita berdua-duaan seperti ini. Kalaupun bukan setan langsung yang datang, pada akhirnya tetap terjadi hal-hal yang nggak diinginkan kan? Seperti kamu dengan Zulfikar tadi misalnya. Kamu mau kan maafin saya."

"Nggak pa-pa, Pak. Saya juga minta maaf."

"Tentang kakakmu, nggak usah terlalu dipikirin. Nanti kami akan selesaikan, Insya Allah secepatnya. Saya janji, nggak akan ngebiarin kamu ngerasa sedih berlama-lama. Nanti kita cari solusi untuk menyampaikan ini ke bapak ibu ya. Kamu yang sabar."

"Iya, Pak. Bapak juga ya, yang sabar. Walau mungkin sedikit agak lama." Satu senyum manis diberikan Luli. Manis sekali. Iqbal sampai menahan napas memandangnya. Aish.

"Santai aja, Zulfa. Saya siap menunggu kok, sampai senyum yang baru saja ada di wajah kamu itu bisa saya temui setiap saya bangun pagi." Luli menoleh, menatap dosennya malu-malu.

"Saya mau langsung pamit ya, Pak. Sebentar lagi kuliah. Saya nggak mau telat kelasnya Bu Rahma."

"Drainase?"

"Iya, Pak."

"Salam buat Rahma ya. Salam manis."

"Genit banget sih! Nggak punya perasaan. Barusan juga ngegombalin, ini udah sok-sokan manis sama perempuan lain. Kezel!!"

Berusaha menjaga muka agar tetap seperti semula. Tapi gagal total. Hasilnya mudah dibaca.

Iqbal tersenyum, "Kamu kalau tau ceritanya Rahma pasti ketawa, bukan malah cemburu."

"Siapa juga yang cemburu. Bapak nih selalu kepedean deh ya."

"Ya udah, kalau begitu saya nitip salamnya salam sayang aja deh...." Luli mencebik.

"Buat mahasiswinya Rahma, yang absennya paling bawah." Untuk kesekiankali Luli tersipu.

"Genit," kata Luli pelan. Sangat pelan.

"Saya denger lho." Berdua tertawa.

"Kamu tunggu di sini saja. Ranselmu biar saya yang ambil."

Mereka berhenti di depan pintu. Iqbal masuk ruangannya dan mengambil ransel Luli di sana. Tak lupa memasukkan wadah makan dan minum yang dijanjikan hendak dicuci. Lantas keluar lagi, menyerahkan ransel pada pemiliknya, sekaligus pemilik hatinya.

"Hati-hati ya, Zulfa. Nanti malam deh saya kirim lagu yang versi saya."

"Lagu apa, Pak?"

"Seribu Tahun Lamanya."

***

Cieee, yang udah berdua-duaan padahal belum halal.
Ada gitu, modusin kok ya ngaku.
Dasar Iiq!

Fyi, kayanya dari semua part sampai sejauh ini, kurasa part ini yang paling nggak jelas deh. Pokoknya akutuh ngetik aja gitu, sampai pas ngedit yg dihapus banyak bingit. Saking absurdnya. Mohon dimaklumi ya.

Kayanya harus santai sejenak dan nabung draft lagi nih. Haha.

Baiklah. Terima kasih banyak ya teman-teman semua. Part besok kayanya rada syedih-syedih deh. Aku ngetiknya aja mewek. Hehe.

Sampai jumpa.
❤❤❤

Semarang, 28072020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top