Iseng Part

Alasan masih bersama
bukan karena terlanjur lama
tapi rasanya
yang masih sama
(Pamungkas - Monolog)

***

Malam nanti abah dan umi akan merayakan ulang tahun pernikahan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, beliau berdua memilih untuk mengadakan syukuran di pondok milik abah kakung. Mayoran kalau para santri bilang.

Usia pernikahan abah dan umi sudah memasuki tahun ke empat puluh. Suka duka, jatuh bangun, susah senang, dan semacamnya sudah dilalui oleh keduanya. Bagi umi, ulang tahun pernikahan kali ini sangat istimewa, sebab tahun ini umi dan abah sudah benar-benar selesai mengantarkan kelima anaknya menuju kehidupan pernikahan. Lebih istimewa lagi, sebab abah sudah selesai dengan cinta lamanya kepada ibu yang selama ini selalu membayangi.

"Neng, cepetan dong mandinya. Udah hampir jam sembilan nih. Kan kemarin udah janji sama abah umi mau berangkat jam sembilan. Ini udah telat."

Luli keluar dari kamar mandi hanya mengenakan bathrobe. Handuk besar membungkus rambutnya yang basah. Mukanya kusut. Cemberut. Ia paling tidak suka kalau ada yang membuatnya terburu-buru saat sedang mandi.

"Apa sih, Kak. Kan tinggal bilang umi atau abah kalau kita agak telat. Nggak usah lebay gitu juga kali. Nyebelin!"

"Ya kamu juga biasanya nggak segini lama kalau mandi, Neng."

"Kan aku keramas, Kak."

"Keramas juga biasanya nggak sampai lama gitu, kan?"

"Ini tuh shamponya habis."

"Apa hubungannya? Kan tinggal panggil aku minta ambilin."

"Eh, emm, itu, Kak... Yang di penyimpanan habis juga." Luli menurunkan volume suara.

"Habis? Ya Allah, kok bisa lho? Harusnya kan kamu cek. Kalau udah tinggal 2 atau 3 itu segera beli lagi. Jangan sampai barang-barang yang kita pakai sehari-hari habis bis nggak ada persediaan sama sekali.

"Lagian, baru kemarin keramas kan? Nggak usah shampoan juga nggak apa-apa, kali. Yang penting kan niat mandinya, sama semua bagian tubuh terkena air, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nggak ada syarat pake shampo.

"Jangan diulangi lagi, ah. Besok pulang dari Pemalang kita belanja. Untung aja nggak ada bapak ibu atau abah umi yang main ke sini terus mau mandi butuh shampo."

Ya kali orang-orang tua main ke rumah anaknya ngecekin shampo? Apalagi mau keramas? Padahal cuma mau bikin aku ngerasa bersalah aja. Huh. Luli menggerutu, dalam hati saja. Tapi yang keluar dari lisannya cuma, "Iya, Kak. Maaf."

"Terus kamu ngapain, kok lama banget?"

"Eh, ya..., Luli, emm, itu, emm..., add water and shake before use."

"Maksudnya apa nih?" Kening Iqbal sampai berkerut. Tak paham.

"Yaa itu..., shamponya aku kasih air trus dikocok-kocok deh, baru dipakai shampoan. Lumayan." Sebuah cengiran Luli berikan.

"Cuma tadi buka tutup shamponya susah, jadi aku masukin airnya lewat bolongannya. Itu yang bikin agak lama, Kak."

"Ya Rabb. Mempersulit diri beneran deh kamu ini, Neng. Makanya, besok lagi kalau beli tuh yang besar. Terus dituang di wadah shampo yang nempel di tembok itu. Dibikinin yang begitu kan biar kelihatan, jadi nggak ada cerita kehabisan sabun atau shampo.

"Udah yuk, ah, cepetan. Nggak enak sama abah umi."

"Kan aku harus ngeringin rambut dulu, Kak. Seharian ini aku akan jarang lepas jilbab. Kalau kalau masih basah langsung ditutup, nanti rambutku jadi bau nggak enak. Kak Iiq lagi yang ngomel-ngomel." Alasan yang masuk akal.

"Duh, Neng Luli sayaaang, kita udah telat. Pakai ngeringin rambut ya makin lama. Kita udah janjian lho mau berangkat jam sembilan. Ini udah kurang sepuluh menit. Perjalanan ke sana kadang suka lebih dari sepuluh menit. Belum kalau macet di deket patung kuda. Waktu, Neng, waktuuu. Kalau bisa jangan sampai kita telat."

Luli cemberut.

"Huh, kenapa sih kalau urusan janjian dan tepat waktu selalu jadi masalah buat laki-laki?! Bapak, Mas Fikar, sekarang Kak Iiq pula. Apa semua laki-laki tuh begitu?! Atau setiap laki-laki yang jadi dosen aja?!" Ngegas, sambil melangkah masuk ke kamar mandi lagi, hendak mengeringkan rambut dengan hair dryer.

Iqbal buru-buru menyusul ke kamar mandi, demi meluruskan pendapat sang istri, "Bukan cuma dosen, Neng, dan bukan cuma laki-laki. Menepati janji dan tepat waktu itu jadi salah satu penilaian tentang value seseorang. Bukan hanya soal kepercayaan saja."

"Ya tapi ini kan cuma sama abah umi, Kak."

"Heh, cuma kamu bilang? Justru orang tua itu harusnya menjadi yang paling kita dahulukan, Neng. Kalau dengan orang tua aja kita semaunya, gimana dengan orang lain, coba?"

"Kakak PMS apa gimana, sih? Perkara telat dikit aja jadi ribut gini."

Rambut sudah cukup kering. Luli keluar dari kamar mandi. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengambil HP, lalu menelepon seseorang.

"Neng, kita tuh ditunggu. Malah telepon segala."

Iqbal menyugar. Terlihat jelas dia tegang. Baginya, molor dari waktu yang sudah ditetapkan adalah sesuatu yang boleh dibilang mendekati haram. Luli cuek saja, mendengarkan nada panggil sambil berharap seseorang di sana segera menerima panggilannya.

"Assalamualaikum, Neng." Loudspeaker buru-buru Luli aktifkan.

"Alhamdulillah. Waalaikumussalam, Umi. Umi, kami minta maaf kalau agak terlambat. Ini Luli belum selesai siap-siapnya. Kak Iiq sih, Mi, udah tahu mau pergi malah ngajakin itu. Kan Luli mandinya jadi lama. Maaf ya, Umi." Terdengar suara tawa dari seberang.

"Iya, nggak apa-apa telat sedikit. Wong acaranya juga masih nanti malam. Iiq ki yo pancen ko kui. Kamu yang sabar ya, Neng."

Dua perempuan kesayangan Iqbal Sya'bani terkekeh riang. Sedangkan dia hanya mampu misuh-misuh dalam hati.

Asem! Malah jadi aku yang salah. Iqbal tersenyum kecut.

"Tuh, denger sendiri, kan? Kakak sih, ribet. Orang uminya juga santai aja."

"Ya kamu yang bilang, Neng. Kamu kan kesayangan umi. Coba aku yang bilang, pasti udah diomelin." Digaruknya kepala yang tak gatal.

"Ya udah, buruan siap-siapnya. Jangan mentang-mentang udah dimaklumin sama umi, terus kamu santai-santai begitu."

"Santai-santai gimana? Kan gara-gara Kakak juga. Udah tahu mau pergi, malah pakai ngajakin itu segala."

"Iya deh iya. Ujung-ujungnya Nyonya Sya'bani selalu benar. Ya udah, kamu lanjutin dulu deh. Bebas mau selama apa juga. Aku tunggu di luar." Iqbal yang sudah teramat kesal memilih menunggu di luar daripada habis kesabaran.

"Kak," panggil Luli. Iqbal yang sudah di depan pintu berhenti, lalu menoleh ke arah sang istri.

"Ya?"

"Kakak marah? Aku minta maaf." Tak jadi keluar, Iqbal malah berbalik menghampiri Luli. Memeluk istrinya sambil menghirup dalam aroma strawberry. Dia paling lemah kalau Luli sudah pasang tampang memelas.

"Aku mana bisa sih marah sama kamu, Zulfa Nurulita? Aku sayang kamu. Cuma kamu. Maafkan aku kalau terlalu menuntut kamu untuk perfectionist seperti aku, sampai urusan shampo aja bisa bikin aku kesal macam tadi. Bener kata umi. Kamu yang sabar ngadepin aku ya, Neng."

Luli meleleh. Suaminya memang tak pernah gagal membuatnya merasa menjadi perempuan yang sangat berarti.

"Aku yang salah, Kak. Aku minta maaf. Kakak nungguin aku di sini aja ya. Aku nggak mau jauh-jauh dari Kakak. Janji deh, nggak pakai lama. Aku sayang Kak Iiq."

Satu anggukan Luli dapatkan. Satu kecupan pula Iqbal berikan, pada bibir kemerahan yang selalu manis ia rasakan.

-------

"Abah sama Umi belakang, pokoknya hari ini Iiq sama Luli jadi sopir dan pembantunya. Tuan dan Nyonya besar cukup duduk manis dan suruh-suruh aja," teriak Iqbal.

Ia baru memindahkan mobil dari garasi mendekat ke teras rumah, agar kedua orang tuanya lebih mudah. Abah dan uminya tertawa, pun Pak Yus yang mendengar ucapan si tuan muda.

Iqbal lalu membukakan pintu untuk abahnya. Setelahnya ia berlari ke arah teras, sembari berteriak menyuruh Luli membuka pintu mobil, sedangkan dia membopong uminya yang masih sibuk memasukkan kunci ke dalam tas.

"Allahu Akbar, apa-apaan sih, Dek. Umi berat lho. Nanti nek umi ngglundhung piye?" Uminya memekik kaget dengan kelakuan anak bungsunya.

Iqbal terbahak. Sebelum menutup pintu, diciumnya pipi umi sampai meninggalkan basah. Uminya ngomel-ngomel, mengelap pipi kiri dengan tisu.

"Jare sayang, iki malah ninggali iler. Kamu tuh njelehi banget kok, Dek."
(Katanya sayang, ini malah ninggalin iler. Kamu memang menjijikkan kok, Dek)

"Tapi kan Iiq sayang banget sama Umi. Cinta pertama dan selama-lama-lama-lamanya buat Iiq." Iqbal tak mau kalah.

"Wis jan kelakuane. Wis meh dadi bapak kok yo jik koyok bocah SD (Memang dasar kelakuannya. Udah mau jadi bapak kok ya masih kayak anak SD)." Abahnya geleng-geleng melihat kelakuan bungsunya. Sedang Luli tak berhenti tertawa geli.

Mobil abah melaju membelah jalanan menuju kota kelahiran umi. Iqbal memilih playlist untuk menemani perjalanan kali ini. Tidak random, sebab beberapa lagu romantis sudah ia siapkan untuk dua orang yang sangat ia cintai.

"Ini lagu-lagunya udah Iiq siapin, khusus buat mempelai berdua. Pengantin kadaluwarsa." Astaghfirullah. Iqbal nih memang usilnya nggak kira-kira.

Suara Jon Bon Jovi mengalun pertama, Thank You For Loving Me. Disusul Cinta dari Vina Panduwinata. Lalu suara lembut Michael Jackson terdengar setelahnya, suara merdu abahnya turut terdengar pula.

One day in your life
You'll remember the love you found here
You'll remember me somehow
Though you don't need me now
I will stay in your heart
And when things fall apart
You'll remember one day

Lagu mengalun kurang dari setengahnya, saat suara abahnya terdengar bergetar, lantas menghilang, berganti isak yang tertahan. Iqbal diam, hanya melirik dari spion tengah. Dilihatnya sang abah sedang memeluk erat uminya. Mencium kepala perempuan yang hampir empat puluh tahun mendampinginya. Membasahi kerudungnya dengan air mata.

"Dek," panggil abah yang mulai reda tangisnya.

"Iya, Bah. Siap."

"Nanti, kalau abah lebih dulu pergi, abah titip jaga umimu ya, Dek."

"Apa sih, Bah. Ngobrolnya yang asyik-asyik aja bisa, kali?" Iqbal menjawab, terlihat kurang suka dengan topiknya.

"Abah yakin, semua anak abah baik dan sayang sama umi. Tapi abah juga tahu, kamu yang paling mengerti umimu."

"Nggak usah Abah pesan juga Iiq pasti jagain Umi, Bah. Di dunia ini, cuma Umi cinta pertama dan selamanya buat Iiq."

Luli melirik sang suami, ia selalu jatuh cinta setiap kali melihat bagaimana Iqbal pada uminya.

"Umimu memang pantas mendapatkan itu, Dek."

"Ya semua anak memang harusnya begitu sama ibunya, Bah. Apalagi ibu yang sehebat Umi."

Lalu satu cubitan membuat pinggang Iqbal nyeri. Mata Luli melotot padanya, memberi kode untuk menyuruh suaminya diam saja. Iqbal meringis. Ia mengangguk, lantas bungkam.

"Kamu tahu, Dek, abah masih bisa bertahan, berdiri, tidak terpuruk..., semua karena Allah berbaik hati mengirimkan umimu untuk mendampingi. Padahal betapa banyak penderitaan yang abah berikan pada umimu.

"Di luar sana mungkin tak ada yang tahu. Yang mereka tahu, kami ini adalah keluarga bahagia, sempurna. Padahal sejatinya, dalam hal ini yang sempurna hanya umimu, sebab ia menjadi perwakilan Yang Maha Baik. Untuk abah. Untuk kita. Semua yang dilakukan umimu, abah tahu lillahita'ala.

"Umi yang selalu membela, saat orang di luar sana menyalahkan abah. Umi yang selalu menghibur saat kesedihan datang pada abah. Umi yang selalu bersabar, saat khilaf menghampiri abah. Umi yang selalu mengingatkan, saat abah mulai melenceng dari jalan yang seharusnya.

"Umimu juga yang selalu percaya, bahkan setiap kali abah memberinya kebohongan. Bukan sebab bodoh atau mudah dibohongi, bukan pula karena hanya berpasrah dan tak punya daya untuk memperjuangkan diri. Bukan. Semua dilakukan karena umimu cuma ingin melindungi abah dari kebohongan-kebohongan selanjutnya, yang harus abah buat untuk menutupi kebohongan yang sudah terjadi. Umimu hanya ingin semua berhenti di situ, hingga dosa abah tak bertambah lebih banyak lagi."

Abah menghentikan bicaranya yang dipenuhi emosi, kembali tergugu atas kesalahan yang lalu-lalu. Luli menoleh sekilas ke belakang, masih sempat kepo, ingin mengetahui bagaimana ekspresi sang ibu mertua.

Wajah umi kering saja. Masih bersinar, dengan senyum tipis yang tulus terulas. Luli percaya, jika ada malaikat yang Allah turunkan dalam bentuk nyata, itulah seorang ibu sekaligus seorang istri, yang memiliki kebaikan dan kesabaran, tanpa Allah beri batasan.

Kemudian ia melirik pada Iqbal. Wajahnya datar saja, entah hatinya. Iqbal yang paling tahu ketegaran uminya, yang bertahun turut memendam sendiri sakit hatinya.

Luli diam. Tak sedikitpun ada sesal menjadi bagian dari keluarga Iqbal. Ia selalu berbaik sangka, bahwa sepanjang hidupnya ia tak pernah bertemu kesulitan yang berarti. Allah pasti ingin memberinya pelajaran, meski tanpa harus mengalami sendiri. Pengalaman hidup dari keluarga Iqbal Sya'bani menjadi salah satu yang ia temui. Jika ia hadir lebih awal, mungkin ia tak akan kuat untuk turut menghadapi.

Diletakkan tangan pada paha suaminya. Iqbal menyambut dengan senyum, yang menyiratkan terima kasih, sekaligus permohonan untuk bersabar dan memaklumi.

"Dan kamu tahu, Dek, kenapa umimu bisa bertahan di samping abah?"

"Iiq nggak tahu, Bah. Yang Iiq tahu Umi itu malaikat yang bisa Iiq sentuh, bahkan Iiq peluk." Masih datar, seakan berupaya mencontek sang kakak ipar.

"Memangnya kenapa, Abah? Luli ingin tahu, biar Luli bisa contoh kesabaran dan ketegaran Umi."

"Ya mungkin karena udah tua, anaknya udah banyak, udah besar-besar. Jadi umi bertahan. No choice," sahut Iqbal.

"Eh, tapi Umi nggak sesempit itu ding. Pasti ada alasan yang istimewa, karena Umi juga orang yang istimewa." Iqbal meralat pernyatannya. Satu cubitan Luli berikan, disuruh diam malah bicara terus.

"Iya, Dek. Kamu benar. Umimu memang istimewa. Umi bertahan karena rasa yang Umi miliki untuk abah tak pernah berubah, malah semakin bertambah.

"Abah berkali-kali tanya. Apakah umi kecewa sama abah? Apakah umi sudah lelah mendampingi abah? Apakah umi tak sanggup lagi bertahan di samping abah? Semua dijawab umimu dengan tidak. Alasannya pun satu, karena perasaan umi pada abah tak pernah berubah. Keinginan umi pada abah tak pernah berubah. Begitu pula cita-cita umi bersama abah, untuk selalu bersama sampai jannah."

"Iya. Sampai detik ini pun perasaan umi ke Abah nggak pernah berubah, malah bertambah." Umi akhirnya bersuara.

"Sejak pertama umi menerima abahmu, Dek, abah sudah mengatakan semuanya. Bahwa abah seorang duda yang berpisah karena keadaan, karena terpaksa. Kalau umi nggak mau menerima untuk dinikahkan sama abah, abah pun nggak akan memaksa.

"Tapi umi sudah jatuh cinta sama abah dari sejak abah kakung, pakdemu, dan umi ibu menanyai umi, apakah bersedia menikah dengan abahmu. Umi nggak pernah cinta-cintaan, pacaran, atau apapun itu. Umi perempuan lugu, ndeso, dari kecil main, sekolah, ngaji semuanya sama teman-teman perempuan.

"Maka siapapun laki-laki yang diajukan oleh abah kakung untuk menjadi suami, umi akan menerima. Umi akan menyerahkan hati dan hidup umi untuk mengabdi sebagai istri. Juga sebagai ibu untuk anak-anak kami. Kalaupun akan ada cerita lama yang kemudian hadir di perjalanan kami berdua, itupun umi sudah siap sejak sebelum umi dan abah menikah.

"Tapi, Dek, umi nggak ridho ya kalau kamu melakukan hal yang sama pada Neng Zulfa." Uminya menutup dengan pesan yang menohok untuk Iqbal.

"Udah sih, Mi. Nggak usah bahas itu lagi. Lagian, pada nggak percaya banget sama Iiq." Iqbal kesal. Rencananya untuk menghibur kedua orang tuanya gagal, malah dia pula yang kena 'mosi tidak percaya'. Padahal ia sudah bersusah payah mencari lagu-lagu yang pas untuk hari ini. Semuanya lewat begitu saja setelah One Day in Your Life.

"Umimu itu ---" Abah hendak bicara lagi, tapi dipotong oleh umi.

"Udah, Bah. Lihat deh mukanya Iiq udah kayak kertas diuntel-untel. Yang penting sekarang kita semua udah bahagia. Umi bersyukur sekali di hati abah sekarang cuma ada umi. Nggak perlu dibahas lagi yang lalu-lalu. Kita tutup buku. Jangan kalah sama Iiq, dia yang mantannya banyak aja bisa tutup buku."

"Udah, Mi, nggak usah dilanjutin juga kalau ujung-ujungnya Iiq yang kena bully."

"Memangnya mantanmu ada berapa sih, Dek?" Bukan berhenti, umi malah membahas lebih lanjut lagi.

Ya Rabb, malah dibahas. Iqbal melirik ke arah Nyonya Sya'bani, deg-degan sudah pasti.

"Lumayan sih, Umi, walaupun nggak banyak-banyak amat. Yaa setara lah sama satu box donat yang suka Umi beli. Yang box-nya warna biru, gambarnya lucu-lucu itu lho, Umi." Luli yang menyahut. Iqbal sudah pasrah sejak pembahasan mantan dimulai tadi.

Uminya terdiam, keningnya terlihat berkerut, memastikan hitungannya pada satu box donat tidak salah.

"Isinya selusin ya, Neng? Heh, selusin, Neng?! Dua belas?! Mantannya Iiq dua belas?!" Umi ngegas.

"Astaghfirullah hal adzim, laa hawla wa laa quwwata illa billah. Ya Allah ya Rabb, kami nggak pernah ngajarin kamu mempermainkan anak orang lho, Dek. Ini malah dua belas. Itu dua belas anak orang semua kan, Dek?" Seperti biasa, umi heboh tak terkira.

"Ya anak orang lah, Mi. Masa iya Iiq macarin anak kambing. Yang bener aja?"

"Astaghfirullah hal adzim. Astaghfirullah hal adzim." Umi tak henti merapal istighfar. Benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutan.

"Rest area depan berhenti dulu, Dek. Umi butuh minum yang anget-anget. Astaghfirullah."

"Udah sih, Mi. Luli aja udah santai menerima masa lalu Iiq. Jangan bikin dia berubah pikiran dan berubah sikap lagi, Mi. Please."

"Iya, iya, maaf. Umi beneran kaget. Umi pikir konsep pacaranmu yang aneh itu nggak sampai menelan sebegitu banyak korban, Dek."

"Ya Allah, Mi. Iiq kok jadi kayak pembunuh berantai sih." Wajah Iqbal sudah tak jelas. Level kekesalannya makin meninggi. Bukannya mengademkan suasana, Luli malah cekikikan.

"Kalian tunggu sini aja, biar abah yang nemenin umimu cari wedang."

Begitu abah dan umi turun, tawa Luli pecah. Tak ada rasa perikesuamian sama sekali. Seiring berjalannya waktu, penerimaan Luli atas masa lalu Iqbal Sya'bani memang makin baik saja. Ia sudah membuktikan sendiri, menerima dengan ikhlas dan percaya penuh pada sang suami membuat hatinya ringan bagai kapas.

"Kadang niat baik aja nggak cukup ya, Neng. Butuh nasib baik juga."

"Kakak lagi ngomongin apa?" Luli berhenti tertawa.

"Aku lho, berniat baik nyenengin abah sama umi. Udah kubela-belain seharian nyariin lagu yang pas buat backsound perjalanan kita hari ini. Eh malah ujung-ujungnya aku yang kena bully. Mana udah bikin abah mellow. Endingnya bikin umi shock pula gara-gara tahu jumlah mantanku. Padahal yang mantannya lebih dari itu juga banyak. Aku mah apa, cuma dua belas."

"Kak Iiq bilang apa?! CUMA?! Dua belas masih bilang cuma?! Huh!" Luli yang tadinya nggak emosi, jadi darah tinggi.

"Luli mau nyusul umi. Luli juga butuh yang anget-anget. Tapi Kakak nggak boleh ikut. Diam di sini aja dan jangan ke mana-mana!"

"Lho, Neng..., kok gitu?"

Luli keluar. Membanting pintu dengan kekuatan penuh. Dari dalam mobil, Iqbal seolah melihat asap mengepul dari ubun-ubun istrinya.

"Duh, nasiiib..., nasib."

***

Finally, umi tau deh jumlah mantannya si anak kesayangan. Nasibmu, Iq! Hahaha...

Ini udah kutulis dari lama. Di draftnya sih tanggalnya 28 Januari. Kubaca edit dikit. Tadinya mau post pas malam minggu gitu. Apalah daya akunya capek dan ngantuk. Pas kebangun, kalender udah ganti angka.

Btw, nulis ini gara-gara terinspirasi lagunya Mas Pam. Ceritanya lagi pergi berdua sama suami, terus bahas apa gitu, aku jadi kesel, dan males ngomong. Dia malah rese godain terus dengan candaannya yang always retjeh. Karena aku istiqomah diem, akhirnya dia ikut diem, cuma nyetelin lagu. Ndilalah lagunya Pamungkas yang Monolog.

Pas denger liriknya, "Alasan masih bersama bukan karena terlanjur lama, tapi rasanya yang masih sama." Aku terus ngelirik ke suamiku, dan kepikiran....

Eh, bener juga ya. Kalau cuma sekadar terlanjur lama mah menyiksa. Jadi kalau orang memilih untuk tetap bersama, ya semestinya karena rasa yang masih sama. Kalau nggak gitu, mana kuaaat?

Terus aku ngomong itu deh ke suamiku (aku memang gampang ngambek dan gampang leleh kalo sama dia). Kata dia, "Bar iki mesti dadi tulisan." Mwahahaha....

Baiklah. 3K kata lho ini. Maafkan yak, jadi panjang dan lama, padahal bukan choki-choki *dih, ngiklan.

Terima kasih juga. Semoga terhibur dengan part iseng yang rada absurd ini.

Ini ya lagunya. Nggak jadul kok :p


Semarang, 11042021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top