Extra Part 3
Kita ini orang beriman, Asya. Genggamlah erat-erat keimanan kita, merasa bersyukur dan cukup pada segala yang kita punya. Insya Allah kita akan dijauhkan dari hal-hal yang Allah tidak ridho atasnya.
***
Rhoma Irama rebahan di tikar
Ini (sedikit) cerita tentang Rahma dan Zulfikar
Tikarnya basah nggak kering-kering
Kuy lah, happy reading
***
Zulfikar menyandarkan gitar pada kursi yang barusan ia duduki. Tadinya ia tak mau mengekspose diri, tapi terpaksa. Adik semata wayang, sekaligus sang empunya acara sebagai mempelai perempuan, memintanya untuk mengiringi menyanyi. Oh, bukan mengiringi, lebih tepatnya memilihkan lagu, mengajari sampai layak tampil, dan..., tentu saja mengiringi. Ya, begitulah.
Ia turun dari panggung kecil, banyak pasang mata mengikuti sosoknya. Sebagian mahasiswi kecewa sekaligus tercengang, begitu tahu dosen jurusan sebelah yang handsome tapi raut mukanya flat itu ternyata sudah beristri, mahasiswi teknik sipil pula.
"Ya Allah, Lul, bagus banget. Kereeenn," sambut istrinya. Bukan untuk dia, tapi untuk adiknya.
"Aku sampai nggak dianggap ya, Na. Cameo banget." Ia menyahut datar.
"Iya, dikacangin."
Bukannya menghibur suaminya, Nara malah membuat Fikar makin kesal. Ditambah pula tawa dari Luli dan Iqbal. Ia terpaksa menerima kalau di sana dia bukanlah sang tokoh utama. Hmm.
Fikar duduk di sebelah Nara, berhadapan dengan adik dan iparnya. Berempat bicara tentang penampilan Luli baru saja. Ia menceritakan kelakuan Luli saat memaksanya untuk perform malam ini, tawa berkali memenuhi meja mereka.
"Hei. Zul ya? Zulfikar? Masih ingat aku?" Seorang perempuan menyapa, menyela canda tawa mereka. Nama Zulfikar jelas-jelas yang disebut olehnya.
Fikar nyaris tersedak melihat siapa yang menghampiri meja mereka.
"Eh, ada Bu Rahma," sapa Iqbal sok sopan. Padahal sekuat hati menahan tawa.
"Apaan sih, Bal? Sok sopan banget." Rahma Khairunnisa tertawa.
"Sini, Bu Rahma. Silakan duduk sini. Kami mau menyapa teman-teman yang lain dulu."
Iqbal berdiri dan menarik Luli. Memberi kesempatan pada rekan seprofesi untuk sekadar bernostalgia masa SMA. Ia lalu berpamitan sambil melirik sang kakak ipar. Mata mereka beradu. Fikar menatapnya tajam seakan berkata, "Awas kamu ya!"
Iqbal buru-buru mengajak istrinya untuk berlalu. Masih sambil menahan tawa, sesekali menoleh ke arah meja yang ditempati Zulfikar, Nara, dan Rahma.
"Boleh aku duduk?" Rahma meminta izin.
"I-iya, s-silakan, Bu Rahma." Nara yang menjawab.
Ia berdiri sambil mengangguk pada perempuan yang juga dosennya. Hatinya bertanya-tanya, dari mana suami dan dosennya itu saling mengenal? Sedangkan Fikar, tetap duduk dengan default-nya yang datar, juga dada yang sedikit berdebar. Diliriknya sekilas sang istri, ia menangkap tanda tanya besar di wajah cantik yang tak pernah bosan ia pandangi.
"Masih sama ya, Zul. Masih tetap keren kalau udah di atas panggung."
"Eh, emm, iya, Mbak. Terima kasih." Masih tanpa ekspresi.
"Apa kabar, Zul?"
"Oh, emm, Alhamdulillah, baik, Mbak. Sehat."
"Masih ngajar di arsitektur?"
"Iya, Alhamdulillah masih."
"Berarti sekarang jadi iparnya Iqbal, kah?"
"Iya, betul, Mbak."
"Kalau dengan mahasiswiku, ada hubungan apa gerangan?" Rahma tertawa lepas, lantas memandang Nara dengan senyum ramah. Yang dipandang belingsatan tak keruan.
"Eh, d-dia..., maksud saya, Nara, dia istri saya."
"Nara?"
"Asya. Asya Aiyanara." Fikar menjelaskan.
"Masya Allah. Ckckck, beneran baru tahu aku. Masya Allah, jadi Asya ini istrimu, Zul?" Fikar mengangguk.
"Wah, couple goals bener ini. Asya ini terkenal pintar lho di sipil. Paling pintar seangkatan. Kadang kalau sama anak pintar aku suka ngebatin, nantinya kalau cari pasangan pasti harus yang lebih pintar, nih. Ternyata ya....
"Masya Allah. Nggak nyangka beneran. Ya udah pas banget. Selamat ya, Asya. Zul ini dari SMA, dari aku kenal dia, udah kondang pintarnya. Idola remaja di zamannya lah. Iya kan, Zul?" tawa Rahma berderai.
Panggilan Zul yang ia dengar untuk kesekian kali menyadarkan Nara tentang siapa perempuan yang duduk di hadapan mereka berdua. Ia makin tegang, tapi sedari tadi ia tak merasa menemukan sedikitpun nada miring dalam suara dosen drainasenya itu. Pun pada raut wajahnya. Hanya ketulusan yang terpancar dari kedua netra Rahma. Menunjukkan kedewasaan dan kematangannya.
"Eh, ng-nggak juga, Mbak. Saya kan pendiam," jawab Fikar. Agak gugup, tapi tetap kepedean.
"Nah, justru itu yang jadi daya tarik tersendiri, Zul. Kalau yang lain sok artis, kalau kamu sok atis."
*atis: dingin (bahasa Jawa)
Fikar tertawa kecil mendengar kata sok atis. Ia sendiri merasa sedikit nyaman setelah sejak tadi tak menemukan sesuatu yang aneh dalam gelagat sang mantan penggemar berat.
"Mbak bisa saja. Sudah lama ngajar di sini, Mbak?" Fikar mulai membalas obrolan dengan pertanyaan. Nara makin deg-degan.
Seiring es batu yang mulai mencair, ada pula cemburu yang mulai hadir.
"Belum sih. Baru setahunan. Jadi, empat tahun lalu suami ada kerjaan di Indonesia. Aku sama anak-anak belum ikut, karena PhD-ku belum selesai. Eh, suami malah betah di sini. Jadi selesai aku kuliah, kami move ke Indonesia. Tadinya mau tinggal di Bandung atau Jakarta, tapi orang tua minta aku pulang kampung aja, bisa bantu-bantu kerjaan ayah.
"Cuma ngerasanya sayang, kuliah tinggi-tinggi habis itu cuma buat cari uang, kayak yang gimana gitu. Dunia aja dikejar terus. Padahal dari dulu juga Allah udah kasih banyak terus. Nah, pas Iqbal tahu aku sekarang di Semarang, dia kasih info, ada kesempatan buat ngajar di sini, biar ilmunya ada manfaatnya untuk dibagi. Dan, yaa..., as you can see now. Kita ketemu lagi, dan jadi rekan seprofesi."
"Gimana PhD di sana, Mbak? Ada rekomendasi buat anak arsitektur lokal begini?"
Rahma Khairunnisa lagi-lagi tertawa. Kali ini karena pertanyaan yang diajukan seorang Zulfikar Aditya.
"Yang ada di pikiranmu tuh cuma belajar, belajar, dan belajar aja ya? Lagian, aku yakin kamu udah ada pandangan. Kalaupun mau ke sana juga pasti udah ada yang kamu tuju."
"Ya siapa tahu ada masukan baru dari yang sudah bertahun-tahun tinggal di sana, kan, Mbak."
"Banyak sih, Zul, dan menurutku sayang kalau kamu cuma fokus ke Inggris. Aku yakin, dengan kemampuan yang kamu punya, kamu bisa memilih yang terbaik. Catalonia misalnya. Atau Delft. Banyak lah. Aku sendiri nggak begitu ngerti sih, karena concern-ku di civil ya, bukan di sana."
"Mbak ada teman yang bisa saya ajak diskusi?"
Nara berkali menelan saliva. Ia merasa makin jauh dari apa yang dibicarakan. Sedih, cemburu, sekaligus khawatir. Ia merasa bukan siapa-siapa.
"Kapan-kapan lah main ke rumah ---"
Uhuk uhuk uhuk....
Nara tersedak, padahal sedang tak makan atau minum apapun. Fikar tersentak, ia paham. Istrinya cemburu.
Diraihnya cangkir berisi coklat panas yang sudah menghangat. Membawanya pada bibir Nara dan tetap memegangnya hingga sang istri menelan satu dua teguk isi cangkirnya. Ia menaruh kembali cangkir ke meja, lalu mengusap lembut punggung Nara, sembari tangan yang lain mengelus paha istri yang teramat dia cinta.
"Maaf, Mbak. Ada yang cemburu kelihatannya."
Rahma Khairunnisa tergelak. Tawanya begitu ringan dan lepas, seakan menunjukkan pada Nara jija begitu pula hati dan perasaannya pada seorang Zulfikar Aditya. Ringan dan lepas.
"Nggak apa-apa. Aku maklum banget, Zul. Memang harus begitu. Suami istri kan harus saling terbuka. Bagus lah kalau Asya tahu, bahwa ternyata ada mantan penggemar suaminya yang sekarang ada di dekat kalian berdua. Tapi itu cuma masa lalu aja, Asya. Insya Allah bukan ancaman untuk masa depan.
"Each of us has found happiness now. Dan rasanya sayang, kalau satu sama lain kemudian menganggap sebagai ancaman. Kita ini orang beriman, Asya. Genggamlah erat-erat keimanan kita, merasa bersyukur dan cukup pada segala yang kita punya. Insya Allah kita akan dijauhkan dari hal-hal yang Allah tidak ridho atasnya."
"M-maaf. Maafkan saya, Bu Rahma."
"It's okey, nggak ada yang perlu dimaafkan. Saya malah salut sama kamu, sebab mencintai sedalam itu. Sampai bisa keselek padahal nggak lagi makan atau minum sesuatu."
Rahma dan Fikar kompak terbahak. Nara tersenyum, rasa malu menyeruak.
"Okey. Waktu Asya keselek tadi aku belum selesai bicara. So, main-mainlah ke rumah pas suamiku pulang. Dia lebih banyak pengalaman. Walaupun bukan akademisi dan bukan orang arsitektur, kawannya banyak yang dari bidang itu.
"Ajak Asya juga, biar dia ngobrol sama aku. Potensinya harus diasah. Dia masih muda, biasanya emosi masih sering keluar sebagai juara. Sayang, kalau potensinya meredup karena kebanyakan cemburu."
Rahma tersenyum lebar, memandang mahasiswinya dengan sorot keibuan yang menyejukkan.
"Iya, Bu. Ibu betul semua. Terima kasih banyak, Bu Rahma."
"Ya udah, aku pamit dulu ya. Udah malam. Tadi janji sama anak-anak, nggak pulang lebih dari jam sembilan," pamit Rahma pada Fikar dan Nara.
"Oh iya, Zul." Rahma berhenti sejenak. Menarik napas hingga ia merasa lebih nyaman.
"Aku minta maaf untuk semua yang kulakukan waktu itu. Untuk semua nggak nyaman yang mungkin kamu rasakan gara-gara aku. Maafkan aku."
Zulfikar mengangguk. Satu senyum ia berikan, "Saya juga minta maaf, Mbak."
"Hemm." Kecanggungan menyusup tiba-tiba. Kejadian demi kejadian di masa SMA seakan diputar ulang pada benak masing-masing dari keduanya.
"Emm, okey, Zul, aku pamit. Yuk, Zul. Asya. Assalamualaikum."
Perempuan yang menyelesaikan jenjang S1-S3 di Inggris Raya itu berdiri. Ia berlalu setelah menganggukkan kepala dan menangkupkan kedua tangan di depan dada.
Zulfikar, yang sekarang merasa hormat pada mantan kakak kelasnya itu, turut berdiri dan melakukan hal yang sama. Terima kasih meluncur dari lisannya. Ia memandangi perempuan bergamis warna moka dengan jilbab lebar yang senada. Cukup lama, hingga Rahma Khairunnisa menghilang ditelan kerumunan.
Fikar tak sadar, ada yang juga sedang memandanginya dengan hati bergolak menahan cemburu yang kembali melanda.
"Lihatin terooosss. Nyesel kan udah melewatkan permata malah dapatnya batu kali. Ya gitu deh. Dasar laki-laki!" hardik Nara, Fikar kaget dibuatnya.
"Ehk. Ng-nggak gitu, Na. Aku itu cuma---"
"Halah. Mau alesan apa? Orang udah jelas-jelas, gitu banget ngelihatin Bu Rahmanya. Udah sana, kejar aja kejar!"
"Heh, sembarangan. Aku cuma sayang sama kamu, Na."
"Sayang aja kan? Sayang mah sama Luli juga Mas sayang. Tapi kalau cinta..., cintanya ke aku sekarang luntur, kan? Nyesel kan? Huh."
"Nggak gitu, Na. Percayalah. Aku itu---"
Nara bangkit, berjalan tergesa menuju gerombolan teman seangkatannya. Fikar terpaksa membiarkan. Tak ingin ketegangan yang mendadak datang menjadi terbuka seandainya ia mengejar ke sana dan Nara tak mampu menyembunyikan emosi di depan teman-temannya. Ia terpaksa menunggu dengan sabar.
Sementara di sudut yang berbeda, Rahma Khairunnisa menghampiri salah satu mahasiswa sekaligus adik bungsunya.
"Lif, balik sekarang, yuk. Aku udah janji sama anak-anak mau pulang sebelum jam sembilan."
"Lah, nanggung, Mbak. Acara paling sampai jam sepuluh kok. Pulang nantilah, sekalian. Anak-anak aman deh sama ibu."
"Ya nggak gitu, Lif. Anak-anak itu percaya sama kita, kalau kita mengingkari apa yang sudah kita bilang sendiri, itu sama dengan kita membuka peluang mereka untuk melakukan hal yang sama."
"Ck..., harusnya tadi jangan nebeng aku, Mbak. Gak menak-menaki tenan (Nggak asyik banget)." Alif menggerutu.
"Mbak balik sendiri ya, ntar aku naik ojek aja. Gak usah kuatir, cah lanang og, kendel (anak laki-laki kok, pemberani)." Disodorkannya kunci mobil pada kakak sulungnya.
"Nggak. Pokoknya pulang sekarang."
"Wegah ah, Mbak. Wis gede kok jik dikongkoni wae."
(Malas ah, Mbak. Udah besar kok masih disuruh-suruh terus)
"Ya udah, simpan aja kunci mobilmu. Biar aku aja yang naik ojek." Rahma berbalik badan, meninggalkan sang adik dalam kegalauan.
Dua menit berlalu. Alif keluar kafe dengan terburu. Menoleh kanan kiri mencari keberadaan kakaknya. Nihil.
"Nyariin aku, kan?" Sebuah tepukan mendarat di bahunya, disusul tawa lepas dari kakaknya.
"Ya udah, kita tunggu pak ojeknya datang, habis itu kita pulang," ucap Rahma lagi.
Berdua menunggu di emper bangunan kafe, pada salah sebuah bangku yang berjajar menghadap area parkir. Driver ojek online datang tak lama kemudian. Rahma menyerahkan satu lembaran merah sambil mengucap permintaan maaf. Mas driver-nya menolak, tapi Rahma tetap memaksa. Mereka akhirnya saling menerima. Mas driver menerima jatah rizkinya malam itu, Rahma menerima kebahagiaan sebagai perantara bagi rizki orang lain malam itu.
"Lif, aku pernah ngefans banget sama seseorang. Dulu, waktu aku masih SMA. Kamu masih piyik." Mobil melaju, Rahma memulai ceritanya tentang masa lalu.
*piyik: anak ayam (kadang dipakai untuk candaan dalam mengistilahkan anak kecil)
"Heh, enak aja. Aku udah SD kelas lima kali, Mbak."
"Lha iya, piyik kan?" Dengan telunjuk Rahma mendorong pelipis adiknya. Mereka tertawa.
"Dunia memang sesuatu yang sempit ya, Lif."
"Wait wait..., what do you want to talking about? Gini amat pembukaannya."
Rahma tertawa, entah untuk kali yang ke berapa. Ia memang begitu, hidupnya seperti hanya senang saja. Sedih dan susah baginya hanya sementara, sedangkan selalu berbahagia sudah menjadi pilihan sebagai ungkapan syukur pada Sang Pencipta.
"Dulu, waktu SMA aku pernah ngefans sama adik kelasku. Emm,ralat. Bukan ngefans. I used to fall in love with him. Too much love. Aku sendiri kadang suka ketawa kalau ingat zaman itu. Sungguh memalukan. Tapi..., ya itulah hidup. Banyak hal yang harus kita lewati untuk bisa memahami dan bersyukur atas segala nikmat yang sudah Allah beri."
"Apa sih, Mbak? Intinya aja deh. Udahlah maksa minta pulang, aku harus ikut pulang, masih pula diajakin ngobrol berat-berat. Kalau bukan karena adab sebagai adik, udah tak turunin di sini deh, biar digondol (diculik/dibawa pergi) penunggu Gombel." Alif kesal. Rahma tersenyum lebar.
"Aku tadi ketemu dia, Lif. Adik kelasku yang dulu kukejar-kejar sampai orangnya kesel. Setiap hari kuteror dengan telepon ke rumahnya, kasih hadiah-hadiah, main ke rumahnya, ngobrol sama ibunya. Huff...." Rahma membuang napas, lalu menertawakan kekonyolan yang pernah ia lakukan.
"Beneran, Mbak pernah kayak gitu? Jijik banget."
"Ssstt, rahasia. Itu aibku. Udah kukubur dalam-dalam, tapi jadi muncul lagi gara-gara ketemu sama yang bersangkutan."
"Terus Mbak nyapa dia?"
"Hemm. Aku datangin ke mejanya. Cuma satu hal yang ingin kulakukan. Minta maaf ke dia."
"Udah?"
"Alhamdulillah."
"Dosen sipil juga?"
"Bukan. Dosen FT iya."
"Ehk, siapa?"
"Ada lah. Rahasia."
"Emm..., bukan yang tadi ngegitarin istrinya Mas Iqbal kan, Mbak?"
"Heh, kok kamu bisa nebak kalau dia, sih?"
"Lah dosen selain sipil, dosen FT yang aku tahu ada di sana tadi ya cuma itu. Namanya Zulfikar Aditya. Dosen arsitektur. Kakaknya Zulfa. Sahabatnya Mas Iqbal yang sekarang jadi kakak iparnya."
"Kok kamu tahu banyak tentang dia sih, Lif?"
"Tapi iya apa bukan? Dia yang Mbak maksud?"
"Emm, iya. Dia. Zulfikar Aditya."
Tawa Alif pecah. Ia tertawa sampai menangis. Eh, atau sambil menangis?
"Bener yang Mbak bilang. Dunia ini memang sesuatu yang sempit. Mbak tahu nggak, istrinya Pak Dosen itu tuh adik tingkatku. Mahasiswinya Mbak."
"Iya. Aku tahu. Kami tadi ngobrol bertiga. Kamu kok tahu banyak, Lif? Padahal kayaknya jarang yang tahu lho tentang pernikahan mereka berdua. Aku aja baru tahu tadi."
"Iya, Mbak. Aku tahu banyak. Karena sama seperti Mbak, aku bertepuk sebelah tangan sama istrinya."
"Maksudmu?"
"Ya gitu deh."
"Jadi kita..., kakak beradik, pernah naksir cowok sama cewek yang sekarang jadi suami istri, gitu?" Rahma memekik, Alif mengangguk.
"Allahu Akbar. Astaghfirullah hal adzim. Ya Rabbana."
Yaris merah itu lalu dipenuhi tawa kedua penumpangnya. Menertawakan sebuah kebetulan --atau kepedihan?-- yang melibatkan mereka berdua.
---
Sementara itu di kafe Iqbal, acara baru usai digelar. Fikar dan Nara berpamitan pada si empunya gawe. Perang dingin masih berlangsung, bahkan makin mendingin.
"Lul, pulang dulu ya. Kamu ke Madina, ke Bukit Sari, apa ke rumah ibu?" Nara berpamitan pada adik ipar.
"Kayaknya ke Madina, Nar. Udah malem juga, nggak enak ketok-ketok pintunya."
"Halah, paling mau ngapa-ngapain di Madina. Ketuk pintu dijadikan alasan aja," goda Fikar yang mendengar obrolan keduanya.
Nara melengos, sama sekali tak ingin tertawa. Bahkan ia melengos pula pada dosennya. Kesal, karena menganggap Iqbal Sya'bani ada di balik pertemuan Fikar dengan mantan penggemar.
"Pulang dulu, Pak Iqbal. Terima kasih udah memfasilitasi reuni SMA." Tak ada senyum, Nara langsung melenggang meninggalkan kedua iparnya.
"Tanggung jawab, Iq. Dia cemburu sama Rahma. Aku yang kena. Mana dia kalau ngambek betah banget diamnya. Siap-siap mati gaya."
"Duh, sorry, Bro. Beneran nggak ada maksud. You know lah, dia sendiri yang nyamperin kan tadi. Memangnya kalian bicara apa? Kok bikin Asya cemburu." Iqbal tak enak hati, meski ia juga mati-matian menahan agar tawa tak lolos dari bibirnya.
"Ya begitulah pokoknya. Kukira semuanya baik-baik saja, tapi ternyata.... Yo wis, aku pulang dulu ya. Nyonya udah nggak kelihatan."
"Selamat gencatan senjata, Mas Fikar sayang." Luli masih sempat menggoda, yang disambut Fikar dengan menepuk pipi adiknya.
"Bawel!"
Fikar beranjak tergesa. Mengejar Nara yang sudah tak kelihatan punggungnya. Ia menemukan istrinya berdiri di sebelah mobil mereka. Area parkir sudah sepi, mobil yang tersisa bisa dihitung dengan jari.
"Harusnya kamu sabar dulu, Na. Pamit baik-baik sama Luli Iqbal, dan tunggu aku. Bukan malah berdiri sendirian di sini. Sudah malam. Sepi. Bahaya, Na. Jangan diulangi." Fikar melempar nasihat begitu mobil mulai merambat.
"Apa sih? Peduli amat sama aku."
"Ya kamu kan istriku. Aku sayang sama kamu. Sudah jadi kewajibanku untuk menjagamu."
"Kalau mata, nggak wajib dijaga nggak apa-apa gitu? Ngelihatin Bu Rahmanya lho, gitu banget. Mas kagum kan sama Bu Rahma? Nyesel kan dulu disia-siain, dijijik-jijikin, sekarang jadi bidadari begitu."
"Batinku bilang Astaghfirullah, tapi lisanku berkata Alhamdulillah, Na. Alhamdulillah karena kamu cemburu sama aku."
"Astaghfirullah-nya karena nggak bisa jaga mata, ngelihatin perempuan lain sampai segitunya, padahal ada istri di sebelahnya. Iya kan? Ngaku aja deh." Nara masih ketus. Mukanya sudah tak enak dilihat.
"Kita pulang ke rumah ya. Nggak bagus kalau pulang ke rumah bapak ibu tapi wajahmu nggak enak begitu."
"Iya, wajahku memang nggak enak. Nggak kayak wajahnya Bu Rahma yang sejuk kayak musim gugur di Inggris. Iyaaa. Pahaaam."
Bukan menentramkan suasana, Fikar malah tertawa. Diusapnya puncak kepala Nara.
"I love you, Asya Aiyanara, mamanya anak-anakku."
"Huh. Bilang gitu kan biar aku nggak marah. Sorry, nggak ngaruh."
"Kamu kenapa sih, Sayang?"
"Halah, nggak usah sayang sayang segala!"
"Oke. Aku diam. Kamu silakan kalau mau marah. Kita pulang ke rumah. Lanjutkan marahmu di sana. Aku nggak menerima penolakan."
"Aku juga malas marah sama Mas. Percuma. Mas nggak ngerasa bersalah kok. Mas ngerasanya everything is fine. Nggak peduli sama hatiku. Sama perasaanku."
Yang terjadi selanjutnya adalah saling diam, hingga mobil memasuki halaman rumah. Nara langsung turun, membuka pintu, dan masuk tanpa menguncinya lagi. Fikar yang mengurus semuanya. Menurunkan bawaan mereka dari mobil, mengunci pintu, menyalakan lampu, semua.
Nara bahkan tak membersihkan diri dulu atau lainnya. Ia langsung naik ke tempat tidur dan menyembunyikan tubuhnya di balik selimut biru tua.
Fikar membiarkan saja. Ia memilih mengurus dirinya dulu. Mandi, berganti baju, dan mengambil wudhu. Kemudian menyusul Nara dan memeluknya dari belakang. Tak ada penolakan, meski ia tahu Nara masih dalam kesadaran.
"Na, masih marah? Bersihkan dirimu dulu. Siapa tahu kalau kena air jadi segar dan reda marahmu."
"Males."
"Sejak kapan ada kata malas dalam kamus hidup kamu, Sayang?"
"Sejak Mas jadi genit."
"Hah? Aku? Genit? Yang benar saja ah, Na. Bisa-bisanya bilang begitu."
"Ya apa namanya kalau nggak genit. Matanya Mas itu lho, lihatin Bu Rahma sampai gitu banget." Untuk kesekiankalinya Nara mengulang sebab kemarahannya.
"Memangnya mataku kenapa?" Fikar sok bego.
"Ya begitulah. Mas kan nggak bisa lihat mata Mas sendiri. Tapi kan aku bisa. Pas Bu Rahma pamit dan pergi, matanya Mas ngelihatin beliaunya sampai bener-bener hilang. Kayak yang kagum banget. Mana pakai senyum segala Senyumnya Mas lho, manis banget. Perasaan aku aja nggak pernah dapet senyum yang macam gitu. Bahkan aku di sebelah Mas juga Mas nggak peduli."
"Nggak lah, Na. Aku nggak begitu. Kalaupun aku melihat dia, ya biasa saja. Nggak yang sampai lama atau gimana. Aku cuma respek aja sama dia."
"Ya kalau kagum atau respek atau apapun, jaim dikit bisa kali. Jaga perasaan istri. Dan kalau Mas bilang, nggak sampai lama, itu juga perasaan Mas aja. Sesuatu yang menyenangkan kan berlangsungnya lama juga nggak kerasa."
"Tapi aku ---"
"Mas mana mau sih mengakui kesalahan. Sekarang aku tanya deh. Waktu Bu Rahma pergi, apa yang ada di hati Mas? Di pikiran Mas? Kagum kan?"
"Eh, nggak, Na. Nggak gitu."
"Nggak gitu, tapi lebih dari itu?! Udah ah, aku mau tidur. Percuma. Mas kan selalu benar."
"Tapi aku nggak ridho kalau kamu tidur dalam keadaan marah begitu, Na. Apalagi kamu nggak ganti baju, nggak bersih-bersih dulu. Kan nggak nyaman, Na."
"Hih, malah ngurusin itu. Udah, gini aja. Mas atau aku yang tidur di luar?"
"Nggak semua. Nggak ada yang tidur di luar. Kita tidur di sini. Berdua. Dan aku nggak ridho kalau kamu tidur masih dalam keadaan marah begitu."
"Mas tuh memang jahat. Nggak punya perasaan. Udahlah bikin istri sakit hati, kalau istri marah ya wajar. Harusnya Mas tuh menenangkan. Udah sih, ridho aja. Tega amat kalau istri dilaknat Allah dan malaikatnya."
"Astaghfirullah hal adzim. Ya sudah, Na. Aku ridho. Aku minta maaf kalau aku salah. Aku minta maaf kalau aku nggak tahu salahku apa. Aku minta maaf kalau---"
"Udah sih, kalau niat minta maaf ya minta maaf aja. Nggak usah ada embel-embel ini, itu, anu, apa segala macem."
"Iya, baiklah. Aku minta maaf. Kamu tidurlah. Besok pagi kita bicara lagi. I love you."
"Aku lagi nggak love you. Huh."
Fikar tersenyum lagi. Dilepasnya jilbab Nara, lalu mengecup lembut rambut beraroma strawberry yang ia sukai. Ia tahu, Nara masih sangat muda, kalau sedang emosi kadang suka meledak-ledak. Seperti kata Rahma tadi.
Eh, kok jadi ke Rahma lagi sih. Astaghfirullah hal adzim.
Yang dilakukan Fikar selanjutnya adalah introspeksi. Mengingat setiap obrolannya dengan Rahma, tapi ia tetap tak merasa menemukan kesalahan. Lalu mengingat apa yang berkali Nara katakan saat marah tadi. Itu yang harus dia garis bawahi. Matanya, yang melihat Rahma dengan segitunya.
Fikar mencoba memahami arti dengan segitunya yang membuat Nara sebegitu marah padanya. Yang ia rasakan saat Rahma berlalu dari hadapan mereka tadi benar hanya kekaguman semata. Bahwa perempuan yang dulu mengejar-ngejarnya seperti tak punya malu, sekarang berubah menjadi perempuan dewasa yang matang, mapan, dan terlihat berwibawa. Meski begitu, Rahma juga tak jaim atau menyembunyikan keramahannya. Tawanya tulus dan lepas. Sepertinya, perjalanan hidup telah membuatnya lebih dekat pada Sang Pencipta, hingga wajahnya menunjukkan bahagia tanpa sedikitpun ada kepura-puraan di sana.
Jadi apa yang membuatnya patut untuk dicemburui?
Astaghfirullah hal adzim. Pendapatku barusan tentang Rahma itu....
Menit berikutnya baru Fikar tersadar. Ia memang tak merasa ada masalah dengan mata dan caranya memandang pada Rahma tadi. Tapi pemikirannya tentang Rahma saat itu, mungkin bisa dirasakan Nara. Kalau mata atau gesture bisa berbicara, bisa jadi apa yang ada dalam pikirannya saat itu terbaca oleh istrinya.
Ya. Istri mana yang rela kalau suaminya memuji perempuan lain setinggi langit? Tak ada!
Nara memang peka dan cerdas. Ia luar biasa. Melihat mata dan gesture sang suami saja sudah mengasah feeling-nya. Ia bisa menerjemahkan apa yang ada di hati dan pikiran laki-laki yang sangat dia cintai. Dan dia cemburu.
"Astaghfirullah hal adzim," gumam Fikar.
Ia menoleh kepada Nara, yang ia sangka sudah tertidur. Dilihatnya bahu sang istri bergerak naik turun, berusaha menyembunyikan isaknya.
Fikar bangun dari baringnya, ia turun dari tempat tidur, berjongkok di sisi pembaringan istrinya.
"Na, maafkan aku. Aku sudah menemukan di mana letak kesalahanku. Maafkan aku nggak memahami perasaanmu. Nggak mengerti cemburumu. Nggak menjaga hatimu. Aku tahu, kamu bisa membaca apa yang ada di pikiranku saat melihat Rahma berlalu. Aku sadar, istri manapun pasti akan cemburu.
"Maafkan aku, Na. Aku manusia biasa. Aku laki-laki biasa. Kadang pikiran dan perasaan seperti itu memang muncul tiba-tiba. Aku yakin, kamu mengerti kalau yang kurasakan untuknya bukan cinta atau semacamnya. Cuma kekaguman sesaat saja. Tapi tetap saja, aku memang salah. Setidaknya aku lega, karena aku sudah menemukan kesalahanku.
"Jangan menangis ya, Na. Aku nggak suka lihat air matamu. Karena itu menunjukkan padaku kalau aku belum bisa membahagiakanmu." Dihapusnya bening di pipi dan mata Nara, yang langsung basah lagi setelahnya.
"Mau dipeluk sama Mas," rintih Nara sambil mengubah posisinya. Ia duduk sekarang. Lalu Fikar berdiri, meraih bahu sang istri, dan membenamkan dalam dekapan hangatnya.
Nara menumpahkan tangis sepuasnya. Lama. Sebab baru kali ini ia merasa begitu terluka karena perempuan lain. Yang keberadaannya masih bisa dilihat dengan mata. Bukan seperti Ayu, yang sudah tak ada, dan memang pernah menancapkan cinta dalam hati suaminya
Fikar memang berbeda. Melihat perempuan cantik dan seksi saja ia bisa dengan mudah menundukkan pandangan. Tapi tidak dengan tadi. Tatapannya menunjukkan dengan jelas apa yang ada di benaknya. Setidaknya di mata Nara.
Sebagai istri, tentu saja ia terluka. Apalagi ia tahu benar bagaimana seorang Rahma Khairunnisa. Cantik, pintar, kaya raya, mapan, matang, dewasa, alim, dan memiliki keilmuan yang mumpuni di bidangnya.
Yang menjadi isi hati dan pikiran suaminya benar semua. Itulah sebabnya ada kekhawatiran yang muncul, sebab ia tahu, ia bukan siapa-siapa jika dihadapkan dengan Rahma Khairunnisa. Bagai Jalut dengan Daud. Meski akhirnya ia benar mengalahkan yang jauh lebih darinya, setidaknya dalam memenangkan hati Zulfikar Aditya.
"Na, nangisnya kok lama sekali, sih? Aku menyakiti hatimu banget ya?"
Dilepasnya pelukan, lalu kembali berlutut, menaruh dagunya pada kedua paha Nara. Menatap mata perempuannya dalam-dalam.
"Maafkan aku ya, Na. Masih sering tak memahami maumu, tak menjaga perasaanmu, tak mengerti maksudmu."
"Nggak. Mas baik kok. Aku yang insecure sama Bu Rahma. Aku takut Mas ninggalin aku. Aku takut kehilangan Mas. Aku sayang sama Mas. Aku cinta sama Mas."
Nara menangkup kedua pipi suaminya. Laki-laki yang beberapa jam lalu membuatnya terbakar cemburu nan hebat, untuk pertama kali dalam hidupnya. Tak seperti kasus dengan Dini, kali ini jauh lebih menyakitkan hati. Sebab yang menjadi rivalnya jauh lebih.... Ah, sudahlah.
"Bersih-bersih dulu ya, Na, biar nyaman tidurmu."
"Tapi sama Mas." Nara merajuk. Manja.
"Kalau sama aku harus siap-siap berlanjut dengan keramas." Fikar balas menggoda. Satu cubitan mendarat di perutnya yang rata.
"Siapa takut? Nggak ada Luli ini."
***
Teteup yaaa... Kalau urusan keramas Luli, selalu kebawa-bawa. Haha...
Aish, 4K lho iniii. Panjang nian. Semoga ada manfaatnya yaaa.
Baiklah. Udah lunas ya hutangku bikin extra part tentang ketemunya (lagi) Fikar dan Rahma.
Oh ya, ada lagu di part ini, tapi harap dimaklumi kalau rada maksa. Udah gitu jadul bingit ini lagunya. Wkwk...
Tapi masih related lah, tentang nostalgia SMA. Kayak yang Iqbal dan Nara bilang tadi.
Ya udah begitu aja. Nggak tau nanti akan ada update lagi apa nggak di lapak ini. Jadi aku mohon maaf dan berterima kasih banyak untuk teman-teman yg sudah baca work ini yaaa.
InsyaAllah ketemu lagi di work yang lain.
See you.
On the way, 10032021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top