Extra Part 2.3.
Ku ingin engkau percaya
Bahwa aku bahagia
Melihatmu dengannya
(Jikustik-Bahagia Melihatmu Dengannya)
***
Masih setia dengan 3K+ nih :D
Alhamdulillah, aku yakin teman-teman yg baca nggak bosen. Paling agak sedikit puyeng aja ye kaaann. Wkwk...
Mohon maaf kalau ada beberapa kata yg (mungkin) agak kasar. Obrolannya Andro sm Wahyudi. Mohon dimaklumi ya, anak muda kalau ngobrol memang suka asal. Hehe...
Kuy, langsung cuss baca.
***
Andro buru-buru mengalihkan pandangan dari gadis berjilbab lebar warna mocca. Hatinya merutuki kegugupan yang datang begitu saja. Memalukan, begitu batinnya.
"Ya udah, kita sholat isya dulu aja. Ayo, Ndro, kamu imamin kita bertiga," kata Mamanya, lalu memanggil Rea untuk bersiap salat berjamaah.
"Eh, t-tapi, Ma...."
"Iya. Bacaan dan hafalan jelas bagus Ustadzah Salma. Tapi kan kamu yang laki-laki, masa iya Ustadzah yang jadi imam."
"Y-ya bukan gitu, Ma. Andro sholat sendiri aja ya." Kalimat terakhir ia bisikkan ke telinga sang mama.
"Nggak bisa. Kalau ada kesempatan untuk meraih keutamaan sholat berjamaah, ya jangan dilewatkan. Bacaan kamu udah cukup bagus kok, Nak. Cuma hafalan suratmu aja yang masih kurang banyak. Ayolah, mama tunggu di mushola ya."
Andro tak bisa berkelit lagi. Ia terpaksa menuruti. Dengan menahan malu, ia menjadi imam. Malu pada Salma. Malu akan kemampuannya. Malu atas ilmu agamanya yang masih dangkal. Dan terutama, malu pada penciptanya.
Selesai salat Andro segera pamit ke kamarnya. Tak berani memandang pada Salma gara-gara cuma berani memakai Al Falaq dan Qulhu.
"Huh, lagian, ngapain juga pakai malu sama dia. Kenal juga nggak." Lagi, ia merutuki diri.
Belum juga usai rasa kesal pada dirinya sendiri, terdengar ketukan pada pintu kamar. Mamanya masuk dan mendekatinya.
"Ayo, Ndro. Rea lagi ngaji tuh. Habis ini giliran kamu."
"Ma, Andro nggak ikut ngaji deh, Ma."
"Lho, kenapa?"
"Nggak bagus, Ma. Kalau cowok ya gurunya sebaiknya ustadz. Kalau cewek ya ustadzah. Besok Andro mau cari-cari deh tempat ngaji yang bagus dan khusus cowok."
"Ya udah, deh. Atau ntar tanya ke Dimas aja."
"Dimas siapa?"
"Dimasnya Pakde ." Mamanya menjelaskan.
"Oh, Mas Dimas yang di Malang ya? Pakde yang sepupunya Mama kan?"
"Iya. Dia kan sekarang ikut kerja di kantor papa. Baru lulus kuliah. Anak sipil. Anaknya rajin, Ndro. Pinter, baik, alim. Besok tanya aja ke dia. Sekarang lagi ke Malang sama papa, lagi ada proyek di sana.
"Ssstt, papamu lagi pedekate sama Dimas. Udah pengin mantu."
"Ehk, maksudnya mau dijodohin sama Mbak Rea, gitu?"
"Iyalah, masa sama kamu? Naudzubillah deh." Mamanya tergelak, Andro jadi kesal.
"Hari gini udah nggak musim perjodohan macam gitu kali, Ma. Cukup Siti Nurbaya yang mengalami."
"Lha mbok kiro Dewa 19 ta piye?" Didorongnya pelan kepala anaknya. Andro menyambutnya dengan tawa.
"Ya udah, Ma. Nggak apa-apa ya Andro nggak ikut ngaji bareng Mama. Insya Allah besok Andro cari sendiri tempat ngaji yang pas buat Andro."
"Oke. Mama percaya kamu, Sayang."
Sejak malam itu Andro selalu menghindar setiap kali Salma datang untuk mengajar. Ia tak kuat menatap mata bening gadis itu. Salah satu niatnya pulang ke Surabaya adalah untuk melupakan Luli. Ia takut niatnya gagal gara-gara mata bening yang serupa dengan milik seseorang yang pernah --dan masih-- ia sayangi.
***
Tepat sepekan Andro di rumah. Siang itu Surabaya sedang teramat terik. AC di kamarnya menyala maksimal. Ia sedang rebahan sambil sesekali berkomat-kamit menambah hafalan. Sepekan ini ia mulai berjuang menyelesaikan juz 30-nya. Entah kenapa, surat Al Muthaffifin menjadi satu yang sulit untuk ia selesaikan.
Gawainya berbunyi, sebuah pesan instan masuk di grup angkatannya. Nama pengirimnya terbaca. Asya.Dengan tergesa Andro membuka dan membaca pesan tersebut, isinya undangan resepsi pernikahan. Dicermatinya keterangan hari, tanggal, dan tempat acara dihelat. Ia menggulir hingga akhir, dan menemukan nama Zulfa Nurulita pada bagian mempelai wanita. Ia sudah menduga, tapi tetap saja ada yang nyesek di dada.
[Ndro, gak semua undangan yg datang wajib mbok penuhi lho. Sudahlah, kamu jg berhak bahagia. Semangat, Cuk!]
Pesan dari Wahyudi menyusul. Kali ini pada chat pribadi. Seperti tahu apa yang ada di benak sahabatnya, yang beberapa bulan ini menyimpan sendiri rasa patah hati.
[Lambemu, Yud!]
[Lha arep teko ora?]
[Bismillah. Teko!]
[Wow, kesatria]
[Sopan jg, Yud]
[Patriot yg sopan dan kesatria no?]
[Yessss]
[Cah edan!]
Andro terkikik sendiri. Wahyudi memang agak koplak. Hanya bertukar pesan dengannya saja bisa bikin ngakak.
Yang dilakukan berikutnya adalah memikirkan alasan yang akan dia ajukan pada mamanya untuk ke Semarang. Kalau tahu dia akan datang ke acara pernikahan Luli dan Iqbal, sudah pasti izin tak bakalan ia kantongi.
Sisa hari itu ia lewatkan dengan sedikit kegalauan dan lebih banyak diam. Ia juga menolak ajakan mama dan kakaknya untuk menemani keduanya belanja mingguan.
Andro sendirian, ia memilih bersantai di teras samping yang berbatasan langsung dengan taman berisi puluhan anggrek kesayangan mamanya. Juga beberapa sangkar burung kicau yang juga kesayangan mamanya. Selonjoran di atas beanbag. Menikmati angin malam bersama secangkir espresso macchiato. Tentu saja gawainya tak ketinggalan.
"Ada apa, Ndro? Galau, gitu?" Papanya tiba-tiba datang dan melempar pertanyaan yang to the point.
"Dih, Papa. Kirain jelangkung. Datang tak diundang, pulang nunggu diusir."
Papanya terkekeh, lalu menarik satu lagi beanbag dan duduk berselonjor di samping anak bungsunya.
"Galau itu jarang dialami sama laki-laki. Makanya, sekalinya galau kentara banget. So, apa yang bikin anak papa galau, heh?"
Andro hendak berbohong, tapi urung begitu melihat ke dalam netra pria yang selalu melimpahinya dengan kasih sayang, meski ada pula luka yang digoreskan.
"Andro mau ke Semarang, Pa. Sebentar aja. Dua atau tiga hari."
Tatapan papanya yang lembut membuatnya tak berkutik. Terpaksa jujur. Berbohong juga percuma kalau mata sudah ikut bicara.
"Ada apa, kok mendadak? Katanya mau full liburan di sini. Zaman sekarang urusan semester baru bukannya bisa online, ya?"
"Emm, ada undangan resepsian temen, Pa."
"Temen yang kamu sayang itu?"
Andro menghela napas. Mendadak ada pedih yang menusuk. Ia mengangguk. Lesu.
"Kalau kamu nggak datang nggak akan mempengaruhi nilaimu, kan?" Andro menggeleng.
"Ya sudah, nggak usah datang kalau itu akan membuatmu makin patah hati."
"Udah patah juga kali, Pa. Andro udah beberapa kali nge-gep mereka yang lebih parah daripada cuma duduk berdua di pelaminan."
"Nggak usah diceritain kalau itu menyakitkan buat kamu, Ndro. Tapi kalau itu bikin kamu lega, ceritakanlah. Papa dengerin."
"Nggak, Pa. Nyesek. Tapi Andro tetep bersyukur, Pa. Allah nggak pernah kasih sesuatu yang buruk tanpa memberi kebaikan yang lebih setelahnya."
"Alhamdulillah. Allah memang Maha Baik, Ndro. Selalu ada hikmah sebagai hadiah atas ujian yang kita lalui dengan sabar. By the way, boleh Papa tahu, kebaikan apa yang Allah hadiahkan buat kamu setelah patah hatimu kali ini? Biar papa bisa traktir kamu. Syukuran, gitu." Ditinjunya lengan si anak bungsu.
"Mau nraktir apa nih? Mobil?" canda Andro.
"Club aja gimana? Sebagai penyambutan comeback-nya kamu ke lapangan."
*Club: stik atau tongkat pemukul golf
"Dih, hobi banget sih beli club." Papanya terkekeh.
"Ya udah deh, traktir sih gampang lah. Jadi, apa yang Allah hadiahkan buat kamu, Boy?"
"Hadiah yang..., pokoknya tuh best gift i ever had. Papa kembali ke tengah-tengah kita lagi. Papa yang dulu, yang cuma punya mama dan kami."
Menohok. Tapi papanya sama sekali tak merasa tersinggung, sebab realitanya memang begitu. Pria yang masih gagah di usia 52 tahun itu mengganti posisi duduk menghadap anak laki-lakinya.
"Maafkan papa, Nak. Dan terima kasih. Papa percaya, di balik kekecewaanmu yang luar biasa pada papa dan mama, ada doa-doa yang selalu kamu panjatkan untuk kami berdua. Papa sayang kamu. Papa sayang Rea. Kalian yang paling berarti bagi hidup kami."
"Iya, Pa. Dan itu udah segalanya buat Andro. Patah hati yang sekarang ini, belum ada apa-apanya dari patah hati waktu tahu mama dikhianati."
Keduanya lantas saling diam. Hanya desau angin yang meramaikan. Bahkan burung-burung pun seolah tertidur lelap.
"Jadi..., Papa bisa bantu Andro kan, Pa?" ujar Andro tiba-tiba.
"Lho, bantu apa nih maksudnya?" Papanya bingung, sebab sebelumnya tak ada topik tentang bantuan yang diminta si bungsu.
"Bantu minta izin ke mama kalau Andro mau ke Semarang. Dua hariii aja, Pa. Minggu pagi berangkat, Senin pagi balik ke sini. Terserah Papa mau bilang apa ke mama, pokoknya Andro serahkan semua ke Papa. Deal. No debate."
"Heh, memangnya posisi kepala keluarga sudah pindah ke kamu? Enak aja ngatur-ngatur papa."
"Ya udah, kalau Papa nggak deal, Andro tetep pergi dan balik ke sininya tahun depan lagi."
Papanya tertawa, "Tapi janji, jangan pingsan atau nangis di sana."
"Dih, penghinaan banget." Andro ikut tertawa.
"Janji ya, ini yang terakhir. Setelahnya harus move on. Kan ada Salma."
"Ehk. K-kok Salma sih, Pa? Papa nggak jelas." Andro membuang muka. Kesal.
Kali ini papanya terbahak. Tak menjawab, malah bangkit, dan mengacak rambut Andro. Kemudian pergi meninggalkan anaknya begitu saja.
***
Hari yang ditunggu Andro tiba. Ia ingin menguji nyali sekali lagi. Baginya, melihat Luli dan dosen idolanya bersanding jauh lebih menakutkan daripada bertemu demit dengan penampakan paling seram sekalipun. Memang nekat. Tapi ia hanya ingin memastikan bahwa ia kuat, sebelum benar-benar menghapus hingga bersih nama Zulfa Nurulita dari hatinya.
Datang berdua dengan Wahyudi, yang tak henti meracau tentang betapa gembiranya ia bisa menumpang mobil Andro. Mobil yang selama dua tahun jadi mahasiswa tak pernah sekalipun ia lihat di lingkungan kampusnya.
"Biasa ae, Yud. Raksah kedonyan."
(Biasa saja, Yud. Nggak usah 'dunia banget')
"Yo awakmu sing nduwe kok, yo biasa ae."
(Iya, orang kamu yang punya kok, jadi ya biasa aja.)
"Kon ojok ngetokne lek kon wong ndeso ta."
(Kamu jangan menampakkan kalau kamu itu orang kampung lah.)
"Wis menengo, Cuk! Mending awakmu noto ati ae."
(Udah diem aja, Cuk. Mending kamu menata hati aja.)
Andro tersenyum kecut. Tapi yang Yudi bilang memang benar. Maka sisa perjalanan ia isi dengan diam, sampai mobil memasuki area parkir kafe yang menjadi tempat acara diadakan.
Rupanya venue sudah ramai. Keluarga besar teknik sipil berlalu lalang di sana. Dari mahasiswa yang baru menuntaskan semester duanya, sampai dosen senior yang cukup dekat dengan sang empunya acara.
Andro berbincang akrab dengan banyak orang. Ia memang karib dengan hampir semua warga sipil. Adik tingkat, kakak tingkat, dosen, karyawan, bahkan OB, dan tukang potong rumput sekalipun. Sejatinya perbincangannya kali itu cuma untuk mengalihkan hatinya yang tak menentu.
Perasaannya makin ambyar, manakala mendengar suara Luli diiringi petikan gitar dari Zulfikar, dosen departemen sebelah sekaligus kakak kandungnya. Cuma satu lagu, tapi mata bening Luli yang berbinar-binar dan berkali menatap mesra ke arah Iqbal Sya'bani. Saat lagu hampir usai, dosennya menyusul ke atas panggung kecil itu. Memeluk dan menciumi kepala Luli. Semua terjadi di depan matanya sendiri. Bagaimana ia tak makin patah hati?
Tapi, sekali lagi, ia memang sengaja. Ia ingin sekalian saja merasakan nyeri yang teramat menyakiti. Berharap itu bisa membuatnya menjadi sadar dan mencari obat penawar. Dengan move on tentu saja.
Tak jeda lama dari Luli menyelesaikan performnya, Andro dengan gagah berani naik ke atas panggung.
"Saya tak ingin melewatkan malam ini begitu saja. Saya juga ingin menyampaikan selamat kepada Bapak Iqbal Sya'bani, dosen idola saya, role model saya. Yang saya kagumi bukan sekadar karena kepribadian dan prestasinya, tapi juga kebanggaan, karena antara beliau dan saya ternyata memiliki banyak kesamaan."
Semua terkesan biasa saja di sana, sebab tak banyak yang tahu tentang perasaan Andro pada sang pengantin perempuan. Hanya Nara dan Yudi yang sedikit tegang. Juga Luli.
Dari kejauhan, Andro melihat dosennya menghentikan sejenak aktivitas, dan mendengarkan dengan saksama pada suaranya. Lalu tersenyum, meski terlihat betul ia melakukannya dengan terpaksa.
Andro melanjutkan kalimatnya, "Selamat menempuh hidup baru, Pak Iqbal. Selamat berbahagia. Sungguh, saya turut berbahagia untuk kebahagiaan Pak Iqbal dengan...." Andro menghentikan kalimatnya. Satu detik, dua detik, tiga detik.
"Zulfa. Zulfa Nurulita."
Andro mengakhiri ucapan selamatnya. Disusul sebuah lagu yang terlantun, tapi bukan lagu bahagia.
Ia tak peduli, andai semua yang ada di sana mengetahui tentang perasaannya. Ia juga tak terlalu ambil pusing ketika melihat Iqbal Sya'bani menarik Luli menjauh entah ke mana.
Sesaat setelah menyelesaikan lagunya, sang pemilik acara menghampirinya. Siapa lagi kalau bukan sang dosen idola.
"Angkasa, istri saya ingin bicara sama kamu. Saya izinkan, tapi tetap di bawah pengawasan. Kalau bukan karena dia memohon, saya juga nggak ikhlas kalian bicara cuma berdua. Please, jangan lama-lama. Lima menit dalam kecemburuan rasanya bisa bikin saya hilang akal."
Lebay! Begitu batin Andro. Tapi ia hanya mengiyakan dan mengikuti ke mana Iqbal berjalan.
Luli, yang sudah menunggu di ruang kerja Iqbal di kafe, memanggil teman seangkatannya dengan ramah dan mempersilakan untuk duduk di sebelahnya. Dalam jarak aman tentu saja. Pintu dibiarkan terbuka, dari jarak entah berapa meter, Iqbal mengawasi keduanya. Resah dan gelisah macam Obbie Mesakh.
"Ndro, maafin aku ya," kata Luli memulai pembicaraan. Masih dengan nada suara yang lugu dan kekanakan. Andro menahan kecamuk di dalam dada.
"Nggak ada yang perlu dimaafkan, Zul. Hanya saja, kalau ada yang boleh kusesali, aku nyesel pernah ngeledekin kamu dengan Pak Iqbal. But it's okey, kalau Allah sudah menjodohkan kalian, aku bisa apa." Ada tawa bercampur getir.
"Maafin aku ya, Ndro. Aku beneran nggak ngerti kalau kamu ada rasa ke aku. Justru baru tahu waktu aku udah nerima lamaran dari Kak Iiq. Dia sering bilang kalau dia cemburu setiap melihat aku dekat sama kamu. Dia yakin banget kalau kamu suka sama aku.
"Maafin aku ya, Ndro. Kamu tahu sendiri kan, aku memang perempuan bodoh. Nggak peka. Nggak---"
"Ssstt, kamu nggak kayak gitu, Zulfa Nurulita. Kamu perempuan hebat, baik, dan punya prinsip. Kalaupun kamu tahu perasaanku sejak dulu, aku yakin kamu tetap akan memegang teguh prinsipmu untuk menjaga diri dari hubungan yang tidak halal. Nggak mau pacaran. Aku ngerti, Zul. Aku always respek sama kamu. Aku tetap hormat sama kamu. Apalagi kamu sekarang statusnya udah naik jadi ibu dosen."
Mendengar kalimat demi kalimat yang Andro ucapkan, Luli tak kuasa menahan air mata.
"Maafin aku ya, Ndro. Aku cuma bisa berdoa, semoga kelak kamu berjodoh dengan seseorang yang jauh lebih baik dari aku. Maafin aku, Ndro."
"Aamiin. Nggak apa-apa, Zulfa. Terima kasih doanya."
"Emm, Ndro. Emm, itu, emm kalau ada sesuatu yang mau kamu sampaikan ke aku, katakan aja, Ndro. Sekarang, atau nggak sama sekali. Sebab setelah ini, aku mungkin nggak bisa lagi dekat sama kamu seperti kemarin-kemarin. Kak Iiq cemburunya luar biasa. Dan dia kalau marah karena soal itu suka ngeri. Maafin aku lagi ya Ndro." Andro tersenyum.
"Nggak apa-apa, Zulfa. Nggak usah minta maaf terus. Nggak ada yang salah. Memang keadaannya harus begini. Kamu dengar sendiri kan laguku tadi. Aku bahagia kok, Zul. Aku bahagia melihatmu dengannya. Kamu memang pantas dapat yang sebaik Pak Iqbal."
"Makasih ya, Ndro. Kamu memang teman terbaik yang pernah aku punya. Semoga persahabatan kita tetap terukir di hati ya, Ndro. Walaupun kita nggak bisa lagi sedekat dulu."
"Iya, Zulfa. Apapun itu. Aku lega banget, karena kalau urusan tugas dan mata kuliah, Pak Iqbal jelas jauh lebih membantu daripada aku. Setidaknya kamu aman soal itu. Itu juga kan yang bikin kita dekat dulu."
"Ngejek yaaa." Luli merajuk, mereka berdua tertawa kecil.
Dari luar terdengar deham. Rupanya sudah lima menit berlalu. Ada yang terbakar cemburu.
"Eh, Zul."
"Ya?"
"Tawaran untuk menyampaikan sesuatu tadi masih berlaku?"
Luli terkikik, "Iya, buruan. Sebelum bapak satpam yang di luar nyamperin kita."
Andro berdeham, kemudian menarik napas panjang, dan melepasnya cepat.
"Aku..., ak-aku s-sayang kamu. Aku sayang kamu, Zulfa. Pernah sayang sama kamu. Meski sekarang masih ada, tapi aku janji, insya Allah akan ada waktunya rasa sayang itu menjadi hanya kenangan. Maafkan aku ya, Zul."
Andro lega. Teramat lagi. Setidaknya rasa yang selama ini ia simpan sendiri telah tersampaikan. Meski terlambat, setidaknya bebannya tak lagi terlalu berat, dan langkahnya untuk menjauh --mungkin-- bisa lebih cepat.
Luli mendongak, menatap pada langit-langit ruangan. Disekanya kedua ujung mata dengan punggung tangannya.
"Maafin aku ya, Ndro. Terima kasih sudah menyayangiku. Sebuah kehormatan mendapatkan perasaan kayak gitu dari orang sebaik kamu. Kita tutup buku ya, Ndro. Deal?"
"Okey. Deal."
Seulas senyum Luli berikan. Senyum termanis yang pernah Andro dapatkan. Keduanya lega. Keduanya bahagia. Siap menjalani masa depan masing-masing dengan langkah yang lebih ringan. Tak ada beban. Tak ada himpitan. Hanya ada kenangan.
***
Minggu berganti Senin. Syuruq belum juga tiba, Andro sudah keluar dari kostnya. Memacu mobilnya menuju belahan timur pulau Jawa.
"Ndro, jujur, aku salut sama kamu. Aku nggak ngerti gimana ngomongnya. Aku nggak ngerti semalam kamu ngobrol apa sama Zulfa. Aku juga nggak pengen ngerti. Pokoknya kamu itu orang baik. Baik banget. Aku bersyukur jadi sahabatmu, Ndro. Bisa belajar banyak dari kamu. So proud of you."
Wahyudi yang biasanya tak pernah serius kali ini menunjukkan bahwa ia tak sedikitpun sedang bercanda.
"Hadoh, lek Wahyudi wis ngomong serius ngene, tanda-tanda akhir zaman ta iki,(Waduh, kalau Wahyudi sudah bicara serius gini, tanda-tanda akhir zaman ini sih)" sahut Andro, sama sekali tak ada keseriusan. Ia justru geli dengan kata-kata Yudi baru saja.
"Asem. Gelo aku ngalem-ngalem awakmu."
(Sialan. Nyesel aku muji-muji kamu.)
Keduanya tertawa. Perjalanan menuju Surabaya mereka lalui dengan penuh canda tawa dan sukaria. Sesekali terdengar umpatan dari Wahyudi, setiap kali Andro memacu mobil dengan kecepatan yang --menurut Yudi-- terlalu tinggi.
Pukul sembilan lebih sedikit mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah Andro. Pak Surip bergegas membukakan pagar untuk tuan mudanya. Yudi yang sudah terkagum-kagum sejak memasuki gerbang perumahan makin menjadi begitu melihat deretan mobil di garasi.
"Weh, anak sultan jebule."
(Wah, anak sultan ternyata.)
"Awas yo, mbahas bondo meneh tak undangke satpam komplek. (Awas ya, bahas harta lagi kupanggilkan satpam komplek)" Andro memang paling tak suka membahas harta benda.
Lalu dengan usil Andro mendorong kepala Wahyudi dari belakang. Yang bersangkutan hanya mengomel, tak berani membalas. Mungkin khawatir akan benar-benar diusir.
"Assalamualaikum," teriak Andro. Sesaat berikutnya mamanya keluar, masih mengenakan mukena.
"Waalaikumussalam. Alhamdulillah, anak lanang pulang. Gimana, nggak nangis atau pingsan kan di sana?" goda mamanya. Wahyudi nyengir mendengarnya.
"Dih, Mama nih sukanya ngejek. Nggak lah, Ma. Andro gitu loh." Sombongnya.
"Oh iya, ini Wahyudi, Ma. Teman Andro yang koplak dan sok deket banget kalau sama Andro. Andro aja kuatir dia diem-diem naksir Andro."
"Asem," desis Yudi menahan tawa.
Mama Andro menyambut Wahyudi dengan gembira. Menyuruhnya untuk santai dan menganggap ini adalah rumahnya. Beliau pula mengatakan bahwa sahabat Andro berarti juga anaknya. Wahyudi senang, ia merasa diterima di keluarga Andro yang bagaikan langit dengan bumi kalau dibandingkan dengan keluarganya yang pas-pasan.
"Ya udah, kamu masuk dulu sana. Udah ditungguin Salma," kata mamanya lagi.
"Ehk, d-ditungguin Salma? Ng-ngapain juga Salma nungguin Andro, Ma?"
"Alhamdulillah. Tanda-tanda udah move on kayaknya ya, Ndro." Mamanya tergelak. Terlihat sangat senang.
"Apa sih, Ma? Nggak jelas."
"Kamu lho, ge-er banget. Maksud mama tadi tuh, kamu masuk dulu sana, istirahat. Temennya diajak. Mama yang udah ditunggu Salma. Hari ini dia nggak bisa ngajar malam, jadi digeser pagi."
Sungguh, Andro merasa malu sudah kege-eran. Ia makin kesal waktu Yudi memandangnya dengan senyum tertahan seperti siap menghujani dengan beribu ledekan.
"Ayo, Yud."
Yudi mengekori Andro masuk ke kamarnya.
"Biasa ya, Yud, kamu tidur di sofa apa di matras. Males lek turu sak kasur karo kon. Koyok jeruk minum jeruk ae. Risi. (Malas kalau tidur sekasur sama kamu. Kayak jeruk minum jeruk. Jijik)." Dilemparnya bantal, guling, dan selimut pada Wahyudi.
"Nek karo Salma, piye?"
(Kalau sama Salma, gimana?)
"Heh, lambemu, Cuk! Nek ngomong dijogo, dekne ki ustadzah. Ojok ngawur. (Heh, mulutmu, Cuk! Kalau bicara dijaga, dia itu ustadzah. Jangan ngawur."
Andro ngegas. Ia tak terima temannya bicara sembarangan tentang Salma. Baginya, seorang guru itu punya kedudukan yang mulia.
Kunci mobil melayang ke arah Wahyudi yang tak sempat menghindar. Ia cuma bisa meringis saat lengannya terkena lemparan cukup keras.
***
Alhamdulillah, selesai sudah extra part-nya si Andro. Legaaa.
Lagunya sedih banget gak sih? Wkwk..
Atau ada yg mau protes, "Kenapa sih tokohnya anak zaman now tapi lagunya jadul melulu?"
Silakan... Tapi nggak akan aku jawab. Karena jawabannya udah jelas. Faktor U alias Udah nggak ngerti lagu-lagu terkini. Bukan umur dong yaaa, aku kan masih 23 tahun.
*itu umur waktu lagunya Jikustik yg ini rilis maksudnyaaa, hahaha..
Bisa jadi ini part terakhir di work ini. Kalau ada cerita lagi ttg Iqbal-Luli ,Fikar-Nara, atau yg lain yg ada di MM dan MI, nanti bikin cerita baru aja yaaa. Hehe.
InsyaAllah aku akan bikin spin off-nya Mendadak Ipar. Nyeritain ttg jatuh bangunnya si Andro utk move on dari Luli. Rencananya begitu, entah kalau di perjalanan jadi melenceng. Wkwk...
Btw, ini aku cuma baca edit sekali aja. Kalau ada salah bahasa, typo, dsb, mohon maaf yaaa.
Terima kasih banyak teman-teman semua... Sudah mengikuti sampai sejauh ini, mengapresiasi dg segala hal baik, mendukung dg support yg menyenangkan, mendoakan kebaikan untuk aku dan keluarga, pokoknya semuanya bikin aku happy.
Terima kasih... Terima kasih...
Terima kasih banyak.
Baiklah, udahan dulu yaaa.
Ekor biawak kejepit pintu
Terima kasih banyak
And i love you
*apadeh, maksa banget :D
Semarang, 27022020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top