Extra Part 2.2
Melupakan memang tak semudah mengunyah dan menelan makanan kesukaan, Nak, melainkan seperti mengunyah dan menelan obat. Pahit, sulit, tapi akan ada hikmah, yaitu kesembuhan.
***
Mbak Gigi dagang combro
Ketemu lagi, ini masih tentang Andro
Notes:
3,5K lebih dan banyak dialog. Mohon mahap dulu kalau kalian nanti pusing. Wkwk...
***
Dari Andro, Luli kenal Nara. Ia pula satu-satunya yang memanggil Nara dengan nama panggilannya di rumah. Begitu pula sebaliknya.
Dari Andro juga, setiap pembagian kelompok untuk kepentingan apapun, ia dan Andro hampir selalu satu kelompok. Atau minimal dengan Nara. Sebab hanya pada keduanya Luli tak sungkan meminta bantuan. Dan hanya mereka berdua pula yang tak pernah ada keberatan untuk membantu Luli.
Meski demikian, Luli tak hanya dekat dengan mereka bertiga, --satu lagi adalah Wahyudi, teman dekatnya Andro-- ia juga dekat dengan beberapa teman yang lain, dan berhubungan baik dengan semua teman seangkatan serta beberapa kakak tingkat. Sifat dan sikapnya memang menyenangkan. Kepolosan, keluguan, dan ketulusannya membuat ia mudah mendapatkan teman, sebab ia tak pernah punya kepentingan apapun dalam berhubungan dengan orang lain, sekalipun itu Andro atau Nara.
Sampai Nara menikah dengan Zulfikar, hubungan Andro dan Luli tetap sama seperti saat pertama berjumpa. Hanya teman baik saja.
"Zul, Asya udah nikah. Jangan-jangan sebentar lagi kamu, nih."
"Aku? Hahaha. Nikah sama siapa? Kayak ada yang mau sama aku aja, Ndro. Kuliah aja keteteran. Urusan rumah juga aku jarang ikut bantu-bantu. Apa kabar jadi ibu rumah tangga? Bisa-bisa suamiku stress ngadepin aku." Seperti biasa, Luli selalu menyambut guyonan seperti ini dengan jawaban asal dan penuh kepolosan.
"Kalau pacaran, tetap nggak pengin, Zul?"
"Eh, ya gimana ya, Ndro. Aku kan manusia biasa, anak muda pula. Kadang ya ada pengin-pengin gitu lihat teman-teman seneng-seneng sama pacarnya. Nonton bareng, ke toko buku bareng, hang out bareng. Apalagi kalau lihat Nara sama masku, bikin baper mereka berdua tuh.
"Tapi yaaa, kan memang nggak boleh, Ndro. Aku lebih takut dosa, Ndro. Apa sih, seneng-seneng begitu tapi nanggung dosa. Berdua-duaan, bersentuhan, dan semacamnya. Aku nggak berani, Ndro. Nanti kalau aku masuk neraka cuma gara-gara nggak kuat menahan godaan pacaran, kan rugi. Senengnya segitu-gitu aja, efeknya lama banget. Waktu kehidupan di dunia kan beda sama di akhirat, Ndro. Sehari di sini bisa jadi sama dengan seribu tahun di sana. Ih, ngeri."
"Itu juga sebabnya kenapa kamu nggak pernah mau pergi berdua sama aku?"
"Hemm."
"Sekalipun sebagai teman?"
"Ya apa bedanya sih, Ndro? Tetap aja bukan mahram, kan?"
"Kalau sama Pak Ojek?"
"Ya itu beda lagi, Ndro. Darurat. Kalau menurutku sih itu udah paling kepepet, kalau nggak terpaksa juga aku nggak. Setidaknya kita masih mengusahakan untuk menjauhi fitnah. Kan bapaknya pakai seragam. Yang lihat juga nggak mikir yang bukan-bukan.
"Kita hidup kan nggak bisa menghindari interaksi macam gini, Ndro. Yang bisa kita lakukan cuma meminimalisir hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat. Itu aja sih.
"Hehe, sorry ya kalau jadi sok tahu. Bukan berarti ilmu agamaku udah tinggi. Aku cuma mengulang nasihat yang pernah kudengar dan menurutku itu benar, gitu aja sih, Ndro."
"It's okey, Zul. Nggak perlu ngerasa nggak enakan. Aku bisa menerima kok. Dan menurutku juga itu benar."
Pletak.
"Ehk."
Andro tersentak. Sebutir permen melayang mengenai pipi dan membuyarkan lamunannya. Wahyudi si pelaku pelemparan. Ia masih menemani Andro di kost sahabatnya itu, setelah sore tadi terjadi insiden kecil paska menemani Yeni.
"Ngalamun wae to, Ndro. Udahlah, move on. Zulfa udah ada yang punya. Dan sorry to say, Pak Iqbal jelas lebih dari kamu. Paling nggak dalam hal kematangan dan kemapanan. Lagian, kamu kurang apa sih? Cewek yang lebih dari Zulfa banyak lho, dan aku yakin, kamu tinggal tunjuk aja juga mereka bersedia.
"Apa sih kurangnya kamu? Tajir, baik, sopan, pinter, ganteng juga." Sebuah bantal ganti melayang ke arah Wahyudi.
"Orak sah ngomong ngganteng-ngganteng, nggarai risi. Nek sik ngomong arek wedhok ta isih mending."
(Nggak usah bilang ganteng-ganteng, bikin risih. Kalau yang bilang anak cewek sih masih mending)
"Zulfa maksudmu?"
"Alah mbuh ah, Yud. Jare kudu move on, malah mbok bahas ae. Gak konsisten."
(Terserah deh, Yud. Katanya kudu move on, malah kamu bahas terus. Nggak konsisten.)
"PES wae lah PES."
(PES aja lah PES)
*PES: Pro Evolution Soccer, game sepakbola yg biasa dimainkan dengan play station, PC, xbox, dsb.
Yudi melempar joystick pada Andro. Keduanya tertawa, dan sejenak kemudian sudah larut dalam keasyikan bermain game favorit para mahasiswa. Andro sejenak lupa pada keresahannya.
"Yud, aku besok mau pulang ke Surabaya," ujar Andro tiba-tiba.
"Kok mendadak, Ndro?"
"Iya, aku kangen mamaku. Udah lama nggak ngobrol. Aku kok rasanya pengin curhat. Aku pengin move on, Yud. Kalau inget kata-kata Pak Iqbal tentang ngelupain Zulfa, aku suka ngerasa gimana gitu. Nyesek, Yud. Dikira aku nggak berusaha kali ya? Padahal sejak aku tahu ada sesuatu diantara mereka, aku udah mulai berusaha ngelupain Zulfa. Tapi ya gimana, nyatanya ngelupain nggak bisa setiba-tiba jatuh cinta kan, Yud?"
"Siap. Aku ngerti perasaanmu, Ndro. Sorry kalau kadang komentarku bikin makin nyesek. Walaupun aku yakin, kamu tahu kalau aku cuma becanda. Sabar ya, Ndro."
Yudi meninju pelan bahu teman baiknya. Yang selalu menyediakan fasilitas saat dia butuh untuk mengerjakan tugas. Yang selalu menraktir ketika tanggal sudah menua dan isi dompetnya mulai ketar ketir. Yang selalu menyediakan tempat berteduh saat kamar kostnya yang super sederhana bocor. Semuanya. Andro tak pernah membiarkan Yudi kesulitan, meski Yudi sendiri tak pernah terang-terangan meminta bantuan.
"Metu yok, Yud. Golek susu."
(Keluar yuk, Yud. Cari susu.)
"Eh, susu opo ki?"
(Eh, susu apa nih?)
"Halah, utekke lho, ngeres ae." Andro tergelak.
(Halah, otakmu lho, ngeres aja.)
*ngeres: berpikiran kotor
"Atau mau makan apa, nih? Ayolah kamu yang pilih, aku yang traktir. Besok kan aku pulang, belum tahu ke sini lagi kapan. Mungkin nunggu semester gasal mulai baru aku balik ke sini."
Mereka pergi dengan motor Yudi yang sederhana. Angkringan langganan menjadi tujuan. Andro biasa menikmati susu jahe atau susu madu di sana.
***
Argo Bromo Anggrek berhenti di stasiun Pasar Turi. Dari gerbong 3, Angkasa Andromeda menuruni tangga. Hanya ransel 25 liter yang ia bawa di punggungnya. Matanya menengok pada pergelangan kiri, 16.48. Ia keluar dari halaman stasiun sambil sesekali menatap layar gawai, mengorder ojek online untuk membawa ke rumahnya di area Pakuwon Indah.
Masih agak jauh dari maghrib, Andro sudah berdiri di depan pagar. Pak Surip, satpam merangkap tukang kebun keluarganya, membukakan dengan tergesa.
"Alhamdulillah, Mas Andro pulang. Bu Tami pasti senang anak-anaknya pada ngumpul. Sehat, Mas?" sambut Pak Surip ramah.
"Iya, Pak, sehat Alhamdulillah. Seperti yang Pak Surip lihat." Andro menyalami pria 50-an tahun itu.
"Mbak Rea masih di sini ta, Pak?"
"Iya. Mbak Rea sudah hampir seminggu di sini. Apa nggak ngabari Mas Andro?"
"Dulu cuma ngabarin kalau mau pulang, tapi nggak kasih tahu di sini sampai kapan. Sejak dia ninggalin Surabaya, kami jarang ngobrol sih, Pak. Ya udah, saya masuk dulu ya, Pak."
Pak Surip mempersilakan. Andro melihat sekilas ke garasi. Hanya ada Jimny Sierra abu-abu tua dan Audi A4 merah tua di sana. Mobilnya dan mobil mamanya. Berarti papa dan kakaknya sedang tidak ada di rumah.
"Semoga pada pulang malem, biar nggak ganggu curhatku ke mama," gumam Andro berdoa.
"Assalamualaikum, Ma. Andro pulang," teriaknya begitu melewati pintu yang terbuka.
"Waalaikumussalam." Suara mamanya terdengar.
"Ya Allah, Andro, kok pulang nggak bilang-bilang, Nak? Kan bisa dijemput."
"Apa sih, Ma. Kayak anak TK aja pakai dijemput. Andro udah besar, Ma, udah kuliah semester empat mau lima. Ya kali harus dijemput segala."
Ia mencium tangan dan kedua pipi mamanya, kemudian memeluk erat perempuan yang paling berarti bagi hidupnya.
"Mama, maafin Andro ya, Ma. Maafin Andro nggak pernah pulang. Maafin Andro karena pernah kecewa sama Mama. Maafin Andro karena pernah menjauh dari Mama."
Ditumpahkannya semua di pelukan mamanya, yang selama hampir dua tahun hanya ia temui dua kali ini.
"Ssstt, udah ah, Andro anak baik, anak hebat, anak kuat. Mama ngerti kok kenapa Andro nggak pernah pulang. Mama nggak marah, nggak sedih, nggak kecewa. Cuma kangen aja. Dan sekarang yang mama kangenin udah di pelukan mama. Udah cukup banget buat mama."
Pelukan merenggang. Sang mama menghapus kedua bening di pipi anak laki-lakinya.
"Mandi dulu, habis itu sholat maghrib sama mama. Terus kita ngobrol. Mama pengin dengar ceritanya anak mama setahun ini."
Andro menurut. Ia segera masuk ke kamarnya dan mandi. Setelahnya keluar lagi dengan baju koko dan sarung, tak lupa kopiah putih oleh-oleh eyangnya saat naik haji yang ketiga, dua tahun lalu.
Mamanya menunggu di musala. Letaknya masih sama, di sudut belakang rumah. Hanya sekarang berbentuk gazebo kayu, di atas kolam ikan yang berisi puluhan koi. Lampu taman yang remang ditambah gemericik air menciptakan suasana syahdu. Cocok untuk merenung. Mengingat segala dosa dan melangitkan segenap doa.
Andro menghampiri mamanya, mencium kembali tangan dan kening beliau, kemudian mengambil posisi sebagai imam. Hanya surat-surat pendek yang dia hafal, itupun tak banyak. Tapi kali ini rasa malu itu menyeruak. Malu, dengan banyaknya nikmat yang ia punya, tapi level ibadahnya masih saja biasa. Ia berusaha mati-matian menahan air mata, juga suara yang mulai terdengar getarnya.
Selesai mengucap salam, ia sesenggukan. Mamanya mendekat, meraih kepala anak bungsunya, dan meletakkan di pangkuan. Dibiarkannya Andro menyelesaikan tangis hingga ia merasa tenang.
"Ma, kalau kita masih sayang sama orang yang udah ngecewain kita, itu konyol nggak sih?" Andro membuka pembicaraan.
"Nah menurut kamu sendiri gimana?"
"Gitu ya, Ma. Kadang Allah kasih kita untuk ngalamin sesuatu yang dulu pernah kita benci dan kita cemooh setengah mati."
"Mama kecewa nggak sama papa?"
"Kecewa. Sangat kecewa."
"Andro juga, Ma. Andro lagi ngerasa kecewa banget. Ya sebenernya bukan salah dia juga sih, Andro sendiri yang terlalu berharap. Padahal Andro ngerti, dia nggak mau pacaran, dia juga nggak pernah sama sekali memberi harapan."
"Anak mama jatuh cinta ya?" Disentilnya hidung mancung Angkasa Andromeda.
"Bukan jatuh cinta, Ma. Andro udah sayang banget sama dia. Andro udah berencana begitu lulus Andro mau langsung kerja, punya penghasilan, bisa menafkahi keluarga. Jadi bisa langsung menikahi dia."
"Masya Allah. Anak mama udah dewasa, udah punya cita-cita untuk membahagiakan keluarga."
"Tapi, Ma...."
"Tapi?"
"Dia udah nikah, Ma. Sama dosen kami. Dosen idola. Yang Andro sendiri juga kagum sama beliau."
Mamanya tersenyum, "Jadi kamu patah hati karena seseorang yang jauh lebih baik dari kamu?"
"Andro bisa mengerti, Ma. Kalau Andro jadi Zulfa, mungkin Andro juga akan memilih yang sama."
"Oh, namanya Zulfa?" sela mamanya. Andro tersipu.
"Hehe, iya, Ma. Tapi yang bikin Andro kecewa tuh karena Andro nggak dapat kesempatan sampai Andro bisa bersaing secara lebih seimbang sama dosen Andro itu. Dan yang bikin nyesek, Andro nggak pernah bilang terus terang ke dia kalau Andro suka, kalau Andro sayang.
"Pernah sih, tapi cuma kode-kodean aja gitu, Ma. Dan nggak tersampaikan juga. Anaknya memang agak kurang peka. Lola. ---"
"Lola tuh apa?"
"Loadingnya lama, Ma." Mamanya terpingkal sesaat.
"Memang gitu, Ma. Anaknya tuh polos dan lugu, Ma. Nggak pernah punya kepentingan. Tulus banget. Andro dulu ngerasa kayak trauma sama cewek, males dan ilfeel kalau ada cewek deket-deketin. Ngerasanya, ih ni cewek genit banget godain orang. Jadi inget sama si tante tukang gonggong itu, Ma.
"Nah tapi Zulfa tuh beda, Ma. Dia bisa bikin Andro jatuh sayang dengan sifatnya yang apa adanya. Dan matanya, Ma. Matanya tuh bening, kalau natap matanya tuh kayak matanya bicara bahwa dia butuh seseorang yang selalu ada buat menenangkan. Lucu. Persis kayak matanya Chili."
"Chili kucingnya Rea maksudnya? Ya Allah, Ndro. Katanya sayang, tapi nyamainnya sama kucing." Tawa mamanya makin keras. Diacaknya rambut Andro penuh sayang.
"Andro susah move on, Ma. Mungkin karena masih sering ketemu. Gimana sih, Ma, biar cepet move on? Kayak Mama ke papa gitu."
"Mama ke papa juga nggak move on kali, Ndro. Ya gimana mau move on, mama kan memang nggak pernah ada niat pisah sama papa."
"Maksud Andro tuh, kok Mama bisa tetap nerima dan bertahan sama papa, bisa melupakan pengkhiatan yang papa lakukan? Padahal tiap hari kan Mama ketemu sama papa."
"Ya kalau melupakan jelas nggak bisa, Ndro. Kecuali mama kena amnesia. Tapi kalau memaafkan dan menerima, iya. Nggak cuma-cuma sih, Nak. Karena buat mama, semua bisa dibicarakan. Mama bikin perjanjian kok sama papa. Alhamdulillah, papa selalu memegang janjinya dengan baik. Papa ingin menebus kesalahannya. Karena papa sayang banget sama kalian, anak-anaknya.
"Kalau mama bertahan, itu karena satu hal. Mama tahu persis, kebahagiaan bagi mereka yang merusak rumah tangga orang adalah ketika rumah tangga itu benar-benar bubar. Kalau papamu menunjukkan bahwa dia lebih ngebelain sana, ya mama say good bye. Toh kami punya perjanjian yang itu jauh lebih menguntungkan buat mama dan kalian. Tapi karena papamu nggak seperti itu, jadi mama bertahan. Mama pengin lihat akhir ceritanya perempuan itu.
"Mama tahu kok perempuan seperti apa dia. Jadi ya tinggal tunggu waktu aja."
"Kalau Mama tahu dia perempuan macam begitu, kenapa Mama percaya dan mempekerjakan dia?"
"Itu salah satu kesalahan besar mama, Ndro. Mama nggak mempertimbangkan keimanan, adab, akhlak. Dia memang jago banget kalau urusan pekerjaan. Profesional. Dia cekatan, lincah, cepat paham, kalau sama dia mama nggak perlu ngulang instruksi dua kali, pokoknya kerjanya bagus. Dia juga seringkali punya inisiatif untuk menyelesaikan sesuatu."
"Termasuk inisiatif buat godain suami bosnya kan, Ma?" sahut Andro disambut tawa mamanya.
"Itulah. Tapi dia juga yang bikin mama sadar. Selama ini mama terlalu fokus dengan urusan dunia. Melihat seseorang hanya dari sisi duniawinya saja, seperti melihat pekerja, yang mama lihat cuma dia profesional aja. Keimanan, adab, akhlak, nggak mama perhatikan. Padahal itu yang jauh lebih penting.
"Dan ini nggak cuma di urusan pekerjaan, Ndro. Mama tahu persis, dengan kalian anak-anak mama, mama juga kurang banget dalam penanaman keimanan. Alhamdulillah, kalian tetap tumbuh dalam kebaikan. Ya wajarlah ketika kamu dengan beraninya misuh-misuhi tantemu itu---"
"Sorry, Ma. Dia bukan tantenya Andro. Andro nggak sudi ngakuin dia sebagai apapun. Dia lebih cocok disamain dengan anj*ng."
"It's okey, mama maklum kalau kamu masih benci sama dia. Kamu tetap hormat sama papamu aja, mama sudah seneng banget. Mama minta maaf kalau selama ini kurang banget dalam pendidikan agama dan penanaman keimanan buat kalian berdua. Sejak kejadian itu mama mulai banyak merenung, apa yang salah, apa yang kurang, dan segala macam.
"But everything was happened. Mama nggak bisa mengulang waktu, cuma bisa memperbaiki keadaan. Sejak kamu kuliah di Semarang, mama di rumah kesepian. Agak stress rasanya. Alhamdulillah budemu rajin ke sini, nggak bosen-bosen ngajakin mama ikut ngaji. Dia juga nyuruh mama tinggalin kehidupan sosialita apalah itu. Mama bersyukur banget, waktu itu mama agak nge-blank, nggak bisa mikir, jadi akhirnya ya ikut aja apa yang bude bilang.
"Sekarang mama sadar, akhirat segalanya, Ndro. Kesabaran kita menahan ujian dunia, jika semuanya lillahita'ala, insya Allah akan dibalas kenikmatan di akhirat. Allah bahkan sudah kasih balasannya di dunia, Ndro. Papamu, udah ninggalin perempuan itu. Allah bongkar semua kebusukannya."
"Perempuan tante anj*ng itu maksudnya?"
"Hush!" Mamanya menepuk mulut Andro pelan, Andro terkekeh.
"Apa papamu nggak cerita? Waktu ke Semarang kapan itu, kalian berdua ngobrolin apa aja memangnya?"
"Nggak ngobrolin apa-apa sih, Ma. Papa memang kayak orang lagi galau gitu, tapi ya nggak ngobrol banyak. Malah ngajakinnya golf."
"Iya, mama paham. Papamu gengsinya tinggi. Dia mau cerita sendiri ke kamu nggak sampai. Nggak siap dengar cemoohan dari kamu tentang kesalahan besarnya itu."
"Gimana ceritanya, Ma?"
"Dia, perempuan itu, memasukkan laki-laki lain ke rumahnya. Rumah dari papamu. Waktu itu mama lagi nginap di rumah eyang. Karena nggak ada mama, papamu yang weekday biasa di sini, minta izin ke rumah sana. Qodarullah, lagi ada laki-laki lain di sana. Papamu marah besar, dia bahkan minta anaknya dites DNA segala. Dan ternyata memang bukan anak papa. Masya Allah."
"Jadi sekarang...."
"Papamu udah pisah sama dia. Rumah dan segala fasilitas ditarik semua, karena memang nggak satupun yang diatasnamakan dia, sesuai perjanjian yang kami buat setelah kejadian itu. Papa bahkan sadar dan merasa harus bertaubat. Lebih baik terlambat daripada nggak sama sekali kan, Ndro?
"Dan sekarang papamu ikut sadar, kalau yang paling penting bukan lagi urusan dunia. Kakakmu juga sekarang udah ngaji. Dia udah pakai jilbab malah."
"Mbak Rea? Yang hobinya pakai baju kurang bahan sampai Andro sendiri risih lihatnya? Sekarang pakai jilbab? Alhamdulillah ya Allah. Andro nggak nyangka, Ma. Dan ternyata Andro nggak ngerti apa-apa. Seenggak peduli itu Andro sama keluarga kita. Maafin Andro ya, Ma." Lagi, bening mnggenangi kedua mata Andro.
"Nggak, Ndro. Kami tahu, kalau ada yang paling tersakiti, kamulah orangnya. Kamu masih lima belas tahun, melihat sendiri sebuah aib keluarga dibuka di depan matamu. Kamu marah-marah, bukannya dibela, malah papamu membela perempuan itu. Mama tahu, nggak ada yang lebih menyakitkan dari apa yang kamu rasakan, Ndro.
"Tapi kamu bukannya jadi nakal, pelarianmu justru positif. Obsesimu untuk menyelesaikan SMA lebih cepat, menjadi nomor satu di lapangan, itu menunjukkan kalau kamu anak yang kuat. Meskipun niatmu waktu itu kurang tepat. Maka mama yakin, kamu udah lebih segalanya dari kami."
"Lebih segalanya apanya, Ma?"
"Hati, pemikiran, kebaikan,---"
"Tapi keimanan belum, Ma."
"Nggak ada yang terlambat, Ndro. Hatimu yang baik itu modal yang luar biasa. Kamu tinggal menambah dengan ilmu yang mendukung untuk itu semua. Kamu bisa konsultasi dengan ustadz kalau bingung mau mulai dari mana. Mama juga sekarang udah belajar baca Al Qur'an. Nanti bakda isya gurunya datang, kamu kalau mau ikut boleh deh."
"Iya deh, lihat nanti, Ma. Emm terus tentang perasaan Andro tadi gimana, Ma? Apa Andro harus menjauhi dia, apa gimana? Andro pengin move on, Ma. Nyesek banget rasanya. Apalagi suaminya kalau sama Andro cemburunya luar biasa. Padahal dia jauh lebih segalanya dari Andro."
Ah, Andro hanya tak tahu saja, bahwa dialah satu-satunya orang yang kepadanya Iqbal Sya'bani bisa merasa insecure jika itu berhubungan dengan Luli.
"Duh Gusti, anak mama kok bego gini sih. Yang namanya cemburu itu nggak memandang dia lebih baik atau lebih buruk. Apalagi orang udah nikah, memang dia yang lebih punya hak. Jadi sudah seharusnya kamu ngejauhin dia, Ndro. Nggak perlu nanya sama mama segala lah."
"Ya tapi, Ma...."
"No excuse, Nak. Kamu udah tahu kan gimana sakitnya waktu seseorang merusak kebahagiaan keluarga kita. Kalau kamu masih di dekatnya, berbaik-baik sama dia, dan semacamnya, itu sama saja kamu membuka kemungkinan untuk hal yang sama dengan yang dialami mama dan papa.
"Kalau mati hanya untuk orang yang sudah banyak usianya, maka masih panjang kesempatanmu di dunia. Tapi kan nggak seperti itu, Ndro. Move on lah. Isi masa mudamu dengan hal-hal yang lebih bermanfaat. Seperti patah hatimu waktu papa berbuat kesalahan dulu, kamu menyalurkannya dengan hal yang positif. Sekarang juga mestinya begitu. Cuma karena udah tahu, udah lebih pengalaman, maka niatmu bukan lagi seperti yang dulu.
"Banyak hal yang bisa kamu lakukan, Nak. Kembali ke lapangan, misalnya. Jadi asisten dosen. Mengisi waktu di luar kuliahmu dengan banyak-banyak belajar ilmu agama. Apapun, yang bermanfaat untuk masa depanmu. Mama yakin, kamu lebih dari mampu untuk itu."
"Tapi, Ma. Masih ada yang bikin nyesek, yang bikin Andro belum lega."
"Apa itu?" tanya mamanya sabar.
"Ya itu tadi, Ma. Andro belum pernah sekalipun bilang terus terang sama dia kalau Andro suka. Kalau Andro sayang sama dia?"
"Terus? Kamu mau nekat bilang soal itu ke dia? Kalau udah gitu, terus kamu dapat apa? Kalau ternyata dia juga sebenarnya sayang sama kamu, apa lantas dia harus ninggalin suaminya? Jangan konyol, Sayang. Ceritamu dan dia sudah selesai."
Sang mama mengecup lembut kening Andro. Lalu mengusap rambut cepak anak laki-laki kesayangannya.
"Melupakan memang tak semudah mengunyah dan menelan makanan kesukaan, Nak, melainkan seperti mengunyah dan menelan obat. Pahit, sulit, tapi akan ada hikmah, yaitu kesembuhan. Tentunya dengan seizin Allah. Dan mama yakin, kamu bisa. Sangat bisa."
"Iya, Ma. Andro janji akan ngelupain dia. Andro sayang sama Mama. Andro nggak mau merusak kebahagiaan orang lain seperti orang lain merusak kebahagiaan Mama. Andro mau liburan full di sini, nemenin Mama. Bayar utang waktu yang nggak pernah Andro luangkan untuk Mama. I love you, Ma."
Andro bangkit dari baringnya, hendak memeluk mamanya. Dan saat melihat ke arah tangga gazebo, seseorang berjilbab lebar tersenyum-senyum jenaka, seolah menggodanya.
"Mbak Rea. Ngapain deh di situ?"
"Cieee, yang sekalinya jatuh cinta langsung patah hati. Susah move on pula. Aish, adikku udah gede dooong."
Andro tak jadi memeluk mamanya. Ia berdiri dan berlari ke arah kakaknya. Tapi Rea tak kalah gesit. Ia lebih dulu berlari, secepat cahaya utara. Seperti namanya, Aurora Borealis, The Northern Light.
Mamanya turut berdiri, melepas mukenanya sambil memandang kedua anaknya yang berkejaran sambil tertawa-tawa. Senyum mengembang di wajah cantiknya. Hanya bahagia yang ia rasakan, buah dari keikhlasan serta kesabaran.
Seorang wanita berusia 50-an mendekat, asisten rumah tangga. Ia bicara singkat pada mama Andro yang kemudian segera menuju ke ruang tamu. Di sana telah menunggu seorang gadis muda, guru ngaji sang mama.
"Ndro, ke sini sebentar, Nak." Satu panggilan terdengar.
Andro sedang melepas rindu pada kakak satu-satunya dengan canda tawa, namun ia segera berlari memenuhi panggilan mamanya. Hanya mamanya yang ia pedulikan, ia bahkan tak melirik sedikit pun pada perempuan muda yang menundukkan kepala begitu Andro muncul di hadapan.
"Ini Ustadzah Salma, yang ngajarin mama ngaji. Rea juga ikut ngaji kalau di rumah. Kamu nanti ikut juga ya. Nggak apa-apa, mama temani, kalian kan bukan mahram."
Andro menoleh ke arah sosok bernama Salma, bertepatan gadis itu mengangkat kepala. Pandangan mereka beradu. Lalu....
"Ehk. I-iya. Eh, nggak. Eh..., t-terserah Mama aja."
Susah payah Andro menelan ludah. Matanya. Mata gadis itu sungguh bening. Mengingatkan dia pada Chili. Dan tentu saja..., Luli.
***
Eaaa eaaa, hayoo Andro, jaga pandangan ya, Naaakk!!
Gimana? Ada yg berniat request "Bikin lapak sendiri dong buat Andro, kayaknya menarik nih." Hahaha...
Btw, maafkan yak, extra part-nya si Andro aja nggak kelar-kelar nih. Karena emang si Andro nih punya peran agak banyak di cerita ini. InsyaAllah masih ada satu part lagi ttg Andro. Sabar yaaa.
Oh ya, sedikit info tentang Aurora Borealis (nama kakaknya Andro).
Kalau Andromeda udah pada tahu kan ya, itu nama salah satu galaksi di angkasa raya. Letaknya di langit adalah di belahan langit utara.
Aurora atau cahaya kutub adalah fenomena alam yang menghasilkan pancaran cahaya yang menyala-nyala dan menari-nari di langit malam. Dan hanya terjadi di wilayah kutub.
Aurora yg terjadi di kutub utara disebut Aurora Borealis (cahaya utara atau northern light). Sedangkan yg terjadi di kutub selatan disebut Aurora Australis.
Lebih lengkapnya ttg Aurora dan Andromeda bisa googling sendiri yaaa. Hehe.
Aku kasih gambarnya aja deh. Kalau kurang bolehlah cari sendiri. Kalau instagram pakai aja hashtag auroraborealis atau northernlight.
Baiklah, segitu dulu part kali ini.
*udah panjang kali, Mbaaakk :D
Terima kasih sudah membaca sampai selesai. Maafkan kalau ada kesalahan. Semoga bermanfaat, paling nggak terhibur lah ya.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Semarang, 23022021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top