Extra Part (2.1)
Angkasa Andromeda.
***
Pergi ke Hawaii ikut lomba lari
Hai, kita ketemu lagi :)
-------
"Hei, kamu ngapain mojok di situ?" Angkasa Andromeda menegur seorang teman yang mematung sambil menunduk di pojokan selasar.
Gadis itu mengangkat wajahnya. Sorot kekhawatiran terlihat di sana. Kemudian ia menyeka sisa-sisa bening pada kedua sudut mata.
"Lah, kamu nangis? Kenapa?"
"Aku... emm, aku...."
"Kamu kenapa? Ada yang bisa kubantu?"
"Name tag-ku ketinggalan. Nanti aku pasti dimarahin sama kating."
"Ya udah, kalau dimarahin ya tinggal didengerin aja sih."
Cengeng banget. Cowok bernama panggilan Andro itu membatin.
"Aku nggak bisa dibentak-bentak. Nggak pernah. Aku takut."
Astaghfirullah. Manja banget sih. Nyebelin. Ia membatin lagi.
Andro melepas name tag-nya, lalu menunjukkan pada gadis itu.
"Mau dipinjemin ke aku? Kan nama kita beda." Si gadis bertanya dengan polosnya.
"Duh, ya bukan gitu. Maksudnya punyaku sekarang udah kulepas. Aku temani deh nggak pakai name tag. Nanti kamu di deketku aja, jadi kalau dimarahin gara-gara name tag, kamu nggak sendirian."
"Oh, gitu. Kamu nggak apa-apa kalau dimarahin gara-gara aku?"
"Udah sih. Mau ditemenin, nggak? Lagian dimarahinnya gara-gara name tag kali, ah. Bukan gara-gara kamu."
"Iya, maaf. Makasih ya. Kamu baik banget."
"Panggil aja Andro." Diulurkannya tangan pada gadis itu.
"Maaf ya, aku nggak salaman sama cowok. Namaku Zulfa. Tapi kalau di rumah dipanggil Luli."
"Ya udah deh, terserah kamu, mau nggak salaman kek, mau dipanggil apa kek. Bebas. Yuk lah kita ke kelas," ajak Andro. Mereka berjalan beriringan menuju ruangan yang akan mereka tempati pagi itu.
"Kamu kan jilbabnya biasa aja, kenapa nggak mau salaman sama cowok?" Andro mendadak penasaran.
"Ya kan memang bersentuhan dengan yang bukan mahram berlaku buat semua, bukan buat yang jilbabnya besar aja." Luli menjelaskan.
"Oh." Andro merespon singkat saja.
Usai menaruh tas pada bangku yang dipilih, mereka keluar untuk berbaris di lapangan. Ospek jurusan baru memasuki hari kedua. Masih program resmi yang hanya akan berlangsung selama satu pekan. Yang tidak resmi kabarnya bisa berlangsung sampai dua semester ke depan.
Seperti yang dikatakan Andro tadi, Luli menempatkan diri tak jauh-jauh darinya.
"Kalian itu mahasiswa baru, name tag penting. Kenapa? Karena kalian harus saling mengenal satu sama lain. Kami pun ingin kenal dengan kalian. Kalau kalian nggak pakai name tag, gimana kami tahu siapa nama kalian? Sekarang juga, yang nggak pakai name tag silakan maju ke depan. Sebutkan nama panjang kalian dan ulangi sampai dua puluh kali!"
Yang Luli khawatirkan benar terjadi. Hanya karena name tag, ia dimarahi dan dihukum. Harus maju ke depan dan mengulang menyebut namanya sampai dua puluh kali? Duh, rasanya sudah mau nangis saja.
Untung ada Andro, karena hari itu hanya mereka berdua saja yang tidak memakai name tag. Itupun karena yang satu sengaja meninggalkan miliknya di dalam tas demi menemani teman yang baru saja ia kenal.
"Nggak usah nunjukin kalau kamu takut, apalagi nangis. Nanti malah tambah dimarahi. Biasa aja," bisik Andro menguatkan teman barunya.
Luli mengangguk. Mencoba melakukan apa yang dikatakan Andro. Ditariknya napas panjang sambil menguatkan hati.
"Nama saya Zulfa Nurulita. Zulfa Nurulita. Zulfa Nurulita ...." Luli mengulang sampai genap dua puluh kali.
"Nama saya Angkasa Andromeda. Saya biasa dipanggil Andro. Karena kegunaan name tag adalah untuk mengetahui nama panggilan, lagipula nama panggilan saya lebih singkat dan memudahkan, maka saya akan mengulang menyebutkan nama panggilan saja.
"Nama saya Andro. Andro. Andro ...."
Cerdas memang, dan menghemat tenaga. Namun karena itu pula, ia harus rela ditunjuk menjadi ketua untuk angkatannya.
Maka sejak saat itu, Andro dikenal dengan nama panggilannya. Sedangkan Luli, dikenal dengan nama depannya.
***
Pekan kedua ospek jurusan. Ospek resmi sudah selesai, tinggal ospek tak resmi yang akan berlangsung entah sampai kapan. Beruntung, meski sekali dua kali mendapatkan kekerasan verbal, tapi masih masuk kategori wajar, setidaknya untuk jurusan mereka yang dikenal keras.
"Kamu kok pakai celana sih? Kan disuruhnya pakai rok." Sambut Andro begitu melihat Luli datang dengan kostum tak sesuai yang diperintahkan.
"Rokku yang satu dicuci, yang mau kupakai tadi jatuh di kamar mandi. Mana aku nggak sadar, udah siram-siram air gitu. Jadinya rokku basah banget dan kotor. Mau nggak berangkat, aku lebih takut lagi." Luli menjelaskan panjang lebar. Polos dan lugu tentu tak ketinggalan.
"Terus kalau kamu dihukum gimana? Siap? Ini lebih keras dari ospek yang resmi lho."
"Masa sih masih bakal dihukum?"
Wajah Luli seketika menunjukkan kecemasan. Ia menatap Andro dengan memelas, seakan kembali meminta bantuan.
Andro balas menatap. Lalu ia menelan salivanya dengan susah payah. Mata itu... bening dan polos seperti mata anak kucing yang ada di rumah mama. Lucu.
"Eh, i-iya deh. Aku temani kalau kamu dihukum lagi."
"Nggak usah nggak apa-apa, Ndro. Lagian, kamu nggak mungkin minta dihukum tanpa pelanggaran kan?"
"Ikut aku deh. Waktu kita nggak banyak. Mumpung belum ada yang lihat juga."
Andro melangkah tanpa meminta persetujuan. Sampai di taman dekat toilet, ia berhenti. Dirogohnya ransel untuk mengambil sesuatu.
"Kamu tunggu sini ya, tolong jagain tasku."
"Kamu mau ngapain, Ndro?"
"Ganti celana. Kenapa? Mau ikut?"
"Heh, ngawur! Nggak lah. Tapi..., memangnya kamu bawa celana ganti?"
"Ya kalau nggak bawa masa aku mau pakai celana dalam doang demi nemenin kamu dihukum. Bawel banget sih kamu."
Sekali lagi pandangan mereka beradu. Dan sekali lagi Andro menelan ludahnya. Kelu.
Ia masuk ke toilet. Tak sampai lima menit sudah keluar lagi. Pantalon hitamnya telah berganti dengan blue jeans. Beberapa robekan menampakkan sedikit bagian dari kaki kanan dan kirinya.
"Astaghfirullah. Celanamu gitu amat sih, Ndro. Kamu nanti bisa dimarahin habis-habisan lho."
"Ya udah lah, aku ganti lagi. Kamu udah siap kan dihukum sendiri?"
"Ehk, y-ya, ng-nggak apa-apa sih, Ndro. Iya, ak-aku nggak apa-apa kok dihukum sendiri."
Sesungguhnya Luli lega ada temannya, tapi ia juga merasa berdosa kalau Andro dapat hukuman lebih berat dari dirinya. Celananya lho, nggak banget.
Andro melihat pada mata Luli. Dan ia merasa tak perlu mengganti celananya kembali. Ia akan menemani Luli menerima hukuman untuk pelanggaran yang sama. Seandainya harus mendapatkan hukuman yang lebih berat, ia rela.
Demi si anak kucing lucu.
***
Sejak hari itu, Andro mulai diikuti bayangan Luli. Mata bening dan polosnya seperti tak mau beranjak dari benak seorang Angkasa Andromeda. Mata yang seolah mengatakan bahwa pemiliknya selalu memerlukan orang lain untuk sekadar menenangkan hatinya.
Stigma negatif tentang perempuan perlahan memudar. Hampir tiga tahun ia dihantui pengkhianatan papanya dengan orang kepercayaan sang mama. Rasa sakitnya seakan tak mau pergi.
Ia masih ingat jelas wajah memelas perempuan yang sekarang menjadi ibu tirinya. Wajah yang memancing rasa iba tetapi sungguh memuakkan baginya. Sorot penuh kepalsuan yang siang itu tak luput menatap padanya. Juga perut membuncit yang mengubah statusnya menjadi seorang kakak. Seorang kakak bagi adik yang hingga kini masih tak sudi ia akui.
Andro menghela napas panjang, membuangnya kasar. Ia masih belum yakin pada perasaannya. Tapi setiap kali mengingat mata bening dan polos seorang Zulfa Nurulita, keengganannya untuk berurusan dengan makhluk bernama perempuan perlahan ikut sirna. Ya, hanya dengan mengingat mata yang baginya lucu dan mengundang rasa gemas. Juga rindu.
"Ehk, apa sih, Ndro. Gitu amat cuma gara-gara sepasang mata! Sh*t!"
Ia menggumam. Sekuat tenaga mencoba menampik apa yang mengganggu hatinya. Tapi bayangan mata itu lagi-lagi menggoda. Seakan tergambar jelas di langit-langit kamarnya.
"Ssshh, dasar anak kucing. Ngeganggu banget sih!" ujarnya lagi. Lebih pada dirinya sendiri. Kali ini bukan gusar yang terpancar, melainkan senyum, yang keluar dengan malu-malu.
"Aish, apa sih, Ndro. Norak amat!" Lagi, ia berbicara pada dirinya sendiri. Malu pula pada dirinya sendiri.
Mencoba memejamkan mata, tapi bayangan Zulfa Nurulita justru makin merajalela. Aish.
***
Perkuliahan langsung aktif begitu ospek jurusan yang resmi usai. Luli mulai dipusingkan dengan berbagai mata kuliah yang sesungguhnya terasa berat baginya.
Sejak awal keluarganya sudah menyarankan untuk masuk jurusan sosial saja, tetapi Luli berkeras untuk memilih campuran, dengan teknik sipil sebagai pilihan untuk IPA-nya. Passing grade yang tinggi membuatnya yakin tak akan tembus ke sana. Tapi takdir berkata lain. Entah bagaimana penilaiannya, ia justru diterima di sana.
Luli mulai mengeluh. Bahkan menghadapi mata kuliah Fisika dan Matematika yang keduanya termasuk dasar untuk anak eksakta. Belum mata kuliah ketekniksipilan yang juga sudah ditemui sejak semester pertama. Dan lagi-lagi, Andro yang menjadi penolong bagi setiap keresahannya.
"Kamu itu gimana sih, Zul. Ini kan gampang, masih dasar banget. Kamu anak IPA kan dulu? Dapet pelajaran fisika kan di SMA?" Andro keheranan. Siang itu Luli kembali mengeluh. Seperti kemarin-kemarin, ia bersiap membantu si anak kucing lucu.
"Kamu kalau nggak mau bantu ya nggak usah bilang gitu juga kali, Ndro. Iya, aku memang bodoh. Aku cuma beruntung aja masuk ke sini. Harusnya aku tuh di rumah aja, nggak usah kuliah teknik sipil. Nggak pantas."
"Eh, ya bukan gitu, Zul. Sorry kalau aku menyinggung perasaanmu." Andro melunak. Entahlah, ia tak pernah bisa bertahan menghadapi Luli kalau sudah begini.
"Jadi, kamu mau bantuin aku nggak?"
"Iya, sini aku bantu."
Andro pun menjelaskan kepada Luli dengan cara yang paling mudah dimengerti. Setidaknya oleh si lawan bicara.
Yang Andro heran, Luli tak pernah mengeluh sedikit pun mengenai mata kuliah gambar teknik yang menurutnya cukup sulit dibandingkan fisika atau matematika.
"Eh, Zul. Sorry nih, tapi kayaknya kamu nggak pernah kesulitan di gamtek. Gimana ceritanya?"
Usai menjelaskan soal fisika yang Luli kesulitan menyelesaikannya, Andro bertanya. Ia ingin menuntaskan penasarannya.
"Hehe, kalau itu sih diajari kakakku, Ndro. Dia dosen arsi. Salah satunya ngajar gamtek. Kayaknya nggak beda-beda jauh sama di sipil gitu. Kalaupun ada beda, dia punya teman yang dosen sipil, jadi suka tanya ke beliau."
"Gak sekalian aja suruh tanyain matkul sipil yang lain?"
"Ya kali, Ndro. Ngelunjak itu sih." Mereka tertawa.
"Siapa?"
"Apanya?"
"Teman kakakmu yang dosen sipil. Dosen sini bukan, sih?"
"Iya, dosen sini. Namanya Iqbal."
"Iqbal Sya'bani?!"
"Emm, Iqbal siapa ya? Iya kayaknya. Ada bani-baninya gitu, tapi bukan bani isroil." Andro terbahak dengan guyonan Luli yang alakadarnya.
"Beliau itu dosen idola di sini lho, Zul."
"Siapa? Pak Iqbal bani isroil? Masa sih dosen idola? Kakakku nggak pernah cerita."
"Perasaan kamu lumayan gaul deh sama teman-teman yang lain. Masa nggak ngerti Pak Iqbal, sih?"
"Ya kan aku gaulnya sama temen seangkatan, bukan sama kating. Apalagi sama dosen."
"Ya bukan gitu maksudnya, Zul. Kan biasanya kalian anak cewek suka pada bisik-bisik tuh kalau ada dosen ganteng, muda, dan semacamnya gitu."
"Aku nggak ngobrolin tentang cowok, Ndro. Masih kecil." Luli cekikikan.
"Semester satu masih kecil? Apa kabar anak tetangga yang baru lahir kemarin sore?"
"Itu sih masih bayi, Ndro. Aku kan udah nggak bayi. Paling kamu sama aku juga umurnya tuaan aku."
"Masa sih? Tapi kamu masih kelihatan imut gitu. Walaupun...."
"Walaupun apa?!" Luli ngegas.
"Walaupun kadang galaknya keluar. Kayak barusan itu. Ngegas."
"Kalau galak itu memang bawaan lahir kayaknya, Ndro. Dan bukan galak sih, cuma suka ngegas. Hehe."
"Sama aja itu sih. Sama kencengnya."
"Aku kan zaman sekolah dulu atlet beladiri, Ndro."
"Serius?"
"He em."
"Duh, berarti aku harus siap sedia bantuin kamu dong ya. Kalau nggak, bisa di-ciat right here right now." Berdua tergelak.
"Ya nggak harus, Ndro. Kamu kan kadang ada keperluan lain juga." Dasar Luli, ucapan Andro juga diseriusi.
"Eh, kamu udah kenal sama Asya belum?"
"Asya yang pendiem dan jarang gaul itu maksudnya?"
"Iya. Bukan jarang gaul sih sebenernya. Dia anak yatim, Zul. Harus cari nafkah buat dirinya sendiri. Kuliah sambil kerja. Jadi aja dia kelihatan sombong dan nggak gaul. Aslinya sih baik. Nanti kenalan gih, biar pas aku nggak bisa bantuin kamu, kamu bisa minta tolong sama dia. Dia tuh pinter banget. Cuma kurang beruntung aja."
"Cieee, paham lahir batin nih. Kayaknya kamu cocok sama dia, Ndro." Goda Luli.
"Kalau aku maunya sama kamu aja, gimana?"
"Nanti aku manfaatin suruh bantu ngerjain tugas terus dong." Luli tertawa kecil.
"Kalau aku dengan sukarela mau melakukannya buat kamu, Zul?" Andro tak melewatkan kesempatan yang ada.
"Hih, nggak lah, Ndro. Becanda mulu. Aku nggak mau pacaran, Ndro."
"Aku nggak bercanda, Zul. Aku serius. Kenapa? Kamu nggak boleh pacaran ya sama orang tuamu?"
"Eh, yaa..., bukan yang nggak ngebolehin gitu sih, Ndro, tapi bapak sama ibu selalu bilang kalau pacaran itu lebih banyak nggak baiknya. Lagian kan memang dalam Islam nggak ada tuh yang namanya pacaran, karena berpotensi membawa kita dekat pada kemaksiatan.
"Kakakku aja yang penggemarnya banyak, anak band, pinter banget, alim, ganteng.. , dia nggak mau pacaran. Padahal nih ya, kalau dia mau dia tinggal tunjuk aja mau macarin cewek yang mana. Udah level yang begitu deh, Ndro."
"Belum punya istri juga?"
"Siapa? Kakakku?"
"Iyalah, masa aku," seru Andro menanggapi pertanyaan Luli.
"Kakakku udahlah. Udah punya anak satu."
"Oh, kirain belum punya istri juga kayak Pak Iqbal."
"Pak Iqbal lagi. Aku tuh beneran nggak tahu yang mana orangnya, Ndro."
"Masa nggak ngerti sih, Zul? Orangnya good looking. Baik dan ramah sama mahasiswa. Terus kata kating, beliau tuh pinter. Plus gaul juga. Lengkap lah pokoknya. Makanya jadi idola."
"Tapi belum punya istri? Masa sih, dosen idola belum punya istri? Seangkatan sama kakakku pula. Kakakku aja udah punya anak."
"Iya, katanya sih belum punya istri. Kamu aja sekarang bilang nggak tahu, ntar kalau udah tahu terus ngefans. Wuuu."
"Nggak, ah. Aku nggak suka ngefans-ngefans gitu, Ndro. Lagian buat apa? Ngefans juga paling dianya nggak tahu, atau don't care. Apalagi yang ngefans macam aku gini, remahan krupuk gendar. Jadi mending nggak usah ngefans-ngefans gitu. Ngefansnya sama Nabi Muhammad aja, yang bisa kasih syafa'at di yaumul akhir."
"Eh, yaa..., iya sih, Zul. Bener juga. Tapi kan ya siapa tahu ternyata kakakmu jodohin kamu sama temannya. Terus ternyata temennya itu Pak Iqbal. Yakin mau nolak?"
"Heh, halu banget sih kamu, Ndro. Kebanyakan nonton sinetron pasti ya?" Mereka kembali tergelak. Andro diam-diam mencuri tatap pada gadis di sebelahnya.
"Ya udah, kita ke kantin aja yuk, Ndro. Temen-temen udah pada keluar tuh."
Luli membereskan buku dan alat tulisnya. Berdua menuju kantin, meninggalkan kelas yang masih menyisakan tak lebih dari lima teman sekelas.
Sampai di pintu kantin, mereka berpapasan dengan seorang laki-laki muda nan tampan yang baru akan keluar dari sana. Tangan kirinya menggenggam sebotol air mineral. Seulas senyum menghias wajahnya. Ramah.
Andro membalas senyum itu disertai anggukan kepala. Sedang Luli hanya memandang saja, dia tahu itu dosen mereka, hanya tak tahu siapa namanya.
Dari dalam kantin, setiap mata seolah mengikuti laki-laki tersebut hingga menghilang dari jangkauan pandang mereka.
"Itu dosen kan, Ndro? Tapi kok ke kantin sini sih?" tanya Luli polos. Mereka duduk di ujung dekat pintu.
"Ya itu yang namanya Pak Iqbal."
"Iqbal bani isroil?"
"Hush! Ngawur aja kalau ngomong."
"Eh, ya kan nggak ada yang denger, Ndro."
"Gimana? Langsung ngefans nih kayaknya."
"Nggak tuh. B aja. Masih gantengan kakakku. Ini menang murah senyum aja."
"Dan humble."
"Curiga deh. Jangan-jangan kamu yang suka sama dia, Ndro. Kamu masih cowok normal kan, Ndro?"
Handphone Andro spontan melayang. Hanya menyerempet bahu Luli, tapi ia menyesal setengah mati. Suaranya beradu dengan lantai mengundang tatapn dari beberapa mahasiswa lain yang ada di kantin. Andro nyengir.
"Zul, kamu nggak apa-apa, kan? Maaf ya, aku nggak sengaja, refleks aja. Maaf." Andro panik.
"Nggak apa-apa, Ndro, nggak kena juga. Aku malah kuatir HP-mu yang rusak. Maaf ya kalau bercandaku keterlaluan," balas Luli sambil buru-buru memungut smartphone Andro.
"Nggak usah mikirin HP-ku, Zul. Itu gampang, ntar beli lagi. Yang penting kamu. Kamu beneran nggak apa-apa, kan?"
"Dih, layarnya retak, Ndro. Ini Iphone lho. Gimana nih, Ndro? Maaf ya, Ndro."
"Udah sih, Zul. Nggak apa-apa. Mau pecah berkeping-keping juga biar aja, yang penting kamu nggak kenapa-napa. Kamu yang paling penting buat aku." Sesaat kemudian, Andro menyesali kejujurannya.
"Ibumu, Ndro?"
"Maksudnya, Zul?"
"Kata Rasulullah, siapa yang harus kita hormati, yaitu ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu. Jadi yang paling penting buat kita itu ibu, lalu ayah. Kamu kok malah yang paling penting aku, sih, Ndro. Dosa lho," ucap Luli, dengan kepolosan yang hakiki.
Andro diam, hanya membatinkan istighfar menghadapi gadis yang namanya diam-diam ia simpan dalam hati. Namun hal itu tak sedikitpun mengubah perasaannya pada Luli.
-------
Masih bersambung, insyaAllah :)
***
Hai, ketemu lagi setelah beberapa minggu banyak rehatnya. Hehe..
Masih nulis sih, cuma sedapetnya, semau-maunya, sesempatnya, seinginnya. Karena memang lagi ada kepentingan lain yg lebih menyita perhatian. Alhamdulillah, aku dan keluarga sehat semua.
Ini tuh merasa memulai sesuatu dari awal lagi lho ini. Hehe.
But it's okey, karena banyak yg selalu mendukung, menyemangati, dan mendoakan aku. Terima kasih ya teman-teman.
Aku juga mohon maaf, karena lama nggak menjumpai kalian semua. InsyaAllah ini mulai nulis lagi pelan-pelan, minimal nggak memulai dari nol kan ya. Hehe..
I love you all.
Sampai jumpa.
❤❤❤
Semarang, 11022021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top