Extra Part (1)
Puspita Sari Utami
***
Warning:
- Part ini full sedih-sedih aja isinya. Skip kalau sekiranya akan menjatuhkan mood-mu
- Judulnya memang Extra Part, tapi sengaja ditaruh di sini, nggak nunggu ceritanya selesai dulu, soalnya sedih. Aku maunya mengakhiri cerita dengan gembira. Hehe...
Baiklah.
Bubuk merica tumpah di jalan raya
Selamat membaca,
Please, jangan jadi sedih yaaa...
***
Menjadi mahasiswa baru di program magister tentu sesuatu yang istimewa bagi pelakunya. Begitu pula yang dirasakan oleh seorang Puspita Sari Utami. Apalagi ia satu almamater dengan Iqbal Sya'bani, anak teknik sipil yang rajin mengunggah tulisannya di blog, tapi tak mau disebut sebagai blogger.
Pipit, begitu si gadis biasa dipanggil, adalah pengikut Iqbal Sya'bani dari zaman masih kuliah strata satu. Tak satu dua kali ia meninggalkan komentar atau pertanyaan. Intinya, ia banyak mendapatkan pencerahan, wawasan, dan sesuatu yang baru dari tulisan seorang Iqbal.
Sebenarnya mereka kuliah sarjana dengan angkatan yang sama. Hanya saja begitu lulus Iqbal langsung melanjutkan ke jenjang magister, sedangkan Pipit lebih memilih untuk mencari pengalaman dengan bekerja di konsultan konstruksi. Bukan, bukan dengan tujuan mengumpulkan uang untuk kuliah S2, sebab ia bukan berasal dari keluarga yang kekurangan. Ia hanya ingin mencari pengalaman sehingga bisa lebih mantap menentukan keahlian apa yang akan ia ambil untuk S2-nya.
Tulisan-tulisan Iqbal menjadi salah satu yang menuntunnya untuk memilih Geoteknik sebagai bidang yang akan dia pelajari lebih lanjut. Maka mengucapkan terima kasih pada sang pembuka pikiran menjadi salah satu agenda perdana begitu ia resmi satu almamater dengan Iqbal Sya'bani.
Dear Kak Iqbal.
Assalamualaikum.
Hai, salam kenal. Saya Pipit, pembaca setia tulisan Kak Iqbal dari sejak S1 dulu. Kita satu angkatan lho, tapi baru sekarang saya memulai perjalanan menjadi mahasiswi pascasarjana, dan betapa bangganya karena saya satu almamater dengan seorang Iqbal Sya'bani. Boleh ya kalau kapan-kapan saya bertanya atau meminta bantuannya.
Oh ya, terima kasih untuk tulisan-tulisannya. Saya salut, Kak Iqbal istiqomahnya luar biasa.
Salam,
Puspita Sari Utami (Pipit).
Terkirim. Gadis itu lega, setelah berulangkali didera keraguan akan mengirim atau tetap membiarkan tersimpan saja pada draft emailnya.
Seperti seorang penggemar pada idolanya, Pipit berharap-harap Iqbal akan membalas emailnya. Dan harapannya tak bertepuk sebelah tangan.
Dengan senyum malu-malu ---padahal tak ada siapa pun di situ--- ia membuka email yang notifikasinya baru tiga menit lalu menghiasi layar handphone-nya.
Waalaikumussalam.
Hai, Pipit. Salam kenal.
Iya, aku ingat, kamu lumayan sering komentar di tulisanku kan? Hehe. Terima kasih untuk apresiasimu ya.
Jadi sekarang kita satu almamater ya? Bolehlah. Kalau butuh bantuan atau ada pertanyaan sampaikan saja, insya Allah kujawab jika aku bisa.
Oh ya, ini nomor handphoneku. Aku senang kalau bisa membantu teman-teman dari bidang yang sama. Whatsapp saja, kelihatannya lebih mudah daripada lewat email.
Oke, Pipit. See you.
Salam,
Iqbal Sya'bani.
Hati gadis itu berbunga-bunga. Bukan karena jatuh cinta. Lebih seperti penggemar yang mendapat sapaan dari artis idolanya.
Sejak itu, ia yang memiliki kepercayaan diri tinggi dan kemampuan memadai tak pernah ragu untuk bertanya atau berdiskusi dengan seniornya. Siapa lagi kalau bukan Iqbal Sya'bani.
Suatu hari ia butuh berdiskusi mengenai satu hal tentang pondasi, maka ia menghubungi Iqbal dan langsung mengajukan pertanyaan.
[Hai, Pit. Kalau kamu nggak keberatan, kita bisa ketemuan. Hal kayak gini lebih enak kalau didiskusikan langsung]
Pipi gadis itu merona hanya dengan membaca pesan balasan yang baru ia terima.
[Di mana? Tidak merepotkan Kak Iqbal?]
[Nggak, santai saja. Kamu ada kuliah?]
[Jam 7 malam, Kak]
[Oke. Ba'da asar di kafe seberang masjid kampus ya]
Maka bertemulah mereka sore itu. Pertemuan yang tak hanya membahas pondasi, tapi juga merembet pada aktivitas mereka sehari-hari.
Iqbal begitu tertarik ketika Pipit menceritakan tentang kegiatannya mengajar anak-anak jalanan di satu rumah singgah. Satu kegiatan yang mulia dan bermanfaat menurutnya. Maka ia meminta Pipit untuk mengajaknya serta.
Semenjak itu, Pipit menjadi magnet tersendiri bagi Iqbal. Tak hanya pintar dan punya kepedulian yang tinggi pada mereka yang kurang beruntung, ia juga enerjik luar biasa. Dan tawa lepasnya itu, ya, tawa lepasnya itu membuat Iqbal selalu merasa senang berada di dekatnya.
-----
[Pit, berangkat sama siapa?]
Satu pesan dari Iqbal di hari mereka hendak mengajar seperti biasa.
[Sendiri. Biasa juga gimana, Bapak Dosen? *emoji tertawa]
[Bareng aku ya. Ada bapak/ibu yang bisa kuminta izin mengajak bareng anak gadisnya kan?]
Kedua pipi gadis itu kembali merona, seperti saat pertama mendapat balasan atas emailnya.
[Ada ibu, Kak]
[Oke, kasih alamatmu ya]
Tak sampai dua menit, Iqbal sudah mengantongi alamat Pipit.
Tak sulit menemukan rumah gadis itu. Rumahnya cukup luas dan asri. Tampak jelas bahwa si pemilik rumah menyukai kegiatan bertanam.
Iqbal menekan bel dengan santai. Seorang gadis muda membuka pintu. Celana kulot warna abu-abu tua dipadu tunik motif bunga bernuansa cerah membuat penampilannya sedikit berbeda dari biasanya.
"Assalamualaikum. Mbak Pipitnya ada?" sapa Iqbal sambil tertawa.
"Waalaikumussalam. Pak Dosen salah alamat kelihatannya." Tawa lepas Pipit berderai-derai. Mereka tergelak bersama.
Pipit memanggil ibunya, kemudian Iqbal memperkenalkan dirinya beserta maksud kedatangannya dengan lancar.
Ingin mengenal anak ibu lebih lanjut.
Begitu salah satu yang disampaikan Iqbal pada ibu. Pipit tak tahu maksudnya, tapi ia tahu bahwa ada yang berdesir-desir di sudut terdalam ruang hatinya.
"Pit, punya pacar nggak?" tanya Iqbal. Mobil baru sekira dua kilometer meninggalkan rumah Pipit.
"Eh, emm, g-gimana, Kak?"
"Kamu kenapa grogi gitu? Nggak biasanya." Iqbal terkekeh.
"Kamu, punya pacar nggak?"
"Oh, itu, eh, ng-nggak punya, Kak. Nggak sempat. Saya kan masih kerja juga."
"Kalau kamu mau, kita jalan yuk."
"Maksudnya?"
"Aku menawarkan komitmen. Kalau kita cocok, enam bulan dari sekarang kita menikah."
Shock! Itu yang dirasakan Pipit. Pendingin udara di mobil Iqbal seolah menjadi unfaedah.
"Eh, m-maksudnya p-pacaran atau g-gimana, Kak?"
"Jangan panggil, Kak. Kita seumuran. Panggil Iqbal aja. Dan jangan pakai saya, pakai aku saja." Pipit mengangguk ragu. Memberanikan diri menatap mata Iqbal. Iqbal balas memandang Pipit, keseriusan ia tunjukkan melalui kedua netra.
"Penjajakan. Tapi, yaaa, kalau kayak begini sih orang langsung ngecapnya pacaran. So, anggap saja begitu. Kita pacaran. Kalau kamu mau."
Iqbal menepikan mobilnya, berhenti di bawa pohon asam Belanda.
"Kamu mau, Pit?"
"Emm, s-saya, eh, ak-aku---" Gugup melanda Pipit.
"Oke. Aku tahu kamu mau. Cuma agak shock aja karena aku mengatakannya tiba-tiba. Juga tak romantis seperti kebanyakan orang di luaran sana. Maaf."
"Ak-aku ...." Masih saja gugup.
"Kamu nggak perlu bicara apa-apa, Pit. Cukup katakan ya atau tidak. Itu saja." Iqbal menoleh ke arah gadis di sebelahnya.
"Lihatlah padaku, Pit." Dengan tersipu gadis itu menoleh. Mata mereka beradu.
"So?" tanya Iqbal.
Tak ada jawaban. Hanya anggukan, beserta senyuman. Manis, seakan segelas madu mengaliri hati Iqbal.
Iqbal memacu kembali mobilnya. Mereka sepasang kekasih sekarang. Mungkin akan menjadi sepasang suami istri dalam enam bulan ke depan. Atau justru menjadi ... mantan?
Bagi Iqbal, keberadaan Pipit membuat harinya penuh warna. Bukan sekadar berkutat dengan dunia kampus dan perkuliahan, tapi juga kegiatan sosial yang membuat ia merasa hidupnya bermanfaat bagi orang lain. Begitu pula sebaliknya.
-----
Seperti biasa, tiap Jum'at malam Iqbal menjemput Pipit ke gedung pascasarjana jurusan teknik sipil. Kemudian mereka makan dan ngobrol sampai jam setengah sembilan. Setelahnya, barulah Iqbal mengantar Pipit pulang.
Sudah hampir lima bulan mereka menjalani hubungan. Iqbal optimis, dua bulan ke depan ia bisa mengakhiri masa lajang. Usianya mendekati dua puluh lima, usia ideal untuk menyandang status sebagai suami. Sejauh ini Pipit sesuai dengan yang ia harapkan, bahkan melebihi ekspektasinya.
Cantik, supel, pintar, mandiri, tapi punya hati yang lembut. Pipit juga tak pernah menuntut sentuhan apapun darinya. Tak pernah pula bertanya kenapa Iqbal begitu menjaga jarak padanya. Iqbal makin yakin untuk memantapkan hatinya. Ia hanya tinggal menemui calon bapak mertua. Seseorang yang hampir lima bulan ini tak pernah bisa ia temui. Waktunya tak pernah pas.
Pendar lampu di teras rumah Pipit terasa lebih muram dari biasanya. Mereka berdua baru saja tiba di depan pintu.
Prang!!
"Salah apa aku, Mas?! Kurang apa aku?! ...." Suara teriakan terdengar sahut menyahut dari dalam diselingi barang pecah belah yang terjatuh sembarangan.
Pipit menunduk, kedua tangannya saling meremas. Ia tahu apa yang sedang terjadi di dalam sana. Sebuah bangkai, mau ditutupi macam apa juga pasti akan tercium busuknya.
"Ada apa, Pit? Kamu tahu?"
Gadis itu mengangguk. Kedua netra Iqbal menangkap dua bulir bening yang meluncur jatuh dari mata kekasihnya.
"Harinya tiba juga," gumam gadis itu lirih.
"Apa maksudmu?"
"Bapak, Iq. Bapak nggak setia sama ibu. Dari dulu kami selalu berpesan agar bapak memilih laki-laki saja sebagai orang kepercayaannya, tapi bapak tak mengindahkan saran kami. Sekretarisnya, dia...."
"Cukup, Pit. Tak perlu kau teruskan. Aku tahu itu menyakitkan bagimu. Juga bagiku." Ada yang nyeri di hati Iqbal.
"Aku pulang dulu. Kamu istirahatlah." Hanya itu yang sanggup Iqbal katakan. Karena untuk memeluk dan menghapus air mata gadis itu, tentu ia tak akan lakukan, meski ada alasan kuat untuk itu.
Iqbal mengayun langkah, menjauh dari teras di mana kekasihnya berdiri sembari menatap nanar punggungnya dengan mata basah.
Dari kejauhan, terdengar suara sirine meraung-raung. Dekat. Dan semakin mendekat.
Ia baru melajukan mobilnya, ketika dua mobil polisi berhenti tepat di depan pagar rumah yang baru saja ia tinggalkan. Ia berhenti tak jauh dari pusat keramaian. Satu dua warga menuju ke sana. Ia menunggu, hingga sebuah informasi ia dapatkan.
Seseorang yang hampir menjadi kakak iparnya ternyata pengedar narkoba.
Diinjaknya pedal gas pelan. Rasa sakit merayap perlahan. Ia tak siap kehilangan. Tetapi ia tak yakin bisa melepaskan prinsipnya dan bertahan di sisi gadis yang hampir tujuh bulan ini mewarnai hari-harinya.
Dan di sana, di dalam rumah yang sejak malam itu berubah suram, seorang gadis dengan sekuat tenaga menahan air mata. Ia tahu malam naas ini akan tiba juga. Dan ia pun tahu, akan berakhir pula hubungan yang baginya sungguh berarti dan sangat istimewa.
Ia tak pernah sedalam ini mencintai seseorang. Tapi Iqbal Sya'bani memang beda. Bagaimana ia bersikap kepadanya, bagaimana ia memperlakukannya, bagaimana ia....
Pipit bergeming. Menatap kakaknya yang digelandang sebagai pesakitan. Ibunya yang mendadak seperti hilang kewarasan. Juga bapaknya yang wajahnya dipenuhi penyesalan. Ia tahu, ia sudah kehilangan segalanya.
-----
Iqbal tak langsung menyampaikan keputusan. Ia sendiri dilanda galau hingga berhari-hari lamanya. Selama itu pula ia tak lepas menguatkan hati gadis yang sudah menempati ruang istimewa di hatinya.
"Pit, kita masih butuh saling menguatkan, meski sebentar lagi kita akan sama-sama merasa kehilangan." Begitu yang ia katakan. Cukup untuk membuat si gadis mengerti apa yang akan terjadi kemudian.
Gadis itu mengangguk.
Melarang air matanya untuk turun menjadi hujan. Tak ada kesakitan lebih dari ini yang pernah ia rasakan.
"Aku nggak tahu, apa aku bisa tiba-tiba menjauh darimu, Pit. Kalau aku nggak bisa, kuharap kamu memberiku kesempatan untuk tetap mengajar di sana."
"Tentu saja. Asalkan itu bukan alasanmu untuk bertemu denganku." Pipit tertawa. Ada sumir dalam nadanya.
"Hanya gadis dengan sensitivitas tinggi yang bisa menebak modus operandiku," sahut Iqbal disusul tawa. Sumbang terdengar begitu kentara.
"Aku ingin berharap tak ada pengganti, tapi itu tak adil, sebab aku sendiri yang tak bisa melanjutkan semua ini. Aku tak bisa mengatakan sekarang apa sebabnya."
"Aku sudah tahu, Iq. Keluargaku memang tak seideal yang ada dalam harapanmu. Aku tak bisa menahanmu untuk pergi. Seperti halnya aku tak bisa memilih untuk dilahirkan dan dibesarkan di keluarga semacam ini."
"Maafkan aku, Pit. Maafkan egoku.Kuharap suatu hari nanti kamu akan mendapatkan pengganti yang lebih segalanya dari aku.
"Pergilah, Iq. Terima kasih untuk tujuh bulan terbaik yang kumiliki dalam hidupku. Aku baik-baik saja, dan akan melanjutkan hidupku seperti biasa. Percayalah, Iq."
Untuk pertama kali dalam hidup, Iqbal meneteskan air mata di depan lawan jenisnya. Tentu tak akan terjadi jika dia bukan seseorang yang baginya teramat istimewa.
"Maafkan aku, Pit. Kalau kamu keberatan aku tetap mengajar, aku akan mundur."
"Nggak, Iq. Kita bukan orang-orang cengeng. Tak harus ada drama, meski genrenya telah ditentukan untuk kita. Lagipula, kau harus tetap melanjutkan modus operandimu kan?"
Mereka berpisah dengan tawa, diantara sisa-sisa air mata.
-----
Bukan Puspita Sari Utami kalau tak punya keteguhan yang luar biasa. Ia masih menyimpan cinta. Hingga memutuskan untuk menjauh saat berita yang hampir empat tahun ia khawatirkan akhirnya mampir juga ke telinganya. Bukan isapan jempol tentu, karena Iqbal Sya'bani sendiri yang menyampaikan padanya.
"Aku melamar seseorang, Pit."
Pipit sangat tahu, pengganti dirinya bagi Iqbal Sya'bani tak cuma satu dua. Tapi ia juga tahu, tak ada satupun yang mengambil tempat istimewa melebihi dirinya. Mata Iqbal menunjukkan itu semua.
Dan hari itu, ia benar-benar sudah kehilangan segalanya. Harapan untuknya tak lagi ada. Kedua indera penglihat Iqbal berbinar setiap kali bicara tentang gadis yang secara telak sudah menyingkirkannya. Maka ia memutuskan untuk pergi. Pergi yang sebenar-benarnya.
Satu tempat di sisi timur Borneo menjadi tujuannya. Kalau dulu ia bertahan di tengah-tengah keluarga yang sudah tak keruan wujudnya karena ada alasan lain yang menguatkan, kali ini ia tak punya pilihan. Kekuatan itu telah pula lepas dari genggaman.
[Iq, aku pamit. Doaku untuk kebahagiaanmu dan keluargamu kelak. Terima kasih untuk banyak hal. Terima kasih sudah membuat hidupku yang semestinya gelap menjadi lebih berwarna]
-----
Kalau hanya menjauh, mungkin tak butuh untuk mengeluh. Tapi untuk melupakan, ternyata tak semudah melonggarkan genggaman.
Gadis itu duduk sedari tadi, menikmati kopi hitam tanpa gula yang selalu menyeret ingatannya pada laki-laki yang bayangannya belum mau meninggalkan sudut istimewa hatinya. Laki-laki yang bersama keluarga besarnya berada hanya beberapa belas meter dari tempatnya berada.
Seharusnya ia tak di sana. Atau paling tidak ia harus segera beranjak. Bukan malah diam menunggu, sebab tahu laki-laki dari masa lalu itu akan melanjutkan duduknya di balkon kafe, dan menikmati aroma kota Bandung yang menguar bersama angin malam.
Tapi penyesalan tak pernah ada artinya, karena waktu tak bisa diputar sekehendak hati kita.
Bukan sesuatu yang ia inginkan, jika keesokan malamnya ia harus duduk berhadapan dengan seorang perempuan yang ---menurutnya--- masih sangat belia. Perempuan berstatus nyonya dengan nama belakang yang sejatinya begitu ingin ia sandang.
Nasi sudah menjadi bubur. Ia bisa saja menambahkan suwiran ayam, kacang kedelai, kerupuk, dan kuah kuning nan gurih. Tapi yang ia bisa sekarang ini hanya menambahkan kecap saja. Manis memang, tapi tak cukup membuat buburnya menjadi nikmat.
Tak mengapa, ia gadis yang kuat, dan akan selalu begitu. Maka meski berat, malam ini juga ia mengambil satu keputusan. Melepaskan beban yang hampir empat tahun memberati hatinya.
Ia berpamitan, menggendong ranselnya, dan siap melangkah pergi dengan hati yang ia harap lebih ringan.
"Pit," panggil Iqbal
Pipit menghentikan ayunan kakinya. Menoleh pada laki-laki yang kini sudah menyandang predikat suami tapi bukan untuknya. Kedua pasang netra beradu pandang. Gadis itu mencoba tetap tersenyum, tapi nyatanya di depan Iqbal ia tak bisa. Ia membuang muka, begitu pun laki-laki di hadapannya.
"Di manapun kamu berada, kamu harus bahagia." Suara merdu yang selalu ia rindui itu terdengar lagi.
Gadis itu diam. Air mata yang sedari tadi tak ada meluruh seketika. Ia tak berusaha menyembunyikan, hanya mengangguk, lalu membalikkan badan dan bersiap melanjutkan perjalanan. Perjalanan hidup tanpa satu nama yang selama ini selalu ia bawa serta.
"Assalamualaikum," pamitnya lirih. Tak langsung beranjak, menunggu seseorang menjawab salamnya. Seseorang yang sesaat lagi benar-benar menjadi masa lalu baginya.
"Waalaikumussalam."
Digenggamnya erat tali sling bag. Ada yang nyeri, bagai ditusuk-tusuk duri. Bisa jadi ini terakhir kalinya ia mendengar suara seorang Iqbal Sya'bani.
Maka tanpa menoleh lagi, ia melangkah pergi.
Gadis 28 tahun dengan segala pesona dan kelebihannya itu melangkah meninggalkan peron stasiun Bandung. Menaiki gerbong sesuai angka yang tertera pada lembaran tiket dengan dominasi warna jingga. Ia mendudukkan dirinya di sisi dekat jendela, merogoh tas slempangnya untuk mengambil gawai dan earphone dari dalam sana.
Kereta mulai bergerak meninggalkan kota kembang. Gadis itu, Puspita Sari Utami, mencoba menghapus setiap keping kenangan, bersama air mata yang menggenang.
***
***
Udah ya sedih-sedihnya.
Pasti satu dua ada yg ngebatin, "Dalem banget, Mbak, nulisnya? Nggak sambil berlinangan air mata kan ya?"
Hahaha...
Ini aku tulis udah agak lama. Pas awal-awal si Pipit muncul di Mendadak Ipar.
Ya sudah, pokoknya gitu lah.
Aku pernah berada di posisi yang bisa bilang ke Pipit, "I feel you, Pit." seperti waktu si Iqbal bilang ke Andro, "I feel you, Angkasa." wkwk
Oke deh. Maafkan utk kalian yg kecewa, karena udah senang Mendadak Ipar update tapi ternyata malah isinya sedih semua. Hehe...
Dan terima kasih banyak, udah mau baca sampai di bagian ini meskipun sambil kezel karena nggak nemu satu pun scene haha hihi.
Jangan lupa, yang belum ikut PO Mendadak Mama bisa langsung cuss WA ke: 0857-1258-3666 yaaa.
*teteup yak, promonya nggak ketinggalan :)
I love you all.
Sampai jumpa
❤❤❤
Semarang, 11112020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top