8. Bu Olin vs. Miss Rebecca
Gigi duduk di tepi lapangan basket bersama geng cewek-ceweknya: Arum, Niki dan Mika. Otaknya sedang bekerja keras sembari matanya mempelajari Pak Eka yang sedang memukul-mukul bola basket.
Kenapa Pak Eka malah naksir sama Miss Rebecca?
Lulu juga duduk di dekat Gigi, tapi dia nggak bisa mengajaknya ngobrol karena takut ketahuan teman-temannya. Gigi sedang menunggu Ciko.
Tak berapa lama Ciko dan para cowok lainnya masuk ke lapangan basket. Seperti Gigi dan para cewek, mereka udah memakai baju olahraga. Bisik-bisik langsung bermunculan di antara para cewek begitu melihat Rene.
"Uuh... coba liat dadanya! Jadi kepengen pingsan gue!"
"Dia minum apa sih kok kulitnya bening banget? Bayclean?"
"Rambutnya kalo ketiup angin jadi tambah seksi, deh."
Gigi menggerutu, pikirannya buyar gara-gara Rene. Cowok itu memang bagaikan magnet yang menyedot perhatian siapapun yang berada dalam radius lima meter darinya. Persis slogan Miss Indonesia: 'Semua mata tertuju padanya.'
Gigi mencari-cari Ciko. Dia harus mengatur strategi selanjutnya. Lulu menunjuk-nujuk Ciko yang ada di belakang gerombolan para cowok. Nggak seperti Rene, Ciko itu biasa-biasa aja, nggak menarik perhatian. Bahkan bisa dibilang agak mengenaskan kalau dibandingkan sama Rene. Kalau disimulasikan dengan spesies kucing, Rene itu kucing Persia, sementara Ciko kucing kampung.
Pak Eka mengambil daftar absen dan memanggil mereka satu-satu.
Ciko menangkap tatapan Gigi dan menghampirinya. Dia menyodorkan selembar kertas yang dilipat jadi dua di tengah. "Nih! Udah gue tambahin."
Gigi membaca sisi atas kertas. Dia mengenali tulisan tangan Ciko di dekat tulisannya sendiri, ditulis dengan tinta biru gelap.
"Lisa Blackpink?"
Ciko manggut-manggut. "Coba lo bayangin Miss Rebecca pake eyeliner gitu, Gi. Mirip Lisa, kan?"
Bayangan itu terbentuk dengan mudah di kepala Gigi. "Bener, bener. Terus ini, lesung pipinya sedalam cinta gue ke Rene? Lo ngatain gue?"
TSIIIING!
Begitu mendengar nama Rene disebut, lima belas pasang mata cewek-cewek lainnya langsung tertuju pada Gigi. Dia sampai lupa kalau bukan dia satu-satunya yang naksir Rene di sekolah ini. Kalau sampai ketahuan dia pernah nembak Rene, para cewek ini pasti nggak akan segan-segan buat memutilasinya. Memang cewek-cewek terkenal nekat apalagi kalau menyangkut gebetannya.
Gigi mengunci mulut rapat-rapat dan membaca sisi bawahnya.
"Bibirnya..." Gigi menahan diri untuk nggak tertawa. "Kayak sol sepatu?"
"Tebel banget sumpah. Atau setebal roti bantal, ya?"
"Terus ini... suka bau ketek, masa perlu ditulis juga?"
"Memang sih, itu udah jadi rahasia umum, tapi kan tetap termasuk kekurangan," sahut Ciko. "Mulutnya juga lho, Gi. Coba lo ngomong dekat-dekat sama Bu Olin. Kayak baru habis makan sampah."
Gigi menutup mulutnya dan terkikik. Meski merasa bersalah, dia setuju dengan kesimpulan Ciko yang ditulis di baris paling bawah: INTINYA JELEK.
"Jadi memang nggak ada harapan ya?" Gigi merasa nelangsa. Dari daftar itu sudah terpampang nyata bahwa Bu Olin kalah bersaing dengan Miss Rebecca.
"Olin harus tetap jadian dengan Eka," bisik Lulu menegaskan.
Gigi mengangguk paham. Mendadak dia berharap Amore ada di sini dan mau membantunya memikirkan rencana menyatakan cinta ini. "Tapi gimana caranya, ya? Uuh, gue buntu, nih."
"Gimana kalo kita coba tanya langsung Bu Olin?" usul Ciko tiba-tiba. "Kita komporin aja, Gi. Kita korek perasaan Bu Olin dan yakinkan dia biar naksir Pak Eka. Gue yakin Bu Olin minimal kagumlah sama Pak Eka. Kan Pak Eka itu ibarat Rene-nya guru-guru."
Ide itu terdengar gila. Meyakinkan guru untuk jatuh cinta? "Terus Miss Rebecca-nya gimana, Ko? Kayaknya dia juga naksir Pak Eka, deh."
"Nah, kita juga harus meyakinkan Pak Eka biar naksir Bu Olin, Gi. Supaya perhatiannya teralihkan dari Miss Rebecca. Gue bisa ngomporin Pak Eka. Lo ngomporin Bu Olin."
Rencana itu tampaknya meragukan, tapi Gigi tahu dia nggak punya pilihan. Lulu mendengarkan sampai kepalanya miring (mungkin karena heran). Dia kelihatan mirip mainan di dasbor mobil yang kepalanya bisa goyang-goyang itu.
"Oke, hari ini kita latihan basket, ya!" kata Pak Eka. Dia mengambil dua bola basket. "Ayo baris. Cewek di sebelah kiri. Cowok di sebelah kanan. Nanti gantian belajar shooting bola ke ring. Paham, ya?"
Anak-anak berbaris sesuai instruksi Pak Eka. Rene berada di barisan depan para cowok, bersinar seperti atlet basket professional. Gigi dan Ciko sengaja mundur jauh-jauh supaya mereka jadi yang paling belakang. Lalu mereka mulai bergantian melemparkan bola-bola itu ke dalam keranjang.
"Ko, gue rasa sebaiknya lo mulai ngomporin Pak Eka setelah selesai ini," kata Gigi dengan suara rendah.
"Oke," Ciko setuju. "Lo pura-pura sakit perut aja biar bisa ketemu Bu Olin!"
Obrolan mereka terputus akibat pekikan kagum dan tepuk tangan para cewek saat Rene berhasil mencetak tiga gol berturut-turut. Rene mengambil bola lagi dan membiarkan anak-anak lain di belakangnya mengantre. Udah bukan rahasia lagi kalau orang-orang cakep memang suka memanfaatkan kecakepan mereka demi keuntungan pribadi. Makanya berusahalah kamu biar jadi cakep, oke?
Rene melompat, kaosnya terangkat sedikit dan memperlihatkan deretan otot perutnya yang six-pack. Para cewek menjerit lagi. Tika dan Niki sampai mimisan.
"Gi! Liat!" Tiba-tiba Ciko menunjuk sesuatu. "Itu!"
Miss Rebecca melenggok di atas high-heels nya dan mendekati Pak Eka. Dia menggenggam dua batang cokelat dan menyodorkannya.
"Ini buat Mas Eka," kata guru Bahasa Inggris itu malu-malu.
Pak Eka pura-pura terkejut. "Lho, buat apa, Becca?"
"Buat ganti cokelat yang tadi."
"Wah, nggak perlu. Cokelat yang tadi kan kita makan sama-sama."
"Kalau begitu cokelat yang ini kita makan sama-sama lagi, gimana? Mas Eka sama aku. Kita bagi dua..."
Mereka berdua mulai sumringah sambil saling lirik dengan grogi seperti tadi. Gigi jadi gerah melihatnya. Lulu menghentakkan kaki dengan gusar dan mulai ngedumel. "Si pelakor datang lagi!" katanya.
Gigi merebut bola yang tertahan di Arum karena Rene masih memonopoli ring dari tadi. Dia mengarahkan bola basket itu tepat ke arah Miss Rebecca dan melemparkannya sekuat tenaga.
DUNG!
Bola itu melesat ke arah Miss Rebecca tetapi tiba-tiba membelok, seolah tidak setuju dengan niat jahat Gigi dan mendarat ke...
"Aduh!"
Di tepi lapangan basket, Bu Olin nyungsep di lantai kena lemparan bola. Buku-bukunya berjatuhan di lantai.
"Siapa yang ngelempar bola itu?" tanya Pak Eka galak.
"Saya, pak!" Gigi langsung mengaku. Dia mengedip pada Ciko. Sekarang saat yang tepat! "Saya akan ambil dan minta maaf ke Bu Olin!"
Gigi berlari ke arah Bu Olin. "Aduh, maaf ya, bu. Saya nggak sengaja."
"Ng-nggak a-apa-apa, Gigi."
Bu Olin meraba-raba, mencari kacamatanya yang terlepas. Gigi mengambil kacamata itu dan memakaikannya di wajah Bu Olin. Mata Bu Olin tampak membesar seperti mata lalat di balik lensa supertebal itu.
"Bu Olin, tangan saya keseleo, nih..." Gigi menjalankan muslihatnya. "Ibu bisa tolongin lempar bolanya nggak? Ditungguin sama anak-anak, tuh."
Bu Olin bangkit dengan gemetar. "Le-lempar bola?"
"Iya. Ke arah Pak Eka." Tembakannya pasti bakal meleset. Bu Olin akan minta maaf sama Pak Eka dan dengan begitu mereka bisa ngobrol! "Ayo, bu!"
Bu Olin menurut saja. Dia mengambil bola itu dan menatapnya ragu-ragu seakan benda itu bom.
"Yang keras ya bu! Ke arah Pak Eka! Kalo bisa kena Miss Rebecca!"
"A-apa kata ka-kamu?"
"Maksud saya, kalo bisa jangan kena Miss Rebecca."
Bu Olin mengarahkan bola itu ke arah Pak Eka. Sang guru olahraga memberi isyarat bahwa dia siap menerima operan itu. Miss Rebecca masih senyam-senyum kayak orang tolol.
"Lempar sekarang, Bu Olin!"
Bu Olin menarik napas dalam-dalam. Wajahnya berubah serius, bagaikan orang yang udah sembelit dua minggu dan sedang berkonsentrasi untuk buang air. Lalu dia melemparkan bola itu sekuat tenaga.
WHUSSS!
Seperti dirasuki roh Kapten Tsubasa, tembakan bola dari Bu Olin melesat dengan kecepatan tinggi dan bergerak lurus ke arah Pak Eka sebelum berbelok. Tiba-tiba Gigi merasa semuanya berubah jadi gerakan slow-motion. Miss Rebecca berteriak panjang, "Tiiiidaaaaaaaaak!" bibirnya yang mengilap gara-gara pemakaian lip gloss skala besar berkibar seperti umbul-umbul kelurahan. Pak Eka menjulurkan tangannya dengan heroik, ingin menangkis bola itu agar tidak melukai Miss Rebecca.
DOENG!
Bola itu berubah arah lagi, dan kali ini terlempar ke arah anak-anak.
PLETAK!
Bola itu menghantam kepala seorang anak di barisan para cowok sampai jatuh. Perlu dua detik bagi Gigi untuk menyadari siapa yang jadi korban.
"CIKO!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top