5. Pesan Dari Bosque
Di hari Minggunya, semuanya tampak normal.
Gigi jadi yakin bahwa pertemuannya dengan Amore si cupid songong itu hanyalah mimpi. Dan mimpi itu nggak nyata – jelas ya, namanya juga mimpi. Ketika Gigi terbangun betulan, dia melihat merpati putih itu masih tertidur di dalam boks, sayapnya tetap terkulai patah.
Aku bukan cupid, pikirnya. Imajinasiku aja yang overdosis.
Maka untuk mengenyahkan mimpi yang anehnya kebangetan itu, dia mengajak Ciko untuk jalan-jalan sore ini. Mereka setuju untuk bertemu di Mall Pondok Cabe-cabean, mall favorit tempat mereka biasa nongkrong. Kali ini Arum, Niki dan Mika bisa bergabung.
Mereka berlima pergi nonton Mulan. Setelah puas menonton, mereka mampir di gerai Mekdi untuk mengisi perut yang kelaparan. Harap maklum, Gigi dan temannya sedang dalam masa pertumbuhan.
Saat mengantre di kasir untuk memesan, Gigi mengamati papan menu. Dia teringat cita-citanya untuk diet. Semua makanan ini berkalori tinggi. Kalau makan ini, aku bisa tambah gemuk!
Ciko memesan paket ayam, nasi, dengan minuman soda Koka Koala. Iya, itu adalah merk abal-abal hasil ciptaanku sendiri karena nggak boleh nyebut nama aslinya. Gigi masih bingung menentukan pilihan. Dia ingin makan dengan kalori sesedikit mungkin, supaya bisa segera tampil singset di depan Rene.
Si kasir menegurnya dengan ramah. "Silakan pesanannya."
"Umm, aku pesen kentang goreng tapi nggak digoreng bisa nggak mbak? Yang ukuran small aja."
Ciko tertawa mendengar itu. "Lo nggak salah mesen?"
"Kentang goreng yang nggak digoreng ukuran small satu ya," si kasir mengulangi pesanan Gigi dengan serius. "Ada lagi?"
"Ayam goreng tapi nggak pake minyak. Yang dada ya mbak. Itu juga satu."
Ciko terhenyak. "Lho, memangnya ada menu kayak gitu?"
Si mbak-mbak kasir mengedip sambil sumringah. "Ada dong, mas. Ini kan Mekdi, bukan yang satu lagi. Baiklah ditunggu ya..."
Sambil bersyukur karena restoran Mekdi yang ini mendukung niatnya untuk diet, Gigi menunggu pesanannya disiapkan. Tak berapa lama, si mbak-mbak kasir itu sudah meletakkan pesanan Gigi di atas sebuah nampan.
"Bayarnya digabung aja sama pesanan yang lain, mbak," kata Gigi.
Mbak-mbak kasir itu mengangguk. "Oke. Totalnya jadi toge dibacem pake minyak tawon..."
Gigi mengernyit. "Hah? Berapa mbak?"
"Totalnya semua ketek asem pake sempak babon."
Kenapa si mbak-mbak kasir ini malah ngomong ngelantur? "Apa?"
Penjaga kasir itu malah kelihatan tersinggung. "Memang saya ngomongnya kurang jelas ya, mbak?"
Gigi melirik Ciko dan teman-temannya yang lain. Mereka kelihatan tenang-tenang saja, seperti tidak menggubris kata-kata ngaco si kasir barusan.
"Umm, tadi mbaknya bilang totalnya sempak babon..."
Si kasir itu mendelik tersinggung. "Mbak, tolong jangan bercanda ya. Antreannya masih panjang. Itu mbak lihat aja sendiri di layar komputer berapa totalnya. Saya capek, nih!"
Gigi mengalihkan pandangannya ke arah layar kecil di mesin kasir tempat total harga biasa ditunjukkan. Dia tambah heran, karena yang tertulis di layar itu bukanlah harga, tapi sebaris kalimat.
'Pesan baru dari Bosque.'
"Gi, jadi kita patungan lima puluh ribu ya seorang," kata Ciko tiba-tiba. "Totalnya kan segitu."
"Eh, sebentar Ko! Lo tau dari mana totalnya?"
"Tadi kan si mbaknya udah nyebutin. Terus di layar itu juga keliatan, kan?"
Gigi mengucak-ngucak matanya. Apa aku salah lihat? Atau salah dengar? Nggak ada angka apapun di layar mesin kasir. Dan si mbak-mbak kasir juga nggak menyebutkan harganya tadi! Apa jangan-jangan hanya aku yang bisa mendengar dan melihat semua ini?
Ragu-ragu, Gigi meraih dompetnya dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu. Digabungkannya uang itu dengan uang teman-temannya, lalu mereka membayar semua makanan itu. Si mbak-mbak kasir menyodorkan kertas bon pada Gigi lalu berteriak memanggil pelanggan berikutnya.
Gigi mengamati kertas bon itu untuk mengecek total pesanan mereka. Tapi dia tidak menemukan angka apapun di kertas itu, melainkan beberapa baris pesan.
'Temui aku di taman dekat toilet. Bosque punya proyek baru.
Tertanda – L'.
...
Gigi menghabiskan pesanannya dengan tergesa-gesa, lalu pura-pura pamit ke toilet pada Ciko dan teman-teman yang lain. Dia bergegas ke taman di bagian luar mall, yang letaknya dekat parkiran. Untung lokasinya dekat dengan Mekdi.
Karena pesan di bon itu tidak memberitahu apa yang harus Gigi lakukan, jadi dia duduk saja di bangku taman sambil celingak-celinguk.
"Salam, malaikat cinta!"
"Kampret!" Gigi hampir jatuh dari bangku. "Kaget gua!"
Dia berbalik. Di belakangnya ada seorang anak kecil berusia kira-kira tujuh tahun yang memakai jubah warna putih. Badannya pendek dan kepalanya botak seperti kelereng.
"Hiii! Tuyuuuul!"
"Bukan tuyul!" Sosok itu menggoyang-goyangkan tangannya. "Aku Lulu!"
"Kalau bukan tuyul terus kamu apa? Orang cebol?"
Anak kecil bernama Lulu itu menarik sesuatu dari balik jubahnya dan menempelkannya di mulut Gigi. Benda itu terasa asin dan sejuk, seperti air laut. Tiba-tiba Gigi tidak bisa berbicara.
"Tenang, tenang! Aku nggak bermaksud jahat!" kata Lulu. Melihatnya Gigi jadi teringat pada Upin Ipin. "Aku yang mengirimi kamu pesan itu."
"Mmm... mmm..." Gigi meraba-raba mulutnya, berusaha melepas benda asin itu, tapi dia tidak merasakan apa-apa. "MMMM!"
"Kamu kenapa? Kok cuma bergumam-gumam doang? Bisu, ya?"
Mulut gue disumpal! Gigi menunjuk mulutnya dengan geram. "MMM!"
"Ooh! Maaf, maaf!" Lulu mengibaskan tangannya dan seketika Gigi merasa mulutnya terbebas.
"Kenapa aku pake dibekap segala?"
"Soalnya kalo nggak dibekap, nanti kamu teriak!"
Gigi menarik napas dalam-dalam. Ya jelaslah aku teriak! Dia mengamati Lulu dari atas ke bawah. "Kamu ini... siapa?"
Lulu duduk di samping Gigi. Dia kelihatan seperti boneka ventriloquist jelek.
"Aku asisten malaikat cinta," katanya. "Kok bengong? Belum ngopi, ya?"
"Maksud kamu..." Gigi menelan ludah. "Kamu ini asisten Amore?"
Lulu mengangguk penuh semangat. "Tapi Amore sedang cuti, dan sekarang kamulah malaikat cinta penggantinya! Kamu udah dilantik kemarin, kan?"
Gigi langsung geger. "Jadi, mimpi yang kemarin itu nyata?"
"Mimpi? Mimpi apa?"
"Merpati yang patah sayapnya itu!" Kata-kata berhamburan dari mulut Gigi. "Terus berubah jadi cowok telanjang di kamar tidurku terus... terus..."
Lulu geleng-geleng sambil mengusap-usap dahinya. "Hadeh... maaf, ya. Amore memang suka kayak gitu. Tapi dia nggak mesum, kok. Wujud manusianya muncul kalau dia sedang terluka."
"Ooo..."
"Omong-omong, kamu dapat pesan dari Bosque!" Lulu jadi riang kembali. "Tugas pertama kamu sebagai cupid udah ada!"
"Hah? Tugas pertama? Jadi... aku harus betulan jadi cupid?"
"Mm-hmm! Kan kamu udah sah dilantik."
"Aduuuh... nggak bisa diganti orang lain aja, apa? Aku nggak – bukan, bukan, belum pernah jadi cupid! Aku bahkan nggak bisa bikin Rene buat... buat..."
"Kamu nggak usah takut!" Lulu menyentuh bahu Gigi. "Aku bisa bantu, kok!"
"Kenapa nggak si Amore yang bantuin aku? Ini kan harusnya tugas dia! Ke mana dia?"
"Duh. Kan Amore tangannya patah! Makanya dia nggak bisa bekerja. Kamu lupa, ya?" Lulu menjentik-jentikkan jarinya dengan galak. "Sekarang, kamu harus buka pesan dari Bosque! Di situ diberitahu siapa yang harus dibantu!"
Gigi merogoh-rogoh sakunya. "Eh, bon yang tadi itu ketinggalan di meja."
"Bon?" Lulu mendelik heran. "Memangnya pesannya ada di bon?"
"Lho, tapi tadi kan..."
Lulu menghembuskan napas dengan lelah. "Ya ampun! Biasanya kamu terima pesan di mana?"
Gigi memikirkan pertanyaan itu sejenak. "Di... hape?"
"Anak cerdas. Dari tadi, kek! Ayo, buka hapenya!"
Gigi terkikik geli. "Masa si Bosque mengirim pesan lewat hape? Memangnya Dia punya WhatsApp apa?"
Di layar ponsel Gigi, muncul sebuah notifikasi yang berbunyi: 'Satu pesan baru dari Bosque."
"Eh? Kok bisa? Bosque tau dari mana nomor aku?"
Lulu berdecak tak sabar. "Bosque itu MahaTahu! Udah, cepat dibaca!"
Ragu-ragu, Gigi membuka pesan itu. Semua ini masih terasa tak nyata baginya. Foto profil WhatsApp Bosque hanyalah awan-awan putih berlatar langit biru. Nggak ada sapaan perkenalan atau kalimat pembuka seperti layaknya pesan dari orang asing. Maklum, Bosque itu sibuk. Banyak yang harus diurus.
Pesan itu hanya berisi tiga kata: 'Olin dan Eka'.
"Olin sama Eka?" Gigi membaca pesan itu beberapa kali. "Tunggu sebentar. Maksudnya Bu Olin sama Pak Eka? Mereka kan guru-guru aku!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top