4. Ini Bukan Mimpi, kan?


"Ooo..."

Mama Gigi monyong, raut wajahnya persis seperti ketika dia sedang bergosip dengan ibu-ibu kompleks, menggunjingi anak si Bu X yang hamil di luar nikah.

"Ya udah, kalo gitu kamu turun gih, sarapan. Mama bikin tumpeng."

"Tumpeng? Siapa yang ulang tahun, Ma?"

"Iseng aja."

Gigi lupa bahwa keisengan Mamanya memang selalu beda level dengan iseng menurut standar emak-emak lainnya. Gigi jadi ingat waktu Mamanya iseng gali sumur pakai sendok di halaman belakang atau ketika beliau iseng menghitung ada berapa butir beras dalam sekarung beras.

"Nanti aja, Ma." Gigi melirik cowok asing itu. "Gigi belum lapar."

Mamanya mengangguk paham dan melengos pergi.

Gigi membiarkan pintu kamarnya terbuka. Dia masih merapat ke dinding, terlalu takut untuk mendekati cowok itu.

Cowok itu bangkit berdiri ingin menghampiri Gigi.

"Eits, eits! Jangan bergerak! Di situ aja!"

Cowok itu terhenti. "Terima kasih," katanya.

"Buat apa?"

"Kamu udah menolong aku," kata cowok itu. Suaranya dalam dan agak cuek, seperti cowok-cowok cool. "Tangan aku patah kemarin di dekat pohon mangga."

"Jadi kamu merpati itu?" Gigi tercengang. "Kenapa kamu berubah jadi manusia? Siapa kamu sebenarnya? Kok Mama aku nggak bisa melihat kamu? Kenapa kamu – UDAH AKU BILANG JANGAN BERGERAK!"

Cowok itu meraup selimut Gigi dan melilitkannya di pinggangnya. Dia jangkung dan agak kurus, tapi otot-otot dada dan perutnya terbentuk dengan baik. Tangan kanannya tampak sulit digerakkan, dan masih ada plester yang menempel di dekat sikunya. "Betul. Namaku Amore. Aku adalah merpati yang kamu tolong itu. Aku udah menentukan supaya hanya kamu yang bisa melihat aku, makanya Mama kamu ngga bisa melihat aku."

Gigi jatuh terduduk di lantai kamarnya, kakinya gemetar seperti orang kebelet pipis. Aslinya memang dia kepengen pipis, sih. Tapi urusan pipis bisa ditunda dulu.

"Kamu ini... siluman? Jin?"

Amore tertawa. "Bukan. Masa kamu nggak tahu?"

"Ya jelaslah aku nggak tahu! Kita kan baru sekarang ketemu!"

"Merpati? Amore? Masih belum paham?" Cowok itu bertanya sambil mendekati Gigi. Gayanya agak songong. "Aku ini populer banget, lho. Sering muncul di sampul undangan nikah. Sering dibicarakan orang-orang yang lagi kasmaran..."

"Umm... kantong plastik?"

Amore mendengus. "Kok kantong plastik?"

"Soalnya undangan selalu disampul pakai plastik dan orang kasmaran hatinya selalu berbunga-bunga..." Gigi cepat-cepat menambahkan. "Berbunga-bunga plastik."

Amore menghembuskan napas keras dan mengusap dahinya. "Aku ini cupid."

"Cupid?"

"Nggak tahu juga? Kamu idiot, ya?"

Gigi menguatkan diri untuk bangkit berdiri. "Cupid itu kan... dewa cinta?"

Amore terkekeh bangga dan membusungkan dadanya. "Jawabanmu benar, wahai anak manusia! Akulah Amore, sang dewa cinta! Hahaha!"

Gigi bengong mengamati Amore yang sepertinya ge-er sendiri. Cowok itu sama sekali tidak tampak seperti cupid. Dalam bayangan Gigi, cupid adalah bayi-bayi imut bersayap malaikat yang memegang busur dan panah, bukannya cowok kurus songong macam Amore ini. "Kalo kamu beneran dewa, kok sayap kamu bisa patah?"

Tawa Amore terhenti. "Err... sebenarnya bukan dewa sih. Lebih mirip malaikat. Aku masih harus bertanggung jawab sama atasan aku."

"Atasan kamu?"

"Ya. Sebut aja Bosque," kata Amore, kesombongannya surut sedikit. "Dialah sumber segala cinta dan pemelihara kehidupan. Aku dan para malaikat yang lain bertugas membantu-Nya, karena kalian manusia banyak sekali maunya! Hahaha!"

Lama-lama Gigi mulai sebal dengan tawa Amore. "Terus kamu sekarang mau ngapain? Apa kamu mau kembali ke um... khayangan?"

"Hohoho! No, no, no!" Amore menggoyang-goyangkan telunjuknya yang kurus di depan Gigi dengan sok. "Aku harus bertugas supaya orang-orang bisa terus jatuh cinta! Tanpa bantuan aku, dunia ini akan jadi tempat yang menyedihkan, karena nggak bakal ada orang yang mencintai!"

Amore melakukan gerakan mengusap-usap dada yang tampak agak mesum di mata Gigi. Namun lama-kelamaan bagian tengah dadanya memancarkan sinar kuning yang menyilaukan. Sinar itu membesar dan tiba-tiba muncul sesuatu dari baliknya, sebuah benda melengkung yang berbentuk seperti huruf D.

"Lihatlah!" Amore mengambil benda itu dengan tangan kirinya. "Inilah busur cinta yang legendaris itu! Hahaha!"

"Busur cinta?" Gigi mengernyit. "Keliatan kayak layang-layang rusak."

"Sembarangan kamu!" Amore mendekatkan busur itu ke wajah Gigi. "Ini produk ori, made in Khayangan, bukan yang KW lima ribu dapat tiga itu!"

Busur itu kecil, mirip seperti mainan anak-anak. Kerangkanya terbuat dari emas, tapi sudah agak kusam sedikit. Sepertinya jarang dibersihkan. "Ooo..."

"Dan inilah panah asmara!" Amore mencabut sebatang panah dari sinar di dadanya itu. Ada bulu-bulu merpati warna putih yang berbentuk buah hati di ekornya. "Dengan busur cinta dan panah asmara ini, aku bisa bikin siapapun jatuh cinta! Hahaha!"

"Siapapun?"

"Umm, nggak juga sih. Semuanya tergantung permintaan Bosque," kata Amore. "Aku hanya bisa menembakkan panah ini ke orang-orang yang sudah disetujui Bosque. Tapi intinya, siapapun yang terkena panah ini, akan jatuh cinta!"

Gigi terbahak-bahak. Ini bukan mimpi, kan? Pasti aku berhalusinasi parah seperti ini gara-gara memikirkan Rene seharian kemarin. "Masa sih? Ada-ada aja!"

Wajah Amore mengerut tak senang. "Kamu nggak percaya?"

"Ya enggaklah! Ini kan cuma mimpi!"

Amore menggeram marah. Dia mengayunkan busur itu dengan lincah dan tiba-tiba WHUZ! Busur itu membesar menjadi seukuran busur panahan asli. Dia memasang sebuah anak panah, dan bersiap meregangkannya. "Lihat dan saksikanlah! Kekuatan Amore, sang malaikat cinta! Hahaha!"

DOENG! Anak panah itu malah copot dari jepitan jari Amore dan jatuh.

Tawa Gigi pecah. "Kenapa? Kok nggak bisa?"

Amore tertunduk dan mencengkeram sikunya. "Ah. Aku lupa. Tanganku patah!"

"Ooo... Ya udah. Kalo gitu nanti aja demonstrasinya," kata Gigi sambil lalu. Cowok konyol! Cepat bangun kau, Gigi! "Aku bangun dulu, ya... Kebelet pipis!"

"Tunggu sebentar!"

Amore menarik tangan Gigi. Cewek itu terhenti. "Kenapa lagi?"

"Apa kamu nggak menyadari seberapa gawatnya kondisi ini?" seru Amore, suaranya melengking panik. "Kalau tangan aku patah, berarti aku nggak bisa bekerja!"

"Ya udah, kalo begitu tunggu sampai tangan kamu sembuh aja."

"Butuh seratus hari sampai tanganku bisa pulih kembali!"

"Seratus hari?" Gigi terkejut. "Bukannya kamu malaikat? Nggak bisa ekspres?"

"Monorail, kali. Ekspres..." Amore mendengus kesal. "Tidak bisa. Kami para malaikat adalah makhluk abadi, jadi waktu seratus hari itu tidak ada artinya. Kalau dibiarkan menunggu, akibatnya bisa gawat! Tidak akan ada orang yang jatuh cinta!"

Gigi terbengong-bengong. "Tapi... tapi..." Tidak ada cinta selama seratus hari? "Apa kamu nggak punya umm... pemain pengganti?"

"Aku ini cupid, bukan pemain sepakbola!" kata Amore ketus. "Harus ada yang menggantikan aku! Kalau tidak, dunia akan kacau tanpa cinta!"

Gigi diam saja. Perasaannya jadi tidak enak.

Tiba-tiba Amore menatap Gigi lurus-lurus. "Nama kamu siapa?"

"Umm... Gigi."

"Iya, itu aku udah tahu. Tadi Mama kamu menyebut kamu dengan nama itu. Maksud aku nama lengkap kamu siapa?"

"Gayatri Wulandari."

Amore manggut-manggut dan berdeham keras. Dengan mata terpejam, dia mengacungkan busur dan panahnya ke wajah Gigi. "Aku Amore, malaikat cinta ke delapan ratus delapan puluh tujuh, dengan ini melantik Gayatri Wulandari..."

"Eeeeh! Apa-apaan!" Gigi menarik ujung panah itu dan menjauhkannya dari wajahnya. "Aku nggak mau jadi-"

"... sebagai malaikat cinta selama seratus hari! Sekarang kamu pegang panahnya."

Amore membuka mata. Gigi merasakan panah yang dipegangnya itu menjadi hangat, seolah-olah benda itu hidup.

"Sah!" Amore bersorak senang.

"Sah apanya!" Gigi melepaskan pegangannya dari panah itu. "Aku nggak mau jadi malaikat cinta! Kamu seenaknya melantik aku tanpa minta persetujuan aku!"

"Pokoknya sah!" kata Amore cuek. "Kamu udah memegang panahnya!"

"Aku..." Gigi mengibas-ngibaskan tangannya, tetapi panah itu tak mau terlepas, seperti direkatkan dengan lem eksra kuat di jari-jarinya. "Nggak mau jadi cupid!"

Amore mengangkat bahu dengan masa bodo. "Pokoknya sah. Nah, sekarang aku mau istirahat dulu sampai tanganku sembuh!" Dia membungkuk dan tubuhnya perlahan-lahan menyusut, menjadi seekor merpati lagi. "Selamat bertugas!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top