33. Mahadaya Cinta


"Aku tidak berbohong."

Amore muncul di belakang Ankur. Ekspresi masa bodo yang biasa muncul di wajahnya hilang, sekarang si malaikat cinta kelihatan sangat serius.

Ankur menarik baju Amore tapi ditepis. "Jangan berpura-pura lagi!"

"Masa lalu sudah lewat, Ankur," kata Amore. "Semua itu sudah terjadi. Apapun yang kulakukan, aku tak akan bisa mengubahnya."

Ankur menggeram tak puas. "Kalau begitu, coba jelaskan: mengapa Bosque memilih kau sebagai malaikat cinta padahal Dia tahu kau memendam kebencian dan amarah yang begitu hebat pada Tyas dan dirimu sendiri?"

"Aku tidak tahu," kata Amore tenang. "Bosque tidak pernah cerita."

"Bosque itu tidak adil!" Sejumput api memercik dari jari-jari Ankur. "Dia menjadikanmu yang penuh benci itu sebagai malaikat terang dan mengusirku dari khayangan! Padahal seharusnya akulah yang jadi malaikat terang! Aku menyayangi Tyas dengan sungguh-sungguh sebagai sahabat. Aku tak pernah memaksanya untuk menikah dan lain-lain. AKU TIDAK SEPERTI KAU, AMORE!"

"Kau juga punya amarah dalam dirimu..." Amore mendekati Ankur. Mereka berdua berdiri berhadap-hadapan: terang dan gelap, cinta dan benci. "Kau marah padaku setelah tahu perbuatanku. Kau tak bisa memaafkanku karena telah memaksa untuk menikahi Tyas. Kau marah padaku karena aku mengakhiri hidupku sendiri. Kau tak bisa memaafkanku. Kita berdua sama-sama marah dan dendam. Tapi aku tak bisa merasakan semua itu lagi. Bosque mengubah kita sewaktu menjadikan kita malaikat. Dia menghapus emosi-emosi itu dariku..."

"Baik kalau itu maumu..." Bibir Ankur yang tipis bergetar. Napasnya naik turun, api merah berkobar di matanya. "Kalau begitu, sekarang kalian semua akan menyaksikan angkara murkaku!"

Ankur terbang melesat ke dalam rumah. Amore ingin menahannya tapi tak kalah cepat. "Gigi, busur dan panahnya!"

"Oh, iya!" Gigi menarik kedua alat itu dari dirinya. "Ayo!"

Mereka berbondong-bondong mengikut Ankur ke dalam rumah. Tapi begitu masuk ke dapur, kabut hitam yang menyesakkan menyambut mereka. Kabut itu mengisi seluruh rumah, sampai pandangan jadi terhalang.

Gigi, Lulu dan Nana berpengangan pada Amore supaya tidak menabrak sesuatu. Tubuh si malaikat terang bercahaya seperti bulan purnama. "Ada apa ini?"

"Ankur akan menampakkan diri," kata Amore. "Dia menyebar ketakutan pada para manusia lewat kabut ini. Kita harus segera menemukannya!"

Tertatih-tatih, mereka sampai di ruang depan. Amore betul. Para manusia jatuh bergelimpangan, ada yang di kursi dan yang lain di lantai. Mereka semua gemetar ketakutan, ekspresi wajahnya ngeri sekali seperti baru melihat neraka.

"Gigi..."

Ada yang meraih pergelangan kaki Gigi. Gadis itu melompat kaget, dia mengira menginjak ular. "Ciko!"

Ciko terkapar di lantai, tapi dia masih sadar. Gigi cepat-cepat membantunya berdiri. "Kabut ini... muncul tiba-tiba. Dan semua orang jadi aneh..."

"Ini semua ulah Ankur," kata Gigi. "Apa kamu tau ke mana dia pergi?"

"Aku melihat sebuah bayangan hitam dan..." Ciko tercengang. "Wow!"

Dia menunjuk Amore. Rupanya si malaikat terang baru saja menampakkan dirinya. Nana juga. Ciko terheran-heran.

"Ciko, yang putih itu Amore," Gigi menunjuk Amore. "Yang gemuk itu Nana. Perkenalannya nanti aja. Tadi kamu bilang Ankur pergi ke mana?"

"Dia pergi ke depan..." kata Ciko. "Dia membawa Mama kamu, Gi. Aku mencoba menolongnya tapi kabut ini bikin aku ketakutan dan putus asa. Rasanya seperti aku nggak bakal bisa berharap lagi..."

"Tutup hidung kamu," kata Amore. "Dan jangan jauh-jauh dari kami. Ayo!"

Ciko bergabung bersama Gigi dan para malaikat lalu pergi ke teras depan. Di halaman, keadaannya lebih gawat lagi. Kabut ketakukan yang disebarkan Ankur sudah meluas menutupi seluruh rumah sampai ke jalan. Mobil-mobil yang diparkir sampai tidak terlihat.

Nana menunjuk ke langit. "Itu dia!"

Di langit yang hitam, Ankur melayang di atas kobaran api. Kebencian dan amarah yang menguar dari dirinya sudah sebegitu hebat sampai-sampai menutupi cahaya bulan dan bintang. Anisa terkatung-katung di dekatnya, seperti boneka kain.

Gigi meraung pada Ankur. "Lepasin Mama aku, Ankur!"

Ankur terbahak keji. "Tidak sebelum rencanaku tuntas! Orang-orang yang pingsan di dalam itu akan sadar tak lama lagi. Mereka akan mengira sedang keracunan makanan gara-gara menghirup kabut kegelapanku! Kemudian mereka akan menuduh Anisa dan kateringnya sebagai biang kerok. Karena kejadian ini, Farhan akan berhenti menggunakan katering Anisa. Ibu kamu akan merasa putus asa karena usahanya nggak laku lagi. Dia akan marah dan dendam karena difitnah yang bukan-bukan. Semuanya akan saling benci, semuanya akan marah! Semuanya akan jatuh dalam kegelapan! Akhir yang bahagia!"

"Nggak akan kubiarkan!" teriak Gigi. Dia tergoda untuk marah, tapi dia mengingatkan diri sendiri. Kalau aku marah, Ankur malah akan bertambah kuat! Aku harus mencari cara untuk mengalahkan Ankur! Apa yang sanggup melawan kebencian yang sekuat ini?

Tiba-tiba jawabannya muncul begitu saja dalam kepala Gigi. Dia memasang sebatang panah dan mengarahkannya pada Ankur.

Lawan dari benci adalah cinta.

Dia menembakkan panah itu. WHUUUS!

TAK!

Ankur menebasnya. Panah itu terpantul dan jatuh ke tanah.

"Dasar bodoh!" Dia tetawa dengan puas. "Panahmu nggak akan pernah bisa melukaiku. Aku bukan target yang tepat! Aku kebencian dan angkara murka sejati!"

Gigi menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Efek kabut itu mulai menyerangnya, dia mulai putus asa dan kehilangan kesabaran.

"Gigi, ayo coba lagi..." Amore menyemangatinya. "Pakai cara yang aku ajarkan sama kamu. Bayangkan kekuatan panah itu menghancurkan Ankur."

"Tapi Ankur benar, Amore," balas Gigi. "Panah ini hanya bisa menembak target dan Bosque tidak meminta apa-apa..."

"Coba aja, Gi!" desak Ciko. "Ikuti instruksi Amore!"

Gigi mencoba lagi. Dia mengambil panah yang kedua, membayangkan panah itu mengenai Ankur dan memunahkan kebencian dalam dirinya. Panah itu melesat ke arah Ankur, kali ini lebih cepat dan lebih mantap dari sebelumnya.

TAK!

Ankur menebas panah itu lagi. Tawanya makin menggelegar.

"Masih nggak bisa!" Lulu ikutan panik. "Gimana nih?"

Amore menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Dia melirik Ankur yang bertahta di langit seperti bola api raksasa dan Anisa yang disanderanya.

"Aku akan masuk ke panah ini..."

"Hah?" Gigi mengernyit. "Apa maksud kamu, Amore?"

Amore menyentuh anak panah ini dengan ujung telunjuknya. "Panah ini tidak cukup kuat jika ditembakkan sendirian. Tapi kekuatanku akan membuatnya lebih bertenaga. Aku akan bersatu dengan panah ini. Lulu juga. Kami malaikat cinta – inti diri kami adalah cinta. Sudah hakikat kami untuk melawan kebencian."

"Tapi Amore!" Nana berseru tak setuju. "Kamu nggak bisa menyerang Ankur! Kalau kamu melakukannya, kalian akan sama-sama... lenyap!"

"Tidak ada yang tahu tentang masa depan, Nana..." Amore tersenyum menentramkan pada si malaikat kesuburan. "Bosque-lah yang menentukan takdir."

Tubuh Amore dan Lulu bersinar. Si asisten membelai tangan Gigi dengan sayang dan tersenyum. "Terima kasih untuk semuanya, Gigi..."

"Tunggu!" Ini nggak seperti yang dibayangkan Gigi. "Amore, Lulu... pasti ada cara lain. Nggak harus seperti ini!"

Amore dan Lulu melebur menjadi sebuah bola cahaya putih yang terang sekali, seperti bintang. "Nana..." Suara Amore terdengar dari bola itu. "Saat panah ini menusuk Ankur, tolong tangkap Anisa."

Bola itu bergerak menuju panah dan menempel di ujungnya.

Seakan ada yang mengalirinya dengan listrik, Gigi merasakan panah itu jadi semakin bertenaga. Ada Amore dan Lulu di anak panah ini!

"Malaikat-malaikat tolol!" Ankur berteriak dari langit. "Kalian akan gagal!"

Dia menghentakkan tangannya dan asap hitam yang bergulung-gulung tumpah membanjiri Gigi sampai gadis itu terjatuh. Nana berubah menjadi kelinci dan melompat menghindar. Dia bersiaga tepat di bawah Ankur, siap menangkap Anisa kalau wanita itu terjatuh.

"Kuatkan diri kamu, Gigi!" kata suara Amore. "Ayo!"

Rasa putus asa dan kesedihan mulai menguasai Gigi. Asap hitam itu mengungkunginya seperti sebuah kubah. Kebencian Ankur padanya menyebar sangat pekat melalui asap itu; jahat, kejam dan ingin menghancurkan. Gigi sampai kesulitan bernapas. Lehernya tercekik.

"Ayo, Gigi!" Tiba-tiba ada tangan yang mengangkat Gigi dan menariknya untuk berdiri. "Bangkit! Kita nggak boleh kalah!"

Dari belakang, Ciko mendukung Gigi. Pegangan Ciko mantap dan kuat. Gigi merasa seperti dialiri energi baru.

Si malaikat kegelapan menyadarinya dan terbang semakin tinggi di langit.

"Ah! Aku nggak sampai, Ko."

Ciko berjongkok dan menyodorkan punggungnya. "Naik ke atas aku. Aku akan gendong kamu. Ayo! Cepat!"

Gigi memanjat ke punggung Ciko sambil mengenggam erat panah dan busur itu. Ciko berdiri, dan seketika itu juga posisi Gigi jadi lebih tinggi. Dia mengarahkan panahnya pada Ankur dan berdoa dalam hati.

Semoga kebencian dalam dirimu dikalahkan oleh kekuatan cinta!

Nana berteriak dari kejauhan. "Sekarang!"

Gigi melepaskan panahnya. Anak panah itu melesat lurus ke arah Ankur, bola cahaya putih di ujungnya berpendar semakin terang seperti matahari min. Si malaikat kegelapan memekik ngeri, dia berkelit menghindar tetapi panah itu mengejarnya dan menghujamnya tepat di tengah-tengah jantungnya.

Cahaya putih yang membutakan meledak di langit. Kekuatan ledakannya hebat sekali, menerjang apapun di bawahnya seperti bom nuklir.

Gigi dan Ciko terhempas jatuh akibat ledakan itu. Sosok hitam Ankur mengabur menjadi semu, dan Gigi melihat tubuh ibunya melayang jatuh dari langit seperti kapas. Nana mengubah sosoknya menjadi manusia dan menangkap Anisa tepat sebelum wanita itu menumbuk tanah.

Gigi mengerjap-ngerjap. Ketakutan dalam dirinya sudah terangkat dan dia tahu Ciko juga merasakan hal yang sama. Punggung cowok itu lebih tegar. Gigi turun dari punggungnya dan tiba-tiba Ciko merengkuh tangannya.

Dia tersenyum lebar pada Gigi. "Kita berhasil!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top