28. Pilihan


"Aduh, Gigi! Hati-hati!"

"Sori, sori!" Gigi buru-buru menyeimbangkan tubuhnya. Dia hampir saja menjatuhkan tumpeng yang akan jadi menu primadona malam ini.

"Lo kenapa sih?" Ciko mengamati Gigi dari atas ke bawah. "Kok hari ini kayak nggak fokus? Belum ngopi?"

Gigi nyengir serba salah. Dengan hati-hati, dia meletakkan tumpeng di itu di atas meja. Ibunya, Bu Ajeng dan Tuti sedang menurunkan nasi kotak dari mobil.

Ciko menyentuh bahu Gigi. "Lo lagi sakit?"

"Enggak kok, Ko..." Jam di dinding menunjukkan lima menit menuju pukul tiga sore. "Gue cuma... pusing."

"Pusing kenapa? Lo belum makan siang, ya?"

"Bukan, bukan!" Gigi menggigit bibir. Satu jam lagi. "Gue..."

"Gigi," Anisa memanggil putrinya. "Tolong turunin tisu sama puding dari kursi tengah, ya! Bawa ke ruang makan! Flanya ada di dalam Tupperware."

"Iya, Ma." Gigi lega karena dia bisa terbebas dari Ciko. Tapi rupanya cowok itu masih mengikutinya dengan penasaran.

"Lo gugup karena mau ketemu Farhan, Gi?"

Gigi menarik napas dalam-dalam. Kalau sudah begini, mau gimana lagi? "Enggak, Ko. Lo salah sangka. Gue ada janji jam empat."

Ekspresi Ciko berubah datar. "Sama Rene?"

Gigi mengangguk. "Kita janjian untuk nonton."

"Lo janjian untuk nge-date sama Rene tapi lo juga mau membantu Mama lo?" tuntut Ciko tajam. "Sebenarnya lo mau yang mana?"

"Gue nggak bisa milih, oke? Gue harus ngelakuin dua-duanya."

Ciko meraih bahu Gigi dan membalik tubuhnya supaya mereka berhadapan. "Lo serius, Gi? Ini proyek terakhir lo sebagai cupid dan ini juga menyangkut Mama lo! Kenapa nggak lo tunda aja janji sama Rene itu?"

"Karena gue nggak bisa menolak Rene!" balas Gigi. "Ini pertama kalinya gue bakal jalan sama Rene, Ko! Lo nggak tau berapa lama gue menunggu untuk hal seperti ini? Sebagai sahabat gue harusnya lo paham dong Ko!"

Ciko membuka mulutnya tapi tidak mengatakan apa-apa. Belakangan dia sering bersikap seperti itu. Gigi kesal melihatnya.

Ciko masih diam saja sementara Gigi mengeluarkan tisu, puding dan fla dari kursi tengah mobil van Pak Salim. Dia pergi ke ruang makan, dan Ciko menyusulnya lagi.

"Jadi sekarang lo mau ngapain, Gi? Acaranya dimulai jam lima sore. Lo nggak mungkin berada di dua tempat secara bersamaan, kan?"

Gigi juga sudah pusing memikirkan itu. "Gue rasa gue bisa cepat-cepat balik ke sini setelah pergi sama Rene. Gue pasti terlambat, tapi setidaknya..."

Gigi tidak meneruskan kalimatnya. Ciko sedang memandanginya dengan tatapan nggak setuju. Walaupun cowok itu nggak mengungkapkannya, tapi hal itu tersirat jelas dari raut wajah dan sinar matanya.

Hanya itu satu-satunya cara.

Gigi meletakkan barang-barang itu di tempatnya. Dia terpaksa mengabaikan Ciko dan menghampiri ibunya. "Ma, Gigi mau pergi sebentar, ya. Mau ketemu teman. Penting."

Anisa mengerjap kebingungan. "Sekarang, Gi?"

"Iya, Ma. Tapi nanti sore Gigi balik lagi ke sini, kok."

"Acaranya sebentar lagi, lho. Kenapa mendadak, sih?"

Gigi meremas tangan ibunya untuk menenangkannya. "Gigi pasti balik kok, Ma. Janji nggak bakal lama. Lagian acaranya masih dua jam lagi, kan?"

"Oke deh," kata Anisa ragu-ragu. "Tapi Ciko ikut sama kamu, kan?"

Gigi terhenti. Dia membalas pandangan ibunya. "Enggak, Ma. Ciko nggak ikut."


...


Rene bilang dia nggak bisa menjemput Gigi karena mobilnya dipakai orangtuanya jadi mereka janjian untuk bertemu di Mall Pondok Cabe-cabean. Begitu turun dari ojol, Gigi langsung naik ke bioskop di lantai empat. Di dekat pintu bioskop, Rene sudah menunggunya.

Sewaktu mengantre tiket dan menunggu di samping studio, lagi-lagi Gigi merasakan sensasi jadi seleb dadakan itu. Rene menyedot perhatian setiap orang yang melihatnya dimanapun dia berada karena sosoknya yang rupawan. Setengah mati Gigi menahan perasaan minder berada di samping cowok itu. Tatapan orang-orang pada Gigi seakan ingin mengenyahkannya karena "menganggu" pesona Rene, padahal kan sekarang mereka resmi berpacaran.

Karena Rene hanya suka film-film Prancis, jadi hari itu mereka menonton sebuah film drama yamg membosankan. Rene memesan tiket untuk studio VIP yang lengkap dengan tempat tidur, jadi posisi duduk mereka dipisahkan oleh sebuah meja tempat camilan di tengahnya. Padahal Gigi mau berpegangan tangan dengan Rene, layaknya orang-orang pacaran. Selama menonton, Gigi kurang paham film itu dan Rene termasuk orang yang nggak mau diajak ngobrol saat menonton. Tak berapa lama, Gigi langsung terlelap.

Setelah film selesai, Rene membangunkan Gigi.

Gigi mengelap sisa iler dari mulutnya. "Maaf aku ketiduran, Rene."

"Nggak apa-apa. Film-film Prancis memang nggak untuk semua orang, kok," kata Rene sambil tersenyum ramah. "Gimana kalo sekarang kita dinner?"

Ponsel Gigi bergetar di dalam tasnya. Dia mengintip sejenak. Ada dua missed calls dari ibunya dan Ciko. Uh. Dinner? Sekarang?

"Boleh, Rene." Gigi nggak tega menolak. "Kamu mau makan di Mekdi?"

"Mekdi?" Rene tertawa. "Aku mau mengajak kamu ke Le Menteur, sebuah restoran Prancis yang ada di dekat sini. Aku yang traktir."

Uh. Lagi-lagi Gigi tak mampu berkutik melawan tatapan Rene. Restoran Prancis? Aku sama sekali makan belum pernah makan di restoran seperti itu. "Oke deh, Rene."

Mereka turun ke lobi depan untuk mencari taksi. Rene nggak mau naik taksi online. Dia lebih memilih taksi plat merah yang argonya terkenal super mahal itu. Gigi mencoba memaklumi bahwa seorang pangeran seperti Rene pasti hanya menginginkan hal-hal yang terbaik. Mulai dari film, makanan, sampai alat transportasi. Nggak heran cowok itu selalu jadi yang nomor satu. Mungkin kulit Rene langsung gatal-gatal kalau naik angkot. Untuk ke sekolah saja, pacar Gigi itu diantar jemput sedan mewah.

Sebuah Alphard berhenti di depan mereka. Rene menyilakan Gigi untuk naik duluan. Lalu mereka berkendara ke daerah Jakarta Selatan, menuju restoran itu.

Dari depan, Le Menteur hanya terlihat seperti restoran yang menyedihkan. Tapi ketika mereka melewati gerbangnya, barulah Gigi terbengong-bengong. Restoran itu lebih mirip sebuah hotel.

Seorang pelayan menyambut mereka dalam Bahasa Prancis. Rene belum bikin reservasi, tapi dengan gampangnya dia mendapat meja berkat menyinggung ibunya. Mereka diantar ke sebuah meja makan bulat bertaplak putih dengan peralatan makan dari perak.

Gigi menatap pisau, sendok dan garpu itu. Alat makan macam apa ini?

Si pelayan datang dan membawakan anggur. Rene menawarkannya pada Gigi, tapi dia menolak dengan sopan. "Aku nggak minum alkohol, Rene."

Rene mengangguk paham. "No problem. Kamu mau pesan apa?"

Gigi mengambil kartu menu. Bahkan kartu itu saja sudah kelihatan mahal seperti undangan pernikahan. Gigi membuka dan membaca isinya.

"Umm... Rene. Ini semua dalam Bahasa Prancis."

"Oh." Rene tersenyum minta maaf. "Sini aku jelaskan."

Rene mulai menjelaskan menu yang tertulis di situ. Nama-nama makanan yang nggak familiar di telinga Gigi. Salmon panggang dengan saos custard dan lemon? Apa itu? Nggak ada tempe orek dan sayur lodeh?

Telepon Gigi berdering. Mamanya menelepon.

Gigi membiarkan Rene yang masih nyerocos sendiri. Dia ingin menerima panggilan telepon itu, tapi tentu saja nggak bisa. Aduh, bagaimana ini? Jam bandul antik di dekat meja resepsionis menunjukkan sebentar lagi pukul enam.

Panggilan dari mamanya terhenti. Kali ini Ciko yang menelepon.

Gigi jadi galau. Dia sudah berjanji pada ibunya bahwa dia akan kembali. Tapi sebentar lagi Rene akan memesan makanan. Ini bakal jadi makan malam romantic pertama kami! Apa yang harus kulakukan?

Pesan WhatsApp baru muncul dari Ciko. Isinya: 'Di mana lo, Gi?'

"Umm, Rene?" Gigi menelan ludah. "Gimana kalo kita takeaway aja?"

"Takeaway?" Rene mengernyit. "Ini restoran fine dining, Gigi. Nggak bisa takeaway. Kita harus makan di sini."

"Tapi..." Gigi merasa sebaiknya dia jujur saja pada Rene. Dia tak mau berbohong pada pacarnya sendiri. "Aku udah janji bakal pulang cepat malam ini sama Mama aku."

Rene terkesiap. Dia melipat kembali kartu menu itu dan meraih tangan Gigi. "Kenapa begitu, Gigi? Apa kamu nggak mau menghabiskan malam ini sama aku?"

"Bukan begitu maksud aku, Rene. Tapi..."

"Tapi..." Rene mencondongkan tubuhnya pada Gigi. "Kenapa?"

"Aku pikir hari ini kita cuma mau pergi nonton aja."

Wajah Rene semakin dekat. Iris mata cowok itu yang biru cemerlang bikin Gigi tambah sulit berpikir. "Padahal aku kepingin banget ngajak kamu makan malam di restoran ini. Atau jangan-jangan sebenarnya kamu nggak suka jalan bareng aku, ya?"

"Aku suka kok, Rene. Sumpah! Tapi–"

Sekonyong-konyong, Rene mencium Gigi sampai cewek itu terdiam. Cowok itu mengecup bibirnya begitu saja, tanpa bertanya atau memedulikan sekitarnya. Sekujur tubuh Gigi langsung gemetar. Dia syok dicium seperti itu. Ciuman Rene basah, lembut dan manis, seperti makan permen. Seisi dunia terasa jungkir balik. 

Baru pertama kalinya Gigi dicium seorang cowok. 

"Rene..." Ponselnya masih terus berdering-dering akhirnya menyadarkan Gigi. Dia teringat janjinya pada Mamanya, dan proyek terakhir itu. Dengan usaha ekstra keras,  Gigi mendorong Rene sedikit untuk menjauh. "Maaf, aku benar-benar harus pergi."

Iris mata biru Rene tiba-tiba berganti warna jadi merah menyala, seperti api. Cowok itu menarik tangan Gigi dan memitingnya di atas meja. Dia menyeringai dan berbisik, suaranya berubah menjadi desisan dingin seperti ular.

"Kau nggak akan ke mana-mana, cupid tolol!"




--------------------------

FYI: Hari ini (28 Mei 2020) satu bab dulu ya. Supaya pas 31 Mei novel ini tamat, hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top