26. Rahasia Mama Gigi


Gigi mengetuk-ngetuk ponselnya.

Grup chat kelasnya sedang ramai. Pembicaraan dimonopoli oleh Ciko yang entah kenapa hari ini bertindak sebagai pakar astrologi dan menebak-nebak tipe pacar yang cocok untuk anak-anak berdasarkan zodiak mereka. Karena tadi jalan bareng Rene, Gigi belum sempat memberitahu Ciko soal proyek terbarunya. Dia juga masih merahasiakan statusnya sebagai cupid dari Rene.

Gigi membuka chat dengan Rene. Cowok belum membalas chat-nya.

Mungkin dia sibuk, pikir Gigi sambil menghibur dirinya sendiri.

Lulu sedang ikut menemani Nana yang pergi membantu seorang ibu-ibu melahirkan di gang belakang. Amore check-up lagi sama dokter khayangan. Gigi berbalik di kasur. Tatapannya jatuh pada fotonya dan Mama di atas meja belajar.

Gigi sudah mengonfirmasi proyek terbarunya ini dengan Amore. Yang dimaksud Bosque dengan Anisa betulan mamanya.

Siapa Farhan?

Selama lima tahun belakangan ini, di rumah mereka hanya ada Gigi, Gogo kakaknya, dan Mama. Kakaknya berangkat untuk kuliah ke Bandung dua tahun yang lalu. Sewaktu Gigi kelas lima, ayahnya meninggal karena kanker. Dan sejak saat itu Mamanya sendiri. Beliau belum memutuskan untuk menikah lagi.

Tapi tentu saja lima tahun adalah waktu yang lama. Meski belakangan Mamanya sudah tak pernah menangis lagi, Gigi tahu bahwa hidup ibunya tidak mudah. Beliau berjuang membesarkan dua anaknya dengan membuka usaha katering. Untung saja katering Mama Gigi nggak pernah sepi pelanggan, karena butuh uang banyak untuk membiayai sekolah Gigi dan kuliah Gogo.

Dan ini adalah proyek terakhirnya sebagai cupid. Gigi harus berhasil! Apalagi karena proyek ini melibatkan ibunya, dan sudah pasti bakal berdampak pada dirinya. Gigi nggak mau ada yang kacau.

Gigi mengingat-ingat. Selama ini Mama belum pernah menyebut-nyebut soal pria lain. Dia memutuskan untuk turun ke bawah dan bertanya langsung pada ibunya.

Mama Gigi ada di dapur, sedang menyiapkan bumbu. Ada pesanan katering lagi dari sebuah bank hari Sabtu besok. Wanita itu menoleh ketika Gigi masuk.

"Gi, kamu minum obat kurus ya? Berat kamu turun jauh, lho."

"Enggak, Ma. Gigi olahraga," Gigi mengaku. Tak ada gunanya berbohong pada Mama, naluri emak-emak yang setajam silet selalu berhasil menyingkap dusta. "Tiap pagi pas Mama masih tidur. Makanya berat badan Gigi turun."

"Wah, kenapa kamu nggak nge-gym aja?"

"Gym mahal."

"Oh, ya udah. Asal jangan sampai sakit aja, ya..."

Gigi mengiyakan. Dia senang karena ibunya adalah tipe orang tua yang nggak terlalu menggerecoki urusan anaknya. Gigi duduk di dekat meja makan dan mengambil bawang putih untuk dikupas. "Ma, Gigi mau tanya sesuatu..."

"Apa tuh, Gi?"

"Mama nggak mau menikah lagi, apa?"

Suara pisau yang berdetak di atas talenan terhenti. Anisa berbalik dan menatap putrinya. "Kenapa kamu tiba-tiba nanya begitu, Gi?"

"Penasaran aja," kata Gigi jujur. "Papa kan udah pergi lima tahun yang lalu. Mama masih muda. Mama masih bisa menikah lagi."

Anisa tertawa. Dia menggeleng-geleng geli. "Kamu mau punya Papa baru?"

"Kalo itu bisa bikin Mama bahagia, Gigi setuju aja. Kakak juga kok."

Anisa melepaskan pisau dan duduk di sebelah putrinya. "Mama bahagia kok, Gi. Kan ada kamu. Gogo memang di Bandung, tapi setiap liburan dia selalu pulang, kan? Kamu memikirkan Mama, ya?"

Setelah dibicarakan seperti ini, barulah Gigi merasa bahwa ini urusan yang serius. Bagaimana kalau ternyata Mama nggak mau menikah lagi? Bagaimana dengan Farhan? "Tapi kan Mama bisa lebih bahagia kalo punya pasangan lagi."

Anisa terperangah. Matanya bergerak-gerak. Setelah beberapa detik, dia tertunduk dan pura-pura meluruskan taplak meja. "Tapi apa kalo Mama menikah lagi lantas apa Gigi sama Gogo jadi ikut bahagia?"

Gigi terenyuh. Mamanya lebih memikirkan kebahagiaan dia dan kakaknya ketimbang dirinya sendiri. "Kalo dia laki-laki yang baik, sayang sama Mama, dan peduli sama aku dan Gogo, kenapa enggak, Ma? Aku nggak keberatan kok punya saudara tiri. Di rumah ini hanya ada kita berdua."

Anisa manggut-manggut. "Perlu sosok laki-laki, ya..."

"Benar. Mama nggak seharusnya ngebetulin atap bocor atau ngecat tembok seorang diri. Selain itu, belakangan ini usaha katering kita tambah ramai. Kalo ada yang bantu-bantu bisa lebih gampang kan, Ma?"

Anisa melirik Gigi dengan agak curiga. "Kamu nggak nyuruh Mama menikah lagi supaya Mama punya tukang bantu-bantu aja, kan?"

Gigi meraih tangan Mamanya dan meremasnya. "Enggak lah, Ma. Gigi mau Mama bahagia. Gigi mau kita bahagia dan jadi keluarga utuh lagi kayak dulu."

Anisa mengerling pada foto keluarga yang terpasang di dinding. Itu foto lama sewaktu Gigi dan Gogo masih kecil. Foto itu diambil saat mereka liburan keluarga ke Ancol. Tampak Mama dan Papanya melambai ke kamera sambil mengapit Gigi dan Gogo di tengah yang senyum sumringah.

"Papa nggak akan marah," kata Gigi, menangkap apa yang dipikirkan ibunya. "Gigi yakin Papa juga mau Mama bahagia."

Anisa menghela napas dalam-dalam dan mengalihkan tatapannya. Ada sedikit air di sudut-sudut matanya. Saat berbicara lagi, suaranya terdengar sendu. "Baiklah kalo kamu maunya begitu, Gi. Mama juga mau kasih tahu sesuatu..."


...


"Ko, lo ngedengerin gue nggak sih?"

Ciko pura-pura membetulkan dasinya dan melirik Gigi. "Proyek terakhir lo berhubungan sama Mama lo. Beliau tertarik sama laki-laki bernama Farhan yang bekerja di bank. Mereka saling kenal karena Farhan pernah pesan katering sama Mama lo untuk acara-acara di kantornya. Sayangnya Mama lo masih belum yakin kalo si Farhan ini punya perasaan yang sama."

Gigi tercengang. Ternyata selama ini Ciko menyimak. "Gue pikir lo nggak ngedengerin gue. Soalnya lo sibuk pura-pura benerin seragam dari tadi."

"Kancing kemeja gue copot, nih..."

"Mana? Coba lihat?"

Gigi memeriksa kemeja Ciko. Ada satu kancing yang copot di bagian perut. "Wah, untung gue selalu bawa peniti. Sebentar ya..."

Gigi mengubek-ubek tasnya. Dari dalam kotak pensil, Lulu mengulurkan sebuah peniti. Dengan hati-hati Gigi memasangkan peniti itu di kemeja Ciko.

"Udah nih, Ko. Kancing yang lepas ada nggak?"

Gigi mendongak. Ternyata Ciko juga sedang memandanginya. Cepat-cepat Ciko membuang muka. Telinganya merah. "Udah jatuh. Biarin aja. Thanks, Gi!"

Ciko kenapa ya? Gigi merasa belakangan gelagat sahabatnya itu agak aneh. Apa karena sekarang aku pacaran sama Rene?

"Terus..." Ciko mengganti topik. "Rencana lo apa, Gi?"

"Hari Sabtu ini kan Farhan pesan katering lagi untuk acara di rumahnya. Ibunya Farhan ulang tahun. Nah, gue berencana ikut untuk menyelidiki, Ko..."

Ciko diam sebentar. Dia masih belum mau menatap Gigi. "Ide bagus, Gi. Omong-omong, si Farhan ini udah sering pesan katering sama Mama lo?"

"Iya. Kayaknya ini udah yang keempat kalinya, deh."

"Masakan Mama lo memang maknyos sih, Gi. Tapi selain itu..." Tiba-tiba telinga Ciko memerah lagi. "Kalo si Farhan terus-terusan bersedia ketemu sama Mama lo, bisa jadi dia juga ada rasa. Seorang laki-laki nggak mungkin sering-sering mau ketemu sama seorang perempuan kalo dia nggak tertarik..."

Gigi memikirkan itu. Ciko ada benarnya. Sahabatnya yang satu ini memang paling enak diajak diskusi.

Bisik-bisik antusias berdengung dari gerbang sekolah, seperti sekumpulan lebah. Gigi sudah tahu apa arti bisik-bisik itu. Seseorang telah datang.

"Tuh, si Rene," kata Ciko, menunjuk Rene dengan hidung. "Samperin, gih."

Rene masih melakukan ritual paginya saat sampai di sekolah: dadah-dadah sama kumpulan penggemarnya. Hari ini Rene pakai jaket baru, yang model Korea dengan hoodie dan kancing besar-besar. Seorang cewek kelas sebelas nekat menyetop Rene dan mengajaknya selfie. Rene mengizinkan dengan senang hati. Akibatnya cewek-cewek yang lain juga menuntut minta selfie, sampai-sampai Mang Ucup harus jadi pengawal dadakan supaya Rene bisa masuk ke halaman.

Gigi merasa sedikit cemburu, dia memanggil-manggil tapi cowok itu sepertinya tidak mendengar. Ketika Rene sampai di depannya, Gigi berteriak agak keras dan barulah pacarnya itu menoleh padanya.

"Ko, gue ketemu sama Rene dulu ya. Kita ngobrol lagi di kelas."

Ciko tersenyum kecil dan mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top