24. Permintaan Gigi


Apa kamu pernah mendapatkan kesempatan kedua?

Kesempatan kedua itu misalnya seperti ini: kamu pergi menemani Mamamu ke arisan ibu-ibu di kompleks. Nah, biasanya kan selesai arisan ada acara makan-makan, tuh. Di atas meja, kamu menemukan makanan favorit kamu: jengkol saos tiram. Tapi karena ini sedang arisan, kamu malu menyendok banyak-banyak dan hanya mengambil secuil saja. Si tuan rumah melihat porsi makanmu yang minimalis itu dan bilang begini ke kamu:

"Mawar (nama samaran), kok ngambil lauknya dikit amat? Tambah, gih!"

Dan akhirnya dengan hati yang diliputi sukacita, kamu menuang setengah panci jengkol itu ke piring kamu, sekaligus minta dibungkusin buat dibawa pulang.

Kira-kira seperti itulah kesempatan kedua.

Rakus juga kurang lebih seperti itu.

Sewaktu Amore menyanggupi permintaan Gigi, dia tahu bahwa inilah kesempatan keduanya untuk mencuri hati Rene. Kamu yang julid bisa aja menyebut Gigi halu, tapi yang namanya kesempatan harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Jadi Gigi pol-polan. Dia sampai nekat membobol celengan ayam miliknya dan membeli dress baru. Karena tubuh Gigi sekarang ciut drastis seperti balon bocor, dia bisa pakai baju yang lebih imut. Nana juga sudah mencatok rambutnya dan Lulu membantu merias wajahnya. Gigi sudah siap tempur.

Begitu Ciko melihat Gigi muncul dari dalam rumah, cowok itu tercengang.

"Kamu siapa?"

"Haha. Lucu lo, Ko!"

"Ih, serius. Pangling gue!" Mata Ciko berbinar-binar seperti Mawar saat melihat jengkol saos tiram. "Akhirnya lo nyadar bahwa lo kurusan!"

Gigi ikutan kaget. "Maksud lo? Lo udah nyadar duluan?"

Ciko nyengir. "Iyalah. Dua bulan belakangan ini berat badan lo udah turun banyak tau, Gi. Tebakan gue ada sekitar lima belas kilo?"

Gigi heran karena tebakan Ciko tepat. "Wah, bener. Kok lo tau sih?"

Ciko terkekeh pelan dan mengingatkan Gigi untuk pakai sabuk pengaman. Hari ini Ciko menyetir mobil setelah selesai mengantar Coki ke tempat les musik. Lalu mereka berduapun berangkat.

Gerai Mekdi itu sudah ramai dipenuhi teman-teman sekelas Gigi. Rupanya mereka sudah memesan paket kombo rame-rame, yang biasanya dapat ayamnya bisa sampai sepuluh potong tapi nasinya cuma dua.

"Wah, Gigi!" Sheila menyapa dengan riang. "Lo di make-over, ya?"

Ciko menunjuk Gigi dengan bangga. "Nggak kayak Gigi, kan?"

Teman-teman yang lain datang mengerubuti Gigi. Mereka terkejut melihat perubahannya. Rupanya karena setiap hari bertemu, mereka nggak begitu sadar bahwa Gigi sudah bertransformasi. Giliran Gigi nggak pakai seragam seperti hari ini, barulah mereka terpana. Mereka bertanya apa rahasia diet Gigi.

Nggak berapa lama, Rene datang.

Secara resmi cowok itu telat, tapi lagi-lagi kalau kamu cakep, telat itu cuma masalah sepele. Orang-orang ganteng jarang dihukum kalau datang telat.

"Maaf ya, aku telat," kata Rene tanpa rasa bersalah. "Susah cari parkiran."

Ciko mendengus meremehkan. Gigi menyodoknya supaya diam.

Bagas si ketua kelas memulai pertemuan mereka. Sambil makan, mereka mulai mengerjakan soal-soal latihan. Gigi nggak begitu tertarik lagi dengan ayam goreng Mekdi yang terkenal alamak sedapnya itu. Dia cemas memikirkan apa yang akan dikatakan pada Rene yang sedang duduk di seberangnya.

Setelah satu jam, anak-anak mulai mumet. Ciko menggigiti tutup pulpen sambil membaca soal. Penampilan para cewek mulai terganggu, rambut Tika sudah mekar karena sering diacak-acak dan lipstik Sheila luntur karena keringat.

Tapi Rene nggak terganggu oleh semua keribetan ini. Dia duduk di seberang Gigi, masih tetap ganteng, wangi dan memesona. Pokoknya oke bangetlah.

Gigi menunggu tanda dari Amore. Dia sengaja nggak memberitahu Ciko soal rencananya hari ini, karena kalau Ciko tahu, dia pasti akan meledeknya.

"Lulu..." Gigi berbisik pada Lulu yang sedang bersembunyi di dalam kotak pensil. "Kapan mulainya, nih? Aku udah mulai gerah."

Ciko menoleh. "Gerah kenapa, Gi?"

"Oh, enggak Ko. Ini gue lagi... umm... lagi 'dapet'."

"Dapet?" Iffah yang duduk di sebelah Gigi ikut-ikutan. "Tembus, ya Gi? Gue bawa nih. Mau gue pinjemin?"

Mata Ciko membesar. "Pinjemin apa?"

"Isi pensil," kata Gigi cepat-cepat. "Gue nulis pake pulpen tinta malah tembus ke halaman sebelah. Makanya mau ganti pake pensil."

"AAARRRGGGH!"

Derry menjerit dan menunjuk-nunjuk. Seekor merpati putih baru saja terbang masuk dan mendarat di atas meja.

"Shuh! SHUH!"

Anak-anak mencoba mengusir si merpati itu tapi dia malah bertengger di atas makanan. Beberapa burung lainnya ikut masuk ke dalam, terbang berputar-putar dan hinggap di atas kepala orang-orang. Seekor kelinci gemuk abu-abu melompat dari meja kasir ke kolong meja para pengunjung.

"AAAARRRGGGH!"

Suasana di dalam Mekdi jadi kacau-balau. Petugas Mekdi mengambil sapu dan berusaha mengusir para hewan itu. Teman-teman Gigi dan para pengunjung yang lain langsung berhamburan keluar. Mereka berkerumun di depan Mekdi. Para cewek mengerumuni Derry yang mengap-mengap karena syok, tumpukan kotoran burung menempel di rambutnya yang sudah ditata susah payah supaya mirip Hyungwon Monsta X. Para cowok termasuk Ciko cekikikan menertawakan Derry.

Tapi Rene si manusia setengah dewa berdiri bersedekap di kejauhan, sama sekali nggak terpengaruh oleh semua kehebohan para manusia fana itu. Ketampanan surgawi memang biasanya datang bersamaan sikap cool yang tak ada duanya.

Lulu mengikuti Gigi. Sesuai rencana, dia memang nggak ikut dengan huru-hara yang ditimbulkan Amore dan Nana di dalam. "Sekarang saatnya, Gigi!"

Gigi menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. Oke, ini dia. Rene lagi sendirian aja. Kesempatan kedua aku!

Kali ini Gigi nggak bawa hadiah dan sejenisnya. Atas saran Amore, sekarang dia hanya akan mengandalkan dirinya sendiri untuk memikat Rene.

"Hai Rene!"

Rene menoleh dan tersenyum samar. "Hai!"

Tidak ada tanda-tanda Rene tertarik, jadi Gigi berkata, "Aku Gigi."

"Gigi?" Alis kanan Rene terangkat. Kalau cowok lain kelihatan tolol pas lagi cengo, Rene sebaliknya. Ketampanannya malah semakin berlipat ganda. "Gigi yang teman sekelas aku?"

Ya iyalah, Rene! Kalo nggak sekelas ngapain aku ikut belajar kelompok? Tapi Gigi tersenyum ramah. Dia harus tetap cool. "Iya. Gayatri Wulandari."

Rene memicing dan menatap Gigi dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Ooh... Gigi, ya? Hmm, kok kayaknya ada yang berubah ya di diri kamu..."

Rene tahu! Gigi ingin sekali melompat-lompat girang. "Iya, nih..."

"Kamu... gunting rambut?"

"Enggak kok, Rene. Ini cuma dicatok aja."

"Behel kamu dilepas?"

"Umm, aku nggak pernah pake behel."

"Oh, aku tahu!" Rene mengacungkan telunjuknya dan menuding-nuding tubuh Gigi dengan antusias. "Kamu udah pake parfum sekarang!"

Gigi mengernyit dan mengendus tubuhnya. Memangnya sebelumnya aku bau ketek? "Bukan, Rene. Aku kurusan, lho. Berat badanku turun drastis."

Rene ber-aah panjang dan manggut-manggut. "Iya, kurusan ya..."

Oke, kata Gigi dalam hati. Jurus selanjutnya. "Waktu di depan UKS kamu bilang kamu suka kucing, kan? Aku baru mau bergabung di sebuah organisasi yang merawat kucing-kucing liar. Kebetulan aku juga suka kucing."

"Betul, aku juga suka kucing," kata Rene. Dia mendekati Gigi. "Wah, sepertinya kegiatannya menarik sekali. Apa mereka merawat kucing Persia juga?"

"Umm, kucing Persia mana ada yang liar, Rene."

"Hmm, sayang sekali." Senyum Rene surut sedikit. "Aku cuma suka kucing Persia. Bulu mereka lebih lembut. Aku alergi sama bulu kucing biasa."

Di sebelah Gigi, Lulu mengacungkan tiga jari. Jurus ketiga. "Kamu suka nonton film nggak? Kemarin aku baru pinjam DVD BlueRay 'The Lion King'..."

"Aku cuma suka film-film Prancis," kata Rene. "Kamu bisa bahasa Prancis, Gigi? Film favoritku judulnya 'Le Fabuleux Destin d'Amélie Poulain'. Kamu tau?"

"Le bau bulu... apa?" Rene kedengaran seperti kumur-kumur. "Oh, jadi kamu cuma suka film-film Prancis, ya. Kalo musik? Kamu suka K-Pop, nggak?"

Rene menggeleng. Rambutnya bergoyang-goyang. "Aku lebih suka musik klasik, Gigi. Kamu main piano? Favoritku Liszt, Debussy, sama Tchaikovsky."

"T-tusuk gigi?" Selera Rene ternyata beda langit dan bumi dengan cewek biasa-biasa aja macam dirinya. Gigi harus mengganti topik yang lebih 'merakyat'. "Umm, soal ujian kenaikan kelas. Menurut kamu mapel apa yang paling susah?"

"Nggak ada yang susah sih, ya..." Rene mengangkat bahu dan tertawa. "Menurut aku semuanya gampang-gampang aja, kok."

"Tapi kalo begitu, ngapain kamu ikut belajar kelompok hari ini?"

Rene mengedik pada Bagas. "Biar nggak dicap sombong aja."

Gigi mulai panik. Bodoh sekali menanyakan soal ujian pada Rene, cowok itu kan juara kelas. Gigi melirik Lulu. Sudah nggak ada lagi yang bisa dia tanyakan. Gigi nggak menyangka topik-topik yang sudah disiapkannya itu langsung berguguran.

Di belakang Rene, Amore dan Nana keluar dan berubah wujud. Nana membuka tangan, bertanya pada Gigi bagaimana kemajuannya. Amore menunjuk-nunjuk Rene, mulutnya membentuk kata-kata: 'Langsung aja!'

Suasana di dalam gerai sudah mulai terkendali. Sepertinya sebentar lagi mereka diperbolehkan masuk. Gigi menelan ludah. Waktunya nggak banyak.

"Rene, sebenarnya begini. Ada yang mau aku omongin ke kamu. Aku tahu waktu itu aku pernah nembak kamu dan kamu bilang kita cuma teman..."

Rene menatap Gigi. Dia kelihatan serius, tapi tidak mengatakan apa-apa.

Gigi melanjutkan. "Tapi aku nggak bisa berhenti mikirin kamu, Rene. Aku tahu sebelumnya kamu juga udah menolak banyak cewek lain jadi–"

Rene meraih dagu Gigi dan mendongakkan wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Gigi merasa seperti tersambar petir melihat iris biru Rene yang lebar dan cemerlang, seperti berlian. "Kamu mau nembak aku lagi, kan?"

Eh? Kok dia bisa tahu? "I-iya."

Rene mendekatkan wajahnya. Gigi mulai gemetaran, aroma parfum Rene yang sejuk mengaburkan benaknya. Ini semua terasa seperti mimpi! Gigi bersiap-siap. Tubuhnya berhenti bekerja karena gembira. Rene mau menciumku!

Tapi ketika jarak wajah mereka tinggal tiga senti, Rene berhenti.

"Oke," katanya.

"O-oke?"

Rene tersenyum manis, memamerkan deretan giginya yang seputih mutiara. Gigi perlu bertumpu pada kepala Lulu supaya nggak jatuh pingsan. "Kamu udah berubah drastis, Gigi. Aku suka kamu yang sekarang. Kita pacaran."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top