21. Kasih Seorang Sahabat
Dalam perjalanan pulang naik bus, tidak ada yang mengobrol. Gigi, Ciko dan Coki masih sangat terpukul setelah menyaksikan apa yang terjadi pada Amel.
Ketika mereka turun di halte sebelum berpisah, tiba-tiba Coki menarik tangan Gigi. "Kak Gigi, kita harus ke kantor polisi."
"Buat apa, Coki?"
Coki menatap kakaknya lalu mengeluarkan ponsel. "Aku mau melaporkan mama tiri Amel. Diam-diam aku merekam perbuatannya tadi."
...
Bermodal bukti rekaman video dari ponsel Coki, malam itu juga polisi langsung bertindak. Gigi, Ciko dan Coki juga ikut, mereka berbondong-bondong naik mobil polisi untuk kembali ke rumah Amel.
Polisi datang tepat ketika Papa Amel pulang kerja. Ambar si ibu tiri yang kejam itu tak bisa berkutik. Apalagi ketika polisi menemukan memar-memar di sekujur tubuh Amel, bukti nyata penganiayaan yang diterima gadis kecil itu.
"Jadi selama ini kamu menyiksa Amel?" Papa Amel marah besar setelah tahu apa yang terjadi. "Kejam sekali kamu Ambar!"
"Bukan begitu, Bram! Ini semua salah paham! Amel terjatuh dan–"
"Amel..." Seorang polisi wanita mendekati Amel dan merangkulnya. "Coba cerita. Apa betul selama ini kamu sering dipukuli Bu Ambar?"
Amel menatap para polisi dan kedua orangtuanya dengan sorot ketakutan.
"Ayo, Mel!" Coki menyemangati sahabatnya itu. "Cerita aja! Jangan takut!"
Amel terisak pelan dan mengangguk kuat-kuat.
Para polisi menahan Ambar dan Bram di teras depan rumah. Sementara itu si polwan mengantar Amel ke depan pagar bersama Gigi, Ciko dan Coki.
"Sebentar lagi ambulans datang. Luka-luka Amel akan diperiksa. Kami akan meminta keterangan dari Ambar untuk mendalami motifnya," kata polwan itu.
"Bukannya udah jelas, Bu Polwan?" tanya Ciko. "Amel memang disiksa oleh Ambar!"
"Ambar pasti akan diamankan, dan kami masih harus mendalami kasus ini," terang si polwan. "Ada beberapa kemungkinan penyebab kekerasan pada anak. Bisa saja rasa cemburu, gangguan kejiwaan, atau motif lain seperti harta warisan..."
Gigi jadi ingat pada kasus pembunuhan seorang anak kecil beberapa tahun lalu di Bali yang dibunuh secara keji oleh ibu tirinya demi warisan.
"Amel, di sini dulu, ya?" kata si polwan. "Kamu aman sekarang."
Amel mengangguk. Coki mengulurkan tangannya pada Amel. Gadis cilik itu menggenggamnya. "Terima kasih ya Coki. Gara-gara kamu, aku tertolong..."
Coki tersenyum puas. "Kita berteman. Teman harus saling membantu."
Kedua anak itu berpelukan dengan erat.
Gigi larut dalam haru. Sama seperti kakaknya, ternyata Coki juga murah hati. Menyaksikan dua sahabat itu saling mendukung dan memperhatikan, barulah Gigi mengerti apa maksud Amore. Amel butuh cinta yang dapat menyembuhkan luka-luka batinnya dan melindunginya dari kekejaman Ambar. Coki sahabatnya dapat memberikan cinta itu. Bosque ingin dua anak yang baru kenal ini untuk saling mengasihi, bukan berpacaran seperti perkiraan Gigi sebelumnya.
"Gigi..." bisik Ciko dari sebelahnya. "Panahnya..."
"Oh, iya!" Gigi menarik keluar busur cinta dan panah asmara dari dalam dirinya. Dia membayangkan Coki dan Amel menjadi dua sahabat karib yang saling mengasihi, sama seperti dirinya dan Ciko. Semoga persahabatan kedua anak ini langgeng selamanya.
Gigi membidikkan panah itu ke arah Amel.
"DASAR ANAK-ANAK PENGACAU!"
Tiba-tiba Ambar melempar vas bunga kaca di meja teras. Secepat kilat dia menyambar pecahan beling yang paling besar dan menghambur ke arah Coki.
Ciko berteriak. "AWAS!"
Busur dan panah terlepas dari genggaman Gigi. Dia refleks menarik tangan Amel untuk menghindar. Ambar menghunuskan kaca tajam itu ke wajah Coki, tapi Ciko menjulurkan tangannya untuk menangkis serangan itu dari adiknya.
"CIKO!"
Kaca itu menusuk Ciko dan menorehkan sayatan panjang di lengannya.
"JANGAN BERGERAK!" Para polisi itu langsung mengepung Ambar dan mengarahkan pistol mereka padanya. "JATUHKAN SENJATA ANDA!"
Ambar terkekeh-kekeh seperti orang sinting dan berusaha menarik Coki. Polisi memperingatkan sekali lagi tapi wanita itu tidak menggubris dan terus merangsek maju dengan ganas. Terdengar bunyi letusan pistol dan sekonyong-konyong si ibu tiri jatuh tertelungkup di tanah, betis kirinya robek diterjang peluru.
"Ciko!" Gigi merangkul sahabatnya itu. "Kamu nggak apa-apa?"
Ciko meringis kesakitan dan memegangi lengannya. Darah mengucur deras dari luka terbuka itu. "Aku nggak apa-apa, Gi. Coki, Amel, kalian baik-baik aja?"
Coki dan Amel mengangguk ketakutan.
"Tekan lukanya dengan ini supaya pendarahannya berkurang..." Si polwan mengambil sebuah handuk dari mobil polisi dan memberikannya pada Ciko. "Ambulans akan tiba tak lama lagi. Sabar, ya..."
Ciko mengangguk sambil merintih. Gigi membimbing Ciko bersama Amel dan Coki untuk berlindung di belakang mobil polisi.
"Gigi," Ciko berkata lirih. "Panahnya..."
Gigi sampai melupakan panahnya. Dia melempar busur cinta dan panah asmara saat Ambar menyerang tadi, dan kedua benda itu terpental entah ke mana.
"Dasar cupid bodoh..."
Sebuah tawa yang dingin menusuk bergema. Gigi langsung merinding. Dia tahu persis siapa yang tertawa itu.
Kabut putih yang pekat sekali tiba-tiba menguap entah dari mana dan menyelimuti seluruh daerah itu. Para polisi di teras rumah jadi tak terlihat. Tangis Amel semakin keras. Coki menarik-narik kaos kaki Gigi dengan takut. "Kak Gigi, kenapa nih? Kok tiba-tiba ada kabut?"
"Jangan jauh-jauh, Coki, Amel..." Gigi menarik kedua anak itu untuk merapat ke arahnya. "Dekat-dekat Kak Gigi, ya..."
Punggung Ambar yang masih telungkup di tanah bersinar kemerahan, seperti ada yang memasang lampu di atasnya. Kemudian sebuah bayangan hitam melesat keluar. Muncul setitik api merah di tengah bayangan itu dan api itu membesar, membentuk sosok pria kurus dengan tanduk kambing melengkung, mata merah yang kejam, dan kulit bersisik seperti ular...
"Ankur!"
Ankur mendekati Gigi sambil menyeret-nyeret jubah hitamnya yang berapi. "Kan sudah kubilang kita pasti akan bertemu lagi. Apa kamu kangen padaku?"
"Gigi," Ciko celingak-celinguk kebingungan. "Ankur ada di sini? Kamu lagi berbicara sama dia, ya?"
Hanya Gigi yang bisa melihat Ankur, makanya Ciko bingung. Apalagi ditambah serangan kabut mendadak ini, pandangan semua orang jadi terganggu.
"Uh, kasihan sekali teman kamu, cupid!" Si malaikat kebencian dan angkara murka melirik Ciko dan berdecak mengasihani. "Dia terluka!"
Tidak ada tanda-tanda Amore akan muncul dan menolongnya seperti waktu itu. Gigi menelan ludah dan memberanikan diri. "Apa mau kamu, Ankur?"
Ankur tertawa keras. Bahkan suara tawanya saja sudah cukup bikin Gigi bergidik. "Bukankah seharusnya kamu sudah tahu apa mauku, cupid?"
"Kamu merasuki Ambar sehingga dia jadi benci sama Amel!" Gigi merapat ke pintu mobil polisi. Dalam hati dia berdoa sesuatu terjadi, tapi kabut itu seolah menghentikan waktu. "Dan kamu juga yang memengaruhi wanita itu untuk melukai Coki. Iya, kan?"
Ankur mendengus puas. Api memercik dari cuping hidungnya yang tipis dan bengkok. "Tak perlu banyak usaha. Kecemburuan adalah calon kuat kebencian. Sejak menikah, Ambar memang tak ingin perhatian suaminya itu terbagi antara dirinya dan anaknya. Aku hanya perlu... mengomporinya sedikit!"
Gigi tak sanggup lagi berkata-kata karena takut. Sia-sia saja mencoba untuk berani, setiap detiknya Gigi merasa Ankur meniupkan rasa takut yang semakin lama semakin berlipat ganda pada dirinya. Dan bukan hanya Gigi yang merasakan itu, tapi Ciko, Coki dan Amel juga.
"Amore nggak datang, ya?" Ankur pura-pura cemberut. "Sayang sekali. Sepertinya dia terlalu takut untuk menghadapiku lagi. Dasar pengecut!"
"Amore nggak takut!" kata Gigi. "Dia memang nggak perlu menghabiskan waktunya untuk menghadapi kamu, Ankur! Aku juga... nggak takut!"
"Pem-bo-hong!" Ankur menggoyang-goyangkan cakarnya seperti dirigen. Dia mengulurkan tangannya. "Ketakutanku sedang menyelubungimu dan teman-temanmu yang menyedihkan seperti kabut ini. Aku bisa merasakannya! Sekarang menyingkirlah! Biarkan aku menanamkan rasa takut dan kebencian dalam diri kedua anak ini..."
"Nggak boleh!" Gigi menghadang Ankur. "Nggak akan aku biarkan!"
Ankur menggeram marah. "Kau tak akan bisa melawanku, cupid! Mana busur dan panahmu? Kau tak bisa apa-apa!"
"Jangan takut, Gigi." Ciko meremas bahu Gigi yang gemetar, memberinya semangat. "Kita memang nggak bisa melihat Ankur, tapi gue yakin lo mampu mengalahkan dia. Kita semua mendukung elo!"
Disemangati seperti itu, Gigi jadi sedikit berani. Dia terpikir untuk menarik Coki, Ciko dan Amel untuk kabur dari tempat itu. Namun tiba-tiba ada yang melesat di depan Gigi dan menabraknya.
"Ini..." Lulu si asisten terengah-engah dan pucat pasi. Rupanya dia sudah menyelinap keluar dari kotak pensil Gigi. "Busur dan panah kamu. Tembak dua sekaligus! Ayo!"
Gigi mengambil busur dan panah itu dari tangan Lulu. Ada dua panah asmara, dan Gigi tahu apa yang harus dilakukannya. Ankur berteriak marah karena interupsi dadakan ini tapi Gigi tidak mengacuhkannya. Dia memasang dua panah itu sekaligus, mengarahkannya pada Coki dan Amel, lalu menembak tepat sebelum Ankur menyentuh kedua anak kecil itu.
SYUUUT!
Seperti sudah tahu tujuannya, kedua panah itu berpisah dan menembak dada Coki dan Amel bersama-sama. Kedua anak itu tersentak kaget dan tercengang. Kemudian mereka berdua saling melempar senyum.
Berhasil.
"AAARRRGGGHH!"
Ankur berteriak marah. Api menyambar-nyambar dari cakar-cakarnya, si malaikat kebencian itu terlihat layaknya sebuah gunung merapi yang sedang meletus. Lulu menjentikkan jari dan sebuah perisai transparan seperti plastik melindungi Gigi, Coki, Ciko dan Amel dari semburan api itu.
"Kau akan kalah, cupid!" Ankur ingin mencakar Gigi tapi terhalangi oleh perisai itu. Lulu mengeluh seperti orang sakit. "Kau nggak akan bisa menghindar selamanya! Aku akan menghancurkan kau dan Amore sekaligus!"
Lalu dengan satu kibasan jubahnya yang berapi-api, Ankur pergi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top