20. Teka-Teki Cinta
Gigi menceritakan apa yang terjadi pada Amore, Lulu dan Nana.
Nana sesengukan mendengar cerita itu. Matanya bengkak akibat menangis. "Kasihan sekali anak itu! Pasti dia sering diperlakukan nggak pantas oleh ibu tirinya. Beberapa orangtua berdoa meminta anak, tetapi setelah diberi mereka tidak mengurusnya dengan baik bahkan menelantarkannya. Para orangtua seperti itu tidak layak disebut orangtua!"
Gigi dan Ciko memang menyimpulkan seperti itu. Sudah jelas bahwa Amel ditindas oleh ibu tirinya yang kejam tanpa diketahui ayahnya. "Apa kita bisa menyelamatkan Amel?" Gigi menatap Amore. "Aku kasihan melihatnya."
"Tugas cupid bukan untuk–" Lulu menyahut tetapi Amore memotongnya.
"Cinta dapat menyembuhkan," kata Amore datar. "Dan melindungi."
Kalau Nana punya kebiasaan buruk menggantung cerita, Amore suka berkata-kata dengan misterius seperti itu. Gigi nggak repot-repot meminta Amore untuk menjelaskan, karena dia tahu si cupid senior itu pasti hanya akan menyuruhnya mencari tahu sendiri.
Kaki langit di kejauhan telah berubah warna, dari yang sebelumnya hitam gelap menjadi jingga kemerahan. Matahari pagi telah terbit. Sebentar lagi pukul setengah enam.
"Gigi, kamu nggak mau kue cubit ini?" Lulu menawarkan.
Gigi menolak tawaran itu. Dia memang kelelahan karena pelatihan cupid-nya sudah dimulai lagi, tapi Gigi sudah berhasil menahan diri. Sudah hampir sebulan sejak Gigi jadi cupid, dan dia sudah bisa menikmati pelatihan ini. Proyek-proyek yang dikirim dari Bosque bikin Gigi sadar tentang pentingnya tugas cupid.
Gigi memikirkan rencana untuk menolong Amel sekaligus membuat Coki cinta padanya. Sebetulnya tanpa perlu bantuan Gigi, kedua anak itu sudah akrab.
"Gigi," panggil Amore lembut. "Sudah waktunya kamu siap-siap ke sekolah..."
Gigi mengangguk. Kedua lengannya sakit karena latihan menembak non-stop, tapi dia nggak komplen seperti sebelumnya. Dia seorang cupid.
...
Hari Rabu sepulang sekolah, Gigi sengaja ikut Ciko ke tempat les musik Coki. Karena Ciko nggak bawa mobil, hari ini mereka berangkat naik bus.
Tempat les itu masih ramai. Gigi dan Ciko menunggu sebentar karena kelas Coki belum selesai. Sambil menunggu mereka mengatur rencana tentang Amel.
"Apa kita harus lapor polisi, Ko? Anak itu dipukuli sama ibu tirinya."
Ciko bergumam-gumam sambil berpikir. "Gimana ya, Gi... Gue nggak mau Coki terbawa-bawa."
"Tapi kita nggak bisa membiarkan Amel disakiti ibu tirinya terus!" kata Gigi.
"Gue setuju," kata Ciko setuju. "Kita harus menolong. Tapi kita juga masih anak-anak, Gi. Kalau kita mau melaporkan si Ambar ke polisi, kita harus punya bukti!"
Ya, bukti. Bukti yang dimaksud di sini bukanlah lagunya Virgoun, tapi bukti yang bisa menyeret Ambar sang ibu tiri ke polisi akibat perbuatannya yang keji. Gigi jadi termenung cukup lama.
"Amore bilang cinta itu menyembuhkan dan melindungi," Gigi teringat ucapan Amore. "Kira-kira apa hubungannya sama proyek ini ya, Ko?"
Ciko kelihatan jengah. "Kenapa sih si Amore selalu misterius begitu?"
"Gue juga nggak tahu." Gigi mengangkat bahu. "Kata-katanya kayak teka-teki. Kalau maksudnya cinta orangtua, gue paham. Orangtua yang mencintai dengan tulus memang seharusnya melindungi anak-anak mereka, kan? Tapi apa hubungannya dengan Coki?"
Mereka berdua terdiam. Tampaknya Ciko juga sama bingungnya.
Tak berapa lama Coki keluar kelas. Dia mendatangi Gigi dan kakaknya, tampangnya muram. "Hari ini Amel nggak masuk kelas," katanya.
"Kira-kira kenapa, ya?" tanya Ciko. "Apa dia sakit?"
Gigi bertanya kepada guru les musik di tempat itu. Sang guru mengaku dia juga tidak tahu. Hari ini Amel nggak ikut les tanpa memberi kabar.
"Bang," Coki memanggil kakaknya. "Kita samperin rumah Amel, ya? Coki khawatir Amel diapa-apain sama mamanya yang jahat itu."
Ciko kebingungan. Dia melirik Gigi, meminta pertimbangan. Gigi tahu kalau Coki bersungguh-sungguh. Sinar matanya menunjukkan tekad.
Akhirnya Ciko bangkit berdiri dan mengangguk mantap. "Kita berangkat!"
...
Perjalanan dengan bus lebih lama, tapi Gigi menahan diri. Cuaca yang panas membuatnya gerah. Saking panasnya, Lulu sampai enggan keluar dari kotak pensil Gigi. Sepertinya si asisten itu takut bertemu Ankur lagi, jadi untuk proyek yang satu ini dia lebih banyak bersembunyi.
Mereka sampai di jalan depan kompleks rumah Amel. Sambil berjalan kaki, Gigi bertanya. "Coki, kenapa kamu mau menolong Amel? Kalian kan baru bertemu sekali dan belum kenal dekat."
"Karena Amel butuh bantuan," kata Coki. Gigi kaget karena anak itu bisa langsung menjawab. "Abang pernah bilang, kita harus selalu menolong teman yang lagi kesusahan. Iya kan, Bang?"
Ciko merona sedikit. Dia mengacak rambut Coki dan tersenyum samar.
"Pas main piano, Amel kelihatannya gembira sekali," sambung Coki. "Aku belum pernah melihat orang yang main musik seindah itu, Kak Gigi. Amel bilang sama aku bahwa dia suka main piano, tapi nggak bisa berlatih di rumah karena harus membantu tantenya. Waktu itu aku nggak tahu kalau yang dimaksud Amel dengan tante itu sebetulnya adalah mama tirinya. Amel jadi sedih waktu kelas selesai dan dia takut untuk pulang..."
Jelas saja anak itu takut untuk pulang, pikir Gigi getir. Amel tahu kalau di rumah dia akan diperlakukan semena-mena oleh Ambar.
Mereka sampai di depan rumah Amel. Sama seperti kemarin, rumah itu juga kelihatan sepi. Mobil Fortuner itu masih ada di garasi.
Coki memberanikan diri mengetuk pagar. "Permisi... Selamat sore..."
Tirai di lantai dua rumah tersibak. Wajah Amel yang manis muncul dari balik kaca jendela. Dia melongok ke arah Coki dan tersenyum. Tak berapa lama, pintu rumah terbuka dan gadis kecil itu mendekati pagar.
"Coki, ngapain kamu di sini?"
"Kenapa kamu nggak masuk kelas, Mel?" tanya Coki. "Kamu bilang bakal datang ke kelas hari ini. Kamu udah janji untuk duet piano sama aku."
Dari balik pagar, Amel menggeleng sedih. "Maaf, Coki. Aku dihukum."
"Dihukum? Kenapa?"
Amel menatap Coki, Ciko dan Gigi bergantian, matanya melebar. "Karena kamu sama kakak-kakak ini mengantar aku minggu lalu. Tante Ambar bilang–"
"AMEL?" Sebuah seruan tajam bergema dari dalam rumah. "Kamu ngobrol sama siapa di luar?"
Amel gemetar ketakukan. "Bu-bukan sama siapa-siapa, Ma..."
"CEPAT MASUK SEKARANG!" Ambar melengking tak senang. "Masih ada satu ember baju yang belum kamu setrika!"
Amel meraih tangan Coki dari balik jeruji pagar dan meremasnya. "Aku masuk dulu ya, Coki. Kalau nggak, Tante Ambar bisa memukul aku lagi."
Coki menahan tangan Amel. "Kamu bakal pergi les hari Sabtu ini kan?"
"Maaf, Coki. Sepertinya aku nggak akan ikut les lagi."
"Tapi Amel..." Coki berubah murung. "Kamu kan suka main piano!"
"AMEL!" Terdengar derap langkah terburu-buru. Ambar muncul dari dalam. Hari ini pakaiannya lebih ketat dari sebelumnya. "KAMU NGAPAIN SIH?"
Ambar menatap Gigi, Coki dan Ciko. Dia mendelik marah. "Kamu panggil mereka ke sini, ya?" Ditariknya rambut panjang Amel. "Kamu ngadu, ya?"
"Enggak, Ma, enggak..." Amel menangis ketakutan. "Amel nggak ngadu."
Ambar melepas sandal karetnya dan memukulkannya ke tubuh Amel. "Dasar anak nggak berguna! Disuruh beres-beres aja nggak bisa!"
"Tante!" Ciko berteriak keras. "Tolong jangan kasar sama anak kecil!"
"Diam kamu!" Amber mengacungkan sandal itu pada Ciko seperti pedang. "Ini anak saya! Kamu nggak ada urusan di sini! Pergi sana!"
Lalu tanpa menghiraukan seruan-seruan marah Ciko dan Gigi dari balik pagar, Ambar terus-menerus memukuli Amel dan memakinya sampai anak kecil itu tersungkur di lantai, babak belur dan terisak-isak pilu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top