18. Cinta Monyet


Sejak kemunculan ular itu di kantin, Pak Jono meminta tiga orang pawang ular untuk memeriksa seluruh sekolah. Tukang kebun dipanggil untuk memangkas semak-semak karena khawatir dapat menjadi sarang ular. Namun setelah dua hari diperiksa, tidak ditemukan ular lainnya ataupun sarang ular.

"Ya jelaslah," kata Ciko. "Orang itu bukan ular beneran."

Gigi menyeruput jus alpukatnya. Lulu duduk di atas meja dan menatap gado-gado Gigi, tampangnya ngiler. "Kita tetap harus hati-hati, Ko. Ankur bisa muncul di mana saja."

"Tapi lo bisa melawan si Ankur ini kan, Gi?" Ciko memandangi Gigi dengan serius. "Lo kan punya busur, panah, sama kekuatan super..."

"Busur cinta dan panah asmara tidak bisa dipakai untuk menyakiti," kata Lulu cepat. "Gigi hanya bisa menghindar jika bertemu Ankur."

"Menghindar?" sergah Ciko tak percaya. "Lemah amat! Kenapa nggak dilawan? Aku siap bantu kalau Gigi perlu back-up!"

"Ini bukan masalah lemah atau kuat," sahut Lulu sambil menutup mata. "Tapi soal menjalankan tugas. Bertempur bukanlah tugas seorang cupid."

Gigi menggigiti sedotan sambil menerawang. Hari ini Mak Hasiholan masih belum berjualan. Dia digantikan seorang ibu-ibu lain yang belum dikenal anak-anak. Dari pengumuman Pak Jono dua hari lalu, Ucok baik-baik saja. Mang Ucup juga nggak masuk sehari setelah penyerangan itu. Dari obrolan dengan Bu Olin dan guru-guru lain yang pergi menjenguk Ucok, sepertinya si satpam sekolah ikut berjaga di rumah sakit.

Gigi tahu kata-kata Ciko ada benarnya. Sahabatnya itu selalu tahu harus melakukan apa. Gigi merasa tak berdaya kalau tidak melawan. Dari kejadian hari itu, Gigi yakin bahwa Ankur nggak akan segan-segan menggunakan kekerasan dan cara-cara licik untuk mewujudkan niatnya. Apalagi sekarang Amore belum kembali dari khayangan dan pelatihan Gigi ditangguhkan untuk sementara. Gigi khawatir jika Ankur menyerang lagi, Nana dan Lulu nggak sanggup membantunya.

Gigi teringat pada seseorang. "Minta tolong Mike kali ya?"

"Mike?" tanya Ciko.

"Iya. Malaikat paling kece se-khayangan. Cem-ceman si Nana."

"Memangnya malaikat bisa pacaran?"

Gigi tidak sempat menjawab karena perhatiannya teralihkan oleh ribut-ribut di sudut kantin. Ciko juga ikut menoleh, dan dia langsung mengerang sebal.

"Kak Tamara juga?"

Di sudut kantin, Kak Tamara dari kelas dua belas IPA satu sedang berdiri berhadap-hadapan dengan Rene. Kakak kelas mereka itu terkenal di sekolah karena cantik dan menjabat kapten tim cheerleaders. Dari gosip yang beredar, katanya ibunya Tamara mantan Putri Indonesia dan ayahnya pernah jadi aktor FTV. Selain cantik, Tamara juga terkenal cerdas. Sejak kelas sebelas, dia sudah dikirim untuk ikut Olimpiade Fisika dan berhasil dapat medali emas di tingkat provinsi.

"Rene lagi, Rene lagi!" Ciko ngedumel. "Kenapa dia terus, sih?"

"Lo julid, Ko?"

"Sembarangan lo, Gi! Bukan begitu maksud gue!" Ciko menuding Rene di kejauhan dengan gemas. "Memangnya nggak ada cowok lain, apa?"

"Soalnya Rene yang paling cakep," kata Gigi. Dia cepat-cepat melanjutkan sebelum Ciko menyahut. "Sampai kakak kelas aja naksir dia!"

Peristiwa yang terjadi di sudut kantin saat ini sudah sering disaksikan anak-anak SMA Karya Bakti. Gigi mengingat-ingat, rasanya hampir tiap minggu ada cewek yang nembak Rene di kantin. Sejak semester satu, mungkin sudah ada lima puluh cewek nekat yang melakukannya. Itu yang di kantin lho ya... Belum di tempat lain. Lima puluh satu termasuk Gigi yang menembak Rene di depan perpustakaan. Tapi jumlah pastinya lebih dari itu. Aku tahu, lho... 😊

"Kira-kira diterima nggak ya?" kata Ciko, kedengaran setengah melamun.

Gigi nggak berani menebak-nebak. Rene dan Kak Tamara memang serasi. Nana pasti senang sekali kalau dua makhluk rupawan itu jadian terus menikah.

"Kok jadi kayak novel-novel Wattpad?" Ciko melanjutkan gerutuannya. "Senior naksir junior?"

Junior naksir senior, Gigi mengoreksi Ciko dalam hati. Hatinya terenyuh, dia teringat penolakan Rene padanya. Namun rupanya bukan hanya Gigi seorang. Cewek-cewek lain yang berkerumun di sekitar Kak Tamara kelihatan siap menyiram gadis itu dengan bensin dan membakarnya.

Tamara membuka mulutnya yang mungil seperti kuncup mawar. "Rene..."

Seisi kantin langsung hening. Orang-orang menahan napas.

"Aku... suka sama kamu."

Beberapa cowok kelas dua belas bersuit-suit keras, tapi bukan suit-suitan menggoda, melainkan kesal karena Tamara lebih memilih anak kelas sepuluh dibandingkan salah satu dari mereka.

Rene menggaruk bagian belakang kepalanya dan tersenyum gugup. "Umm, maaf kak. Aku belum bisa jadi pacar Kak Tamara..."

Ada seruan "Uuhhh" panjang seperti saat kita melihat seseorang ditonjok di perut, disusul sorak-sorai batalion para penggemar Rene yang lega karena pujaan hati mereka memutuskan untuk tetap single.

Gigi termasuk salah satu yang lega. Harusnya dia berempati pada Kak Tamara, tapi ini artinya Gigi (dan penggemar Rene yang lain) masih punya kesempatan. Di sebelahnya, Ciko terkekeh-kekeh melecehkan. Lulu menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca. Si asisten memang agak lebay, efek overdosis nonton drama Korea.

Wajah Kak Tamara mengerut sedih. Gigi membayangkan pastilah wajahnya tampak seperti itu saat Rene menolaknya, hanya saja lebih jelek, karena dia nggak secantik Tamara. 

Rene melambai asal-asalan pada Kak Tamara dan pergi.

"Gue jadi curiga," komentar Ciko sinis. "Jangan-jangan Rene maho."

"Nggak mungkinlah!" bantah Gigi segera. Dia masih bisa menerima kalau Rene nggak suka padanya, tapi kalau ternyata Rene homo... itu rasanya seperti mengetahui kalau Mama Gigi sebenarnya adalah Papanya dan sebaliknya. Semacam orangtua yang tertukar, begitu. Kalian bingung? Sama, aku juga.

"Soalnya semua cewek yang nembak Rene ditolak," Ciko melanjutkan tuduhannya. "Atau mungkin dia doyan sama tante-tante? Sekarang kan nggak cuma tante-tante aja yang demen brondong, tapi brondongnya juga."

Gigi melempar tatapan marah pada Ciko. "Lo kenapa sih, Ko? Selalu aja ngomong yang aneh-aneh soal Rene. Memangnya salah Rene kalo dia lahir dengan tampang oke kayak gitu?"

Ciko memberenggut, kelihatan kesal. "Gue cuma menebak, Gi. Santuy."

"Rene baik kok!" Gigi teringat pertemuannya dengan Rene di depan UKS. "Pas gue mau nengokin lo di UKS, kita ketemu. Dia suka kucing. Dia ngajak gue main ke rumahnya buat ketemu sama kucing-kucingnya."

Ciko mencibir tak senang. "Oooh... Terus?"

"Ya gue tolak," kata Gigi terus terang. "Soalnya gue harus menyelesaikan proyek Bu Olin sama ngejenguk lo di UKS."

Ciko terbelalak kaget. Dia menatap Gigi beberapa saat lalu diam.

"Gi, Ko, gue numpang yah!" Radit, teman sekelas mereka mampir sambil membawa sepiring nasi goreng. Gigi menyilakan.

"Gado-gadonya nggak dimakan, Gi?" tanya Radit. "Gue minta kerupuknya boleh ya?"

"Ambil aja, Dit!" Gigi mengamati Radit memindahkan kerupuk dari atas gado-gado ke piringnya. Tiba-tiba mata Gigi menangkap sesuatu di piring Radit. Di atas telur dadar yang menutupi nasi gorengnya, ada sebaris tulisan dari saos tomat. Bunyinya: "Proyek Baru dari Bosque".

Gigi cepat-cepat memeriksa ponselnya. Ada pesan WhatsApp baru dari Bosque, terletak di baris atas kumpulan notifikasi. Isinya: Coki dan Amel.

Gigi menunjukkan pesan itu pada Ciko. Sahabatnya itu melirik layar ponsel dan terbelalak kaget. "Coki? Adek gue? Tapi dia kan baru kelas enam SD!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top