16. Sang Ular


Gigi bergidik. Dia merasa sedang diikuti.

"Kenapa Gi?" tanya Lulu yang masih bisa melihat Gigi meski dia sedang kasat mata. "Ada yang ketinggalan?"

Di belakang Gigi tidak ada apa-apa. Para murid sudah kembali ke kelas mereka masing-masing, termasuk Ciko.

"Nggak," kata Gigi sambil menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Lulu."

Gigi melanjutkan perjalanannya menuju kantin. Beberapa meter di depan, Mang Ucup sedang membimbing Ucok untuk bertemu ibunya.

Mak Hasiholan sedang mencuci mangkok dan piring kotor saat melihat putranya datang. Wanita itu tercengang. "Ucok! Ngapain kau di sini, nak?"

"Ucok pulang cepat," kata Mang Ucup. "Makanya dia nyusul kemari."

"Aduh, nak!" Mak Hasiholan geleng-geleng bingung. "Kenapa kau nggak telepon Mama? Kan bisa kau hape Mamamu ini buat jemput kau!"

Ucok mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. "Pulsaku habis, Ma. Terus di sekolah udah kosong, jadi Ucok sepi ditinggal sendirian."

Mak Hasiholan berterima kasih pada Mang Ucup yang sudah menjaga Ucok selama jam istirahat. Wanita itu bilang biasanya dia pergi menjemput Ucok setelah selesai dagang di kantin. Untunglah hari ini Ucok bisa kemari dengan selamat. Mak Hasiholan sepertinya tersentuh sekali dengan kebaikan Mang Ucup sampai sedikit menitikkan air mata.

Mak Hasiholan menyilakan Mang Ucup duduk dan memberinya dua potong pastel. Mereka mulai mengobrol. Si badak betina berangsur-angsur kalem, dia tampak berbeda sekali dibandingkan saat Gigi menanyainya tadi. Saat itu barulah Gigi paham kalau kelemahan Mak Hasiholan adalah anaknya.

Dan Mang Ucup perhatian sama anak kecil.

Gigi tersenyum melihat ketiga orang itu mengobrol dengan hangat. Mereka bertiga tampak seperti sebuah keluarga. Segala sesuatu terasa jadi jelas – Lulu benar, Bosque tidak pernah keliru.

"Sekarang, Gigi!" bisik Lulu dari samping. "Tembak panahnya!"

Gigi menarik keluar busur cinta dan panah asmara dari dalam dirinya. Dia mengingat-ingat saran Amore soal menembak tepat sasaran. Aku ingin ketiga orang ini bahagia, kata Gigi dalam hati. Bahagia dan penuh cinta.

Gigi mengarahkan panahnya ke arah punggung Mak Hasiholan.

"ULAR!" Ucok tiba-tiba menjerit. "ADA ULAR!"

Seekor ular sepanjang kira-kira satu meter meluncur cepat di lantai dekat kaki Ucok. Ular itu mengangkat kepalanya dan tudungnya melebar.

"Itu ular kobra!" Mang Ucup cepat-cepat menarik Ucok dan Mak Hasiholan menjauh. "Hati-hati! Ular ini berbisa!"

Gigi juga ikut mundur, tapi Lulu menegurnya. "Gigi, tembak aja panahnya. Kamu kan kasat mata. Ular itu nggak bisa melihat kamu!"

"Oh, iya! Benar juga!" Gigi membidikkan panahnya. Sambil membisikkan doa supaya Mak Hasiholan dan Mang Ucup berbahagia, Gigi menembak.

SYUUUT!

Saat panah itu menancap di punggung Mak Hasiholan, sekonyong-konyong si ular membuka mulutnya lebar-lebar lalu menyambar betis Ucok. Gerakannya cepat sekali sampai-sampai Gigi nggak menyadarinya.

Mak Hasiholan berteriak histeris. "UCOK!"

Efek panah asmara itu kalah kuat dibandingkan kengerian yang melanda Mak Hasiholan. Mulut Ucok menganga karena syok. Ular itu telah melepaskan gigitannya tapi efeknya sudah terasa. Kaki Ucok gemetar seperti agar-agar dan anak kecil itu terjatuh.

Mang Ucup cepat-cepat menangkapnya dan membopongnya.

Beberapa petugas kebersihan yang ada di kantin juga melihat kejadian itu. Mereka mendatangi Mak Hasiholan yang menjerit-jerit ketakutan dan langsung membawa Ucok ke UKS.

"Dia harus dibawa ke rumah sakit!" kata Lulu cemas. "Kamu mau ikut, Gi?"

"Oke," kata Gigi tanpa pikir panjang. "Kita ikuti mereka!"

Gigi bergerak untuk menyusul rombongan Mak Hasiholan tetapi si ular di lantai membuka gulungan tubuhnya dan bergeser mendekati Gigi.

"Eh..." Gigi mundur dengan hati-hati. "Dia bisa melihat aku?"

Ular itu maju dengan mantap, seakan bisa melihat Gigi dengan jelas. Lulu menunduk untuk mengamati ular itu dengan teliti.

"Gigi, kita harus lari!" Lulu memekik ngeri. "Itu Ankur!"

"Ankur?" Gigi menatap si ular. "Bagaimana bisa dia ada di sini?"

Ular itu mendesis sebuah suara yang dingin terdengar dari dalam mulutnya. "Karena kau tolol, cupid!"


...


Gigi menarik napas untuk menenangkan diri. Ular itu baru saja berbicara kepadanya. Dan mendengar suaranya yang keji itu sudah cukup bikin Gigi ngeri.

"Kekuatan panah cintamu kalah dengan ketakutan yang kutanamkan pada manusia itu," kata si ular. Matanya yang seperti manik-manik merah berkilat-kilat. "Dia tidak akan memikirkan cinta sekarang! Yang ada di hatinya adalah ketakutan akan kematian yang menunggu putranya!"

"Kau salah!" Gigi membesarkan suaranya supaya terdengar berani. "Cinta adalah daya terkuat di dunia ini! Nggak ada yang bisa mengalahkannya!"

Ular itu tertawa. Bunyinya merupakan campuran antara desisan dan suara parau mirip orang tercekik. "Ternyata kau betul-betul tolol, persis seperti Amore! Para manusia itu tidak butuh cinta! Yang mereka perlukan hanyalah ketakutan, kebencian, amarah, dan dengki!"

Kaki Gigi menabrak dinding. Dia dan Lulu sudah mundur jauh sampai tersandar di tembok belakang kantin. Gigi melihat sekeliling. Gerbang kantin ada di seberang, dan untuk mencapainya Gigi harus melewati si ular.

Mereka terpojok.

"Mari kita persingkat urusan ini," desis si ular dengan kejam. "Serahkan busur dan panahmu padaku dan aku nggak akan menyakiti manusia yang lain!"

"Jangan, Gigi!" teriak Lulu. "Jangan lakukan itu!"

Si ular mendesis pada Lulu, menyuruhnya diam. "Lakukan saja! Cepat! Atau kau ingin aku menggigit orang lain? Bukan hanya kau yang bisa jadi tak terlihat, cupid! Aku bisa menyelinap ke dalam ruang kelas tanpa ketahuan dan menggigit beberapa tumit kaki tak bersalah..."

Gigi tahu si ular serius. Aku tak bisa membiarkan ada korban lagi! Opsi itu terasa janggal, tapi Gigi tidak punya pilihan. Mungkin Bosque bisa memberiku busur dan panah pengganti.

"GIGI!"

Sesuatu yang putih baru saja terbang masuk dari gerbang dan mendarat di lantai di samping Gigi. Seekor merpati putih. Di belakangnya, Gigi melihat seekor kelinci gendut abu-abu melompat-lompat menyusul.

"Ankur!" kata si merpati. "Kita bertemu lagi!"

Ular itu terbahak dengan suara tawanya yang mengerikan. Kabut hitam menyelubungi tubuhnya dan dari balik kabut itu muncul sesosok makhluk paling mengerikan yang pernah Gigi lihat.

Wujudnya jauh lebih seram dibandingkan foto yang ditunjukkan Nana waktu itu. Tanduk kambing panjang yang melengkung. Mata merah dengan iris berbentuk satu guratan tajam. Kulit yang berisisik seperti ular. Cakar-cakar melengkung setajam gunting. Jubah hitam panjang compang-camping.

"Salam, cupid senior!" Ankur meledek Amore yang juga sudah berubah ke wujud manusianya. "Bagaimana tanganmu?"

Amore berpindah ke depan Gigi, menjadikan dirinya tameng. Nana juga sudah berubah, dan bersama Lulu, mereka berdua memegangi tangan Gigi.

"Kurang kerjaan, Ankur?" balas Amore lantang. "Belum cukup menebarkan ketakutan dan kebencian sampai kamu harus mengusik pekerjaan cupid?"

"Pergi kamu, Ankur!" Nana ikut berteriak. "Kalau Bosque sampai tahu–"

"DIAM!" Ankur membentak. Dia menunjuk Nana dengan satu cakarnya. "Aku nggak ada urusan denganmu, malaikat kesuburan!"

Nana dan Lulu mengkeret ketakutan. Gigi tahu bahwa yang membuat Ankur sangat menakutkan bukan hanya penampilannya yang kejam, tetapi kebencian dan amarah yang menguar dari dalam dirinya. Gigi tidak pernah merasakan begitu banyak daya negatif – seolah-olah tubuh Ankur adalah pusat segala kemarahan dan kebencian di dunia ini. Sekedar berdiri di depannya saja terasa mengerikan.

"Jangan takut!" Amore berbisik pada Gigi. "Ankur hanya mengancam!"

Ankur berdecak-decak tak sabar dan mulai mondar-mandir. Jubah hitamnya yang panjang terseret-seret, menimbulkan percikan-percikan api di lantai. "Kenapa kamu begitu bodoh, Amore? Seharusnya hal pertama yang kau ajarkan pada anak magangmu itu adalah ketakutan!"

Ankur menjulurkan tangannya pada Gigi dan menyeringai, memamerkan taring-taring panjang. Gigi bergidik, dia nyaris menangis karena sangat takut. Amore meremas tangannya. "Jangan takut, Gigi! Ayo! Kamu harus berani!"

Ankur tergelak senang. "Sudah kuduga. Anak itu payah!"

"Anak magangku bukan urusanmu, Ankur!" kata Amore tegas. "Aku akan memberitahu Bosque soal kelakuanmu! Kau pengacau!"

"Oooh!" Ankur pura-pura ketakutan. "Apa kamu marah padaku, Amore?"

"Aku nggak..." Amore terdiam sejenak. "Aku nggak marah. Aku hanya kecewa karena kamu mengganggu tugas Gigi!"

Ankur menghampiri Amore, mengangkat tangannya yang seperti capit, lalu menjepit dagu Amore. "Tak perlu berpura-pura, Amore. Aku tahu kau marah. Ayo, marahlah! Keluarkan amarahmu!"

Amore mencengkeram pergelangan tangan Ankur dan mendorongnya, tetapi rupanya si malaikat angkara murka tidak terpengaruh. "Aku nggak marah. Aku cupid! Aku diciptakan untuk mencintai!"

"Kau pembohong yang payah!" hardik Ankur. "Tak perlu berpura-pura, Amore! Aku tahu kau menyimpan kemarahan itu dalam dirimu. Oooh, aku bisa merasakannya! Sudah lama sekali, bukan? Menggelegak seperti kawah gunung berapi, siap meletus kapan saja! Apa aku perlu mengingatkanmu lagi soal kejadian waktu itu?"

"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!"

"Sampai kapan kau mau berpura-pura peristiwa itu tidak terjadi, Amore? Kau marah karena kejadian itu. Kau benci padaku. Aku tahu!"

Amore menyambar jubah Ankur. Alisnya mengerut, sepertinya si cupid senior itu sedang berkutat menahan sesuatu. "Pergi sekarang juga! Atau aku akan meminta Lulu melapor Bosque sekarang juga! Kau tahu Mike ingin sekali menghajarmu!"

Mata merah Ankur menyala. Dia dan Amore beradu pandang. Tatapan Ankur terasa seperti bor yang menerobos masuk ke dalam diri Amore, tetapi si cupid tidak bergeming.

Ankur terkekeh pelan dan melepaskan jepitannya dari dagu Amore. "Nggak perlu galak begitu pada sahabat karibmu sendiri, Amore!" Dia menoleh pada Gigi dan tersenyum culas. "Kita akan bertemu lagi nanti, cupid magang!"

Lalu setitik api muncul membakar tubuh Ankur. Dalam satu kibasan jubah hitamnya, si malaikat kebencian dan angkara murka menghilang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top