11. Pelatihan Cupid Sejati
Gigi teringat penjelasan Lulu waktu di Mekdi soal malaikat yang kehilangan rahmat dari Bosque. "Apa si Ankur ini... malaikat kegelapan?"
Amore menghembuskan napas dengan lelah. Nana tampak prihatin. "Ankur adalah malaikat kegelapan yang terkuat," katanya.
"Sebelumnya dia juga sama seperti aku, seorang malaikat terang penghuni khayangan," sambung Amore. "Tapi kebencian menggerogoti hatinya dan dia kabur dari khayangan. Ankur kehilangan berkat dari Bosque dan jatuh ke dalam kegelapan."
Kali ini penjelasan itu terdengar mengerikan, berbeda ketika Gigi pertama kali mendengarnya dari Lulu. Di bayangan Gigi terbentuk sosok Mimi Peri tapi dalam kostum horor. "Apa Ankur nggak bisa kembali jadi malaikat terang?"
Amore menggeleng sedih. "Malaikat yang jatuh ke dalam kegelapan tidak akan bisa lagi kembali ke khayangan. Mereka sudah memilih menjauhkan diri dari Bosque dan rahmat-Nya. Jadi untuk bertahan hidup, mereka meneror manusia dengan menanamkan benih-benin kebencian, kedengkian, kecemburuan, dan angkara murka dalam hati mereka. Hanya itu yang bisa mereka lakukan untuk bertahan. Dan semakin banyak manusia yang saling benci, dengki atau marah, maka semakin jauh juga sang malaikat terjatuh ke dalam kegelapan. Mereka juga menghasut malaikat-malaikat terang yang lain supaya menjadi jahat, untuk dijadikan pengikut."
"Ini wujud Ankur." Nana mengeluarkan sesuatu dari balik sakunya. Sebuah gulungan tipis yang seperti terbuat dari campuran kertas dan kain. Ada lukisan seorang pria dengan mata merah menyala, tanduk kambing yang melengkung, dan gigi-gigi runcing seperti serigala. Kulitnya bersisik menyerupai ular.
Gigi bergidik ngeri. "Jadi itu alasan kamu benci sama Ankur, Amore?"
"Aku nggak benci sama Ankur," koreksi Amore. "Dia yang benci sama aku. Para malaikat terang tidak bisa membenci, karena kami hidup dari rahmat Bosque. Rahmat itu sendiri adalah cinta. Mustahil kami membenci kalau inti diri kami sebetulnya adalah cinta sejati."
Sekarang Gigi jadi lebih paham soal urusan para malaikat ini. Semula dia pikir urusan khayangan ini nggak rumit. Namun rupanya dia salah. Nggak di Bumi nggak di khayangan, yang namanya masalah itu pasti ada di mana-mana, seperti upil.
"Ankur senang sekali begitu tahu Amore terluka," kata Nana melanjutkan. "Dia jadi bisa lebih bebas untuk menghasut manusia. Tapi Amore melantik cupid pengganti, yaitu kamu, Gigi. Ankur tidak senang. Bersama para pengikutnya, sekarang dia bergerak semakin gencar untuk menghilangkan cinta dalam diri manusia."
Amore terkekeh lalu berkata dengan nada meremehkan. "Ankur nggak akan senekat itu, Nana. Dia dan pengikutnya nggak akan berani macam-macam."
"Justru kamu salah, Amore!" Nana mencak-mencak putus asa. "Ankur itu malaikat angkara murka. Seluruh dirinya adalah amarah. Kemarahan adalah daya, sama seperti cinta. Daya sanggup menggerakkan siapapun. Hanya kali ini daya itu negatif, sangat negatif! Bisa membawa kehancuran bagi manusia! Apalagi Ankur tahu kalau Gigi adalah cupid pengganti baru yang belum berpengalaman. Aku yakin dia bakal tambah semangat untuk meluncurkan serangan kegelapan!"
Amore diam sejenak, seperti berpikir. Gigi menatap Nana, rasa takutnya bertambah. "Jadi Ankur sudah tahu tentang aku?"
"Gosip menyebar lebih cepat di kalangan malaikat," kata Nana malu-malu.
"Malaikat juga bergosip?" tanya Gigi.
"Yah, kami kan makhluk abadi," Nana mengangkat bahu. "Mengamati dan membantu manusia sepanjang waktu itu kadang-kadang membosankan banget. Kami butuh gosip untuk hiburan. Selama yang dibicarakan nggak yang aneh-aneh, Bosque nggak keberatan."
Tiba-tiba di benak Gigi muncul bayangan Amore dan Nana di layar televisi, sedang membawakan tayangan infotainment dengan sayap putih besar di belakang punggung mereka dan lingkaran halo di atas kepala.
Lalu mereka bertiga terdiam. Suasana kamar itu menjadi sangat hening. Yang terdengar hanyalah dengkur lembut Lulu dan suara desingan kipas angin.
Setelah beberapa lama, Amore berdiri tegak. Dia menghadap Gigi dan memegang tangannya. Gigi jadi deg-degan.
"Eh, Amore... kamu mau ngapain?"
Amore mendekatkan wajahnya. Dari jarak dekat begini, Gigi sadar bahwa iris mata Amore berwarna biru terang, seperti langit saat cuaca cerah. Hidungnya juga lurus sekali, dan mancung.
Nana bertepuk tangan girang. "Yes! Yes! Bikin anak!"
"BUKAN!" bentak Amore kesal. Dia mengerang lalu menatap Gigi lagi. "Gigi, apa kamu bersedia menjadi cupid sejati?"
Keringat dingin meluncur di tengkuk Gigi. Dia gugup setengah mati, apalagi ditatap lekat-lekat oleh Amore. Cowok ini ternyata...
"GIGI!" Amore menjentikkan jarinya di depan wajah Gigi, membuyarkan lamunannya. "Fokus! Jangan salfok sama ketampanan aku!"
Uh. Sialan! "Iya. Maaf, Amore. Aku..." Gigi menimbang-nimbang. Suara hatinya memberitahu bahwa Ankur tak bisa dibiarkan merajalela. Dunia tanpa cinta saja sudah cukup buruk, apalagi jika ditambah dengan manusia-manusia pembenci dan pemarah.
Gigi mengangguk. "Aku siap."
Amore tersenyum puas. "Baik. Kalau begitu, besok kamu akan dilatih untuk jadi cupid sejati!"
Gigi merasa seperti gajah sirkus. "Dilatih?"
"Iya," kata Amore tenang. "Karena kamu masih amatir! Aku sendiri yang akan melatih kamu!"
...
Keesokan harinya, sebuah teriakan menggema di kamar Gigi.
"GIGI! BANGUN!"
"WOOOOOY!" Gigi meloncat dari tempat tidurnya. Telinganya pengang. "LULU! Ngapain teriak keras-keras di telinga aku? Ngajak ribut?"
"Kamu harus bangun sekarang! Pelatihan cupid segera dimulai!"
Pelatihan cupid? Gigi memaksa kelopak matanya membuka sedikit dan mengintip jam beker. "Sekarang masih jam empat pagi!"
"Amore udah siap-siap di halaman belakang!" Lulu menyingkap selimut Gigi dengan kasar. "Nana juga! Ayo! Nanti kamu terlambat!"
"Aku masih ngantuk!"
"SE-KA-RANG! Kamu mau dunia hancur oleh kebencian cuma gara-gara kamu malas bangun?"
"Aduuuh... Lima menit lagi boleh ya, Lu?"
"Nggak bisa! Bangun! Sekarang!"
Gigi mengerang. Kalau di film-film seorang terduga teroris disiksa dengan disiram air es, digantung terbalik, atau dipukuli supaya buka mulut, penyiksaan bagi seorang anak SMA seperti Gigi adalah menyuruhnya bangun sepagi ini. Percaya deh, nggak akan berhasil! Apalagi anak-anak SMA zaman now yang punya kebiasaan tidur ala Cinderella: selepas tengah malam.
Gigi teringat akan cerita Amore dan Nana soal Ankur. Kebencian di mana-mana. Tak ada cinta. Dia menarik napas dalam-dalam dan memaksa dirinya untuk bangkit.
Lulu membawa segelas air dan memaksa Gigi minum. Setelah itu si asisten cepat-cepat menariknya turun menuju ke halaman belakang.
Halaman belakang sudah berubah jadi seperti area pelatihan tentara. Ada gulungan kawat berduri di tanah. Papan-papan sasaran tembak dipasang di tembok. Dinding-dinding kayu dengan pijakan didirikan di pinggir-pinggir, seperti labirin. Bahkan ada sebuah treadmill juga. Tali-tali jemuran Mama yang sakral itu sudah digulung. Pot-pot bunga kesayangan Mama juga sudah disingkirkan.
Mata Gigi langsung terbuka lebar-lebar. "Woy, Amore! Kamu apain tempat ini? Kok jadi berubah begini? Kalau Mama lihat, dia bisa ngamuk!"
Amore memakai kaos hitam dan celana loreng-loreng seperti tentara. "Mama kamu nggak akan tahu, Gigi! Ini baru jam empat pagi!"
"Tetep aja, kamu nggak boleh ngacak-ngacak halaman seenaknya!"
"Tenang aja, Gigi," kata Nana lembut. Si malaikat kesuburan memakai daster panjang dengan motif loreng-loreng yang sama dengan Amore. Dia kelihatan seperti harimau betina yang sedang bunting. "Hanya kamu yang bisa melihat ini semua. Di mata manusia lain, ini hanyalah halaman biasa."
"Oke, cukup protesnya!" kata Amore galak. "Pelatihannya akan dimulai! Pertama-tama, seorang cupid sejati harus bisa bergerak dengan cepat! Kamu udah lumayan gercep di proyek Olin dan Eka, tapi masih kurang gesit! Sekarang, coba kamu kelilingi halaman ini dalam sepuluh detik!"
Gigi memandangi kawat-kawat berduri di tanah itu. "Tapi Amore..."
"Satu." Amore mulai menghitung. "Dua..."
Lulu memukul pantat Gigi seperti mencambuk seekor sapi. Gigi memekik kaget dan otomatis berlari. Napasnya mulai terengah-engah. Lari cepat memang bukan bakat orang subur.
"Bagus! Sepuluh detik pas!" kata Amore. Sekarang dia meniup sebuah peluit keras-keras, seperti wasit sepakbola. "Coba lari lagi! Kali ini lakukan dalam sembilan detik!"
"Hah? Amore, aku baru selesai–"
"Satu!"
Gigi memekik marah dan mulai berlari lagi. Dia mengitari lapangan itu tiga kali, sementara Amore terus memendekkan waktunya. Selanjutnya Amore menyuruhnya memanjat papan-papan kayu itu. Lalu merangkak di tanah sambil melewati kawat-kawat berduri. Disambung dengan lari lagi.
Nana menonton Gigi disiksa sambil makan kue pancong.
Sial, sial, siaaaal! Gigi memaki Amore dalam hati. Keringatnya bercucuran dan otot-ototnya nyeri sekali. Aku masih ingin tidur!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top