Pulang

"Pah ..." ucapan Melda terhenti ketika jari telunjuk suaminya sudah berada di depan bibirnya.

Adinata tersenyum ketika mengetahui apa yang akan istrinya tanyakan kepadanya. "Jinan memang ingat kalo dia udah nikah, tapi dia lupa jika pernah merasakan hal manis bersama Ervin," jelas Adinata berbisik.

"Papa sama mama lagi ghibahin Jinan ya?" tanya Jinan menatap ke dua orang tuanya penuh selidik.

"Pah, kenapa anak kita jadi begini pah?" tanya Melda berbisik.

"Papa juga nggak tahu mah," jawab Adinata berbisik pula.

Ervin berdehem mencoba menyadarkan ketigannya jika ada dirinya di tengah-tengah mereka. "Saya pamit keluar dulu ya mah, pah dan ... Jinan." Ervin berjalan gontai menuju pintu bercat putih itu lalu menutupnya secara perlahan.

"Ya udah pergi sana, yang jauh!" teriak Jinan ketika Erviun sudah menutup kembali pintu itu.

"Sayang, jangan seperti itu." Melda menatap Jinan penuh peringatan tegas. Melda tidak tega katika melihat Ervin semakin tertindas seperti itu, Melda tahu betul bagaimana persaan lelaki itu.

Jinan memilih berbaring dan mengabaikan ucapan Melda. Melda yang melihat tingkah anaknya hanya bisa menggeleng-gelengkan kapalanya.

Kabar Jinan sudah diketahui oleh pihak kampus danpihak kampus pun meminta maaf atas kelalaiaannya dan berjaji ini adalah pertama dan terakhir kalinya tidak aka nada lagi korban selanjutnya.

"Jinan." Metta memeluk sahabatnya itu dengan erat, begitu pun dengan Berta gadis itu sudah menangis sejak berada di depan pintu kamar bercat putih itu.

"Met, Ber, pada kenapa sih? Gua nggak pa-pa kali nggah usah cengeng," cibir Jinan.

"Gimana kita nggak khawatir, lo kan ..." ucapan Berta terhenti.

"Metta, Berta, ada yang ingin saya katakana kepada kalian," ucap Ervin memotong ucapan Berta.

Metta dan Berta saling pandang, lalu keduanya menatap Jinan. "Nan, kita tinggal sebentar ya," ucap Metta lalu diangguki oleh Jinan.

***

"Ada apa kak, kok manggil kita berdua," ucap Metta, yang sudah berada di belakang Ervin.

Ervin membalikkan badannya menatap ke dua gadis itu. "Maaf saya menganggu waktu kalian bersama non Jinan, ada hal penting yang harus saya sampaikan kepada kalian. Non Jinan saat ini sedang mengalami amnesia akibat benturan keras di bagian kepalanya dan sebagian ingatannya hilang termasuk moment di gunung Salak kemarn," jelas Ervin.

Metta dan Berta kompak membekap mulutnya sendiri.

"Saya harap, kalian jangan menyinggung masalah kemarin," sampung Ervin.

Metta dan Berta lagi-lagi kompak mengangguk. "Iya kak, makasih udah dijelasin, mungkin kalau kakak nggak ngejelasin, mulut kita udah nyerocos ngomongin masalah kemarin," ucap Metta.

Ervin hanya mengangguk, lalu kembali mengizinkan ke dua gadis itu menuemui Jinan.

"Lo nggak diapa-apain sama supir itu 'kan?" tanya Jinan wajahnya menyiratkan penuh kekhawatiran.

Metta dan Berta saling pandang. "Enggak kok, kita nggak diapa-apain kan ya Ber sama kak Ervin.

"Iya, kita nggak diapa-apain kok sama babang ganteng."

Jinan menghela napasnya lega. "Untung kalian nggak diapa-apain. Tau nggak sih, gara-gara dia bawa mobil ugal-ugalan gua jadi masuk rumah sakit."

Lagi-lagi Metta dan Berta saling pandang. Respon ke dua sahabatnya itu membuat Jinan menatapnya curiga.

"Kalian kenapa sih? Nggak syok gitu sahabat kalian hampir celaka gara-gara supir itu?" tanya Jinan, matanya memincing penuh kecurigaan.

"Em-kita khawatir kok Nan, namanya juga manusia pasti punya salah, iya kan Ber?" Metta mencubit paha Berta supaya hadis itu meniyakan ucapan Metta.

"Iya Nan, yang penting kamu nggak pa-pa 'kan?" tanya Berta.

"Pala lo nggak pa-pa, lihat nih, jidat gua sakit, kaki gua bengkak!" Jinan memperlihatkan jidatnya yang diperban dan kakinya yang bengkak membiru.

Berta meringis ngilu ketika kaki Jinan. "Nan, sakit ya?" tanya Berta sembari menyentuk pergelangan kaki Jinan.

"Sakit, kalo lo tabok," ucap Jinan sekenannya.

Mendengar jawaban Jinan, Berta hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Oh ya Nan, kapan lo bisa pulang?" tanya Metta sembari duduk di sebelah Jinan.

"Nggak tau nih, bosen tau di sini terus, gua nggak bisa ketemu Afzal, Afzal kemana?! Kenapa dia nggak jengukin gua?" tanya Jinan sembari menatap ke dua sahabatnya secara bergantian.

Metta dan Berta saling mendorong, keduanya tidak ingin menjawab pertanyaan dari Jinan. Metta tidak tahu kemana sepupunya itu pergi dan Berta pun begitu.

"Kenapa kalian diem aja sih?" tanya Jinan lagi yang masih mempertahankan tatapan penuh selidiknya. "Kalian nggak lagi nyembunyiin sesuatu dari gua kan? Met, Ber, kalian punya mulut 'kan?"

"Nan, sumpah gua nggak tahu Afzal kemana, iya kan Met?" tanya Berta mengedipkan matanya meminta persetujuan.

"Iya, kita berdua nggak tau dia kemana," jawab Metta.

Jinan berdecak kesal, dari raut wajahnya sudah sangat terlihat jelas jika gadis itu kecewa berat. "Ya udah deh, mungkin dia lagi ada urusan."

Metta dan Berta mengangguk kompak.

"Setelah gua keluar dari rumah sakit, rencanannya gua mau keluar nih, kalian berdua ada usul kemana nggak?"

Lagi-lagi Metta dan Berta saling pandang bergantian dan tingkah keduanya sukses membuat kecurigaan Jinan timbul kembali.

"Kalian ini kenapa sih? Tingkahnya aneh banget." Protes Jinan kesal.

"Kita juga bingung Nan mau kemana, iya kan Ber?" ucap Metta.

"Iya Nan, kita juga nggak berani bawa lo jalan-jalan, kaki lo aja masih sakit, nanti kalo tambah parah gimana?"

"Halah, ini mah cuma luka kecil biasa, bengkak doing besok juga sembuh."

"Ya udah nanti kita omongin lagi ya," ucap Berta.

"Ok deh," ucap Jinan berbinar.

***

Ervin tengah membereskan perlengkapan Jinan untuk dibawa pulang, tadi dokter sempat memeriksa keadaan Jinan dan mengatakan bahwa hari ini juga bisa diperbolehkan pulang. Reaksi Jinan sangatlah bahagia, karena merasa bosan di dalam ruangan yang penuh dengan bau obat ini.

"Om, bisa cepetan nggak? Gua udah bosen nih nungguin lo beberes," ucap Jinan sembari bersidekap dada di depan Ervin.

"Sabar, sebentar lagi saya selesai kok," ucap Ervin.

Jinan memilih duduk di atas berangkar rumah sakit sembari memperhatikan Ervin yang masih menata pakaiannya.

"Udah belom? Lama banget sih!" lagi-lagi Jinan memprotes.

"Sabar Jinan, kamu tahu kata sabar tidak?!" tanya Ervin sedikit menaikkan nada suaranya.

"Ya udah sih satai aja nggak usah ngegas!" protes Jinan dengan nada tinggi pula.

"Bisa tidak hormat sama suami, sedikit saja." Ervin mengentikan aktifitasnya, lalu menatap Jinan dengan mata marah.

Bukannya takut Jinan malah semakin menantang, "Nggak bisa, kenapa? Mau marah? Silahkan."

Ervin menghela napasnya pelan, lalu merapalkan kata 'sabar'berkali-kali di dalam hatinya. "Saya sudah selesai." Setelah berucap, Ervin melenggang pergi meninggalkan Jinan.

"Apaan sih tuh orang, masa gua ditinggalin sendirian," omel Jinan lalu mengikuti langkah Ervin dari belakang.


Budayakan Vote dan mempir ke kolom komentar:)

Kalo ada typo tolong tandain ya :) 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top