Perhatian
"Astaghfirullah, Jinan!"
Ervin berlari menghampiri Jinan yang sudah tergeletak mengenaskan di lantai dengan darah yang sudah menempel pada celananya. Ervin begitu panik, hingga tak tahu lagi harus berbuat apa. Hingga pada akhirnya, Ervin membawa istri kecilnya ke dalam kamar setelah itu menggantikan celana Jinan yang sudah berlumur darah. Setelah itu, Ervin menelepon dokter. Tidak butuh mengunggu waktu lama, dokter pun datang.
"Bagaimana keadaan istri saya dok? Mengapa di celanannya tadi ada banyak darah? Apa istri saya ...."
"Tenang Ervin, Jinan baik-baik saja. Hanya saja Jinan tengah tertekan dan stress itu penyebabnya mengapa Jinan pingsan ditambah lagi Jinan tengah mens," jelas dokter Adi. Dokter Adi ini merupakan dokter pribadi keluarga Aileen.
"Jadi istri saya mens dok? Bukan keguguran?" tanya Ervin lagi, mencoba memastikan.
Dokter Adi terkekeh, "Kamu ini ada-ada saja. Ya sudah, saya pamit ya jangan lupa obatnya ditebus dan diminum sesuai anjuran."
Ervin mengantarkan dokter Adi hingga teras depan rumah. Setelah itu, barulah Ervin menebus obat yang telah diresepkan dan tak lupa membeli bubur untuk Jinan.
Setelah sampai kembali di rumahnya, Ervin langsung masuk ke dalam kamar Jinan, lelaki itu mengusap puncak kepala Jinan penuh dengan kelembutan. Rasa bersalahnya seketika muncul, karena sudah berpikiran yang tidak-tidak, awalnya Ervin mengira Jinan keguguran dan sempat bertanya-tanya anak siapakan itu? Padahal Ervin tidak pernah menyentuhnya sama sekali dan Ervin bisa bernapas lega ketika Jinan hanya mens.
Lenguhan kecil yang berasal dari bibir Jinan mampu membuyarkan lamunan Ervin, dengan sigap lelaki itu mengambil air minum untuk Jinan.
"Masih pusing?" tanya Ervin sembari menuntun Jinan untuk minum. Wajah gadis itu begitu pucat, tak ada lagi rona merah yang menghiasi wajah cantik itu.
Jinan hanya membalas dengan gelengan kepala dengan sabar Ervin membantu Jinan kembali berbaring.
"Makan dulu ya, abis itu minum obat." Ervin memegang mangkuk berisikan bubur yang baru dirinya beli tadi. Ervin menyuapi Jinan penuh dengan kesabaran. Baru saja tiga suapan, namun Jinan sudah enggan untuk makan bubur itu lagi.
"Mau muntah," cicit Jinan.
"Saya antar ke kamar mandi." Ervin menggendong Jinan ke kamar mandi, tanpa rasa jijik Ervin menemani Jinan dan ikut serta membersihkan muntahan Jinan.
"Keluar lagi makanannya," cicit Jinan menatap muntahannya dengan linangan air mata.
"Tidak apa, nanti makan lagi setelah perut kamu enakan."
Ervin kembali membawa tubuh Jinan ke kamar, membaringkannya dengan penuh kelembutan. Jinan meringis menahan sakit pada area perut bagian bawahnya. Ervin yang melihat itu seketika panik.
"Ada apa Jinan, perut kamu sakit?" tanya Ervin, Jinan hanya membalasnya dengan nggukan kecil sembari meringis.
"Biasanya kalau haid dikasih apa?" tanya Ervin.
Jinan terdiam, mantanya bergerak ke kiri dan ke kanan. "Tau dari mana kalau gua haid?" tanya Jinan dengan suara lirih.
"Maaf ... Maaf sekali, saya begitu lancang," jelas Ervin penuh sesal.
Jinan kembali terdiam, mencoba menahan malu. "Tidak pa-pa, terima kasih sudah mau merawat Jinan," ucap Jinan penuh tulus, namun masih enggan menatap wajah Ervin karena masih malu akibat kejadian di mana dirinya pingsan tadi.
Ervin hanya memberikan senyuman manis, lalu tatapannya beralih pada mangkuk yang berisikan bubur, bubur itu sudah nampak tidak berasap, itu memandakan buburnya sudah dingin.
"Makan lagi ya, biar ada tenaga."
Jinan hanya mengangguk dan menerima suap demi suaapan yang Erviun berikan. Jujur, hati Jinan menghangat ketika melihat begitu perhataiannya Ervin kepadanya, namun lagi-lagi gengsi Jinan terlalu tinggi untuk mengutarakannya.
"Udah kenyang," ucap Jinan menjauhkan sedok yang sudah berada di depan bibirnya.
"Tapi baru lima suapan. Lagi ya?" Ervin masih saja menyodorkan sedok itu, lagi-lagi Jinan menggeleng.
"Kenyang." Kali ini Jinan berbicara sedikit tegas, Ervin pun mengalah lalu meletakkan mangkuk bubur itu dan beralih pada kantung kresek berisikan obat yang Ervin tebus tadi.
"Minum obatnya ya, biar cepat sembuh." Ervin membuka obat itu satu-persatu, jumblah keseluruhan ada lima puil dan semuanya besar-besar.
Jinan menatap pil itu dengan tatapan mendelik, Jinan pailing tidak bisa meminum pil, karena pasti akan berhenti di tenggorokan dan rasa pahitnya pasti langsung terasa, gadis itu lebih baik meminum sirup atau obat serbuk.
"Saya tahu kamu tidak suka meminum pil, maka dari itu saya akan menghaluskannya terlebih dahulu." Setelah berucap demikian, Ervin beranjak dari duduknya menuju dapur.
Jinan nampak bingung dalam diamnya, tidak banyak yang tahu jika Jinan tidak bisa meminum pil, namun mengapa Ervin mengetahui rahasia besarnya itu?
"Udah lah, nanti nanya langsung sama orangnya," gumam Jinan.
Ervin kembali dengan obat yang sudah menjadi serbuk dan tak lupa membawa botol air minum yang lumayan besar, sekitar dua liter.
"Mau minum sediri atau saya bantu?" tanya Ervin sembari duduk di samping Jinan.
"Minum sendiri aja," jawab Jinan mengambil alih senduk yang sudah berisikan obat.
Jinan nampak meringis, menahan pahit dari obat yang gadis itu minum. Walaupun sudah diberi air minum, namun rasa pahit dari obat itu masih saja terasa, ini lah yang membuat Jinan tidak suka obat.
"Sekarang dibawa tidur ya, agar obatnya cepat bereaksi." Ervin membantu Jinan berbaring, lalu menarik selimut hingga sebatas leher Jinan.
"Terima kasih," ucap Jinan penuh ketulusan.
Lagi-lagi Ervin hanya mengangguk lalu tersenyum, tak lama kemudian Ervin keluar dari kamar membawa mangkuk yang sudah kotor tadi ke dapur.
Ervin memilih untuk duduk di meja makan, lelaki itu tidak kembali ke kamar takut menganggu istrahat Jinan. Ervin mengingat betul perkataan Jinan beberapa jam yang lalu, Dirinya hanyalah sebuah masalah dan penghambat masa depan gadis itu. Ervin mengusap wajahnya kasar, guna membuang ucapan-ucapan menyakitkan yang pernah Jinan lontarkan kepadanya.
"Om."
Suara itu berasal dari dalam kamar, terdengar sangat lirih, namun masih bisa Ervin dengar. Ervin masih tidak beranjak dari duduknya, lelaki itu masih setia melamun. Hingga panggilan berikutnya mampu membuat hati Ervin berbunga-bunga. Tanpa berpikir panjang lagi, Ervin kembali menemui Jinan yang masih di dalam kamar.
"Kalo manggil suaminya itu yang manis dong," protes Ervin.
Jinan berdecak kesal, "Itu sih maunya lo," Jinan membalikkan badannya memunggungi Ervin yang masih tertawa geli.
"Jangan ketawa om, gua rishi dengernya," omel gadis itu. Nampaknya sifat asli Jinan memang seperti ini, judes dan jutek.
"Maafin mas, Jinan. Masa suaminya dipunggungi sih." Ervin mencoba mengubah posisi Jinan untuk menghadap dirinya, terlihat senyum kemenangan setelah Jinan berada dalam pelukannya.
"Nggak usah lancang ya, asal peluk-peluk aja." Jinan meronta dalam pelukan suaminya.
"Sebentar sayang, mas gemes," ucap Ervin yang semakin mengeratkan pelukannya.
Jinan bergidik jijik ketika mendengar panggilang 'sayang' yang keluar dari bibir Ervin.
"Kamu kenapa Jinan?" tanya Ervin ketika melihat wajah Jinan jijik menatapnya.
"Minggr sana, badan lo itu bau." Jinan menutup hidungnya sendiri dengan sebelah tangannya lalu bergeser menjahui Ervin.
Ervin mencium ketiaknya sendiri. "Mana, nggak bau kok, mas wangi," ucap Ervin mencium ketiaknya kembali.
Seketika Jinan menjauhkan tubuhnya, lalu menatap Ervin dengan tatapan sinis. Gadis itu kembali membalikkan badannya memunggungu Ervin. Jinan kesal lantaran tidak boleh mencium aroma tubuh Ervin, padahal saat ini yang gadis inginkan adalah ketenangan salah satunya adalah mencium aroma tubuh suaminya sendiri.
"Hey, kenapa mas dipunggungi lagi sih?" protes Ervin tak terima.
"Apaan sih om, gua geli dengan manggilan 'mas' lo itu," ucap Jinan tanpa membalikkan tubuhnya.
Ervin begitu takut jika Jinan akan menangis lagi, secepat kilat Ervin langsung memeluk tubuh gadisnya dari belakang sesekali mencium puncak kepala Jinan.
"Loh, emangnya ada yang salah dengan panggilan barusan? Saya rasa tidak masalah karena kita suami, istri yang sah, Jinan," ucap Ervin mencoba menjelaskan.
Jinan membalikkan badannya menatap Ervin, "Pernikahan ini emang sah, tapi gua nggak cinta sama lo!"
Ervin terdiam, dalam diamnya membenarkan segala ucapan yang Jinan katakana. Ervin hanya bisa menatap punggung Jinan dengan nanar, lalu Ervin memutuskan untuk tidur.
Budayakan Vote dan mampir ke kolom komentar :)
kalo ada typo tolong tandain ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top