Menyebalkan
Tidak terasa matahari sudah tenggelam, sinarnya terlihat jingga kemerah-merahan, namun Jinan masih saja terlelap dalam tidurnya. Beberapa menit kemudian, Jinan sedikit mengeliat karena merasakan perutnya berbunyi. Dengan malas Jinan turun dari kasur, lalu berjalan gontai menuju meja makan. Jinan mengehembuskan napasnya pelan, ternyata di meja makan tidak ada satu pun makanan. Jinan memilih duduk di kursi sembari menopang dagunya.
"Si Ervin kemana sih, nggak tau apa gua laper banget," gumam Jinan. Jinan sangat kesal dengan Ervin, pasalnya lelaki itu tidak terlihat sejak siang tadi. Jinan sempat berpikir ingin mencari Ervin di kamar belakang, namun karena gengsinya terlalu besar jadi Jinan hanya menunggu Ervin datang.
Jinan meremas perutnya yang sudah perih akibat lapar. Akhirnya Jinan memutuskan untuk merebus mie saja.
"Tidak baik makan mie instan terlalu seirng."
Suara itu mampu membuat Jinan terperanjat kaget. Lalu detik berikutnya wajah Jinan kembali cemberut . "Serah gua lah, siapa suruh lo nggak mau masakin gua," ucap Jinan tanpa menoleh sedikit pun.
"Tadi siang kamu sendiri yang bilang, kalau makanan saya tidak enak. Jadi saya memutuskan tidak akan masak untuk kamu lagi." Penjelasan Ervin sungguh membuat wajah Jinan memerah menahan amarah.
"Capek gua ngomong sama lo." Jinan melenggeng pergi begitu saja sembari membawa mangkuk berisikan mie buatannya.
"Kalau lapar bilang aja, suruh masakin gitu, tidak usah gengsi!" teriak Ervin.
Jinan memutar bola matanya malas. Begitulah Ervin, lelaki itu akan merasa memang jika Jinan terlalu bergantung dengannya. Bagaimana Jinan akan luluh, Ervinnya saja menyebalkan.
Jinan meletakkan mangkuknya dengan kasar hingga menimbulkan bunyi 'tak' pada meja belajarnya.
"Ngeselin banget sih, dasar om-om sinting!" gerutu Jinan tak sadar memakan mienya yang masih mengeluarkan asap, alhasil gadis itu merintih sakit pada bagian lidahnya. "Sial banget gue."
Ketika tengah asyik menyantap mienya, tiba-tiba ponselnya berdering ada panggilan masuk. Jinan menerima video call dari ke dua sahabatnya dengan ogah-ogahan.
"Hai, Jinan," sapa Berta penuh dengan semangat.
"Jin, lo lagi ngapain?" tanya Metta, tanpa wajah berdosannya.
"Bisa nggak lo manggil gua itu yang lengkap? Udah berapa kali gua bilang jangan panggil gua 'Jin' nanti orang-orang kira gua jin Tomang lagi," omel Jinan yang hanya di tanggapi cengiran oleh Metta.
"Sensi amat buk, lagi dapet ya?" goda Berta.
"Diem lo!" sentak Jinan. Wajahnya yang cemberut membuat Metta dan Berta bertanya-tanya.
"Muka lo kenapa dah? Kaya istri nggak pernah dikasih uang belanja sama suami," celetuk Metta.
"Emang Jinan udah punya suami Met?" tanya Berta dengan wajah polosnya.
"Yang lo tau itu Jinan udah nikah atau belum?," jawab Metta sekenannya. Metta sudah merasa pusing dengan kepolosan Berta yang terlalu berlebihan. Memang dasar anak mami itu sudah biasa.
"Ya jelas belum lah," jawab Berta.
"Apaan sih Met, jangan gossip deh. Udah tau ada anak mami yang suka ember," sindir Jinan pada Berta.
"Lo nyindir gua ya?" tanya Berta dengan polosnya menunjuk dirinya sendiri.
Metta dan Jinan hanya bisa menghela napasnya lelah. Lelah dengan tingkah Berta yang belum ada dewasa-dewasanya.
"Tujuan kalian ngapain video call gua malem-malem? Ganggu lagi makan aja," gerutu Jinan.
"Bosen aja, pengen jalan-jalan. Gimana kalu besok kita keluar, ngemall gitu," usul Metta penuh dengan antusias.
"Gua nggak dibolehin sama mami," cicit Berta nampak sedih. Berta memanglah anak rumahan dan sangat terjaga. Segala aktivitasnya pasti diawasi oleh sang papi terlebih lagi bodyguardnya satu RT. Berbeda dengan Jinan dan Metta, ke dua gadis itu masih dibebaskan oleh orang tuanya. Namun, bebasnya masih wajar-wajar saja.
"Jinan!" panggil Ervin tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya hanya menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya. Sontak Jinan begitu panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Jinan sudah mengisyaratkan Ervin untuk pergi dari kamarnya, namun percumah saja Ervin malah semakin masuk dan kian mendekat ke arah Jinan. Jinan sibuk menutup kameranya agar Metta dan Berta tidak mengetahui keberadaan Ervin yang toples.
"Kaus putih saya kemana ya?" tanya Ervin tanpa mengecilkan suaranya seolah tidak peduli dengan perasaan Jinan yang was-was, takut rahasianya terbongkar.
"Di rumah lo ada siapa sih Nan??" tanya Berta.
"Iya, kok gua kaya kenal ya? kalian di kamar berdua?" tanya Metta mendesak.
"Em-itu, saudara gua ada yang dateng. Iya, dia dari Paris," jelas Jinan dengan suara yang terbata-bata. "Udah dulu ya, saudara gua lagi butuh sesuatu. Bye." Jinan langsung mematikan ponselnya.
"Lo apa-apaan sih? Lo nggak liat gua lagi video call sama temen-temen gua?!" tanya Jinan dengan suara yang meninggi.
Ervin mengerutkan keningnya, "Lalu masalahnya di mana? Saya juga tidak menganggu kamu dan temen kamu itu kok."
"Lo emang nggk ganggu, tapi suara lo bikin gua senam jantung tau nggak. Gua nggak mau sahabat gua tau tentang pernikahan ini." Jinan menatap Ervin begitu marah, merasa keputusannya tidak pernah dihargai oleh Ervin.
Ervin menghela napasnya pelan, lalu menatap istrinya begitu serius, "Pernikahan ini sah di mata agama dan hukum, saya rasa tidak akan menjadi masalah jika ke dua sahabat kamu tahu tentang pernikahan ini."
"Lo nggak pernah ngertiin gua, semenjak ada lo, hidup gua berantakan. Semua impian gua lenyap gitu aja. Lo ngerti nggak sih, selama ini kita menikah gua nggak bahagia, gua bener-bener benci dan kecewa sama lo. Lo itu pembawa masalah!" Jinan benar-benar berteriak di depan Ervin, tanpa mempedulikan hati lelaki itu akan sakit. Ervin hanya diam, mendengar segala curahan hati Jinan yang selama ini tidak pernah Ervin dengar.
Napas Jinan masih memburu, air matanya perlahan menetes membahasahi pipinya. Namun, tidak sedikitpun siratan kelembutan dari mata gadis itu, yang ada hanyalah tatapan kebencian penuh dendam.
"Apa kamu pikir saya bahagia dengan pernikahan ini?" Ervin langsung melenggang pergi begitu saja, tatapan penuh luka dan kekecewaan yang tertera jelas di wajah lelaki itu.
Jinan hanya bisa terdiam dengan isak tangis yang masih terdengar. Gadis itu luruh ke lantai hingga tak sadarkan diri.
Ervin memutuskan untuk ke kedai warung kopi sebrang jalan dekat rumahnya. Awalnya Ervin tidak mengira jika Jinan akan berkata demikian yang sungguh melukai hatinya. Ervin tahu, pernikahan ini memang tidak seharusnya terjadi. Ervin juga terpaksa menjalani ini semua, namun Ervin tidak bisa berbuat lebih karena ini adalah amanat dari Adinata—mertuanya.
"Ada masalah mas?" tanya seorang wanita paruh baya pemilik kedai kopi.
"Tidak bu, hanya masalah pekerjaan," kilah Ervin, yang langsung merubah wajahnya menjadi tenang.
"Masalah rumah tangga memang biasa mas, sebagai lelaki dewasa seharusnya mas bisa berpikir lebih jernih. Istri memang begitu, tidak mau dikekang dan inginnya dimengerti. Sabar ya mas, semuanya akan indah pada waktunya."
Ervin sungguh tercengang dengan apa yang lelaki itu dengar. Tebakan dari wanita paruh baya ini sunggu benar adanya. Ervin memberanikan diri untuk bertanya.
"Lalu, saya harus melakukan apa?" tanya Ervin.
"Lembutkan tutur katamu, wanita itu suka sekali diberikan perhatian-perhatian kecil, misalnya memujinya cantik, memberikan hadiah dan membelanjakannya. Wanita memang rumit mas, namun ketahuilah kalau mas sudah tahu sifat istri mas, pasti mas akan lebih mudah untuk membimbingnya untuk menjadi lebih baik," jelas wanita paruh baya itu.
Ervin mengangguk paham, lalu membayar kopinya sebelum lelaki itu pergi. Wanita prauh paya penjual kopi itu hanya menggeleng-gelenglan kepalanya.
"Dasar pengantin baru," gumam wanita paruh baya itu sembari terkekeh pelan.
***
Ervin tergesa masuk ke dalam rumahnya, entah mengapa hatinya merasakan hal yang aneh dan jaggal. Ervin terus melangkahkan kakinya mengabsen seluruh isi rumah dan ternyata gadis yang Ervin cari tidak ada.
"Astaghfirullah, Jinan!"
Budayakan Vote dan mampir di kolom komentar
Jika ada typo tolong tandain ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top