Kejelasan
Pagi-pagi sekali Jinan sudah melihat motor Afzal yang terparkir rapih di depan rumahnya. Namun, Jinan tidak melihat sama sekali ada lelaki itu di sana. Jinan terdiam di depan jendela dengan menyibak sedikit hordengnya. Jinan sudah menunggu Afzal sampai kakinya kesemutan, tapi lelaki itu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Jinan menghela napasnya kasar, gadis itu memilih beranjak dari tempatnya berdiri lalu kembali duduk di sofa ruang tamu sembari memainkan ponselnya.
Tidak berselang lama, pintu rumahnya diketuk oleh seseorang. Namun, nampakknya Jinan enggan untuk membukakan pintu itu. Akan tetapi, suaranya begitu menganggu indera pendengaran Jinan hingga pada akhirnya gadis itu beranjak dari duduknya dengan perasaan kesal.
"Ngapain ke sini?" tanya Jinan setelah membuka pintu rumahnya dengan wajah yang cemberut.
"Sayang, aku ke sini mau kasih mau ini." Afzal memamerkan plastik berisikan bubur dan kerupuk. "Aku tau pasti kamu belum sarapan 'kan?" tanya Afzal lagi yang sudah menurunkan plastik berwarna putih itu.
"Nggak usah sok peduli deh." Lagi-lagi Jinan berucap dengan nada yang ketus.
"Loh sayang, udah kewajiban aku buat peduli sama kamu. Ingat, aku ini pacar kamu mana mungkin aku biarin kamu sakit perut karena kelaparan. Kita sarapan bareng ya?"
Sungguh, hati Jinan seketika menghangat ketika mendengar ucapan Afzal yang begitu manis itu. Rasa marah yang sedari semalam membelenggu etnah mengapa seketika lenyap begitu saja.
Tanpa menjawab ucapan Afzal, Jinan melenggang pergi begitu sana dan Afzal mengikuti9nya dari belakang. Sesampainya di ruang makan, Jinan langusng mengambil mangkuk untuk wajdah bubur yang telah Afzal beli.
"Tadi aku nungguin abang-abang tukang buburnya lama," ucap Afzal menceritakan bagaimana lelahnya menunggu bang-abang tukang bubur.
Gerakan tangan Jinan yang tengah membuka bungkus bubur itu pun seketika terhenti. 'Oh, jadi tadi dia lama gara-gara nungguin si abang tukang bubur?' tanya Jinan dalam hati.
"Iya nggak pa-pa kok," ucap Jinan memaklumi.
"Sayang, aku mau minta maaf soal yang semalam. Kamu semalam kenapa telepon aku di saat aku lagi kepedesan?" tanya Afzal yang memasukkan suapan bubur pertamannya kedalam mulutnya.
Lagi-lagi Jinan terdiam, kecurigaanya selama ini hanyalah sia-sia ternyata semalam Afzal tengah memakan sesuatu sampai membuatnya kepedasan.
"Enggak kok, niatnya mau ngajak makan malam. Tapi aku pikir kamu lagi sibuk, jadi nggak jadi taku tanggu," jelas Jinan.
"Ya ampun sayang, jangan gitu dong kalau perut kamu sakit gimana? Aku nggak mau lihat pacar aku yang cantik ini kesakitan. Kalau kamu sakit aku pun juga sakit. Lain kali jangan kaya gitu lagi ya," pinta Afzal dengan sungguh-sungguh.
Semua ucapan yang Afzal keluarkan untuknya memang mampu mempora-porandakan hatinya di detik itu juga. Jinan merasa tubuhnya seakan seperti jeli ketika tatapan hangat milik Afzal dilayangkan untuknya. Sampai-sampai Jinan lupa akan statusnya saat ini.
"Sayang, kok kamu dierm aja sih? Kenapa buburnya nggak dimakan? Kamu nggak suka ya?" tanya Afzal raut wajahnya menyiratkan kekewewaan.
"Aku makan kok, cuma nunggu dingin dulu," kilah Jinan.
Ada perasaan ragu di dalam hatinya, maka dari itu Jinan memilih diam dan tidak menannyakan masalah itu lagi. Namun, selama ini Afzal juga tidak pernah berbohong kepadanya. Ah, masalah ini membuat kepala Jinan pusing.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Afzal yang sudah berada di samping Jinan.
'Sejak kapan Afzal ada di samping gua?' tanya Jinan pada dirinya sendiri. Jinan sama sekali tidak mengetahui kapan Afzal berpindah tempat menjadi di sampingnya.
"Aku nggak pa-pa. Kamu kenapa duduk di samping aku?" tanya Jinan yang sedikit memundurkan tubuhnya untuk menjauh.
Afzal menatap heran ketika Jinan mencoba menjauhinya. "Seharusnya aku yang nanya sama kamu, kamu kenapa kaya menghindar gitu dari aku?" Afzal bertanya sembari melayangkan tatapan bingungnya.
"A-aku nggak menghindar, mungkin itu Cuma perasaan kamu aja," ucap Jinan sangat terdengar jelas sekali jika gadis itu tengah gugup.
Afzal semakin menautkan alisnya, bahkan kerutan di keningnya nampak terlihat jelas. "Kamu masih nggak percaya sama aku?"
"Aku percaya kok," jawab Jinan cepat.
"Terus kamu kenapa menghindar ...."
"Sayang, aku nggak menghindar. Cuma nggak nyaman aja kamu deket sama aku, karena aku kan belum mandi takut kecium bau asemnya," jelas Jinan. Sedari tadi Jinan memang memikirkan itu juga, kalau Afzal dekat dengannya dengan keadaan yang masih bau asam, pastilah Afzal akan ilfil.
Afzal terkekeh pelan setelah mendengar penjelasan dari pacarnya itu yang menurutnya tidak masuk akal. "Kamu tetep wangi kok," ucap Afzal sembari mengendus leher Jinan sampai gadis itu terkikik karena geli.
"Afzal, sana munduran aku belum mandi tau." Jinan mencoba mendorong dada bidang Afzal untuh menjauhinya.
"Kamu nggak bau sama sekali, sayang," ucap Afzal lagi-lagi dengan wajah yang serius.
"Dasar kang gombal, mau situasinya kaya gimana pun, kamu tetep aja gobal," cibir Jinan sembari menyuapkan buburnya buburnya yang sudah dingin ke dalam mulutnya.
"Aku nggak gombal loh, kamu jahat banegt ngatain aku kang gombal," protes Afzal tidak terima.
Saat Jinan dan Afzal tengah astik berbincang, tiba-tiba ponsel Jinan berdering. di sana tertera nama Metta di layar ponsel miliknya.
"Siapa?" tanya Afzal sedikit mengintip layar ponsel Jinan.
"Metta," jawab Jinan matanya menatap Afzal.
Afzal mengangguk lalu berkata, "Angkat aja siapa tau penting."
Jinan mengangguk, lalu beranjak dari duduknya lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya agar pembicaraanya tidak didengar oleh Afzal.
"Kok lama banget sih angkat teleponnya?" tanya Metta dengan nada naik.
"Maaf, tadi gua lagi sama Afzal," jelas Jinan.
"Afzal ada di situ?" tanya Metta terkejut.
"Iya, emangnya kenapa sih? Tumbenan lo kaget Afzal ada di rumah gua."
"Sore ini kita harus ketemuan, hanya berdua. Ingat hanya beruda," ucap Metta menekan kata 'hanya berdua.'
"Iya, mau ketemuan di mana?"
"Di kafe aja, nanti gua kasih tau di mana lokasinya. Udah ya gua nggak bisa lama-lama."
Metta langsung mematikan panggilan teleponnya begitu saja sebelum Jinan menyetujui untuk mengakhiri panggilan itu.
"Dia kenapa sih?" tanya Jinan terheran.
Jinan telah kembali ke ruang makan dan di sana masih ada Afzal yang tengah membereskan bungkus plastik bekas buburnya tadi.
"Kamu udahan?" tanya Jinan ada nada kekecewaan di dalamnya.
"Iya sayang, aku buru-buru banget soalnya ada tugas mendadak," ucap Afzal, gerak geriknya memang tengah menunjukan bahwa lelaki itu tengah terburu-buru.
"Ya udah deh, hati-hati di jalan jangan ngebut ya."
Jinan mengantarkan Afzal sampai di depan rumahnya, melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan sementaranya. Jinan kembali menutup pintu rumahnya, gadis itu menghela napasnya kasar, rumahnya kembali sepi hanya ada dirinya seorang diri.
***
Sore harinya, Jinan sudah berangkat menuju tempat di mana Metta menunjukan keberadaanya. Jinan hanya menggunakan celana levis dan kaos oblong bermotif kodok. Bunyi sepatunya terdengar nyaring ketika bergesekan dengan lantai kafe itu.
"Akhirnya lo dateng juga."
Jinan mendengar dengan jelas ketika Metta menghela napasnya kasar. "Lo kenapa sih?" tanya Jinan alisnya memincing sebelah.
"Gua mau menjelaskan sesuatu, tapi bingung harus mulai dari mana karena ada banyak fakta yang akan terkuak di sini," ucap Metta wajahnya menyiratkan penuh keseriusan.
"Fakta apa?" tanya Jinan semakin bingung dengan teka teki yang Metta ciptakan.
Metta menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. "Gua mau jujur sama lo, kalo selama ini Afzal adalah sepupu gua." Ucapan Metta terhenti karena melihat bibir Jinan mengaga ingin menyahuti. "Jangan sela ucapan gua sebelum gua selesai bicara!" perintah Metta tegas.
"Sebelumnya gua minbta maaf sama lo, karena gua nggak jujur selama ini. Ya, gua sama Afzal saudara sepupu. Kenapa gua nutupin ini semua? Karena gua nggak mau diserang sama satu kampus yang mengidolakan Afzal. Asal lo tau, gua punya semua rahasia cowok brengsek itu dan gua harap, setelah lo tau semua ini, lo nggak nyesel karena telah menyia-nyiakan om Ervin selama ini."
Ucapan Metta mampu membuat kepala Jinan berdenyut nyeri, bahkan gadis itu saat ini sudah tidak bisa menopang kepalanya sendiri.
"Kalo lo nggak percaya sama gua, silahkan cek sendiri di alamat yang udah gua kirim ke hp lo. gua bilang kaya gini karena gua sayang sama lo Nan, lo sahabat gua dan gua nggak mau liat sahabat gua di sakiti sama sepupu brengsek gua itu."
Sebelum pergi, Metta menepuk-nepuk pundak Jinan untuk menguatkan gadis itu. Setelah kepergian Metta pun, Jinan belum juga beranjak dari duduknya. Matanya masih setia membaca alamat yang Metta kirimkan beberapa menit yang lalu. Walaupun kepalanya terasa berdenyut, namun Jinan harus mencari tahu teka-teki apa yang telah tersembunyi selama ini.
Budayakan votet dan mampir ke kolom komentar ya:)
kalo ada typo tolong tandain :)
maaf baru bisa up hari ini karena yang nulis dipadatkan oleh jadwal di dunia nyata. biasa kang sibuk #Plak (Tampar pipi kiri) hahahaha
salam sayang dari markonah si gadis sejuta kehaluan yang haqiqi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top