Kedatangan Mama dan Papa
Jinan baru saja bangun dari tidurnya dan sudah dikejutkan dengan kehadiran mama dan papanya. Sang mama mengomelinya tanpa ampun lantaran JInan bangun kesiangan.
"Lain kali jangan seperti itu lagi, memangnya kamu mau Ervin berselingkuh di belakang kamu?" tanya Melda—mama Jinan.
Melda adalah sosok mama yang baik hati, penuh kasih sayang, namun cerewet. Sering kali Jinan tidak mendengarkan nasehat sang mama, lagi-lagi gadis itu hanya berkata 'iya' lalu mengulanginya lagi.
'masa bodo, Alhamdulillah dia selingkuh, dengan begitu bisa mempunyai alasan yang kuat untuk bercerai,' batin Jinan.
"Kamu dengerin mama ngomong nggak sih, Nan? Mama capek tau nggak nasehatin kamu panjang, lebar tapi akhirnya kamu mengabaikan." Melda begitu geram dengan sikap putrinya yang tidak berubah sama sekali.
"Iya mah," jawab Jinan sembari mengigit roti pangangnya lalu mengunyahnya dengan santai.
"Setiap hari kamu seperti ini? Bangun siang dan tidak peduli dengan pekerjaan rumah?" Tanya Melda dengan tatapan penuh selidik.
Jinan menggedikan bahunya acuh, "Masih ada om Ervin," ucap Jinan tanpa beban.
Melda mendelikkan matanya, "Memasak, cuci baju, cuci piring dan membereskan rumah itu semua yang melakukan Ervin?" tanya Melda sembari berkacak pinggang.
"Ya," jawab Jinan santai.
Melda memijit pelipisnya guna menghilangkan pusing yang tiba-tiba melanda. "Mama nggak ngerti lagi sama kamu, Ervin itu lelaki baik jangan kamu sia-siakan."
"Iya mah," ujar Jinan tanpa menatap mamanya.
"Kenapa sih mah?" tanya Adinata yang berjalan dari arah depan.
"Anak kamu tuh mas, mama udah nggak tahu lagi harus menasehatinya dengan gaya bahasa seperti apa," keluh Melda kepada suaminya.
Adinata menatap putrinya yang nampak tenang sembari mengunyah roti bakarnya. "Jinan ..."
"Iya pah, Jinan mengakui kesalahan Jinan," ucap Jinan memotong ucapan papanya.
Adinata membuang napasnya pelan, "Suami kamu mana?"
"Tau, pagi-pagi udah nggak ada," jawab Jinan acuh.
Melda hanya menatap Jinan dengan gelengan kepala, sementara Adinata masih mencoba menetralkan napasnya yang semakin memburu menahan amarah.
"Assalamualaikum." Itu suara Ervin yang baru datang.
"Waalaikumsalam," jawab Adinata dan Melda.
Ervin datang dengan bingkisan yang berisi lauk matang, berhubung dirinya belum belanja bulanan dan seisi kulkas habis, jadi Ervin membeli lauk pauk matang saja.
"Ervin, jangan terlalu memanjakan istrimu yang kurang ajar ini. Biarkan dia sadar posisinya," ucap Adinata.
Ervin menatap Jinan yang masih acuh dengan sindiran yang barusan papanya ucapkan, kemudian Ervin kembali menatap papa mertuanya dengan senyuman. "Jinan juga melaksanakan tugasnya kok pah, jangan khawatir, selama ini Jinan tidak membangkang," jelas Ervin membuat senyum Adinata dan Melda terbit. Sedangkan Jinan, gadis itu masih dalam posisi dan kegiatan yang sama.
"Jinan, kenapa kamu belum mandi sih sayang?" tanya Ervin menghampiri Jinan lalu memeluknya dari belakang satu kecupan mendarat di puncak kepala gadis itu.
Rasanya Jinan ingin sekali memukul kepala Ervin dengan gelas yang dirinya pegang. "Bisa nggak jangan cium-cium," desis Jinan sampai gertakan giginya terdengar menggelikan di telinga Ervin.
"I love you too, sayang," ujar Ervin yang masih memeluk Jinan dari belakang.
Adinata dan Melda tersenyum melihat kemesraan dari sepasang pengantin baru di depannya ini.
"Seperti kita dulu ya mah, waktu awal-awal nikah," ucap Adinata sembari mengedipkan matanya menggoda. Melda memukul bahu suaminya pelan, wanita itu tersipu malu.
Jinan begitu kesal dengan ucapan Ervin barusan, "Lepas!" kali ini Jinan sampai mengigit tangan Ervin yang tengah mengusap pipinya, hingga membuat lelaki itu meringis kesakitan.
"Mas Ervin, kita makan yuk. Dedeknya laper," ucap Jinan sembari mengusap perut ratanya..
'Rasain lo,' batin Jinan dengan senyum licik.
Ervin terdiam, sedangkan Adinata dan Melda saling padang lalu tersenyum penuh arti.
Ervin menatap gadis di sebelahnya tanpa berkedip, dirinya tahu tidak ada yang bisa diharapkan dari pernikahan ini. Jinan telah mengatakan sebelum pernikahan berlangsung jika dirinya tidak ingin ada anak di pernikahan ini.
"Baik-baik ya Nan sama suami, jangan bandel," ucap sang mama sembari memeluk Jinan.
"Iya mah, mama sama papa hati-hati di jalan." Jinan menatap ke dua orang tuanya dengan mata yang berkaca-kaca. Jinan lega ketika mama dan papanya tidak menginap, karena kalau itu sampai terjadi, pasti sandiwara ini akan tetap berlangsung sampai besok.
"Ervin, jaga Jinan ya," ucap Adinata dan diangguki oleh Ervin.
"Saya akan menjaga Jinan." Ervin merangkul pundak Jinan, hingga membuat kepala gadis itu bersandar di dada bidangnya.
Jinan melambaikan tangannya melepas kepergian mama dan papanya. Setelah mobil papanya benar-benar menghilang, barulah Jinan bernapas lega.
"Lepas!" Jinan menepis tangan Ervin yang masih setia merangkul pundaknya. "Modus banget sih!" omel Jinan lalu gadis itu melenggang masuk ke dalam kamarnya.
Ervin tersenyum tipis, ketika melihat Jinan yang kesal akan tingkahnya barusan. Walaupun Jinan kasar dan cuek, tapi Ervin selalu sabar menghadapinya.
Malam harinya, seperti biasa Ervin berada di televis sedangkan Jinan masih anteng di dalam kamarnya. Ervin menyandarkan badanya pada sandaran sofa, pikirannya melayang ketika dirinya dengan lantang mengucapkan ijab qabul, sejak kata 'sah' terucap, detik itu juga tugasnya sudah mulai berubah. Jika Jinan tidak ada perubahan, harus dengan cara apa Ervin menyadarkan gadis itu yang masih terpengaruh pergaulan sesat.
"Jinan!" teriak Ervin, namun gadis itu tak kunjung muncul juga. "Jinan!" kali ini teriakan Ervin begitu kencang dan akhirnya Jinan keluar dari persembunyiannya dengan wajah kesal.
"Apaan sih? Nggak tau apa lagi nonton drakor?" tanya Jinan dengan nada yang ketus.
"Sini." Ervin menepuk sofa sebelahnya, Jinan pun menghampiri lalu duduk, tapi bukan duduk di sofa yang Ervin tepuk, melainkan di sofa sebrang sana.
"Kenapa?" lagi-lagi Jinan mengeluarkan decakannya, itu berarti Jinan dalam mode kesal level akhir.
"Sepertinya kamu tidak bisa berbicara lembut sedikit dengan saya ya? ingat, saya ini suami kamu," ucap Ervin. Lelaki itu sungguh sabar menghadapi sikap Jinan yang semena-mena kepadanya.
"Enggak," jawab Jinan acuh.
Ervin menghela napasnya pelan, mencoba menghalau amarah yang sebentar lagi meledak. Lelaki itu lebih memilih menyandarkan kembali tubuhnya pada sandaran sofa, cara itu sangat ampuh untuk meredakan emosi.
"Cepet mau ngomong apa, gua mau lanjut nonton lagi."
"Mau nonton atau teleponan sama pacar kamu itu?" tanya Ervin menekan kata 'pacar.'
"Apaan sih? Nggak usah bawa-bawa Afzal ya!" bentak Jinan dengan wajah yang memarah karena menahan amarah.
Ervin hanya mengangguk-anggukan kepalanya paham. "Ya sudah, silahkan lanjutkan nonton kamu." Ervin beranjak dari duduknya tanpa menjelaskan apa maksudnya memanggil Jinan untuk datang ke ruang televisi.
"Kenapa sih tuh orang?" gumam Jinan, lalu gadis itu kembali masuk ke dalam kamar melanjutkan aktifitasnya menonton drakor yang sempat tertunda.
Malam semakin larut, namun Ervin belum juga kembali ke dalam kamar Jinan. Biasanya lelaki itu akan datang tepat pada waktunya, tapi kali ini berbeda.
Jinan sudah berbaring sejak beberapa menit yang lalu, gadis itu hanya tidur telentang sembari memandang langit-langit kamar. Sebenarnya dari lubuk hatinya yang paling dalam, Jinan merasa bersalah karena sudah berkata dengan nada yang tinggi kepada suaminya. Namun, gengsi untuk meminta maaf. Karena lelah memikirkan rumah tangganya akan dibawa kemana, akhirnya Jinan terlelap tanpa Ervin di sampingnya.
Budayakan Vote dan mampir ke kolom komentar ya :)
Kalo ada typo, tolong tandain ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top