Kebahagiaan
Hari ini sungguh membuat hari Jinan paling bahagia setelah sekian lama dibelenggu oleh pernikahan yang tak diinginkan itu. Jinan merasa terbebas dari itu semua setelah Ervin pergi dari ke hidupannya. Kepergian Ervin semakin membuat Jinan yakin bahwa kebahagaiaannya hanya bersama Afzal seorang. Seperti saat ini yang sedang keduannya lalukan makan bersama, tertawa bersama dan masih banyak hal-hal lain yang membuat Jinan kembali merasakan kebersamaan ini.
"Sayang, aku kangen banget kita berduaan kaya gini," ucap Afzal sembari memeluk Jinan dari belakang.
"Aku juga, rasanya udah lama ya kita nggak bareng kaya gini." Jinan memejamkan matanya ketika Afzal mendaratkan kecupan basah itu di keningnya.
"Aku akan selalu ada untukmu, menemanimu dalam susah dan senang dan aku akan selalu menggandeng tanganmu ke mana pun kamu pergi," ucap Afzal begitu manis sehingga membuat Jinan terbang ke awing-awang.
Jinan hanya tersenyum menaggapi ucapan Afzal. Tiada niat untuk membalas, karena membalas pun percuma saja Jinan sudah tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi akibat terlalu bahagia bersama Afzal. Kebahagiaannya kali ini tidak terbayangkan lagi, bahkan Jinan tidak pernah mengira akan berakhir seperti ini. Andai sedari awal Jinan mengusir Ervin daru rumahnya, pastilah kebahagiaan ini sudah dirinya rasakan sejak dulu.
"Aku akan selalu nyaman sama kamu, segala yang ada di diri kamu, aku menyukainnya," sambung Afzal.
Jinan membalik badannya menjadi menghadap Afzal. Pandangan mata keduannya saling bertemu, seolah saling berbicara mengutarakan cinta. Afzal semakin memajukan wajahnya hingga bibir keduannya saling bersentuhan. Jinan semakin memiringkan kepalanya mempersilahkan bibir Afzal mencicipi rasa bibirnya. Bibir keduanya saling bertemu dan saling menyapa. Gerakan lembut Afzal mampu membuat kaki Jinan melemas seketika bagaikan puding yang dilelehkan. Afzal semakin menggerakkan bibirnya sekatif mungkin, mencoba menghipnotis Jinan hanya dengan sentuhannya. Lenguhan pelan keluar dari mulut Jinan, gadis itu seolah lupa dengan daratan hanya dengan lumatan lembut yang diberikan oleh kekasihnya itu.
Ciuman keduanya terlepas, namun kepala keduanya masih bersentuhan dengan napas yang terengah. Jinan dan Afzal saling berbebutan oksigen untuk mengisi parru-parunya yang tersita habis karena ciuman tadi. Mata Afzal dan Jinan kembali bertemu lalu bibir keduanya saling tertarik membentuk bulan sabit.
"Aku hampir mati gara-gara kamu," ucap Jinan sembari mengerucutkan bibirnya.
"Jika kamu mati gara-gara aku, maka aku sendirilah yang akan memberikan napas buatan itu. Bukankah tadi itu nikmat?" tanya Afzal sefrontal itu hingga membuat ke dua pipi Jinan merona seperti kepiting rebus. "Terima kasih untuk ciuman yang sangat manis tadi," sambung Afzal dengan senyum menggoda menghiasi wajahnya.
Kinan memundurkan badannya beberapa langkah menjauhi Afzal dengan napas yang masih memburu dan kedua pipinya pun masih sama merahnya seperti tadi. "Nggak usah ngaco deh." Jinan memberikan satu pukulan di lengan kekar milik Afzal, tapi tidak sampai membuat kekasihnya itu menggaduh kesakitan.
"Pukulan kamu bikin aku geli tau nggak. Lagian punya tangan mungil banget," cibir Afzal sembari memegang tangan Jinan yang sangat pas bila digenggamnya, bahkan masih ada ruang di sana.
"Ini udah porsinya tahu," protes Jinan lantaran tidak terima jika tangannya dikatai mungil.
Jinan menyandarkan kepalannya pada bahu bidang milik Afzal yang terasa begitu nyaman bahkan rasa kantuk itu sejara tiba-tiba datang menyerangnya. Beberapa kali Jinan menguap dan berkali-kali juga Jinan menahan matanya agar tidak bisa terpejam.
"Tidur aja jangan ditahan." Nampaknya Afzal tahu kekasihnya itu tengah menahan kantuk yang luar biasa.
"Pulang," pinta Jinan dengan suara paraunya.
Afzal pun hanya mengiyakan dan mengantarkan Jinan kembali pulang ke rumahnya karena tidak tega menyaksikan Jinan yang berusaha menahan kantuknya.
Sesampainya did epan rumah Jinan, Afzal langsung berpamitan pulang dengan alasan tidak ingin menganggu istirahat kekasihnya itu. Jinan pun percaya dan merelakan Afzal pergi padahal niat awalnya Jinan ingin mengajak Afzal masuk ke dalam rumahnya, ah ralat maksudnya rumah suaminya.
Jinan masuk ke dalam rumah suaminya sembari melemparkan tas dan sepatunya ke sembarang arah. Dengan langkah sempoyongan gadis itu membuka kulkas dan emosi Jinan kembali naik ketika melihat isi kulkasnya kosong.
"Itu orang gimana sih, masa isi kulkas aja nggak punya uang. Kalo dasarnya miskin mah miskin aja!" decak Jinan kesal, lagi-lagi gadis itu menyalahkan Ervin.
Jinan berjalan kearah kamar belakang dengan menghentakkan kakinya kesal. Jinan membuka pintu kamar belakang dengan kasar. Ketika melihat tidak ada siapapun di sana, tangan Jinan yang awalnya memegang hendel pintu seketika melemas.
"Kenapa gua bisa lupa sih, kan dia udah nggak ada di sini," gumam Jinan pelan ada sedikit rasa kehilangan di dalam benaknya, namun Jinan gengsi untuk mengakuinya.
Jinan kembali menutup kamar yang kosong itu dengan gerakan pelan. Entah mengapa seketika otaknya tidak bisa bekerja.
"Lo kenapa sih Jinan, jangan jadi cewek bego deh," rutunya pada dirinya sendiri.
Setelah mendapatkan kewarasannya kembali, Jinan langsung melangkahkan kakinya menuju kamarnya sendiri. Gadis itu membaringkan tubuhnya di ranjangnya. Matanya mulai terpejam, namun kembali terbuka ketika cacing di perutnya kembali berbunyi.
"Kenapa nggak bisa diajak kerja sama sih," decak Jinan kesal sembari meremas perutnya yang terus saja berbunyi.
Perutnya terasa begitu perih dan melilit hingga Jinan tidak kuat untuk menahannya lagi. Kahirnya gadis itu memutuskan untuk turun dari ranjangnya dan memilih duduk di runag makan, tadi sempat membuka semua lemari yang ada di dapur, berharap ada sesuatu yang bisa dimakan. Namun, nyatanya keberuntungan belum juga berpihak padanya.
"Sumpah ya, perut gua sakit banget. Pasti asam lambungnya naik nih," gumam Jinan yang masih setia memegang perutnya, namun kali ini gadis itu sedikit meremasnya. Berharap dengan remasan itu bisa menghilangkan rasa perih yang ada di perutnya. Akan tetapi, cara itu tidak berhasil sama sekali.
Dengan langkah yang tertatih, Jinan kembali masuk ke dalam kamarnyahanya untuk sekedar mengambil ponselnya.
"Semoga aja Afzal belum tidur," lagi-lagi Jinan bergumam seorang diri dengan jari yang sibuk mengetik di layarnya ponselnya.
"Halo, sayang. Sayang kamu udah tidur apa belum?" tanya Jinan wajahnya meringis menahan perih.
"Belumh, memanghnyah kenapha?" tanya Afzal dengan nada mendesah di sana.
Jinan mengernyit bingung sembari menatap ponselnya ketika mendengar suara Afzal yang aneh dan tidak biasanya Jinan mendengarnya.
"Nggak jadi," ucap Kinan cepat lalu mematikan panggilan teleponnya.
Jinan masih mematung seperti batu di tempatnya terduduk. Perut yang awalnya melilit perih kini sudah hilang entah kemana. Pikirannya melanyang pada suara Afzal yang sangat menganggu di indera pendengarannya. Baying-bayang suara itu mampu membuat Jinan takut akan satu hal, namun otaknya langsung menepis itu semua. Tidak mungkin Afzal melakukan hal yang memalukan seperti itu. Jinan tahu jika Afzal merupakan lelaki terhormat dengan segala tata karma yang dibentuk oleh keluargannya dan Jinan meyakinkan dirinya sendiri bahwa Afzal tidak mungkin berselingkuh di belakangnya.
Budayakan Vote dan mampir ke kolom komentar ya :)
Kalo ada typo tolong tandain :)
makasih yang udah setia nungguin ceritaku yang biasa aja, jangan lupa mampir ke cerita yang judulnya "Jatuh Tempo" ya. kasih semangat juga di sana biar aku juga semangat berkarya dan bisa menemani kegabutan kalian semua.
salam sayang dari Markonah si gadis halu tingkat dewa
see you semuannya ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top