Hancur

"Minggir lo, jangan deket-deket!"

Suara itu terldengat begitu ketus dan menusuk relung hati Ervin, bahkan saat ini lelaki itu tidak bisa bergerak, sekjur tubuhnya kaku dan bibirnya kelu, bahkan untuk bernapas saja seolah tidak ada oksigen di ruangan itu.

"Maaf saya lancing," ucap Ervin memundurkan tubuhnya menjauh dari jangkauan gadisnya.

Jinan menatap Ervin penuh kebencian, bahkan gadis itu jijik jika disentuh oleh Ervin. "Keluar lo dari sini, ganggu pemandangan aja!"

Ervin menghela napasnya kasar, lalu Ervin dengan berat hati harus meninggalkan istri kecilnya sendirian. Sebelum menutup pintu, Ervin menyempatkan untuk menatap Jinan yang juga menatapnya, namun bukan tatapaqn lembut, melainkan tatapan penuh kebencian yang terlihat jelas di sana.

"Kepala gua kenapa pusing banget sih." Jinan berdecak kesal ketika merasakan denyut nyeri di kepalanya tak kunjung mereda. "Pasti gara-gara supir sialan itu gua jadi di sini, lagian bawa mobil kok ugal-ugalan banget," ucap Jinan kesal.

Sementara itu Ervin baru saja keluar dari ruangan dokter menanyakan kondisi Jinan mengapa tiba-tiba berubah.

"Kami harus menyampaikan kabar duka ini pak, istri bapak mengalami amnesia tapi tidak sepenuhnya, ada kemungkinan kejadian-kejadian di masa lalu yang tidak istri bapak lupakan."

Sekelebat ucapan dokter mampu membuat kepala Ervin kembali berdenyut. Ervin merogoh saku celanannya mencari sesuatu dari dalam sana.

"Astaghfirullah, ternyata papa nelpon berkali-kali," ucap Ervin sembari menutup bibirnya terkejutr.

"Ervin kamu kenama saja? Istri kamu dalam pencarian tapi kamu tidak datang? Di mana kamu sekarang?"

Ervin memejamkan ke dua matanya ketika mendengar rentetan pertanyaan dari mertuanya itu, Ervin menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan.

"Jinan sudah bersama saya pah," ucap Ervin. Di sebrang sana nampak terdiam lama. "Saya akan menjelaskan secara rinci, tapi tolong jangan memotongnya," sambung Ervin.

***

Malam itu, hati Ervin sungguh tidak tenang di rumah, entah mengapa bayangan wajah Jinan memenuhi seluruh otaknya. Hingga pada kahirnya Ervin memutuskan untuk menyusul Jinan tanpa memberitahu gadis itu. Ervin sampai di gunung Salah tepat sore hari, di mana teman-teman Jinan mempersiapkan diri untuk mencari jejak. Ervin diam-diam mengikutinya, hingga hujan pun turun ketika di pertengahan jalan mencarian jejak, terpaksa Ervin berteduh, tidak lama kemudian Ervin melihat seorang pemuda yang ikut berteduh bersamanya di bawah pondok kecil, pemuda itu adalah Afzal. Kemudian Ervin melihat Jinan dank e dua sahabatnya ikut berteduh juga. Perasaan Ervin terbakar api cemburu ketika dengan terang-terangan Afzal dan Jinan bermesraan di depan matanya.

"Sayang, kamu kedinginan?" tanya Afzal sedikit mendongak menatap Jinan yang mengigil.

Jinan tersenyum simpul, "Dikit."

Afzal tersenyum lalu berdiri melepas jaketnya sendiri dan hanya menyisakan kaus pendek berwarna hitam.

"Eh, kamu ngapain? Nggak usah, nanti malah kamu yang kedinginan." Jinan menolak dengan lembut.

"Nggak pa-pa, aku kan kuat," ucap Afzal mencoba meyakinkan.

Ervin yang melihat kemerraan itu hanya bisa menggengam tangannya erat hingga buku-buku jarinya terlihat memutih. Ervin memutuskan untuk pergi, karena sudah tidak tahan lagi melihat kemesraan Jinan dan pacarnya itu.

Ervin tidak benar-benar pergi begitu saja, lelaki itu tetap mengikuti kemana Jinan melangkah. Ketika di tengah-tengah perjalanan, Ervin melihat Jinan yang tersandung akar pepohonan yang mencuat kepermukaan, nalurinya ingin sekali menggendong istri kecilnya itu, namun Ervin mencoba menahan dirinya. Saat Jinan berhenti dan mengeluhkan rasa sakit di kakinya, saat itu Ervin benar-benar sudah tidak bisa lagi menahan untuk tidak menghampiri Jinan, namun langlah Ervin terhenti ketika mendengar suara Afzal yang menyebut istrinya manja dan dengan tegannya lelaki itu meninggalkan Jinan dengan keadaan kaki bengkak. Saat Jinan terpeleset masuk ke dalam jurang pun AErvin menyaksikkan dengan linangan air mata.

"Bodoh!" Ervin membenturkan kepalanya di pohon besar tepat di sampingnya hingga pelipisnya mengeluarkan darah. Lelaki itu begitu menyesal ketika tidak sedari awal menampakkan wajahnya di hadapan Jinan, Ervin benar-benar lelaki pengecut.

Tanpa berpikir dua kali, Ervin menuruni Jurang, kakinya menginjak dahan pohon yang rapuh hingga membuatnya terguling-guling hingga ke dasar jurang yang gelap. Ervin merintih kesakitan pada lengannya yang tersayat ranting pohon yang tajam hingga membuat baju dan kulitnya sobek.

Dengan sisa tenaga yang ada, Ervin mencoba bangkit dan lanjut mencari istri kecilnya itu. Bola mata Ervin tertuju pada sesosok yang mampu membuat hatinya terisiris. Jinan tergeletak tidak berdaya di sebrang sana. Ervin berlari menghampiri Jinan lalu memeluknya dengan erat, berkali-kjali lelaki itu menciumi jidat istrinya, tidak beduli dengan darah segar yang mengalir di sana. Meski tenaga Ervin tidak memungkinkan, namun lelaki itu tetap menggendong Jinan untuk keluar dari jurang itu.

***

"Seperti itu pah." Ervin mengakhiri ceritanya dengan menghela napasnya kasar.

"Papa dan mama akan menyusul."

Setelah sambungan telepon dimatikan, Ervin memasukkan kembali pnselnya di saku celanannya. Ervin berdiri, mengintip keadaan Jinan di balik jendela. Ervin tersenyum simpul ketika melihat Jinan sudah bisa memakan buah apel tanpa bantuan siapa pun, namun wajah lelaki itu seketika berubah sendu ketika mengingat Jinannya kembali seperti yang dulu.

Lagi-lagi Ervin menghela napasnya kasar, lalu kembali duduk di kursi tunggu tepat di depan ruang rawat Jinan. Ervin meringis kesakitan pada bagian lengannya, lelaki itu meraba guna memastikan ada apa di sana. Ternyata sebuah luka goresan yang dirinya dapatkan ketika menyelamatkan Jinan. Ervin memilih membiarkan luka itu tanpa mengobatinya.

Tidak membutuhkan waktu lama, Adinata dan Melda sudah sampai di rumah sakit. Melda berlari ketika melihat menantunya duduk termenung di depan pintu kamar rawat putrinya.

"Mama, papa," ucap Ervin mencium tangan Adinata dan Melda.

"Ervin, bagaimana keadaan Jinan?" tanya Melda, namun tidak kunjung mendapat jawaban dari Ervin. Melda yang sudah tidak sabar menunggu jawaban dari menantunya, wanita itu langsung masuk ke dalam guna memastikan sendiri keadaan Jinan.

"Mama!" pekik Jinan dengan mata yang berbinar, namun setelah itu Jinan meringis merasakan sakit pada area jidatnya.

"Sayang, kamu nggak pa-pa?" tanya Melda.

"Nggak pa-pa mah, mama harus ngomelin supir itu, gara-gara dia Jinan jadi rumah sakit," ucap Jinan.

"Gara-gara Ervin?" tanya Melda mencoba memastikan lagi.

"Iya mah." Jinan mengangguk mantap. "Dia bawa mobil ugal-ugalan."

"Pah." Melda memeluk tubuh suaminya ketika lelaki itu sudah berada di belakangnya.

Adinata menepuk-nepuk punggung Melda guna menguatkan wanutanya yang sedang rapuh. "Ervin sudah menjelaskan semuanya tentang apa yang sedang Jinan alami saat ini, kita hanya bisa berd'oa untuk kesembuhan putri kita," ucap Adinata.

"Mama sama papa kebiasaan, kalau pelukan nggak pernah ngajak-ngajak," ucap Jinan bibirnya sudah maju kedepan.

Melda terkekeh, "Anak mama memang paling manja." Melda langsung memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang.

Tiba-tiba kebahagiaan Jinan lenyap ketika melihat Ervin masuk kembali ke ruangannya. Jinan membauang padangannya. Ervin tersenyum kaku pada Adinata, lalau merutuannya itu memberinya ruang untuk bergabung.

"Pah, kenapa dia harus ada di sini sih?" tanya Jinan berdecak kesal.

"Sayang, jangan begitu sama suaminya," ucap Melda. Wanita itu langsung membekap mulutnya sendiri, dirinya lupa jika Jinan mengalami amnesia.

"Suami yang tak diinginkan maksudnya mah?" tanya Jinan matanya masih menatap nyalang kea rah Ervin.

"Pah ..." ucapan Melda terhenti ketika jari telunjuk suaminya sudah berada di depan bibirnya.



Hayyyyyyy kembali lagi sama Jinan si istri durhaka. kira-kira enaknya diapain ya? Santet online mahal nggak sih? hahahaha

Budayakan Vote dan mampir ke kolom komentar ya

kalo ada typo tolong tandain :) 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top