Berat Untuk Melepas
"Gua minta Izin buat pergi kemah ke gungung Salak, besok."
Ervin terdiam setelah mendengar ucapan Jinan, lelaki itu menggenggam tangan Jinan dengan penuh kasih sayang dan ketulusan.
"Om," panggil Jinan lagi dengan tatapan penuh harap.
"Mas pikir-pikir dulu ya." Ervin berucap sembari tersenyum mencoba tidak membuat Jinan sakit hati apa lagi kecewa.
Jinan terdengar menghela napasnya pelan, lalu gadis itu kembali bersandar dan memilih untuk mengubah posisinya menyandar pada jendela. Ervin yang melihat perubahan Jinan begitu jelas hanya bisa diam lalu kembali memfokuskan dirinya untuk mengendara. Suasana mobil hening hingga keduanya sampai di rumah, Jinan pun lagusng masuk ke dalam kamarnya sedangkan Ervin, lelaki itu memilih untuk mendudukan dirinya di sofa ruang tamu.
"Jinan," panggil Ervin sedikit berteriak.
"Kenapa om?" tanya Jinan dengan suara lemas. Ervin melihat jelas bahwa Jinan nampaknya tidak bersemangat setelah meminta izin di mobil tadi.
"Nanti kita makan siang di luar ya."
Jinan mengangguk lalu tersenyum singkat. "Ada yang mau dibicarain lagi nggak? Gua mau istirahat nih."
Ervin diam, nampak berpikir. "Tidak ada," jawab Ervin.
"Ya udah, gua istirahat dulu ya om."
Ervin menganggukan kepalanya lalu Jinan melenggang masuk kembali ke dalam kamarnya. Ervin menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, lelaki itu tengah perbikir tentang izin Jinan sewaktu di mobil tadi. Jika Ervin tidak mengizinkan Jinan untuk mengikuti kegiatan kampus, itu sama halnya dengan Ervin mengekang Jinan. Jika Ervin mengizinkan Jinan pergi, hati Ervin sungguh tidak tenang.
Ervin mengusap wajahnya gusar, lalu terbesit ide untuk menelpon mertuanya guna mencari solusi akan masalah ini.
"Assalamualikum, pah," sama Ervin.
"Waalaikumsalam, Ervin. Ada apa?" tanya Adinata di sebrang sana.
"Jadi begini pah, kuliah Jinan besok mengadakan suatu kegiatan berkemah di gunung Salak. Saya bingung harus mengiznkan Jinan pergi atau tidak. Jika saya tidak mengizinkan, maka Jinan mengira saya mengekang, tapi jika saya mengizinkan, ada rasa tidak rela untuk melepasnya pergi sendirian," jelas Ervin.
Tawa Adinata terdengar meggelegar di sebrang sana. "Izinkan saja, Jinan paling suka berpetualang di alam liar. Dia juga sudah mengikuti kegiatan seperti itu jauh sebelum menikah denganmu, saran papa izinkan saja, percaya jika Jinan mampu menjaga dirinya sendiri."
Saran Adinata mampu membuat Ervin lega. "Baik pah, saya akan mengizinkan, ya sudah pah saya tutup dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Ervin melempar ponselnya asal, lalu lelaki itu beranjak dari sofa dan melangkah menuju kamar Jinan. Dengan hati-hati Ervin membuka knop pintu, lelaki itu takut jika pintu berbunyi lalu membangunkan tidiur siang Jinan.
Setelah pintu terbuka, Ervin melihat Jinan tengah memejamkan matanya dengan earphone di telinganya. Ervin menghampiri Jinan dengan langkah pelan nyaris tidak terdengar.
"Jinan," bisik Ervin sembari mengguncang tubuh Jinan pelan. Mencoba memabangunkan gadis itu tanpa membuatnya terkejut.
"Om." Jinan membuka matanya. "Kenapa sih? Ganggu orang todur aja" tanya Jinan dengan suara parau.
Ervin menggeleng, "Mas izinin kamu ikut acara kampus, tapi kamu harus janji sama mas, kamu harus bisa menjaga diri dengan baik, jangan lupa makan, jika sakit jangan dipaksakan untuk melakukan kegiatan dan satu lagi yang paling penting, jangan bandel," ucap Ervin raut wajahnya terlihat tegas dan serius.
Jinan terkekeh pelan, "Iya om, gua janji. Makasih om udah ngizinin Jinan ikut kegiatan," ucap Jinan setulus hati, Jinan merengkuh Ervin dengan erat, Ervin pun membalasnya dengan kaku.
"Mas takut untuk melepasmu," ucap Ervin yang masih memeluk Jinan.
Jinan paham betul jika Ervin begitu menghawatirkan dirinya, sebenarnya Jinan enggan untuk ikut, tapi jika dirinya tidak mengikuti kegiatan kampus, Metta dan Berta akan curiga dan akan mencari tahu semuanya, Jinan tidak ingin itu terjadi karena belum saatnya meraka tahu status Jinan.
Seperti ucapan Ervin beberapa menit yang lalu, lelaki itu mengajak Jinan untuk makan siang di luar. Walau hanya makanan sederhana, namun Ervin melihat betapa semnagatnya Jinan melahap makanannya.
"Gimana, enak?" tanya Ervin.
"Enak om," jawab Jinan dengan suara yang tidak jelas akibat mulutnya penuh dengan makanan.
Ervin terkekeh pelan, pipi Jinan menggembung dan lerlihat begitu imut, hingga rasanya Ervin ingin sekali mencubitnya.
Keesokan paginya, Jinan sudah siap dengan stelan baju gunungnya dan tak lupa sebuah tas besar berisi perlengkapan Jinan untuk berkemah nantinya. Ervin hanya bisa menatap nanar istrinya itu yang bergitu antusias untuk meninggalkannya di rumah sendirian.
"Om, ayo kita berangkat," ucap Jinan menghampiri Ervin yang tengah meminum kopinya.
"Sudah siap?" tanya Ervin.
"Udah," jawab Jinan penuh semangat.
"Baiklah tuan putri, mari kita berangkat sebelum kamu terlambat." Ervin berjalan mendahului Jinan semabri membawa tas gunung gadis itu dan dimasukkan ke dalam mobil.
"Ingat pesan mas, jangan bandal, jaga kesehatan, jika sakit ..."
"Jangan memaksakan untuk mengikuti kegiatan," potong Jinan cepat.
Ervin terkekeh pelan, lalu mengacak puncak kepala Jinan hingga membuat rambut gadis itu sedikit berantakan. "Jangan kebiasaan deh om," ucap Jinan dengan wajah yang datar.
Ervin mencubit pipi Jinan lantaran gemas dengan eskpresi datar yang ditunjukkan gadis itu, "Jangan cemberut."
Ervin langsung melajukan mobilnya membelah jalanan kota Jakarta, Ervin telah memberhentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang, terlihat mahasiswi dan mahasiswa sudah berkumpul nampak begitu antusias melaksanakan kegiatan berkemah, Ervin sedikit lega jika sebanyak ini yang ikut berkemah.
"Jinan pergi dulu ya om, baik-baik di rumah." Jinan terpaksa mencium tangan suaminya. "Assalamualaikum." Jinan hendak membuka pintu mobil, namun Ervin menahannya, selang beberapa menit Ervin mendaratkan sebuah kecupan di dahi Jinan.
"Waalaikumsalam, kamu juga baik-baik di sana," ucap Ervin setelah melepaskan kecupannya.
Jinan mematung di tempat, ini pertama kalinya Ervin menciumnya, Jinan berharap pipinya tidak semerah kepiting rebus. Tanpa menjawab ucapan Ervin, Jinan langsung keluar dari mobil dengan jantung yang berdetak kencang.
"Jinan!" teriak Metta dan Berta secara bersamaan, Jinan langsung menoleh ke sumber suara terlihat ke dua sahabatnya itu berlari ke arahnya.
"Bang Ervin nggak ikut turun ya Nan?" tanya Berta nampak sedih.
Jinan menautkan ke dua alisnya, "Emangnya kenapa?" tanya Jinan dengan nada tidak suka.
"Kangen aja," jawab Berta asal.
Jawaban Berta mampu membuat Jinan melotot tidak suka. 'Dasar, nggak tau apa kalo gua ini istrinya,' batin Jinan kesal.
"Jinan, Afzal juga ikutan loh," ucap Metta.
Jinan diam sejenak, "Seriusan? Tapi dia kok nggak bilang apa-apa sama gua ya?" tanya Jinan.
"Mau bikin kejutan kali, udah yuk kumpul sama anak yang lain, sebentar lagi busnya berangkat.
Sebelum berangkat, seperti biasa semuanya berkumpul ada sedikit ada bimbingan tambahan dan ditutup oleh do'a. setelah selesai, barulah semua mahasiswa, mahasiswi masuk ke dalam bus.
Ervin menatap dari ke jauhan kepergian bus yang terdapat istrinya di dalam. "Semoga kamu baik-baik saja," gumam Ervin pandangan matanya tidak terlepas dari bus itu.
Setelah bus itu benar-benar tidak terlihat lagi, barulah Ervin melajukan mobilnya kembali menuju rumah. Ada perasaan gamang dalam dirinya, namun Ervin tidak bisa menjelaskan itu. Ervin memilih untuk mengabaikan dan berpikir lebih positif lagi yang Ervin harus lakukan adalah percaya kepada Jinan.
Budayakan Vote dan sempatkan mampir ke kolom komentar :)
Kalo ada typo tolong tandain ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top