Amarah
Jinan sedikit mengeliat dalam tidurnya akibat silaunya sinar matahari menyorot tepat di depan wajahnya. Tubuh mungilnya mencoba meregangkan ototnya yang sedikit kaku akibat ada seseorang yang menindihi tubuhnya.
'Tunggu, gua nggak halu kan?' tanya Jinan di dalam hatinya ketika menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh tepat di samping tubuhnya.
"Minggir lo!" Teriak Jinan sembari mendorong tubuh Ervin yang awalnya merengkuhnya erat kini lelaki itu harus tersungkur di bawah tempat tidur dengan begitu mengenaskan.
"Apa-apaan lo, asal main peluk-peluk gua!" Jinan terduduk dan bersandar di kepala ranjang, menatap Ervin begitu nyalang penuh amarah.
Ervin terlihat meringis kesakitan memegangi pinggangnya yang terbentur lantai dengan kerasnya. Lelaki itu merasa pasti ada bagian memar di sana.
"Jinan, tidak bisakah kamu bersikap sedikit baik dengan saya? Kamu rasa dengan cara kamu membangunkan saya tidak membuat saya terkejut? Dan tidakan kamu menendang saya, apakah itu terlihat pantas?" tanya Ervin sembari bangun lalu mendudukan dirinya di pinggiran ranjang.
Jinan masih menatap Ervin dengan tatapan tajam. "Siapa suruh lo seenaknya sendiri, peluk-peluk gua di saat gua lagi tidur dan apa ini?" Jinan menatap pakaiannya yang sudah terganti. "Lo gantiin baju gua?" tanya Jinan penuh dengan intimidasi.
"Kalau iya memang kenapa? Apa itu terdengar taboo untuk sepasang suami istri sah seperti kita?" tanya Ervin dengan menekan kata 'sah' di sana.
Jinan tersenyum meremehkan. "Suami sah? LO NGOTAK NGGAK SIH, GUA UDAH BERAPA KALI BILANG KALO GUA NGGAK MAU NIKAH SAMA LO DAN SAMPAI KAPAN PUN GUA NGGAK AKAN PERNAH MENERIMA LO SEBAGAI SUAMI GUA!" Napas Jinan memburu setelah meluapkan segala emosinya.
"Memangnya mudah untuk saya menerima perjodohan ini? SAYA SUDAH LELAH DENGAN SIKAP KAMU JINAN, ENTAH BAGAIMAN SAYA HARUS MENEPATI JANJI SAJA KE PAPA KAMU, KAMU TIDAK PERNAH MENGHARGAI SAYA SEBAGAI SUAMI KAMU, JANGANKAN SUAMI, SEBAGAI ORANG YANG LEBIH TUA PUN KAMU TIDAK PERNAH MENGHARGAI SAYA!" teriakan Ervin menggema di kamar itu, bahkan Jinan terlihat kaku ketika mendengar luapan emosi dari lelaki itu. Ervin berdiri menatap Jinan, mencoba meredamkan emosi dengan memejamkan matanya.
"Pengorbanan saya kali ini sudah berakhir, saya lelah menghadapi sikap kamu yang egois. Maka bahagialah bersama pilihanmu, saya tidak akan menganggu. Jika nanti kamu menyesal, jangan pernah salahkan takdir," ucap Ervin menatrap Jinan penuh dengan kesakitan di hatinya.
"Tanpa lo suruh sekali pun, gua tetap memilih dia, karena lo itu cuma sampah di hidup gua! Dan ingat, gua nggak akan pernah menyesal!" Jinan berucap dengan lantang dan jelas hingga mampu menusuk gendang telinga Ervin mampu meruntuhkan kesabaraqn lelaki itu yang sudah di pertahankannya selama ini.
Ervin mengambil oksigen sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya secara perlahan, "Sekarang kamu maunya bagaimana?" rasanya kalimat itu begitu berat keluar dari bibir Ervin. Lelaki itu harus merelakan pernikahannya yang baru berumur beberapa minggu harus kandas di tengah jalan. Ervin begitu tidak enak hati dengan Adinata karena telah mengingkari jajinya sendiri kepada lelaki pareuh baya itu. Namun, Ervin sudah berpikir jauh-jauh hari, jika pernikahannya ini terus berlanjut, maka yang merasakan sakitnya bukanlah Ervin dan Jinan saja melainkan Adinata dan Melda yang lebih Ervin takutkan adalah ibu dan bapaknya yang berada di kampung.
Dengan berat hati Ervin membuka knop pintu kamarnya. Ervin memutuskan untuk pergi dari rumahnya sendiri demi kenyamanan istri kecilnya yang tidak pernah bersikap baik kepadanya. Meskipun Ervin tahu kondisi Jinan saat ini sedang tidak baik-baik saja, namun Ervin tetap memantapkan diri untuk pergi.
Ervin menatap rumahnya dengan pandangan sedu. "Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu, Jinan. Ketahuilag saya sudah menaruh rasa kepadamu sejak awal pertemuan kita," ucap Ervin dengan menahan segala sesak di dalam dadanya.
Setelah itu, Ervin memutar badannya dan berjalan menjauh dari rumahnya. Jalanan mala mini begitu sepi, Ervin berharap masih ada bus untuk membawa dirinya pulang ke kampung halaman.
***
Sementara itu Jinan yang berada di rumah. Gadis itu memandangi jendela kamarnya, air hujan turun dengan derasnya beberapa menit yang lalu. Ada rasa cemas menyelimuti hatinya karena memikirkan nasip Ervin di luaran sana. Apakah lelaki itu tidak kehujanan? Jika kehujanan nanti mau berteduh di mana? Namun, kecemasan itu Jinan tepis jauh-jauh.
"Apaan sih, biarin aja dia kehujanan di luaran sana. Lagian gua juga nggak peduli kok. Dia pergi malah sangat menguntungkan untuk gua, nggak ada lagi penganggu dan ngatur-ngatur hidup gua," ucap Jinan langsung beranjak dari tempat duduknya dan kembali lagi ke kasur lalu merebahkan tubuhnya di sana dengan begitu damainya.
Tidak terasa pagi pun telah tiba, Jinan sedikit mengeliat dalam tidurnya akibat alaram di ponselnya berbunyi. Bukannya beranjak dari tempat tidur, Jinan malah semakin mengeratkan selumutnya kabibat dingin yang menusuk ke dalam kulitnya.
"Berisik banget!" decak Jinan kesal karena bunyi alaram di ponselnya tidak kunjung berhenti juga. Dengan rasa malas Jinan bangkit dari tidurnya, terdiam sejenak untuk mengumpulkan nyawanya. Setelah nyawanya terkumpul, barulah Jinan turun dari kasurnya untuk menuju kamar mandi. Air dingin itu mengguyur tubuh Jinan dari atas sampai bawah menjadikan rasa kantuknya seketika menghilang dengan sendirinya. Setelah beberapa menit berada di dalam kamar mandi, Jinan memutuskan untuk menyudahinya karena tubuhnya menggigil.
"Kok nggak ada bau masakan sih," gumam Jinan terheran. "Pasti Ervin lagi tidur nih," sambung Jinan geram.
Dengan gerakan begitu cepat Jinan memakai bajunya agar labih cepat juga memaki Ervin karena tidak membuatkannya sarapan pagi.
"Om!" teriakan Jinan menggema di setiap sudut ruangan. "Kemana sih sia? Apa mungkin di kamar belakang kali ya?" tanya Jinan pada dirinya sendiri. Tanpa berpikir panjang lagi, Jinan menghampiri kamar yang berada di belakang itu, tempat di mana Ervin biasanya berada.
"Om, bisa nggak sih lo nggak usah males-malesan ..." Jinan terdiam ketika berhasil membuka lebar-lebar pintu bercat coklat itu. Kamar itu kosong, tidak berpenghuni. Lelaki yang dicarinya pun tidak ada di sana dan Jinan baru menyadari, bahwa Ervin telah pergi dari rumahnya sendiri.
"Apaan sih, kenapa gua bisa lupa kalo Ervin itu pergi dari sini. Lagian bagus kok nggak ada dia, tanpa dia pun gua masih bisa bertahan hidup," gumam Jinan penuh keyakinan.
Jinan kembali berjalan kearah dapur mencoba mnecari sesuatu yang bisa dimasak untuk sarapan pagi ini. Jinan melihat ada beberapa butir telur di sana. "Bikin telor ceplok aja kali ya yang gampang," gumam Jinan sembari memegang telur itu.
Setelah menyelesaikan sarapan paginya, tiba-tiba Jinan mendengar suara ketukan pintu dari luar. "Siapa sih?" Jinan menghampiri pintu depan rumahnya lalu membukannya secara perlahan.
"Morning, sayang." Afzal menyapannya dengan senyum masih yang menghiasi wajahnya.
Jinan membekap mulutnya sendiri tidak percaya, "Sayang, dateng kok nggak ngomong sih?" protes Jinan.
"Kejutan. Aku pengen berangkat kuliah bareng kamu. Soalnya aku kangen sama pacar aku yang canti ini karena udah lama nggak naik motor bareng," ucap Afzal sembari mencubit pipi Jinan gemas.
Budayakan Vote dan mampir ke kolom komentar ya :)
Kalo ada typo tolong tandain :)
salam sayang dariku si Markonah wanita halu sepanjang hari hahaha :0
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top