Akad

"Saya terima nikah dan kawinnya, Jinan Salsabila Aileen, binti Adinata Aileen dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai."

Suara ijab qobul itu begitu lantang diucapkan dengan satu tarikan napas dan berakhir dengan kata 'sah.'

Air mata Jinan mengalir deras begitu saja, bahkan semalaman gadis itu tidak tidur karena menangis. Hari ini, hari di mana dirinya sudah menyandang status sebagai istri dengan pernikahan yang tidak Jinan inginkan.

Jinan Salsabila Ailen, gadis itu kerap disapa Jinan memiliki wajah yang cantik, tubuhnya mungil, rambutnya pendek seleher. Gadis bermata belok itu berumur 21 tahun, sekaligus mahasiswa semester 5, sifatnya sangat ketus dan susah untuk diatur, bahkan ke dua orang tuanya sudah tidak sanggup lagi menghadapi sifat Jinan, maka dari itu orang tuanya memilih untuk menikahkan Jinan di usia muda agar sifat dan kebiasaanya masih bisa untuk dirubah.

Ervin Surendra, lelaki itu berusia 30 tahun, tubuhnya tinggi tegap pemilik mata tajam, sifatnya begitu sabar, namun jika sudah marah tidak ada yang berani menyentuhnya ia adalah suami dari Jinan sekaligus supir pribadi gadis itu. Ervin rela melepaskan masa lajangnya hanya untuk menikah dengan gadis yang sama sekali tidak dirinya cintai.

Acara telah selesai, tidak ada resepri mewah hanya syukuran kecil-kecilan yang dihadiri oleh keluarga dekat.

Jinan tidak pernah menyangka, di usianya yang baru saja menginjak 21 tahun sudah menyandang status sebagai istri, sedangkan dirinya masih mempunyai kekasih yang bernama Afraz Kavindar. Afraz adalah salah satu pria idaman Jinan, tubuhnya tinggi atletis, wajahnya tampan mempunyai tatapan yang memabukkan. Namun, sangat di sayangkan sifat lelaki itu sangat pemaksa dan tidak bisa dibantah, sama seperti Jinan.

Saat ini Ervin tengah membersihkan dirinya sedangkan Jinan, gadis itu terduduk di ranjang dengan air mata yang masih mengalir deras.

"Mandilah lalu istirahat," ucap Ervin yang keluar dari kamat mandi sembari mengusap rambutnya yang basah.

Jinan menatap suaminya nyalang, lelaki itu lah yang merenggut semua masa remaja Jinan, hingga dirinya terbawa dalam pernikahan yang tidak diinginkan.

Jinan melenggang pergi begitu saja memasuki kamar mandi tanpa satu patah kata pun. Gadis itu menutup pintu kamar mandi dengan kencang hingga membuat Ervin terperanjat kaget, lagi-lagi Ervin hanya menghela napasnya kasar ketika melihat istrinya bertingkah demikian. Memang harus sabar mengahadapi sikap Jinan yang ketus dan sedikit sulit untuk diatur.

Ervin dan Jinan sudah berada di dalam kasur yang sama, walau begitu keduanya saling diam dan membisu. Ervin tengah sibuk dengan gawainya serta Jinan disibukkan dengan pikirannya sendiri.

"Lo tau 'kan pernikahan ini atas dasar keterpaksaan?" tanya Jinan memecah keheningan.

"Iya, saya tahu," jawab Ervin yang masih setia menatap gawainya.

Jinan mendengus kesal ketika mendengar respon Ervin yang cuek-cuek saja. Jinan membalik tubuhnya membelakangi Ervin.

Tidak ada yang menginginkan pernikahannya seperti ini, baik Jinan maupun Ervin sama-sama berat menjalankan ikatan janji suci ini. Namun, bagaimana lagi Ervin tidak bisa menolak keinginan Adinata—papa Jinan sekaligus bosnya. Ervin bekerja sebagai supir pribadi sudah lima tahun lamanya namun, beberapa bulan yang lalu dirinya diutus oleh Adinata untuk menjadi supir pribadi putrinya sekaligus menjaganya karena, gadis itu terlalu nakal dan susah untuk dinasehati.

Adinata Aileen, merupakan papa dari Jinan, sifatnya begitu tegas hingga membuat anak gadisnya sendiri merasa tertekan. Walau begitu, Adinata sungguh menyayangi putri semata wayangnya itu.

Tiga bulan yang lalu ....

"Ervin, keruangan saya sekarang!" perintah Adinata.

"Baik, pak." Ervin mengikuti langkah Adinata dari belakang lalu memasuki ruang kerjanya.

"Mulai sekarang, kamu sudah tidak menjadi supir pribadi saya."

Ervin sungguh terkejut dengan ucapan Adinata, baru saja ingin menyela Aditanya langsung mengangkat sebelah tangannya memberi isyarat jangan memotong pembicaraan terlebih dahulu.

"Jangan sela ucapan saya, kamu tidak saya pecat melainkan kamu harus pindah tugas menjadi suami sah dari putri semata wayang saya, saya sangat mempercayai kamu, tolong jangan kecewakan saya." Adinata beranjak dari duduknya, lalu melangkah menuju jendela dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. "Dia sangat bandal dan susah untuk diatur. Saya yakin dengan kesabaran kamu, Jinan bisa berubah." Sambung Adinata.

"Tapi pak ...."

"Saya tidak butuh penolakan. Saya mohon sama kamu Ervin, bantu Jinan menemukan jalannya. Rasanya saya sudah lelah mengurusi gadis itu." Adinata memijit pelipisnya ketika mengingat tingkah Jinan yang terlalu membangkang. "Dan saya minta, nikahi dia secepatnya, ini perintah bukan tawaran. Bukannya saya membuang anak saya, tapi ... rasanya jantung ini sudah tidak baik untunk menghadapi sikapnya."

Ervin masih terdiam, mencoba memahapi apa yang telah dikatakan oleh bosnya. Ini tidak mungkin, dirinya terlalu rendah untuk purtinya yang bergitu berkelas.

"Insya Allah, saya akan bersedia pak. Terima kasih atas kepercayaan yang pak Adinata berikan kepada saya. Kalau begitu saya permisi." Ervin beranjak dari duduknya, lalu keluar dari ruangan Adinata. Sungguh, dirinya tidak siap untuk amanat kali ini.

***

Pagi harinya, kegiatan yang dilakukan Jinan dan Evin sama sperti hari-hari sebelumya. Jinan sangat pagi-pagi sekali berangkat kuliah, sedangkan Ervin setia mengantarkan istrinya ke kampus. Sedari bangun tidur samapi sekarang, keduanya masih tetap bungkam. Ervin tidak terlalu menuntut Jinan untuk bersikap layaknya seorang istri menyiapkan makanan dan sebagainya, karena Ervin tahu posisinya hanya sebagai suami yang tidak diinginkan.

"Gua turun di sini aja. Lo pergi sana!" Jinan keluar begitu saja.

Ervin menatap tangan kanannya yang sudah terulur, apa sih yang dirinya harapkan? Berharap mendapat ciuman tangan sebelum pergi seperti suami, istri pada umumnya? Ervin ingatlah posisimu di mana!

Ervin kembali melajukan mobilnya, di jalan pun lelaki itu tidak mau kemana sekarang. Biasanya jika masih menjadi sopir Adinata, dirinya sedang duduk di kantin sembari meminum kopi. Namun, sekarangkan sudah berbeda. Akhirnya Ervin memutuskan untuk pulang kerumahnya untuk beres-beres.

Ervin memang sudah memboyong Jinan tinggal di rumah sederhanannya, awalnya Jinan protes.

"Ih, rumah kok kecil banget sih! Lo tahu kan gua nggak bisa rumah yang kecil terus kumuh? Gua juga yakin ini rumah pemberian papa, karena gua tau lo nggak pernah modal!"

Sekelebat ucapan Jinan yang mampu membuat hati Ervin sakit, rumah ini memang kecil, bahkan hanya ada ruag tamu, dapur, dua kamar tidur dan kamar mandi. Tidak ada yang mewah dari rumah milik Ervin, namun ketahuilah rumah ini dibelinya dengan hasil jerih payahnya sendiri ketika menjadi sopir selama ini.

Ervin mulai menyapu rumahnya, lalu setelah selesai Ervin mengepelnya dari dapur hingga teras depan. Hingga tidak terasa waktu telah menunjukan pukul sebelas siang, itu tadanya satu jam lagi Jinan akan pulang. Ervin berinisiatif untuk memasak makanan sederhana, di kulkas hanya ada wortel, bakso dan sawi lelaki itu memutuskan untu memasak sup sederhana.

Ervin tersenyum senang, ketika melihat supnya siap untuk di santap. Namun, kegiatannya terhenti ketika mendengar suara motor yang datang. Ervin berjalan menuju jendela, menyibak hodengnya guna melihat siapa yang datang. Ternyata Jinan dan seorang laki-laki, Ervin sangat yakin lelaki itu adalah Afzal—pacar Jinan. Memang sudah tidak menjadi rahasia lagi, Jinan dengan terang-terangan mengatakan dirinya masih mempunyai kekasih yang amat ia cintai.

"Lo tau kan gua masih punya pacar? Jadi setelah kita menikah nanti gua harap lo jangan ikut campur urusan gua, ingat, gua dan lo itu berbeda kasta!" lagi-lagi sekelebat ucapan Jinan yang begitu menusuk itu kembali terngiang.

Melihat Jinan akan masuk ke dalam rumah, buru-buru Ervin berlari menuju dapur.

"Sudah pulang?" tanya Ervin yang sok menyibukkan dirinya.

"Menurut lo?" Jinan membanting tasnya di atas meja makan. "Lo cuma masak ini? Gua yakin sih satu bulan hidup sama lo gua jadi kekurangan gizi."

Ervin terkekeh, "Yang penting ada nasi 'kan?" tanya Ervin tenang.

"Nasi? Lo nggak tau gua lagi diet? Gua yakin sih program diet gua gagal gara-gara nikah sama lo!" Jinan melenggang pergi begitu saja tanpa menghargai piring berisi nasi dan lauk yang sudah disediakan suaminya.

Ervin hanya bisa menghela napas sembari menatap piring yang niatnya untuk istirnya itu harus dirinya makan seorang diri. Setelah selesai makan, Ervin melanjutkan mencuci piring.

"Makasih sayang, kamu memang paling yang terbaik. Pas banget aku lagi laper."

Samar-samar Ervin mendengar suara istri kecilnya yang tengah berbincang dengan seseorang. Ervin memutuskan untuk mengintip di balik tembok dapur dan benar saja Jinan tengah bersama Afzal yang nampaknya membawa makanan. Setelah Afzal pergi, barulah Ervin menghampiri Jinan.

"Tidak baik makan makanan siap saji. Katanya kamu takut gendut," ucap Ervin.

Jinan memutar bola matanya jengah. "Bisa nggak sih lo nggak usah urusin urusan gua?"

"Wajar saja jika saya perhatian dengan istri sendiri. Apa itu salah?" tanya Ervin sembari menatap Jinan tenang.

"Salah. Karena lo bukan suami yang gua cintai. Paham lo?" Jinan melenggang pergi begitu saja.

Lagi-lagi Ervin menghela napasnya kasar. Kemudian Ervin memutuskan untuk duduk di sofa guna menghilangkan penat raga dan jiwa dengan menonton televisi.


Ringankan tangan untuk pencet bintang, jika ada kesempatan komen juga nggak pa-pa :)

Kalo ada typo, tolong tandain ya :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top