dua
"Aku katakan pada papamu tersayang kalau aku akan memberinya pinjaman sesuai dengan jumlah yang dia minta dan hanya menetapkan bunga paling rendah di tambah lagi mensuplai barang-barang yang dia butuhkan agar bisnisnya bisa berjalan kembali.
Aku juga menjanjikan bahwa perusahaannya lah yang akan mendapatkan peluang untuk mengisi perabotan untuk hotel baru yang tengah kubangun"
Mulai Sloan tanpa menyembunyikan fakta sedikitpun
Razan merasa kalau kedudukan Sloan saat ini jauh sekali diatas mereka disaat papa jaya dulu, apakan lagi dibandingkan dengan saat ini dan itu membuat rasa malu semakin tebal di hatinya.
"Papamu bisa mendapatkan semua itu jika dia menyuruh putrinya tercinta untuk tidur denganku, hanya untuk semalam kataku tapi bisa juga sampai akhirnya aku bosan"
Sloan dengan dinginnya mengungkap semuanya.
Darah seolah surut dari wajah Razan yang pias.
Kalau Sloan tidak bergerak cepat meraih pinggangnya mungkin Razan sudah terbanting ke lantai akibat rasa sakit di dada dan hatinya nya saat ini.
Razan menatap hampa pada Sloan yang tetap berwajah datar dengan sorot matanya yang dingin.
Putri kesayangan papa?!
Jadi begitu bisik perih batin Razan.
Jadi intinya semua ini bukan tentang Razan!
Selamanya dia tetap bukan siapa-siapa dimata papa selain anak tak diharapkan dari istri yang tidak pernah atau tidak bisa untuk dicintai karena papa telah menyerahkan hatinya pada wanita lain!
Sloan tidak melepaskan pelukannya meski Razan sudah memberi isyarat kalau dia baik-baik saja dan minta dilepaskan.
"Tidak lagi memakai parfum yang sama, tuan Putri?"
Pertanyaan yang diajukan oleh Sloan membuat Razan seperti sedang ditampar.
Dengan kasar dia mendorong dada Sloan, melepaskan diri dari belitan lengan pria tersebut.
Dengan mata basah dan napas sesak Razan menggeleng pelan.
"Posisi kita memang sudah bertukar tapi
Aku tidak akan membiarkanmu menginjakku sesuka hatimu"
Bisiknya parau.
Sloan memasukan kedua tangannya ke saku celana, mengepalkannya di dalam sana.
"Tapi itulah yang dulu kau lakukan pada semua orang"
Balasnya telak.
Kali ini Razan merasa sedang di pukuli, di terhuyung lalu berbalik membelakangi Sloan.
"Tapi aku tidak pernah memperlakukanmu seperti itu"
Bisiknya menahan tangis.
"Karena itulah aku muak melihatmu. Segala sikap baik yang aku terima darimu itu membuatku semakin tersiksa"
Hardik Sloan.
Razan tersentak, masih terus membelakangi Sloan.
"Aku tahu itu. Karena itu aku berhenti melakukannya, daripada berusaha aku memilih menyerah.
Tapi kau tetap saja marah, buktinya kalau sampai sekarang kau masih saja membenciku.
Kalau aku sadar dari awal bahwa semua kebaikan dan perhatianku membuatmu semakin benci aku pasti tidak akan melakukannya"
Kali ini airmata Razan sudah mengucur. Untunglah dia membelakangi Sloan.
Setiap kali mengingat cintanya yang berusaha dia tunjukan pada Sloan dulu, Razan jadi malu.
Malu karena pria tersebut tidak pernah menunjukan kalau dia juga punya sedikit saja perasaan pada Razan.
Padahal semua orang sudah tahu perasaannya pada Sloan jadi tidak mungkin pria ini sendiri tidak menyadari hal tersebut, sebelum Razan jadi nekat.
"Aku tak mengerti kenapa kau ingin tidur denganku, jika melihatku saja sudah membuatmu jijik.
Kalau tujuanmu hanya untuk menghinaku, aku menolak ide tersebut.
Aku akan bicara pada papa,membujuknya untuk memikirkan cara lain"
Ucapnya menahan isak.
"Terimakasih karena sudah mau menerimaku di sini"
Tanpa berkata apapun lagi Razan bergegas menuju pintu.
Ketika sudah berhasil membentangkan daun pintu, tangan Razan direnggut Sloan.
Seketika Razan membeku, dia tetap memilih membelakangi Sloan yang menyelipkan secarik kertas ke dalam kepalan tangan Razan.
"Ini nomor ponselku, pribadi. Hanya orang-orang tertentu yang tahu. Simpanlah, sebab aku tahu kau akan membutuhkannya"
Begitu selesai bicara Sloan melepaskan tangan Razan.
Razan berlari masuk ke dalam lift, masih terus mengepalkan tanganyanya, mengenggam erat kertas yang Sloan selipkan tadi.
.
.
.
"Kau tidak boleh menolaknya. Jika kau lakukan itu keluarga kita habis"
Seru papa tersengal-sengal karena nekat menurunkan masker oksigennya hingga leher padahal saat ini kondisinya sedang tidak baik.
Razan bergegas mendekati, memperbaiki, membetulkan letak masker, menutupi hidung dan mulut papa.
Akhir-akhir ini papa tidak bisa berhenti menggunakan masker oksigen tersebut padahal sebenarnya hal tersebut juga tidak baik sebab bisa saja kadar oksigennya naik dan paru papa tidak bisa menerimanya sayangnya Razan juga tidak tahu harus melakukan apalagi untuk mengurangi derita papa.
Razan berlutut meletakan tangannya yang memgepal diatas lutut papa yang keras dan kurus.
"Kita bisa cari jalan lain. Aku akan bicara pada Nael memintanya memikirkan cara lain"
Bujuknya.
Papa menepis pelan tangan Razan, menggeleng sambil memundurkan kursi rodanya.
Razan memperhatikan jemari kurus papa yang menggerakan tombol otomatis kursi rodanya. Uap hilang timbul di maskernya, kelelahan melakukan pekerjaan ringan tersebut.
"Jangan membuat Sonu semakin tertekan. Apalagi Kiami sedang hamil. Jangan merusak kebahagiaan mereka. Mereka berdua tidak tahu keputusan ku ini. Biarkan mereka tenang, jauh dari segala konflik ini."
Jantung Razan dihujam belati tak kasat mata.
Kalau saja kondisi papa sedikit lebih baik, dia akan bertanya, jadi demi kebahagiaan Kiami, Razan harus mengorbankan harga dirinya yang tinggal secuil?
Razan berdiri, mendekati papa.
"Kalau begitu kita pikirkan cara lain. Misalnya dengan menjual aset-aset tak bergerak. Mungkin tidak cukup menutupi semua kerugian tapi setidaknya masih bisa untuk memperbaiki sedikit kerusakan"
Saran Razan mengabaikan sakit di hatinya.
Kembali papa menggeleng.
"Tidak ada lagi yang bisa di jual.
Yang tersisa hanya Rumah ini dan Rumah dan perusahaan yang sedang sekarat. Rumah Yang ditempati Sonu dan Kiami sudah ternjual tapi tidak ada pengaruhnya.
Isak papa tertahan mengingat nasib anak dan menantunya.
"Satu-satunya harapan adalah Sloan dan kalau kau ikut maunya, kita akan benar-benar diuntungkan atau kau lebih memilih menjual rumah ini yang harganya juga tidak seberapa?
Dengan jari gemetar Razan menyeka airmata papa yang meleleh, mengabaikan airmata sendiri.
Papa menepis tangan Razan.
"Kelak jika anak Kiami lahir aku akan bisa mewariskan semua ini padanya tanpa hutang yang perlu dia pikirkan.
Aku akan mati dengan tenang setelah menebus semuanya pada Kiami.
Aku baru bisa merasa bahagia setelah memastikan Kiami dan anak cucunya bisa hidup senang kelak"
Dengan menjadikan Razan sebagai tumbal?
Tidak, kata-kata tersebut tidak bisa terucap dibibirnya.
Razan hanya berbisik dalam hatinya.
Sudah lama dia belajar untuk tidak protes atau bertanya kenapa papa tidak memikirkan dirinya sedikitpun dan hanya sibuk pada Kiami.
"Tapi kalau seperti ini terus bisa-bisa kita akan kehilangan semuanya. Setahun lagi bank pasti tidak akan mau tolak angsur lagi, mereka akan menyita semuanya. Bahkan rumah untuk berteduhpun kita takkan punya"
Ungkap Razan sedikit keras.
Papa menatap Razan dengan matanya yang tak pernah bersinar untuk putrinya ini.
"Karena itulah aku memohon padamu agar mau menerima saran Sloan"
Bentak papa habis kesabaran meski suaranya begitu lemah.
Razan terisak tangannya mengepal makin kuat.
"Tidak.. " bisiknya menggeleng lemah.
"Apa aku harus bersimpuh dan memohon padamu"
Geram papa membuat Razan terpekik kaget karena tiba-tiba saja menjatuhkan diri dari kursi Roda, tersungkur tepat dikaki Razan.
"Ya tuhan apa yang kau lakukan?" teriak Razan segera membantu papa naik ke kursi rodanya kembali.
Papa tidak lumpuh tentu saja tapi sayangnya dia tidak punya tenaga untuk menggerakkan kaki selangkahpun.
Kanker paru stadium 4 yang diidapnya membuat papa seperti boneka kain yang tak berdaya.
"Berjanjilah kau akan setuju dengan usul Sloan"
Pinta papa disaat Razan setengah mati membantunya kembali duduk.
Papa mencengkeram tangan Razan yang terkepal, kuat sekali sampai dia kaget karena papa masih punya tenaga seperti ini.
"Kali ini aku menuntut agar kau membayar semuanya, padaku dan pada Kiami yang masa kecilnya kau rampas.
Hanya kau yang bisa menyelamatkan keluarga kita"
Razan merenggut tangannya, berlari meninggalkan papa yang pasti bisa mendengar isakannya.
Ketika melihat telpon, Razan langsung memyambarnya.
Tersengal-sengal Razan membuka tapak tangannya yang terkepal, memerhatikan kertas kusut dan lembab yang tadi Sloan selipkan di sana yang hingga kini baru Razan buka dan lihat.
Jemarinya bergetar hebat saat Razan menekan tombol sesuai nomor yang tertera di kertas tersebut.
"Halo"
Suara tersebut membuat jantung Razan seperti mau meledak.
Isakan Razan semakin keras hingga dia harus membekap mulutnya sendiri.
"Razan.. Ini kau bukan?"
Karena dirinya yang tak kunjung bicara setelah cukup lama Sloan kembali bicara.
"Jadi aku menarik kesimpulan kalau akhirnya kau menyetujui persyaratan yang aku ajukan meski jujur saja aku tahu kalau pada akhirnya kau pasti menerimanya tapi aku tidak menyangka bakal secepat ini"
Inilah Sloan, batin Razan,
Pria ini sepertinya tidak mau membuang sedikitpun kesempatan untuk menyiksa atau menyakitinya.
"Ambil kertas jika kau takut kau lupa. Aku akan menyebutkan waktu dan tempat yang kupilih untuk kita menyelesaikan kesepakatannya"
Razan tidak perlu mencatatnya, sampai matipun dia akan ingat semua yang Sloan ucapkan saat ini.
Tanpa menunggu jawaban atau sekedar suara Razan, Sloan menutup telpon. Membiarkan Razan terpaku dengan gagang telpon yang masih menempel ke telinganya.
.
.
.
Dan sekarang di sinilah Razan!
Ditempat dan waktu yang Sloan sebutkan, bersiap menunaikan kesepakatan yang tidak pernah ingin dilakukannya tapi dipaksakan agar dia lakukan.
Demi kebahagiaan orang lain, meski itu artinya seumur hidup Razan tidak akan pernah merasa bahagia lagi!
******************************
1000 vote
200 komen
Baru next chap!
(07062020) PYK.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top