BAB 24
Yok vote sebelum baca.
==========================================
BAGIAN
DUA PULUH EMPAT (24)
==========================================
Deg!
Deg!
Deg!
Debaran jantung Agratha semakin keras berdegup, seiring kian banyak potret dari mendiang buah hatinya diperlihatkan.
Sang suami pun punya lumayan banyak koleksi foto anak mereka yang diambil pria itu saat putrinya dinyatakan tiada.
Saat prosesi penguburan pun ada.
"Dia manis bukan?"
"Wajahnya mirip kamu, Gratha."
"Dia sangat cantik seperti ibunya."
Agratha mendengar semua yang suaminya katakan. Namun, lidah terlalu kelu untuk melontarkan barang satu pun tanggapan.
Air mata sudah tak bisa dibendung kedua netranya hingga mengalir deras ke pipi.
Entah bagaimana cara yang tertepat untuk menggambarkan kecamuk perasaannya. Ia selalu akan begini untuk buah hatinya.
Apalagi, baru pertama kali disaksikannya potret kecil mendiang putrinya, sejak ia menerima kabar kematian anaknya.
Ya, selama hubungannya dan sang suami berkonflik, pria itu belum memerlihatkan sekalipun sosok buah hati mereka.
Kini, baru ditunjukkan padanya.
Hati ibu mana yang tidak akan bergolak, saat hanya bisa menyaksikan buah hatinya dalam potret foto, tanpa sekalipun punya kesempatan melihat sosoknya langsung.
Bahkan menggendong pun tak pernah.
Agratha pikir duka kehilangan sang buah hati akan segera berakhir, nyatanya akan terus tersimpan seumur hidupnya.
Menciptakan memori kelam yang tentu selalu siap menghantui kapan pun selama dirinya masih bernapas di dunia ini.
"Sayang?"
Dan sepertinya sang suami tahu kesedihan hatinya karena teringat anak mereka. Ia pun tak menolak pelukan pria itu.
Bahkan, air matanya jatuh perlahan.
"Ada apa, Gratha?"
Pertanyaan sang suami bisa membuat dua netranya semakin basah saja. Tak mampu dibendung kesedihan jika sudah muncul.
"Mas, maafkan aku."
"Aku sudah menyebabkan anak kita me-"
"Tidak, Sayang." Dhega memotong cepat seraya melepaskan pelukan sang istri.
Ditatap Agratha Dewantara lekat.
"Jangan menyalahkan diri sendiri lagi."
"Saya sudah berdamai dengan semua yang terjadi dengan kita." Dhega menjelaskan.
"Saya sudah mengikhlaskan. Dan kamu juga seharusnya melakukan hal yang sama seperti saya, Gratha," pintanya tulus.
"Kita ikhlaskan kepergian anak kita."
Agratha masih tak dapat menahan air mata keluar lebih deras. Tapi, ia tetap berusaha memahami semua ucapan sang suami.
Dhega Sentana tampak jauh lebih tegar.
Pria itu juga memang terlihat sudah bisa menerima semua takdir buruk ini, dan tak lagi menyalahkan dirinya atas kematian calon buah hati mereka seperti dulu.
Bisakah ia melakukan hal serupa?
Kenapa masih saja terlalu sulit menerima kemalangan ini yang rasa dukanya sangat hebat untuk dihadapi hatinya?
Andaikan bisa, ia pun akan mencoba agar perasaannya jauh lebih membaik. Namun tak semudah itu melakukannya.
"Kita akan mulai dari awal, Gratha."
"Pernikahan kita .... Dan juga soal anak."
"Kita akan memilikinya lagi ...."
"Itu pun jika kamu bersedia memiliki anak lagi dengan saya, tanpa ada paksaan."
Ya, Dhega tak mau mengulang kesalahan di masa lalu yang hanya menuruti egonya agar Agratha memberikan keturunan.
"Aku bersedia, Mas."
"Aku ingin punya anak lagi dengan kamu, Mas Dhega. Kita akan mulai dari awal."
"Aku ingin punya pernikahan dan juga anak-anak yang lucu dengan kamu, Mas."
Sedetik selepas diselesaikan semua ucapan oleh sang suami, ia pun lantas menerima ciuman lembut di bibir sehingga matanya dipejamkan guna merasakan keintiman ini.
Namun ketika matanya dibuka kembali, sosok Dhega Sentana hilang begitu saja.
Digantikan pemandangan dari langit-langit kamar yang berwarna putih dengan bau obat-obatan sangat menyengat.
Tangan kiri terpasang infus.
Lalu, hidungnya terpasang selang oksigen.
Ada apa dengan dirinya?
Kenapa ia bisa berada di rumah sakit?
================
Komennyaa manaaaa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top