BAB 22



==========================================

BAGIAN

DUA PULUH DUA (22)

==========================================


Saat sudah berhasil menduduki diri di jok mobilnya, napas diembuskan panjang.

Meredam rasa lelah karena pekerjaan hari ini cukup padat, terutama agenda keluar dan bertemu petinggi-petinggi partai lain.

Pemilu yang semakin dekat, membuatnya harus membangun koalisi lebih kuat untuk mendukung pencalonan sang ayah.

Tentu melobi ke sejumlah elite-elite fraksi yang sejalan dengan mereka, ditingkatkan.

"Bu Gratha? Anda baik-baik saja?"

Devina bertanya padanya. Selalu menjadi orang pertama yang peka akan kondisinya.

Lalu, sebagai balasan, gelengan pelan pun dilakukan, jelas tak ingin mengakui rasa lelah yang membuat fisiknya drop.

"Saya baik-baik saja." Agratha menjawab dengan mantap. "Saya akan pulang."

"Bu Gratha bisa menyetir sendiri?"

Anggukan lekas ditunjukkannya. "Bisa."

"Saya masih bisa menyetir dengan baik."

"Baik, Bu Gratha."

"Kamu bisa pulang juga. Sampai jumpa besok." Agratha mengucap perpisahan.

"Iya, Bu. Sampai jumpa besok."

Tak ada tanggapan dikeluarkan lagi. Dan segera saja ditutup pintu mobilnya.

Lantas, mesin dihidupkan dan dipanaskan beberapa detik, sebelum dilajukan pergi keluar dari gedung sekretariat partai.

Kecepatan mobil pun cukup cepat karena jalan raya yang lumayan lenggang. Tentu ia ingin segera sampai di tempat tujuan.

Agratha tidak akan langsung kembali ke rumahnya, melainkan menuju pemakaman keluarga Sentana, yang letaknya tidak jauh dari kantor pusat sekretariat partai.

Jarak tempuh sekitar lima belas menit saja, dengan kecepatan di atas rata-rata. Dan ia melajukan kendaraannya dengan cepat.

Ketika tiba di sana, ia tentu saja langsung diberi akses masuk oleh penjaga bertugas sebab masih bagian dari keluarga Sentana yang menjadi pemilik tunggal area ini.

Kompleks pemakaman tidak cukup luas, tapi tertata dengan rapi dan asri. Dirawat sedemikian rupa oleh para pekerja.

Tentu ada beberapa pendahulu dan leluhur klan Sentana yang dimakamkan di sini.

Walau datang saat hari sudah gelap, ia tak merasa takut karena niatannya hanya ingin mengunjungi makan mendiang anaknya.

Tentu setelah memarkirkan mobil, Agratha segera saja keluar sembari membawa dua buket bunga dibelinya sore tadi.

Jarak ke makam tidak cukup jauh, ia pun sampai dengan cepat. Dan perasaan mulai bergemuruh tanpa bisa dicegahnya.

Malam ini merupakan kunjungan kedua, setelah sekian hari sejak yang pertama.

Agratha kira ia bisa menahan pergolakan rasa jika berani datang, namun ia malahan merasakan duka kembali.

"Hallo, Anakku."

"Maaf, Mama baru bisa datang lagi."

"Kamu nggak marah kan, Nak?"

Agratha mengulurkan tangannya ke nisan makam mendiang sang bayi, setelah ia menaruh buket-buket bunga di atasnya.

Agratha lalu memejamkan matanya yang berair. Hendak berdoa untuk anaknya.

Semoga di alam sana, sosok malaikat kecil yang dikandungnya selama delapan bulan, akan bahagia dan tenang bersama Tuhan.

Dan air mata Agratha semakin turun deras saat rasa dukanya kembali membelenggu.

"Mama sayang kamu."

"Maaf Mama membuat kamu seperti ini. Apa kamu bisa memaafkan Mama?"

Agratha semakin mengisak.

"Maafkan Mama, Sayang."

"Mama tidak bisa menjaga kamu dengan baik. Tolong maafkan Mama," gumamnya kian lirih seraya memeluk nisan bayinya.

=================

komen mana komennnn.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top