BAB 18

Yok vote sebelum baca.



==========================================

BAGIAN

DELAPAN BELAS (18)

==========================================


"Ada apa, Bu Gratha?"

"Kenapa Ibu tidak keluar?"

Devina memberikan pertanyaan bertubi padanya. Tentu, ia akan dicurigai saat tak kunjung turun dari mobil, saat pintu sudah dibukakan oleh sang sekretaris.

"Saya tidak apa," jawab Agratha mantap. Ia lalu bangun dari jok mobil dan keluar.

Lalu, sang sekretaris ditemani dua ajudan pribadinya, mengawal masuk dirinya ke lobi utama rumah sakit segera.

Lantas, pergerakan mereka dilanjutkan ke lift karena akan naik ke lantai tiga, dimana ruang perawatan pasca melahirkan berada.

Agratha mencoba tetap rileks dan berpikir yang positif demi bisa menjaga hati dari pergolakan rasa membuatnya gelisah.

"Bu Gratha? Kenapa tidak keluar?"

Lagi-lagi pengentaraan diluncurkan sang sekretaris. Sebab, ia tidak kunjung keluar dari lift, walau sudah tiba di lantai tujuan.

Agratha amat sadar akan kesalahannya.

Otak memerintahkan agar dirinya segera berjalan, namun kedua kaki seperti sukar untuk dilangkahkan keluar lift.

Apalagi, di depan mata, tepat pada lorong rumah sakit, tampak berlalu-lalang para ibu hamil dan beberapa suster yang tengah membawa kereta-kereya dorong bayi.

Lantas, terdengar juga tangisan-tangisan khas bayi. Membuatnya jadi merinding.

Peluh semakin banyak mengucur dengan ketegangan tambah besar menguasai.

"Bu Gratha? Anda tidak apa-apa?"

"Saya tidak apa-apa." Agratha menjawab segera dengan nadanya yang mantap.

Kali ini, sudah bisa digunakan kedua kaki untuk melangkah dan keluar dari lift.

Lalu, diikuti sang sekretaris berjalan ke arah ruangan yang akan didatangi. Ia pun masih mencoba menenangkan kegugupan.

Agratha pun memilih tak mengungkapkan kecemasan akan kunjungan kerjanya hari ini ke rumah sakit, yang baru sepekan lalu dikunjunginya, ketika sang suami dirawat karena mengalami kecelakaan.

Masih terbayang pertengkaran mereka dan kata-kata pedas pria itu hingga sekarang di benaknya. Seperti tidak akan bisa hilang.

Dan bukanlah peristiwa tersebut pemicu keresahan hatinya, tapi tugas mengunjungi para ibu yang baru melahirkan.

Ya, partai dipimpinnya tengah melakukan misi sosial, yaitu membantu wanita-wanita hamil kurang mampu secara finansial.

Lalu, semua pembiayaan yang terkait akan kebutuhan persalinan, akan ditanggung.

Ada sekitar total tiga puluh orang.

Dan yang melahirkan sejak lima hari lalu, sudah sepuluh orang. Ia pun mendapatkan tugas untuk mengunjungi mereka.

Namun, agenda kerjanya ini terasa berat dijalankan, saat trauma akan kehilangan bayinya masih begitu membekas.

Melihat para wanita melahirkan dengan anak-anak mereka yang selamat, sangatlah membuatnya iri. Mereka begitu beruntung. Sedangkan, ia menerima kemalangan.

"Ibu Agratha? Anda kenapa?"

Pertanyaan diajukan sang sekretaris.

Dan ia pun baru menyadari jika dirinya terjatuh ke lantai. Ketika ingin bangun, tak bisa karena kedua kaki terasa lemas.

Tentu, ia membutuhkan bantuan orang lain untuk menolongnya berdiri dengan baik.

Saat ingin diulurkan tangan ke sekretaris pribadinya, ia malah mendapati seseorang menggendongnya tiba-tiba. Sosok tersebut adalah sang suami, Dhega Sentana.

Pria itu membopongnya masuk ke lift lagi.

Kenapa bisa sang suami ada di sini?

Setelah dua minggu terakhir bertemu saat menjenguk Dhega di rumah sakit, barulah hari ini bisa dilihat sang suami lagi.

Pria itu seperti tampak sudah sangat sehat dan pulih pasca mengalami kecelakaan.

Agratha ingin bertanya kabar suaminya, tapi peringaian ditunjukkan oleh Dhega Sentana amat dingin. Ia tidak cukup berani untuk melontarkan sepatah kata pun.

Kemudian, ia memilih tetap diam dan merebahkan kepala di dada bidang pria itu hingga lift membuka untuk mereka.

"Tolong bawa aku pergi dari sini, Mas."

"Aku tidak bisa melihat bayi-bayi itu."

"Aku teringat bayiku yang mati."

Kali ini, tangis Agratha pecah.

=====================

Komen please komen biar ramee.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top