BAB 17
Yok vote yokk ssbelum baca.
==========================================
BAGIAN
TUJUH BELAS (17)
==========================================
Ketika matanya membuka, barulah Dhega sadar jika dirinya baru bangun dari tidur.
Beberapa jam lalu, entah pukul berapa itu, ia tiba-tiba merasa amat mengantuk.
Tepatnya selang tiga puluh menit, setelah meminum semua obat diberikan suster.
Benar-benar tak bisa menahannya hingga tertidur begitu saja, padahal biasanya ia mengalami insomnia sepanjang malam.
Setidaknya karena obat-obatan diresepkan dokter, membuatnya bisa beristirahat.
Sudah tak pernah tidurnya selelap dan juga selama ini, sejak kehilangan anaknya.
Mimpi buruk pun tak dialami kali ini.
Walau begitu, Dhega tidak akan pernah mau selalu ketergantungan dengan obat.
Setelah besok pulang, ia pun akan berhenti mengonsumsi semua obatan tersebut.
Lagi pula, dirinya tidak mengalami luka parah, sehingga harus rutin meminumnya.
"Kenapa bangun, Mas?"
Suara yang amat familier bagi Dhega.
Sumbernya pun langsung dicari, upayanya memastikan tidak salah mendengar.
Saat kepala ditolehkan ke samping kanan, mata langsung menangkap sosok Agratha.
Mata sempat dikerjapkan. Usahanya untuk mengingkari apa yang telah dilihatnya.
Dan pada kenyataannya, ia sedang tidak dalam pengaruh delusi, seperti dugaan.
Sosok Agratha Dewantara benarlah nyata.
Dan kenapa bisa sang istri di sini? Apakah Agratha tahu jika ia mengalami musibah?
Lantas, ingatan Dhega terbawa kembali beberapa menit mengalami kecelakaan, ia menyaksikan pertemuan mesra antara sang istri dengan mantan kekasih wanita itu.
Hal tersebutlah yang telah memicu dirinya begitu marah hingga kehilangan fokus dan membuatnya terlibat kecelakaan tunggal.
"Mas Dhega?"
"Mas merasa sakit? Di bagian mana?"
Dhega tetap diam untuk pertanyaan sarat akan kecemasan ditunjukkan Agratha, tak berminat untuk merespons sama sekali.
Mata pun terus mengintimidasi sang istri, dengan sorot mata yang tajam, tentunya.
Dan saat Agratha ingin menyentuh tangan kirinya, maka segera dijauhkan diri.
"Keluarlah."
"Kamu tidak saya butuhkan di sini."
"Siapa yang Mas butuhkan? Apa dokter itu?" Agratha meluapkan kecemburuan.
Penolakan ditunjukkan sang suami, sudah melukainya. Padahal, ia sudah melawan ego dan gengsi untuk datang kemari.
Ingat akan tugasnya sebagai seorang istri yang harus merawat sang suami.
Terlebih lagi, pria itu baru saja mengalami musibah. Ia tak dapat lepas tangan.
Tidak bisa membiarkan wanita lain untuk menunjukkan perhatian pada suaminya. Ia lebih berhak ketimbang siapa pun itu.
"Saya bilang keluar."
"Aku tidak akan pergi." Agratha dengan mantap menunjukkan keengganannya.
"Aku akan tetap di sini."
Dhega berdesis sinis.
"Keras kepala," gumamnya sinis.
"Aku masih istri resmi kamu, Mas. Aku berhak mengurus kamu saat sakit."
"Bukan wanita lain."
Lihatlah betapa sangat percaya diri sang istri dalam bicara, walau mata wanita itu memancarkan luka batin yang nyata.
Dan sialnya, ia merasa terusik.
Tak boleh dibiarkan rasa empatinya pada Agratha tumbuh hanya karena ia tidak bisa melihat wanita itu dalam keadaan sedih. Harus dikedepankan logika berperasaan.
"Istirahatlah, Mas."
"Aku akan menjaga Mas Dhega seha-"
"Tidak!" serunya marah.
"Saya bilang pergi, tolong pergi." Dhega tak segan menunjukkan pengusiran.
"Angkat kakimu dari sini, Agratha."
Reaksi sang istri?
Wanita itu tak menjauh, justru memeluk.
Merengkuhnya erat sambil menangis.
Dan kali ini, ia hanya bisa diam. Dibiarkan Agratha mendekapnya seperti wanita itu mau. Walau tidak membalas juga.
"Aku sayang kamu, Mas."
"Beri aku kesempatan sekali lagi."
"Aku minta maaf karena sudah membuat calon anak kita meninggal. Aku tidak bisa becus menjaga dia sampai lahir ke dunia."
"Semua salahku, Mas."
Dhega spontan melepas pelukan mereka.
Namun tak menjauhkan Agratha. Justru ia memegang kedua pundak wanita itu.
Menatap lekat sang istri yang berlinang air mata. Agratha tampak menyedihkan.
Dan ketika wanita itu ingin bicara lagi, ia tak membiarkan. Segera ditarik tengkuk Agratha untuk menciptakan cumbuan.
Tatkala bibir lembut sang istri sudah terasa di mulutnya, langsung dilakukan ciuman yang menunjukkan segala emosinya.
Rindu, amarah, kekecewaan menjadi satu.
Namun saat mata dibuka kembali, sosok sang istri lenyap begitu saja. Mata malah memandang pada langit-langit kamar inap yang berwarna putih. Tak ada Agratha.
Jadi, ia hanya bermimpi?
=========================
Ramaiin dong dengan komen. 🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top