BAB 14
Yok vote sebelum baca.
==========================================
BAGIAN
EMPAT BELAS (14)
==========================================
Saat sudah semakin dekat dengan tempat tujuannya, langkah kaki pun diperlambat dalam berjalan. Atensi sudah dipusatkan ke makam mendiang calon bayinya.
Kurang dari hitungan tiga puluh detik, ia pun sudah sampai di depannya.
Perasaan mulai bergolak, tanpa bisa untuk dicegah. Padahal, ia sudah bisa melupakan kejadian buruk tiga minggu lalu tersebut.
Namun saat tiba di makam sang buah hati, justru terbayang-bayang kembali.
Bahkan, momentum pahit ketika prosesi penguburan calon anaknya, muncul juga di benaknya begitu saja. Tak direncanakan.
Mungkin saja karena membekas menjadi kenangan yang pahit, tidak bisa dilupakan.
"Dheama ...," Disebutkan nama sang putri dengan nada cukup lirih. Perasaan kian bergumul oleh rasa dukanya.
Tangan kiri pun sudah diarahkan ke papan nisan. Sedangkan, tangan kanan menaruh buket bunga di atas makam sang putri.
"Hallo, Nak." Dhega menyapa lembut.
"Papa baru datang."
"Maaf, Papa baru melihat kamu lagi."
"Papa baru balik dari Maluku. Papa ada proyek pembangunan hotel di sana."
"Papa lumayan sibuk, Nak. Maaf, ya."
Dhega semakin lirih bicara karena tak tahu harus mengatakan apa saja yang bagus ke mendiang anaknya. Ia kebingungan.
Namun amat disadari matanya yang sudah berkaca-kaca karena emosi bergumul.
"Semoga kamu baik-baik saja dan bahagia di atas sana, bersama Tuhan, Dheama."
"Astungkara." Dhega mengamini dengan segenap kesungguhan di dalam hatinya.
Dan ketika didengar derap langkah kaki, setitik air mata yang menuruni pipi segera dihapus. Ia tak ingin ketahuan bersedih.
Saat suaranya semakin jelas, Dhega segera kembali berdiri dan membalikkan badan.
Mata menangkap sosok sang istri, Agratha Dewantara. Wanita itu akhirnya datang.
Netra pun sudah siaga melayangkan sorot dingin dan menusuk ke Agratha. Sang istri juga menampakkan ekspresi datar.
Kesunyian menegangkan mengisi, tak ada dari mereka yang ingin bicara. Hanyalah memandang satu sama lain dengan intens.
Agratha pun mati-matian menahan gejolak perasaan sesak karena melihat langsung makam sang buah hati yang belum pernah sama sekali dikunjungi sejak keguguran.
Rasanya luar biasa sedih.
Jika saja bukanlah karena memenuhi apa yang diminta sang suami, ia tidak ingin ke sini. Belum sanggup dirinya berkunjung.
Dan tak mudah terus berdiri dengan dada yang terasa semakin sesak, membuat kaki serta tangan-tangannya kian lemas.
Namun, ia harus terus bertahan, sampai urusan dengan sang suami selesai.
"Aku tidak mau bercerai."
Agratha memutuskan mulai pembicaraan, tak bisa terus diam tanpa kejelasan.
"Tidak bisa."
Suara Dhega Sentana sangat dingin.
"Tidak bisa? Aku akan tetap bertahan dan tidak akan pernah mau bercerai."
"Lakukan saja, Gratha."
"Saya juga akan bersikeras mengupayakan perceraian kita." Dhega menegaskan.
"Kenapa?"
Decakan sinis dikeluarkan atas pertanyaan bernada menuntut diluncurkan istrinya.
Dan ia memutuskan tak menjawab, sebab bertengkar di hadapan makam anaknya terasa tak dewasa untuk dilakukan.
Dhega memilih pergi. Meninggalkan sang istri sendirian tanpa berpamitan, manakala berjalan tepat di depan wanita itu.
Tentu, Agratha menyadari kepergian dari suaminya. Ia tidak ingin mencegah. Justru butuh waktu sendirian guna merenungi kemalangan nasib akhir-akhir ini yang tak mampu untuk diselesaikan dengan baik.
Agratha pun melangkah mendekat ke makam anaknya. Air mata tumpah mulai deras dari kedua netra cokelatnya.
Agratha lalu bersimpuh dan mengulurkan tangan kanan ke nisan. Saat bisa disentuh, tangisannya semakin pecah dengan rasa sedih yang luar biasa karena duka.
Agratha pun tak bisa bicara. Ia hanya bisa menggumamkan kata-kata maaf di dalam hati pada mendiang calon anaknya.
Dirinya tak becus menjaga titipan Tuhan sehingga Sang Maha Kuasa begitu cepat mengambilnya, bahkan disaat belum lahir ke dunia. Tuhan sedang menghukumnya.
=======================
Yok komen yookk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top