BAB 13

Yok vote sebelum baca.



==========================================

BAGIAN

TIGA BELAS (13)

==========================================


Saat pintu utama kediaman orangtuanya dibuka dari dalam, maka sosok sang ibu pun tampak. Ia langsung dipeluk erat.

"Hallo, Sayang."

"Iya, Ma," balas Agratha sekenanya.

Dari sikap yang ditunjukkan oleh ibunya, ia tahu jika orangtuanya masih punya rasa iba cukup besar untuknya karena musibah yang dialaminya, tiga minggu lalu.

"Bagaimana kabar kamu, Gratha?"

"Aku baik-baik saja, Ma."

"Baik-baik saja? Mama tidak percaya."

"Lihat muka kamu semakin tirus, kamu pasti tidak makan dengan benar."

"Baru saja sepuluh hari Mama tinggal."

"Sudah makan tiga kali sehari, Gratha?"

"Sudah, Ma." Agratha menjawab cepat dan tak peduli sudah meluncurkan dusta.

"Mama tidak yakin."

"Kalau kamu makan dengan teratur, muka kamu tidak akan setirus ini, Nak."

"Baru Mama tinggal sepuluh hari, kamu sudah kelihatan kurus begini, Sayang."

Ya, sang ibu baru saja kembali dari Macau untuk perjalanan bisnis selama dua pekan di sana. Dewantara Corp akan membuka bisnis baru di bidang manufaktur.

Yang bertanggung jawab utama, tentulah Agrima, adik perempuannya yang diberi posisi sebagai pemimpin Dewantara Corp.

Dirinya tak ikut ambil bagian mengelola, hanya memiliki dua belas persen saham.

Sang adik bungsu, Agreva, mendapatkan tugas mengolah aset-aset Dewantara Corp dalam investasi-investasi menguntungkan di sejumlah perusahaan-perusahan dunia.

Sementara, ia diharuskan terjun ke dunia politik. Dipersiapkan menjadi ketua umum partai didirikan oleh sang ayah, setidaknya selama lima belas tahun kedepan.

Semua telah dirancang oleh orangtuanya.

Tentu saja, fraksi yang berada di bawah kepemimpinannya ini harus terus menjadi partai penguasa dalam parlemen dan juga pemilu. Elektabilitas pun harus tinggi.
Tugasnya amatlah kompleks. Ia dituntut bekerja dengan hasil yang memuaskan bagi fraksi dan juga ribuan kader.

"Mama akan masak, kamu ingin makan apa, Sayang? Katakan apa pun itu."

"Tidak usah, Ma."

"Aku belum lapar," ujar Agratha memberi alasan klasik yang sudah pasti tidak akan dipercayai oleh sang ibu begitu saja.

"Pantas kamu cepat kurus, Gratha. Kamu memang makan dengan tidak teratur."

"Aku makan dengan baik, Ma." Agratha pun kukuh menunjukkan kebohongan.

Tak ingin saja kondisinya terus menjadi perhatian berlebihan sang ibu. Ia akan bisa menjaga kesehatan dan hidupnya sendiri.

"Aku mau menemui Papa."

"Aku disuruh kemari karena Papa ingin bicara hal yang penting denganku."

"Papa di ruangan kerjanya, Sayang."

Agratha pun mengangguk pelan. Tak beri komentar atas pemberitahuan sang ibu.

"Naiklah ke atas bertemu Papa."

"Nanti Mama bawakan jus dan camilan."

Kembali dianggukan kepalanya tanggapi ucapan ibundanya. Baru kemudian, kaki dibawa berjalan ke arah tangga. Ia cukup malas memakai lift kali ini.

Dinaiki satu demi satu anak tangga tanpa kesulitan, sehingga dalam seperkian menit sudah sampai di lantai tujuannya.

Tinggal bergerak ke arah ruangan kerja sang ayah, letaknya tak jauh dari tangga.

Tok!

Tok!

Tok!

Setelah mengetuk pintu tiga kali, Agratha lanjut memasukkan kode sandi agar bisa masuk ke ruangan kerja sang ayah.

Saat sudah menginjakkan kaki di dalam, pandangan langsung diedarkan, mencari keberadaan sang ayah, tentu saja.

Tak ada di kursi kebesaran.

Tidak pula tampak di sofa.

Ke mana ayahnya?

Tatkala lebih luas pandangan diedarkan, barulah bisa dilihat sosok orangtuanya.

Rupanya tengah berada di balkon.

Agratha lekas menghampiri ke sana.

"Malam, Papa."

Sang ayah langsung menoleh padanya, dengan ekspresi tampak sangat serius.

Padahal, ia sudah menyiapkan senyuman simpul yang akan ditunjukkan ke ayahnya.

Lalu, Agratha jadi termenung menerima pelukan dari orangtuanya. Ia belum tahu penyebabnya, namun hatinya sedih.

"Papa kenapa?" Agratha bertanya. Ingin memastikan situasi agar bisa dipahami.

"Dhega tadi datang ke sini, Nak."

"Dia bilang kalian akan bercerai."

"Dia minta izin pada Papa agar Papa setuju dengan perceraian kalian."

Agratha yang mematung kali ini.

Rasa kaget, kecewa, bingung, dan juga kesal bercampur menjadi satu. Ia tak tahu cara yang tepat untuk mengekspresikan.

"Kenapa nasibmu malang, Nak? Apakah Papa terlalu egois selama ini denganmu?"

"Papa memaksa kamu menikah dengan Dhega karena Papa yakin dia pria yang pantas menjadi suami kamu, Gratha."

"Tapi perlakuannya malah seperti ini pada kamu, Nak. Semua salah Papa yang su-"

"Tidak, Pa." Agratha menjawab mantap.

"Papa tidak pernah salah."

"Aku dan Mas Dhega tidak akan bercerai. Aku bisa menyelamatkan pernikahan kami dari ambang perpisahan ini."

"Tidak, Nak. Berpisahlah. Dia pria yang tidak pantas untuk kamu pertahankan."

Agratha menggeleng mantap.

"Aku hanya akan menikah satu kali dalam seumur hidupku, Pa. Aku akan lakukan apa pun untuk mempertahankannya."

=======================

Komen yok komen.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top