BAB 12

Yok vote sebelum baca.

==========================================

BAGIAN

DUA BELAS (12)

==========================================

"Selamat siang, Pak Dhega."

"Selamat siang," balasnya cepat untuk sapaan hormat dari Yudha Raharja.

Pria paruh baya yang merupakan kepala sekretaris sekaligus staf kepercayaan ayah mertuanya, Ganesha Dewantara.

"Bapak masih mandi."

"Pak Dhega diminta menunggu Bapak di dalam. Sebentar lagi beliau akan selesai."

Dhega hanya membalas dengan anggukan pelan, tanpa berkomentar atau bertanya.

Ketika dipersilakan masuk, Dhega segera saja melenggang ke ruangan kerja ayah mertuanya. Ditempatkan diri ke sofa.

Sembari menanti kedatangan ayah istrinya itu hingga beberapa menit kedepan, ia pun menggunakan waktu mengecek ponsel.

Bukan untuk memeriksa puluhan dokumen kerja yang dikirimkan sang asisten, namun untuk melihat foto-foto mendiang bayinya.

Terakhir dibuka di galeri, tengah malam lalu, saat dirinya tidak bisa tidur.

Kini, akan dilakukan lagi.

Semacam ingin mendapat kekuatan lebih besar untuk keputusan hendak diambil.

Konyol memang, namun sejak kematian calon buah hatinya. Ia merasa perlu untuk melibatkan malaikat kecilnya itu.

Apalagi, akan mengambil keputusan berat, yaitu menggugat cerai Agratha Dewantara.

Tentu beberapa hari belakangan dirinya sudah memikirkan dengan matang dan melihat dari beberapa konsekuensi.

"Apa yang ingin Pak Dhega minum?"

Tawaran datang dari asisten mertuanya.

Dhega pun dengan cepat menggeleng. Ia tak sedang ingin menenggak apa pun.

"Nanti akan saya minta," dalihnya agar tak perlu menjelaskan lebih panjang.

Tentu, jawabannya dapat diterima.

Asisten sang mertua pun kembali keluar dari ruangan dan menutup pintu.

Namun tak berselang lama, sosok Ganesha Dewantara yang ditunggu, datang juga.

Guna menunjukkan rasa hormat pada ayah mertuanya, Dhega langsung bangun dari kursi yang tengah didudukinya.

Lalu, badan dan kepala dibungkukkan.

"Selamat malam, Pa."

"Selamat malam, Nak."

Sang ayah mertua menepuk bahunya pelan beberapa kali. Kebiasaan yang dilakukan saat mereka berdua saling bertemu.

"Sudah makan malam, Nak?"

"Iya, Pa, saya sudah makan malam."

Dhega memilih jawaban dusta agar dirinya tak diajak untuk makan bersama. Ia tidak punya waktu bersantai dan mengobrol.

Tujuannya sudah amat jelas. Tentu harus segera mungkin untuk diutarakan.

Setelah sang mertua menempati kursi yang menjadi singgasana kebesaran, ia juga ikut duduk di sofa yang ditempati tadi.

"Kita mau membicarakan apa, Nak?"

Ganesha Dewantara seperti sudah sadar jika ia ingin membahas hal yang penting.

Maka, ia tak bisa mengulurkan waktu lagi dan langsung mengutarakan tujuannya.

"Saya dan Agratha akan berpisah, Pa."

"Kami akan bercerai."

"Saya akan menggugat Agratha minggu depan di pengadilan negeri." Dhega pun dengan mantap mengutarakan maksud.

"Saya minta izin agar Papa memberikan persetujuan atas keputusan saya." Dhega meminta dengan sopan pada sang mertua.

"Kenapa kamu melakukannya, Nak?"

Orangtua mana yang tidak akan merasa kaget dihadapkan dengan rumah tangga sang putri sulung tiba-tiba diujung tanduk.

"Maafkan saya, Pa."

"Saya sudah tidak bisa melanjutkan lagi pernikahan kami karena kami memiliki visi dan misi yang tidak bisa disatukan."

"Saya minta maaf belum bisa menjadi suami yang baik untuk Agratha."

"Saya minta maaf karena belum juga bisa menjadi menantu andalan untuk Papa."

Bapak Ganesha Dewantara masih diam. Beliau ingin marah dengan situasi ini yang tak pernah ada dalam agenda dibuat.

Bahkan memikirkan saja tidak ingin.

"Tolong setujui keputusan saya, Pa."

"Dengan begitu, saya berjanji akan tetap menjadi ketua tim nasional Papa untuk pemilu. Saya akan memenangkan Papa."

"Papa akan menjadi presiden selanjutnya. Saya bisa memastikan kemenangan ini."

Dhega tak ingin dilarang bercerai. Ia harus bernegosiasi agar pilihannya diterima.

==================

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top